Badak Sumatra di Malaysia Telah Punah

Selain dua badak Sumatra betina yang ditangkap pada tahun 2011 dan 2014 untuk program penangkaran, badak Sumatra tak pernah terlihat lagi di Malaysia sejak tahun 2007. Para ilmuwan menegaskan bahwa hewan tersebut telah punah di alam liar Malaysia.

Kesimpulan menyedihkan tersebut didokumentasikan dalam jurnal Oryx oleh tim ilmuwan dari bagian Pusat Makroekologi, Evolusi dan Iklim Universitas Copenhagen.

Menurut para ilmuwan inilah gambaran suram tentang kelangsungan hidup badak Sumatra. Dulu, badak Sumatra tersebar di banyak daerah di Asia Tenggara, namun saat ini jumlahnya menyusut hingga hanya tersisa 100 ekor di alam liar Indonesia dan 9 lainnya hidup di penangkaran.

Fokus ke badak yang tersisa

Para peneliti memberikan sejumlah saran untuk meningkatkan perlindungan untuk badak. Di antaranya dengan membuat “zona manajemen”, dimana badak dipindahkan ke zona dengan peningkatan perlindungan bagi hewan.

Sembilan badak di penangkaran yang tersebar di beberapa tempat penangkaran. Satu berada di Kebun Binatang Cincinnati di Amerika Serikat, namun akan segera dipindahkan ke Indonesia. Tiga berada di Sabah, Malaysia dan lima sisanya berada dalam perlindungan badak di Sumatera, Indonesia. Diharapkan bahwa badak yang berada di Sabah akan mampu menghasilkan embrio melalui fertilisasi in vitro.

“Upaya serius oleh pemerintah Indonesia harus dilakukan untuk memperkuat perlindungan badak dengan membuat Zona Perlindungan Intensif, survei intensif habitat saat ini, manajemen habitat, penangkaran, dan memobilisasi sumber daya nasional serta dukungan dari pemerintah daerah terkait dan pemangku kepentingan lainnya,” kata Widodo Ramono, penulis kedua dalam penelitian tersebut sekaligus direktur Yayasan Badak Indonesia.

Sumber : klik di sini

Share Button

Identifikasi Sumber Air, Jadikan Penampungan Hujan sebagai Gaya Hidup

Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia mendorong pemerintah agar mengidentifikasi dan menginventarisasi ketersediaan air beserta sumber dayanya di musim kemarau yang diprediksi masih berlangsung hingga November 2016. Pencarian sumber air dan pemanfaatan teknologi tepat guna dan canggih perlu diterapkan.

Para ahli ini merespons bencana kekeringan dan ancaman kekeringan akibat El Nino yang diprediksi berlangsung hingga tiga bulan lagi. Sejumlah daerah melaporkan kesulitan mencari air bersih dalam tiga bulan terakhir.

“Banjir dan kekeringan tak dapat dipisahkan. Harus diingat, setelah kekeringan akan terima hujan lebat sehingga penyelesaian kekeringan itu sekaligus menyelesaikan banjir,” kata Agus Maryono, Ketua Kelompok Kerja Banjir dan Kekeringan, Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI), Selasa (18/8/2015) di Jakarta.

Agus yang juga pengajar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini mengatakan, kekeringan muncul karena masyarakat tak lagi terbiasa menabung dan memanen air hujan. Air hasil destilasi alam itu dibiarkan terbuang, bahkan menjadi banjir.

Ia memperkenalkan model penampungan air yang terinspirasi kearifan lokal masyarakat desa memanen air hujan. Ia menggunakan bahan pralon dan tangki air yang dilengkapi penyaring sehingga mudah diterapkan di rumah-rumah ataupun gedung.

Pihak IABI mendorong agar cadangan air permukaan, seperti revitalisasi serta pembuatan embung, situ, dan telaga, diperbanyak. Ini bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan.

Atap bangunan seluas 100 meter persegi bisa menampung air 3 meter kubik sekali hujan. Untuk rumah yang sempit seperti di Jakarta, keterbatasan penempatan tangki bisa diatasi dengan penampung air komunal.

Upaya lain adalah pembuatan sumur resapan dan biopori untuk menambah cadangan air tanah. Hal-hal ini, katanya, akan dikomunikasikan ke semua pemda. Diharapkan, berbagai upaya preventif ini dijadikan syarat penerbitan izin mendirikan bangunan.

Selain itu, IABI mendorong penemuan sumber air baru. Mata air dengan debit 1 liter per detik bisa dikonsumsi 1.000 jiwa.

Sekretaris Jenderal IABI Lilik Kurniawan mendorong agar potensi sumber air ini diinventarisasi. Tujuannya untuk mengetahui kemampuan menghadapi kekeringan. Di sebagian wilayah Indonesia, kekeringan tetap berlangsung tiga bulan ke depan.

Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan BPPT Tri Handoko Seto mengatakan, kekuatan El Nino sama dengan tahun 1997. Saat ini tak terdeteksi ada Indian Ocean Dipole-yang membawa banyak hujan.

“Ini melegakan, dampaknya bisa tak separah 1997. Namun, kondisi hutan dan daerah aliran sungai yang kurang baik membuat kekeringan klimatologis berdampak serius pada kekeringan hidrologis,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Koperasi Ini Bawa Mereka Kelola Hutan Lestari

Jalan meliuk-liuk, dan menanjak,  kala kami menuju Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan dari Kota Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara. Beberapa ruas jalan aspal berlubang, membuat hentakan keras pada kendaraan. Kiri kanan tumbuh pepohonan kecil. Ada rumpun bambu, dan tanaman merambat. Selama perjalanan, tampak satu pos jaga polisi kehutanan, tak ada petugas.

Kanopi hutan dari jarak beberapa ratus meter terlihat kecil-kecil, tak ada pohon ukuran besar. Saya menuju hutan warga yang dikelola lestari. Sebelumnya, kawasan ini marak illegal logging. Kini, warga tergabung dalam koperasi, yang memanfaatkan hutan sembari menjaganya. Beragam sertifikat dan penghargaan sudah mereka terima.

Di Konawe Selatan dan Kendari, kawasan hutan seluas 115.000 hektar. Terdiri dari hutan lindung, produksi dan industri. Kawasan inilah pada dekade 1980-an, melalui Departemen Kehutanan melaksanakan program reboisasi dengan tanaman monokultur. Ribuan bibit jati ditanam melibatkan masyarakat. Beberapa satwa endemik seperti anoa, rusa dan julang Sulawesi memilih berpindah tempat.

Pada 1998, Indonesia dihantam krisis ekonomi. Uang sulit, keadaan politik dan ekonomi tak menentu. Krisis ini menumbangkan rezim Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa. Di sana, pohon-pohon reboisasi menjadi target penjarahan.

Warma Sahmedi, transmigran asal Jawa Tengah yang mendatangi Konawe Selatan sejak 1980, melihat peluang dan melirik bisnis ilegal ini. Awalnya, dia hanya terdesak kebutuhan ekonomi dan ingin menambah penghasilan. Lahan hanya seluas setengah hektar, ditanami padi atau tanaman musiman lain seperti jagung. “Bisnis kayu itu hanya masalah keberanian dan nekat. Tak ada modal, hanya omong,” kata Warman.

“Jadi mulai kenal dengan sesama pelaku illegal logging itu. Trus saya cari orang yang mau kerja. Saya juga mulai kenal beberapa polisi (yang saat itu) bermain kayu.”

“Tahun 1998, saya punya 10 anggota. Setiap ada permintaan pembeliaan, dikawal polisi menuju pelabuhan. Biasa ada dua orang, bayar bisa Rp300.000. Itu 1998, uang itu susah. Itu sudah banyak.”

Warma, melakoni usaha kotor dari bisnis kayu, sejak 1997 hingga 2003. Saat itu, setiap satu meter kubik, dihargai Rp800 ribu. Kayu-kayu di kapalkan menuju Surabaya, atau hanya beredar di pembeli lokal. “Jadi dalam hutan ramai. Ada banyak orang yang melakukan aktifitas illegal itu,” katanya.

“Soal sekarang, jika aparat mau hentikan pencurian kayu itu, saya kira mudah sekali. Lakukan lacak bala, liat potongan kayu dan liat dimana tegakan, apakah itu dalam kawasan hutan negara atau hutan milik. Agak repot, tapi kalau mau pasti bisa.”

Berhimpun dalam Koperasi

Akhir 2003, di Kantor Kecamatan Laeya, ada pertemuan Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Untuk Hutan (Jauh). Puluhan masyarakat hadir, termasuk Warma. “Saya dengar, ada usaha buat kelompok dan melestarikan alam. Awalnya saya ragu, tapi ikut-ikut saja,” katanya. “Waktu pertemuan itu, saya masih ada pekerja yang cari kayu dalam hutan. Jadi dengar-dengar dan pura-pura ngerti misaja.”

Ternyata, pertemuan itu cukup membekas di benak Warma. Alam, pohon, gunung, air dan semua isi harus lestari untuk menunjang kehidupan generasi mendatang. Dia memikirkan anak-anaknya, melihat pembukaan lahan dan perambahan hutan. Hati bergetar. Pelahan, pada 2004,  dia setop illegal logging.

Di Konawe Selatan, pada 1972 beroperasi PT Kapas. Dalam perbincangan masyarakat perusahaan ini milik koloni Soeharto dan saham asing. Perusahaan ini, membudidayakan kapas  di lahan 3000 hektar.

Di tengah lahan, ada landasan pacu pesawat yang hingga sekarang masih terlihat. Perusahaan ini beroperasi hingga 2000. Konsesi sampai 2019.

Muslimin, bekas karyawan di Kapas mengatakan, masa awal Kapas berdiri, masyarakat mendapat dampak baik. Kehidupan meningkat, jalan penghubung menuju Kendari dibangun. Namun, permintaan  kapas tinggi membuat pembukaan lahan ke hutan marak.  Luasan tanaman plasma masyarakat luas. “Boleh dikata, seluruh Sulawesi Tenggara-lah.”

Ketika, Kapas, hengkang, lahan-lahan menjadi terbengkalai. Masyarakat yang menggantungkan hidup dari penjualan kapas kehilangan sumber pendapatan. “Jadi saya kira ada andil juga keterdesakan masyarakat berpikir pragmatis masuk hutan berburu kayu,” kata Muslimin.

Akhirnya, dengan pendampingan JAUH, perlahan-lahan masyarakat mengerti penting menjaga alam. “Kampanye kami bukan sekadar mengatakan stop illegal logging. Stop illegal logging dan mari menjadikan legal dan sah,” kata Abdul Halik, anggota JAUH.

Hasilnya, melalui kesepakatan bersama, pada Maret 2004 dibentuklah Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL). Tahap awal anggota 54 orang. Mereka dibekali pengetahuan merawat dan mengembangkan jati putih di lahan sendiri. Dari mulai jarak tanam, pemilihan pohon untuk ditebang, hingga penomoran – atau sistem lacak bala.

Pada 2005,  KHJL mendapatkan sertifikat ekolabel internasional Forest Stewardship Council (FSC) –lembaga sertifikasi independen bermarkas di Jerman. Sertifikat ini semacam acuan dan dokumen resmi masyarakat yang menyatakan hasil kayu legal, bukan perambahan dalam hutan. “Saya kira kamilah satu-satunya di Indonesia dan Asia Tenggara tahun itu mendapatkan sertifikat FSC,” kata Halik.

KHJL juga mengantongi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari Pemerintah Indonesia. Praktik produksi kayu baik ini, akhirnya menempatkan KHJL sebagai koperasi pertama di Indonesia yang mengelola hasil hutan dengan ramah lingkungan. Salah satu bukti, KHJL 2009 mendapatkan penghargaan Conde Nast Traveller AwardKategori Lingkungan di New York. Social Entrepreneurship Award dari Scoll and Schwab Foundation pada 2011 di London, Inggris.

Bagaimana koperasi menjalankan praktik lestari? Warma Sahmedi,  kini Wakil Ketua KHJL  mengatakan, meskipun amanat FSC cukup ribet dan ketat, anggota koperasi melaksanakan dengan baik.

FSC, bukan hanya mengenai dokumen legalitas kayu utama, melainkan proses lacak bala, verifikasi lapangan saat penebangan, pemilihan kayu tepat, hingga perlakuan untuk satwa. “Jika ingin menebang pohon, tapi di salah satu tangkai ada sarang burung  yang sedang bertelur atau sudah jadi anakan, pohon itu tak boleh ditebang. Ditunggu sampai burung meninggalkan sarang.”

FSC berlaku lima tahunan dan setiap tahun audit. Untuk pembaharuan setifikat perlu anggaran sampai Rp200 juta. “Jadi ada beberapa teman dalam kelompok bilang, koperasi ini cari uang hanya untuk membiayai sertifikat dan biaya audit,” kata Ketua KHJL, Haris SP.

Namun,  keuntungan dengan mendapatkan sertifikat FSC, kayu koperasi sesuai standar internasional yang diperlukan negara pengimpor kayu, baik untuk furnitur ataupun bahan bangunan. Bahkan, dengan FSC harga kayu makin baik.

Hingga 2011, harga kayu jati putih (Gmelina arborea) mencapai Rp4.000.000 per m3. Ukuran puncak 13-14 sentimeter Rp1.750.000, 15-19 sentimeter Rp2.500.000,  dan 20 sentimeter lebih Rp2.750.000 per m3.

Selain harga kayu tren meningkat, kini anggota KHJL 747 orang dengan lahan 754 hektar. Dalam perhitungan koperasi, setiap hektar lahan ditanami jati Putih 1.200-2.000 pohon usia panen antara 20-25 tahun.

Pertimbangan usia panen itu, didasarkan ukuran diameter pohon  minimal 30 sentimeter. Untuk perawatan praktis hanya perlakuan khusus di tiga tahun pertama. Selama masa itu, masyarakat juga menanami tanaman tumpang sari di antara pohon, seperti jagung, padi, bahkan jahe.

Keberhasilan pengelolaan kayu ini, KHJL dipercaya pemerintah atas nama Menteri Kehutanan pada 2009, untuk  mengelola hutan tanaman rakyat (HTR) seluas 4.639,95 hektar.

Saat ini, KHJL telah menanam 20 hektar sebagai demplot pembelajaran masyarakat. Di demplot itu, ditanam berbagai jenis kayu, seperti jati putih, jati lokal, biti, jabon, sengon, dan lain-lain.

Anggota KHJL, Abdul Majid Siong, mengajak saya melihat tanaman-tanaman ini. Dia menunjukkan, jati putih yang kambiun batang terkelupas. “Ini rusak, dimakan sapi. Jadi hama satu-satunya boleh dibilang hanya sapi.” Dia juga memperlihatkan bagaimana memangkas tangkai pohon yang mengganggu.

Industri pengolahan

Pada 2007, KHJL membangun industri pegolahan kayu bernama PT Konsel Jaya Lestari (KJL). Industri ini berdiri di Desa Lambakara, Kecamatan Laeya, Konawe Selatan.

KJL, memproduksi kayu balok kecil, ukuran luas antara 4-6,5 sentimeter Rp2.000.000, ukuran 9-13 sentimeter Rp4.000.000 per m3.

Masa awal, produksi kayu diekspor ke Jawa dan Eropa. Dengan penerapan SVLK, beberapa pembeli mulai melupakan hasil hutan KHJL. “Di Jawa tentu ada banyak kayu memiliki SVLK, kalau ke Kendari lagi, biaya transportasi mahal,” kata Sultana, Direktur KJL.

Kondisi ini mulai 2010, berimbas pada produksi KJL. “Jika awal berdiri, ada empat mesin berfungsi, kini hanya satu.”

Rendahnya permintaan kayu,  bukan berarti KHJL ataupun KJL patah semangat. Produksi dan penanaman kayu tetap berjalan. “Dulu ada istilah, tebang satu tanam 10. Sekarang tebang satu tanam satu hektar,” kata Sultana, berkelakar. “Kami yakin, industri kayu akan berjalan baik. Bahan baku kayu selalu dibutuhkan. Produksi kayu kami, benar-benar bersih dan legal.”

Prinsip legal hasil kayu dari KHJL ini bukanlah hisapan jempol. Pada 2013, dalam perjumpaan dengan perusahaan kayu dari luar Sulawesi Tenggara, Warma menemukan cerita memilukan. “Jadi mereka membeli kayu KHJL satu kontainer. Kayu ini dicampur kayu lain, jadi 50 kontainer, berhasil diselundupkan keluar Indonesia.” “Jadi kayu kami digunakan mempercepat proses legalisasi. Miris.”

Sumber : klik di sini

Share Button

Kementerian LHK Dukung Percepatan Pembangunan Infrastruktur Energi di Kalimantan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya hadir dalam rapat koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia (BI) , Selasa (11/08) di Hotel Gran Senyiur Balikpapan. Rapat koordinasi ini diselenggarakan untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur energi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Acara yang dipimpin oleh Gubernur BI Agus Martowardojo tersebut turut dihadiri oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Dirut PLN Sofyan Basir, Ketua UPK Kementerian ESDM, Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas serta Gubernur maupun Bupati/Walikota sekalimantan.
Indonesia perlu memperkuat industrialisasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam menghadapi dampak perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi tidak lagi dapat mengandalkan ekspor komoditas primer, seiring dengan permintaan dunia yang terus menurun dan disertai dengan harga komoditas yang cenderung melemah. Hal ini tercermin pada pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah yang mengandalkan komoditas sumberdaya alam mengalami pertumbuhan negatif dalam beberapa periode terakhir. Untuk itu strategi industrialisasi dilakukan dengan berbasis pada sumberdaya alam yang tersedia di masing-masing daerah dengan cara hilirisasi dan pengembangan kedaulatan energi.
Di bidang tata ruang serta penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan, Kementerian LHK memberikan prioritas kepada proyek-proyek pembangunan infrastruktur. Beberapa capaian adalah telah selesainya perubahan kawasan hutan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW) di Kalimantan. Selain itu, untuk mendukung percepatan pembangunan listrik 35.000 MW, Kementerian LHK telah memproses berbagai perizinan yang menjadi kewenangannya, termasuk berbagai persetujuan prinsip kepada PT. PLN.
Terkait kawasan hutan, berdasarkan arahan Presiden RI, pada seluruh fungsi hutan (mulai dari cagar alam, hutan lindung hingga hutan produksi) dapat dimanfaatkan untuk infrastruktur energi. Namun demikian, hal ini tetap membutuhkan dukungan pemerintah daerah untuk mempercepat proses penetapan peraturan daerah tentang RTRW.
Pertemuan koordinasi di Balikpapan ini merupakan momentum yang penting bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memperkuat koordinasi agar proses industrialisasi dalam rangka transformasi perekonomian dapat berlangsung lebih cepat dan efektif.
Sumber : klik di sini
Share Button

Kebakaran, Hutan Konservasi Anggrek Terancam Tinggal Kenangan

Hutan rawa Pematang Damar, yang sedang proses penetapan sebagai kawasan konservasi anggrek alam ini terancam tinggal kenangan. Pasalnya, ekosistem anggrek alam di Kecamatan Maro Sebo, Muaro Jambi, ini hangus terbakar hingga 75%. Areal terbakar mencapai 200 hektar dari 240 hektar yang melingkupi empat desa, yakni, Jambi Tulo, Mudung Darat, Jambi Kecil dan Bakung. Api juga melalap persawahan tua yang mengelilingi hutan. Tanpa tindakan pemadaman memadai, seluruh kawasan itu terancam habis.

“Kami meminta aparat hukum mengusut pelaku pembakaran hutan ini,” kata Adi Ismanto, Ketua Gerakan Muarojambi Bersakat (GMB).

Hutan Pematang Damar, satu-satunya “kerajaan” bagi anggrek alam. Ratusan jenis anggrek tumbuh subur menempel di batang-batang pohon. Bahkan satu pohon bisa hidup beberapa rumpun anggrek dari bermacam-macam spesies. Salah satu anggrek sangat istimewa di Muaro Jambi yakni anggrek macan (Grammatophylum specosum). Anggrek ini jenis langka dan dilindungi.

Hutan Pematang Damar mulai terbakar sejak Juli, dan terjadi dua kali. Praktik pembakaran diduga kuat karena pembukaan areal oleh perkebunan swasta. Api terlihat pada sejumlah titik, diduga sengaja dibakar, ditandai pohon-pohon sengaja ditumbangkan sebelum kebakaran. Ditambah banyak batang kayu mengering hingga api cepat meluas.

Di lokasi, masyarakat mendapat alat berat perusahaan membuka kanal di sekitar dan dalam hutan. Hasil citra satelit menunjukkan, kanal dan akses jalan sepanjang tiga kilometer membelah kawasan itu. Lebar jalan hingga delapan meter.

GMB, kelompok pelestari Hutan Pematang Damar ini, mengatakan, walaupun hutan Pematang Damar dialokasikan Pemerintah Muaro Jambi menjadi hutan konservasi anggrek alam, namun ancaman alih fungsi masih tinggi. Sebab, lahan 240 hektar berpotensi tinggi jual beli lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan. Tapal batas keempat desa masih tumpang tindih

“Bila hutan Pematang Damar habis terbakar, potensi nilai-nilai konservasi ikut hilang. Ini akan lebih mudah dialihfungsikan dan diperjualbelikan.”

Senjaga dibakar?

Setelah hampir sebulan ini, belum ada pemadaman dari pemerintah. “Kami hanya dibantu anggota TNI Resimen Garuda Putih 042 padamkan manual dengan ember dan air di gambut.”

 

Adi menyebutkan, dugaan kesengajaan dibakar menguat, dan berharap polisi bisa mengusut kasus ini. “Yang paling diuntungkan kebakaran ini tentu oknum penjual lahan dan perusahaan. Kapolda Jambi Brigjen Lufti beberapa waktu lalu sudah mengatakan ada unsur kesengajaan dalam kebakaran di Hutan Pematang Damar. Sekarang tinggal komitmen menyelidiki.”

Tanpa langkah pengamanan seperti patroli di daerah rawan kebakaran, hutan rawa ini bakal hancur. GMB juga mendesak, Tim Terpadu Pemkab Muaro Jambi segera mengajukan surat izin kepada pemerintah pusat soal penetapan hutan Pematang Damar sebagai hutan sosial berbasis masyarakat.

Pembentukan lembaga pengelola bisa mulai dibentuk agar pengamanan berjalan. Hutan ini, katanya, layak dipertahankan,  bukan hanya habitat anggrek alam dan  keragaman hayati juga menjaga ketersediaan air bagi desa-desa penyangga.

Dia mengatakan, fungsi hutan sebagai daerah resapan air terancam hilang seiring pembuatan kanal oleh sejumlah perusahaan.“Pemkab Muaro Jambi harus ketat mengeluarkan izin. Untuk sawit, karet atau palawija, itu jelas tidak sesuai karena memerlukan tanah kering. Lebih cocok jika untuk persawahan atau kebun tanaman pohon kayu keras khas rawa karena sesuai ekosistem hutan.”

KLHK Segel

Kemarin, tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bersama tim penegak hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel hutan Pematang Damar .KLHK, polisi dan TNI melakukan penyelidikan indikasi kawasan sengaja dibakar. Selain Pematang Damar, penyegelan juga dilakukan di Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi.

Sumber :klik di sini

Share Button

Mencari Jejak Kehadiran Bekantan Di Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat

Tanjung Isuy, 12 Agustus 2015. Bekantan (Nasalis larvatus) adalah  jenis primata yang tergolong langka. Bekantan merupakan salah satu species dalam family cercopithecidae, sub family Colobinae. Bekantan merupakan salah satu satwa endemik borneo yang dilindungi. Penyebaran bekantan secara alami hanya terbatas di pulau Borneo dan pulau kecil di sekitarnya. Secara Nasional bekantan dilindungi berdasarkan peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1999 selain itu bekantan juga termasuk dalam Apendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan sejak tahun 2000 masuk dalam kategori endangered species berdasarkan Red Book IUCN (Internasional Union for Conservationof Natureand Natural Resources). Bekantan adalah jenis satwa unik yang termasuk dalam sexually dimorphic yaitu memiliki perbedaan yang jelas antara jantan dan betina, perbedaan tersebut meliputi segi ukuran maupun morfologinya.

Dalam rangka menghimpun data keberadaan populasi bekantan yang ada di Kalimantan, telah mendorong Tim Penelitian dari Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA) Samboja untuk melakukan survey di Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Survey ini bertujuan untuk memastikan kondisi terkini keberadaan bekantan.  Keberadaan bekantan ini pernah dilaporkan oleh Erik Meijaard dan Vincent Nijman melalui makalahnya pada Jurnal Biological Conservation yang terbit tahun 2000.

Berdasarkan pustaka lokasi populasi bekantan di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat berada di sekitar Danau Jempang dan beberapa sungai disekitarnya seperti sungai kedang pahu dan sungai ohong.

“Laporan dan informasi terkait keberadaan bekantan di Kabupaten Kutai Barat masih sangat terbatas, sehingga pada survey ini akan lebih difokuskan pada penyebaran populasi, kondisi habitatnya, dan juga akan dikoleksi materi DNA yang ada pada kotoran bekantan” ungkap Tri Atmoko, ketua tim peneliti bekantan Balitek KSDA.

IMG_3637Survey pendahuluan ini dilakukan oleh 1 tim selama 8 hari, terhitung dari tanggal 10 – 17 Agustus 2015. Tim melakukan observasi langsung pada lokasi-lokasi yang didapat dari literatur dan juga informasi masyarakat sekitar yang pernah melihat keberaadan bekantan dan menjadi habitat utamanya.

Gurdi, salah seorang warga suku Dayak benuaq yang tinggal di Desa Perigiq, Kecamatan Jempang, mengungkapkan saat dia menangkap ikan di daerah aliran sungai Ohong biasanya dia menjumpai sekitar 10 kelompok bekantan yang setiap kelompoknya berjumlah 30-50 ekor.

Dari hasil survey sementara hari pertama, Tim peneliti menemukan 4 titik perjumpaan langsung dengan kelompok bekantan dengan jumlah berkisar antara 10-25 ekor pada setiap kelompoknya.  Selain itu dijumpai 2 titik yang ditemukan feses (kotoran) bekantan di bawah pohon tidurnya. Pada umumnya bekantan di DAS Ohong menggunakan pohon dari jenis Rengas (Gluta rengas) sebagai pohon tidurnya. Pada hari berikutnya akan dilakukan penelusuran di daerah hilir Sungai Ohong dan pengambilan data terkait kondis habitat.

Kedepannya, kegiatan ini diharapkan menjadi titik tolak pelestarian bekantan di Kabupaten Kutai Barat dan Kalimantan pada umumnya, demi keberlangsungan populasi bekantan. (DAP)

Share Button