Menteri Siti Khawatirkan Nasib Taman Nasional Tesso Nilo

Abdul Keman baru saja selesai memanen sawit di kebun miliknya. Wajahnya masih memerah dan berkeringat terkena terik matahari. Nafasnya juga masih panjang-panjang siang itu.

“Ini baru selesai manen. Saya punya enam hektare kebun sawit. Sebulan panen dua kali. Tepatnya lima belas hari sekali. Total dalam sebulan, saya bisa memanen sawit sekitar dua puluh empat ton,” kata Abdul Keman setiba di rumahnya saat ditemui CNN Indonesia pekan lalu.

Keman, sapaan akrabnya, merupakan warga Dusun Toro Jaya, Kabupaten Pelalawan, Riau. Dusun Toro Jaya ini, masuk wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Pemerintah melarang kawasan TNTN dijadikan permukiman warga. Ini berdasarkan surat keputusan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan pada 15 Oktober 2009.

Dalam surat keputusan itu, pemerintah memperluas kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, dari 38.576 hektare menjadi 83.068 hektare.

Keman dan warga sekitar Toro Jaya merasa terganggu dengan keputusan itu. Sebab, dengan keputusan yang ditandatangi oleh Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan, tempat tinggal Keman menjadi ilegal karena masuk kawasan TNTN.

Keman berdalih, sudah ada di Dusun Toro Jaya terlebih dahulu sebelum adanya keputusan Menteri Kehutanan pada 2009 soal perluasan TNTN. “Saya di sini dari tahun 2004,” ujar Keman yang juga merupakan ketua RW Dusun Toro Jaya.

Selain Dusun  Toro Jaya, Dusun Kuala Onangan, Toro Makmur, dan Mandiri Indah juga masuk dalam kawasan TNTN. Selain beberapa dusun tadi, masih ada lagi dusun yang belum terdata yang berada di dalam kawasan Tesso Nilo.

Diperkirakan, lebih dari empat ribu kepala keluarga menetap dan membuka kebun kelapa sawit di dalam kawasan TNTN saat ini.

Janji Menteri

Sabtu (15/7), Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya masih disibukan dengan tugas negara. Apalagi, dua hari menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia ke-70. Berbagai undangan untuk menghadiri acara kenegaraan sekaligus menyambut tamu dari negara lain dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI sudah terjadwal.

Senyumnya semringah ketika CNN Indonesia akan mewawancarainya soal Taman Nasional Tesso Nilo. Tapi raut wajah Siti mendadak berubah saat dihadapkan dengan pertanyaan mengapa ada ribuan warga tinggal dan menetap di dalam Taman Nasional Tesso Nilo?

Siti menghela napas panjang sebelum menjawab. Dia menuturkan bahwa Taman Nasional Tesso Nilo yang diperluas pada 2009 itu adalah bekas hutan HPH atau Hak Pengusahaan Hutan dengan akses jalan masuknya banyak. Sebelum dijadikan taman nasional memang sudah ada masyarakat menetap di dalamnya.

Jika melihat petanya, TNTN ini dikelilingi oleh perkebunan-perkebunan dan Hutan Taman Industri (HTI) aktif. Jadi memang aksesnya sangat terbuka. Selanjutnya Siti mengatakan, seharusnya taman nasional tak boleh ada orang, kecuali yang sudah disepakati bekerja sama.

Tapi yang diinginkan Siti tak sejalan dengan kenyataan. Di TNTN kini sudah ada puluhan ribu warga. Mereka sudah membuat tatanan masyarakat. Ada rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), ada kepala dusun, serta ada fasilitas umum seperti sekolah dan pusat pelayanan kesehatan.

Walau sudah membentuk tatanan masyarakat, mereka yang menetap di dalam kawasan TNTN tetap saja dianggap ilegal. Sebagai menteri yang memiliki wewenang penuh terhadap kelanjutan Taman Nasional, Siti berjanji akan menyelesaikan persoalan ini.

“Pemerintah sedang memikirkan, konsepnya bukan orangnya yang dibuang. Tetapi, ada kemungkinan kami menerapkan pola yang kami sebut perhutanan sosial. Ini membuat masyarakat yang ada di situ bisa mendapat kesejahteraan tetapi fungsi lindungnya tak boleh terganggu juga,” kata Siti.

Dampak Perambahan

Banyaknya warga yang menetap di dalam Taman Nasional Tesso Nilo membuat kawasan ini terancam keberlangsungannya sebagai taman nasional. Sebagian besar warga yang tinggal di dalam kawasan TNTN mengganti hutan alam menjadi kebun sawit.

Warga rata-rata memiliki sedikitnya dua hektare kebun sawit. Warga yang rata-rata datang dari Pulau Jawa dan Sumatera Utara itu merasa legal mengelola kebun di dalam Taman Nasional. Hal itu berkat Surat Keterangan Pancangan Hutan Tanah Ulayat yang dikeluarkan oleh pemangku adat setempat.

Membuka sawit di dalam taman nasional identik dengan perambahan. Perambahan ini mengakibatkan deforestasi atau penggundulan hutan besar-besaran.

Dampaknya, lebih dari 60 ribu hektare hutan alam di kawasan Tesso Nilo rusak dan berganti menjadi kebun sawit raksasa. Data dari World  Wildlife Fund for Nature (WWF) Riau mencatat sejak 2004 hingga 2015 sudah ada 74 gajah mati di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo.

“Sebagian besar mati karena diracun serta habitatnya terpojok,” ujar Suhandri, Kepala Regional WWF Sumatera kepada CNN Indonesia.

Rusaknya hutan Tesso juga membuat warga sekitar wilayah kawasan taman nasional meradang. Jumedi Putera misalnya, warga Desa Gunung Melintang. Jumedi, yang desanya terletak hanya sekitar satu kilometer dari kawasan Tesso Nilo mengatakan bahwa dulunya ia masih bisa memenuhi kebutuhan keluarga dari hutan. Semenjak hutan Tesso Nilo rusak, dia dan keluarganya kehilangan mata pencarian.

“Dulu cari ikan di dalam hutan gampang sekali. Cari burung juga gampang. Sekarang susah sekali, udara juga semakin panas dan sungai mengering,” kata Jumedi.

Ada juga kegelisahan lain yang dialami tetangga Jumedi. “Kami ini warga asli enggak berani masuk. Tapi orang luar masuk merambah enggak ada petugas bertindak. Kami juga mau masuk kalau memang pemerintah enggak lagi urus taman nasional,” kata Jaberudin, tetangga dekat Jumedi.

Sawit Tesso Nilo untuk Perusahaan

Seusai wawancara dengan CNN Indonesia, Siti Nurbaya tampak gelisah. “Saya khawatir warga di dalam Tesso Nilo itu dimanfaatkan oleh pihak perusahaan karena perusahaan tak bisa masuk kawasan Taman Nasional,” kata Siti.

Kekhawatiran Siti bukannya tanpa alasan. Sebab WWF Indonesia pada 2013 berhasil mengungkap bahwa sawit ilegal dari dalam kawasan TNTN diterima oleh perusahaan yang ada di sekitar Taman Nasional.

Dalam catatan WWF, ada dua perusahaan besar menerima sawit dari dalam Tesso Nilo. Adanya perusahaan penerima sawit dari dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo inilah yang disinyalir membuat praktik perambahan hutan di area kawasan TNTN terus berlanjut hingga saat ini.

Sumber : klik di sini

Share Button

Tiga Kementerian dan KPK Bahas Kerugian Negara Soal Lahan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan dalam koordinasi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi membahas mengenai kerugian negara terkait masalah penguasaan tanah di kawasan hutan. Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dan Kementerian Dalam Negeri berkoordinasi bersama KPK mengenai tata cara penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan.

“Itu (kerugian negara) disinggung sedikit. Tapi sekarang orientasinya untuk mencegah,” ujar Siti di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/8). Siti enggan untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai potensi kerugian negara akibat kuasa tanah pihak ketiga yang berada di kawasan hutan. Ia menekankan, dilibatkannya KPK untuk mencegah terjadinya konflik saat pengimplementasian aturan penataan kawasan pemukiman dan kehutanan nanti.  Koordinasi ini, menurut Siti, dilakukan karena masyarakat menunggu akan hak-haknya menyangkut kehidupannya di tempat mereka tinggal. Diketahui, ada begitu banyak masyarakat yang tinggal di kawasan atau hutan lindung.

Hal serupa dikatakan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan. Ia mengatakan koordinasi ini untuk memproteksi sumber daya alam, termasuk masyarakat yang tinggal di kawasan atau hutan lindung yang ada di Indonesia. “Kalau sudah 10 tahun berturut-turut tinggal, kawasan itu diakui sebagai kawasan komunal. Bukan kepemilikannya. Kami proteksi sebagai ruang hidup mereka,” ujar Ferry.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan koordinasi ini akan terus dilakukan bersama KPK. Bahkan, bekas Sekretaris Jenderal PDIP itu mengatakan akan segera dibentuk juru teknis antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Pembentukan Juknis ini untuk mempercepat proses penataan hal tersebut. “Untuk menghindari dampak yang semakin meluas dan kerugian negara yang cukup besar,” tutur Tjahjo. Kendati demikian, Tjahjo enggan untuk mengungkapkan daerah-daerah mana saja yang telah dipetakan dan akan ditata.

Sumber : klik di sini

Share Button

Kementerian LHK Akui Kawasan Adat sebagai Hutan Hak

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menerbitkan peraturan baru yang mengakui kawasan hutan adat sebagai hutan hak. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Hadi Daryanto.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015, menurut Hadi baru diterbitkan sekitar sebulan yang lalu. Pada intinya, peraturan tersebut membagi hutan ke dalam dua kategori, yakni hutan negara dan hutan hak.

“Hutan hak ini nantinya bisa jadi untuk badan seperti BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau masyarakat adat,” ujar Hadi saat ditemui di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lebak, Banten, Kamis (14/8). Untuk itu, kata Hadi, masyarakat adat perlu diakui terlebih dahulu melalui peraturan daerah. Setelah diakui dan dipetakan wilayahnya, maka akan terlihat apakah kawasan tersebut beririsan atau bertumpangan dengan kawasan hutan negara. Jika demikian, maka kawasan hutan adat yang telah diakui itu akan diserahkan kembali kepada masyarakat adat. Artinya, kawasan tersebut tidak lagi termasuk dalam kawasan hutan negara. “Dulu kan orang mengira kawasan hutan adat ini adalah hutan negara. Padahal bukan hutan negara, setelah ada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 35,” ujarnya.

Sebelumnya, Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 memperbaiki beberapa aspek dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada Undang-Undang itu disebutkan hutan kawasan hutan adat adalah bagian dari hutan negara. Setelah dikoreksi, kata ‘negara’ dari frasa ‘hutan negara’ pada pasal 1 angka 6 dihapuskan sehingga berbunyi: “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”

Kementerian Kehutanan pada saat itu menyatakan akan mengikuti putusan tersebut. Sebagai respons, diterbitkanlah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2013. Namun, dalam peraturan itu, disebutkan pada pasal 24A ayat (3), “dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan.” Peraturan tersebut dinilai Manajer bidang Hukum dan Masyarakat Epistema Institute Yance Arizona belum mencerminkan putusan MK yang menyatakan kawasan hutan adat sepenuhnya berbeda dengan kawasan hutan negara. “Itu menunjukkan bahwa Kementerian Kehutanan masih beranggapan bahwa kasawan hutan sama dengan hutan negara,” kata Yance. Yance juga mengatakan, putusan MK penting untuk meningkatkan kesadaran pemerintah-pemerintah daerah untuk mengakui masyarakat adat di wilayahnya masing-masing. “Ini proses memajukan kesejahteraan juga. Prosesnya lewat legal,” ujarnya.

Salah satu proses legal menuju pengakuan masyarakat adat adalah melalui peraturan daerah. Meski MK sudah memutuskan demikian, belum banyak daerah yang menerbitkan peraturan daerah untuk mengakui masyarakat adat di wilayahnya. Sementara itu, DPRD Lebak saat ini sedang menggarap rancangan peraturan daerah untuk mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan. Peraturan daerah tersebut ditargetkan selesai tahun ini, mengembalikan hak masyarakat adat yang tempat tinggalnya tumpang tindih dengan kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun.

Sumber : klik di sini

Share Button

Di Seluruh Asia, Pertumbuhan Ekonomi yang Pesat Ancam Keragaman Hayati

Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia dalam beberapa dekade terakhir telah mengeluarkan jutaan orang dari kemiskinan, namun berakibat buruk bagi keragaman hayati di wilayah ini.

Sebuah pertemuan Serikat Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) di Bangkok memperingatkan bahwa kecuali negara-negara di Asia dapat bekerjasama untuk melindungi dengan lebih baik ekosistem-ekosistem yang menyusut di wilayah ini, banyak tumbuhan dan binatang akan menghadapi kepunahan.

Asia sekarang ini mencakup 40 persen dari hasil ekonomi global dan dua pertiga dari pertumbuhan global. Selain itu, sekitar 60 persen penduduk dunia tinggal di Asia, dengan populasi perkotaan diperkirakan mencapai 3,3 miliar tahun 2050, dari 1,9 miliar sekarang ini.

Namun pertumbuhan ekonomi yang pesat di wilayah ini telah berakibat buruk.

Lebih dari 1.400 tumbuhan dan hewan dianggap terancam secara kritis. Sekitar 95 persen terumbu karang di Asia Tenggara menghadapi risiko. Hutan bakau, lahan basah vital yang suatu kali menutupi puluhan ribu kilometer garis pantai di seluruh Asia, sekarang hilang lebih cepat dibandingkan di wilayah lain di dunia.

Presiden IUCN Zhang Xinsheng mengtakan ekosistem-ekosistem planet tidak lagi dapat mengelola tekanan-tekanan yang meningkat dan perlu ada upaya baru dari pemerintah-pemerintah untuk mengurangi kerugian.

“Dapatkan kita berkesinambungan dengan pola produksi (yang ada sekarang ini)? Dapatkah kita bertahan dengan tingkat konsumsi ini? Kita memerlukan kemauan politik, kesadaran umum, perubahan nilai. Kita harus mengkaji, merenung, mengubah pola produksi, model konsumsi, kita harus membangun masyarakat yang inklusif,” ujarnya.

IUCN mendesak pemerintah-pemerintah, sektor swasta dan kelompok-kelompok non-pemerintah untuk bekerja lebih dekat dalam membangun solusi untuk masyarakat dan lingkungan alam.

Namun tantangannya, menurut Yeshey Dorji, Menteri Pertanian dan Kehutanan Bhutan, adalah untuk mengatasi pertimbangan-pertimbangan ekonomi jangka pendek yang biasanya menghambat upaya-upaya konservasi jangka panjang.

“Saya kira itulah tantangan terbesar untuk konservasi, seperti perburuan, perdagangan ilegal — keuntungan ekonomi jangka pendek yang menjadi daya dorong utama,” ujarnya.

Direktur IUCN wilayah Asia, Aban Marker Kabraji mentakan, tahun 2015 menandai titik balik untuk Asia dengan upaya mendesak untuk memanfaatkan inovasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi Asia dalam lima dekade terakhir dan menggunakannya untuk mengamankan kesejahteraan alam dan manusia.

Forum tiga hari di Bangkok itu merupakan langkah kunci menuju Kongres Konservasi Dunia yang mencakup lebih dari 88 negara anggota, yang akan digelar di Hawaii bulan September 2016.

Sumber  : Klik di sini

Share Button

Hope Si Badak Sumatra Pulang ke Indonesia

Satu-satunya badak Sumatra di Amerika Serikat akan dipindahkan ke Indonesia untuk dikawinkan demi menjaga kelangsungan spesies yang nyaris punah tersebut.

Keputusan untuk mengirim Hope (nama badak tersebut) ke Indonesia diambil pihak Kebun Binatang Cincinnati, Negara Bagian Ohio, AS, karena badak seberat 816 kilogram itu tidak punya pasangan untuk kawin.

Opsi untuk mengawinkan Hope dengan badak betina dari Malaysia tidak bisa dilakukan karena badak-badak betina di negara tersebut tidak subur.

Satu-satunya jalan adalah memindahkan Hope ke Suaka Badak Sumatra di Taman Nasional Way Kambas, Provinsi Lampung, Indonesia.

”Selama bertahun-tahun kami berharap menerima badak betina. Namun, Indonesia baru-baru ini jelas menyatakan tidak berenvana mengirim badak Sumatra ke luar negeri,” ujar Dr. Terri Roth selaku direktur pusat konservasi dan penelitian fauna terancam punah di Kebun Binatang Cincinnati, kepada Reuters.

Tanggal pasti kepindahan Hope ke Indonesia belum diumumkan. Roth mengatakan langkah itu memerlukan pelatihan khusus, sejumlah dokumen dan ijin, serta koordinasi antar pemerintah.

Harapan adalah badak Sumatra ketiga yang lahir di Kebun Binatang Cincinnati. Dua kakak Harapan, Andalas dan Suci, masing-masing lahir pada 2001 dan 2004. Andalas telah lebih dulu dikirim ke Suaka Badak Sumatra dan Suci telah mati.

Selain Hope dan Andalas, hanya ada tujuh badak Sumatra lain yang hidup di penangkaran seluruh dunia. Bila dihitung dengan badak yang hidup di alam liar, populasi spesies itu kurang dari 100 ekor.

Sumber : klik di sini

Share Button

Bidik 28 Negara di Uni Eropa, Pemerintah Genjot Ekspor Produk Kayu Ber-SVLK

Ekspor kayu bersertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK terus meningkat dan diminati pasar dunia. Pemerintah bidik ekspor produk kayu ber-SVLK di 28 negara kawasan Uni Eropa.

Komoditas ekspor Indonesia, terutama berbahan baku kayu semakin diminati pasar internasional. Direktur kerjasama intra kawasan Amerika dan Eropa, Dirjen Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri, Dewi Gustina Tobing, ketika menghadiri acara seminar tentang SVLK di Balai Kota Solo, Kamis siang (27/8), mengatakan kerjasama Indonesia dengan berbagai negara di dunia melalui perdagangan produk kayu bersertifikasi SVLK terus meningkat setiap tahunnya.

Menurut Dewi, kredibilitas SVLK Indonesia di pasar dunia perlu terus dikembangkan. Saat ini, tambah Dewi, Indonesia fokus membidik ekspor kayu di 28 negara kawasan Uni Eropa yang sudah mengakui SVLK Indonesia.

“Kebijakan sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK ini ternyata menjadi unggulan Indonesia untuk memasuki pasar Uni Eropa. Kita berharap Uni Eropa dapat memberikan lisensi karena SVLK yang kita terapkan bisa memberikan pelacakan asal muasal produk kayu kita. SVLK bisa kita lihat apakah produk kayu yang diekspor ini hasil illegal logging atau bukan,” ujar Dewi Agustina Tobing.

“Produk ekspor yang sudah diberi lisensi Uni Eropa, maka akan mempunyai akses pasar di Uni Eropa tanpa melakukan pemeriksaan dokumen, dan sebagainya. Lisensi dari Uni Eropa membuktikan produk ekspor kita sudah diakui mereka, diharapkan pada akhir tahun ini lisensi dari Uni Eropa bisa kita terapkan sehingga akses pasar produk ekspor Indonesia berupa furniture dan kayu olahan lainnya yang masuk ke Uni Eropa mendapat lampu hijau,” lanjutnya,

Sementara itu, staf ahli dari kementerian LH dan Kehutanan, Agus Justianto, dalam kesempatan yang sama juga mengungkapkan pemerintah akan mengevaluasi SVLK terutama keluhan mahalnya biaya mendapatkan sertifikasi SVLK bagi industri produk kayu.

“SVLK itu inisiatif dan komitmen pemerintah, tidak ada intervensi, dorongan, atau campur tangan dari negara lain. Sistem ini untuk menjamin legalitas kayu produk Indonesia yang dipasarkan di dalam negeri maupun luar negeri. SVLK ini sangat menguntungkan karena dapat mereduksi atau mengurangi illegal logging, illegal trading, dan juga membangun budaya penggunaan produk kayu lokal, serta meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia,” lanjuta Agus Justianto.

Data Kementerian Luar Negeri maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan ekspor produk kayu Indonesia tahun 2015 ini untuk Uni Eropa 609 juta dollar AS, Asia 4,47 Milyar dolar AS, Oceania 687 juta doll=ar AS, Afrika 202 juta dollar AS, dan Amerika Selatan 42 juta dollar AS.

Sedangkan daerah pemasok produk kayu furniture antara lain sentra industri mebel Jepara, Cirebon, Bali dan Yogyakarta. Pemerintah menggandeng pemda melakukan penandatanganan dan deklarasi bersama Percepatan SVLK tahun 2015 ini antara lain Propinsi Jawa Timur, Jawa tengah, DIY, dan Bali.

Sumber : klik di sini

Share Button