Konservasi Alam Itu Bukan “Membuang” Masyarakat, tetapi Libatkan Mereka

Ratusan rimbawan di seluruh Indonesia sejak Jumat (7/8/15) hingga Senin (10/8/15), berkumpul di wilayah paling barat Pulau Jawa, yakni di Taman Nasional Ujung Kulon. Mereka memperingati Hari Konservasi Alam Nasional.

Kegiatan dihadiri Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ini membahas berbagai hal, mulai soal kebakaran hutan hingga perburuan satwa dan pencemaran lingkungan akibat limbah plastik. Tak ketinggalan diskusi soal konservasi.

Siti Nurbaya mengatakan, kondisi hutan di Indonesia memprihatinkan akibat alih fungsi, penebangan sampai kebakaran. Padahal, katanya, Indonesia, memiliki keragaman hayati kaya, 17% flora fauna dunia ada di sini.  Untuk itu, konservasi memegang peranan penting dalam menjaga keragaman hayati ini. “Mengelola hutan harus bijaksana.” Kerusakan hutan lindung, mangrove, perlu menjadi perhatian.

Dalam menjalankan konservasi, katanya,  harus memperhatikan kesejahteraan dan keadilan. “Harus ada introspeksi kita semua, bagaimana melaksanakan dan menjalankan konservasi yang sebenarnya,” katanya. Siti merujuk banyak terjadi di Indonesia, kala wilayah konservasi atau kawasan hutan,  masyarakat kesulitan mendapatkan akses. “Ini harus dilakukan dengan baik.”

Konservasi, sebenarnya tak hanya tanggung jawab KLHK, tetapi kementerian lain terkait termasuk masyarakat.

“Menjaga kekayaan dan sumberdaya alam genetik, sekaligus menjaga komitmen internasional yang didorong IUCN, sangat penting. Diharapkan dukungan semua pihak melalui kampanye. Kekayaan dan milik bersama untuk keseimbangan dan kemajuan bersama.”

Dia juga membahas bagaimana meningkatkan populasi satwa langka dan terancam di sejumlah kawasan taman nasional dan hutan lindung. Dia menargetkan, dalam lima tahun, diharapkan bisa menjaga karagaman hayati, dan mengembalikan populasi (peningkatan 10% ) 25 spesies terancam, seperti badak, gajah, orangutan, harimau dan lain-lain. Caranya, kata Siti, dengan memperbanyak kelompok penangkar yang konsen dan fokus pengembangbiakan.

 

“Harus ada peningkatan populasi oleh penangkar untuk mencapai target ini. Semua pihak mulai pengusaha hingga pendamping komunitas peningkatan konservasi harus mendukung ini.”

Taman nasional bermanfaat bagi warga  

Dia juga menyinggung keterlibatan pemerintah daerah, yang mempersiapkan taman nasional agar bermanfaat ekonomi bagi rakyat, salah satu melalui konsep ekowisata yang tidak merusak hutan. Untuk mendukung itu, jajaran KLHK harus reorientasi perencanaan. Konsepnya, membangun Indonesia dari wilayah pinggiran untuk mencapai kesejehteraan bangsa.

“Jaga ekosistem, jaga sumberdaya genetik agar tidak hilang. Taman nasional harus memberikan nilai ekonomi bagi warga. Itu pesan Presiden,” katanya.

Soal peningkatan ekonomi lingkungan, katanya, jika 1980-1990,  masih bersandar pada kayu, sekarang sudah tidak bisa lagi. Taman Nasional Ujung Kulon, TN Gunung Leuser, dan sejumlah taman nasional lain di Indonesia yang memiliki keindahan luar biasa, harus dimanfaatkan dan bernilai ekonomi tinggi bagi masyarakat sekitar. Hal ini, katanya, sudah dilakukan di Tangkahan, Langkat. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), menggunakan konsep peningkatan ekonomi masyarakat melalui ekowisata. Peluang ini,  harus terus dikembangkan karena sukses di sejumlah taman nasional.

Siti juga mengingatkan soal limbah plastik termasuk yang dibuang di taman nasional dan hutan lindung. Dia sudah meminta kepada pemerintah daerah mulai bupati hingga gubernur agar memberikan peringatan kepada supermarket dan hotel  mengurangi steoroform dan plastik. “Ini agar menekan limbah, termasuk  di kawasan hutan yang dibawa pengunjung.”

Kebakaran hutan

Dia juga menyinggung kebakaran hutan di sejumlah daerah. Pada Sabtu (8/8/15), ada tiga pesawat water bombing di Riau, dan Sumatera Selatan. Masing-masing satu pesawat modifikasi cuaca juga disiagakan. Khusus Riau, sudah hujan, karena ditabur 80 ton garam menggunakan pesawat.

Di Jambi, ditabur 30 ton garam, Kalimantan Barat akan dimulai pesawat modifikasi cuaca pada Selasa (11/8/15),. Kalimantan Tengah pekan kemarin darurat.

Jadi, katanya, daerah-daerah rawan seperti Riau, Sumsel, Jambi, Kalteng, Kalbar, terus dikontrol KLHK. “Setiap hari selalu ada laporan lalu diambil langkah-langkah penanggulangan.”

Menurut dia, September 2015, Lampung, Jawa, NTB, NTT dan Sulsel harus waspada dan menjadi fokus perhatian soal kebakaran hutan.

“Saya sudah dapatkan menu baru menggunakan bahan kimia Polly Sacarida, yang akan digunakan mematikan api sebagai alternatif jika air tidak ada sama sekali.”

Perkuat perangkat dan penegakan hukum

Sementara itu, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) meminta, pemerintah memperkuat perangkat dan penegakan hukum terkait konservasi sumner daya alam.

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif ICEL mengatakan, saat ini keragaman hayati Indonesia kritis hingga mempengaruhi kehidupan ekosistem. Setidaknya, ada dua faktor utama penyebab kehancuran keragaman hayati Indonesia. Pertama, tekanan habitat melalui izin massif terkait lahan dan hutan. Kedua, kejahatan tanaman dan satwa liar tinggi melalui perdagangan dan perburuan ilegal.

Henri mengingatkan bahwa, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah preventif maupun kuratif mengatasi ini. Berbagai ketentuan mengenai izin usaha terkait lahan dan hutan, katanya,  harus diperkuat. “Khusus aspek perlindungan keragaman hayati dan lingkungan hidup,” katanya dalam rilis kepada media.

Menurut dia, paradigma perlindungan keragaman hayati yang lebih menekankan tanggungjawab negara harus digeser, terutama,  kepada pelaku usaha. “Pelaku usahalah yang banyak menguasai lahan dan hutan melalui berbagai izin yang diberikan pemerintah.”

Dia juga meminta, tim evaluasi perizinan besutan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menerjemahkan kondisi ini sekaligus me-review izin-izin yang masih berlaku untuk dikaji terhadap kewajiban perlindungan keragaman hayati.

Tim evaluasi, kata Henri,  harus mampu melihat akar persoalan lebih dalam, bukan hanya tuntutan pelaku usaha untuk mempermudah perizinan. “Hakekatnya izin untuk mempermudah pengawasan dan pedoman para pelaku usaha menjalankan kewajiban hukum melindungi lingkungan hidup dan keragaman hayati.”

Selain soal peraturan, katanya, penegakan hukum terhadap kejahatan tanaman dan satwa liar harus diperkuat karena selama ini belum memberikan efek jera. “Lemahnya penegakan hukum diindikasikan lemahnya pengungkapan kasus-kasus kejahatan yang belum menyentuh pelaku utama kejahatan. Tuntutan dan vonis juga minim bagi pelaku.”

Data ICEL sejak 2011, memperlihatkan, rata-rata penegak hukum hanya menuntut dan memvonis pelaku kejahatan di bawah satu tahun. “Ini sangat timpang sekali dibandingkan keuntungan sindikat yang menduduki peringkat kedua setelah kejahatan narkoba.”  Itupun, katanya, belum dihitung kerugian negara atas keragaman hayati hilang yang.

Untuk itu, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan perlu mendapatkan penyadaran tentang ini. Padahal, katanya, PBB telah menyetarakan kejahatan tanaman dan satwa liar dengan kejahatan narkoba dan perdagangan manusia.

Raynaldo G. Sembiring, peneliti ICEL mengatakan, pembaruan hukum terkait perlindungan keragaman hayati di Indonesia, lambat. Pemerintah dan DPR, katanya,  perlu segera mengagendakan pembahasan revisi UU 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. UU ini, dianggap usang justru luput dari pencermatan program legislasi nasional.

Sumber : klik di sini

Share Button