Buat Pertanian Pengungsi Sinabung, KLHK Izinkan Pemanfaatan 416 Hektar Hutan Siosar

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan izin pemanfaatan hutan Siosar seluas 416 hektar untuk areal pertanian warga korban erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.  Tahap awal, pembersihan 180 hektar buat lahan tani 370 keluarga.

Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumatera Utara, ketika diwawancarai Mongabay, Jumat (31/7/15), mengatakan, dari 416 hektar,  ditargetkan 180 hektar segera ditebang untuk lahan pertanian 370 keluarga korban Sinabung,  yang menempati perumahan relokasi di Siosar.

“Saya sudah minta Dinas Kehutanan Sumut memantau, diharapkan secepatnya bisa digunakan pengungsi memperbaiki pertanian mereka,” katanya, yang kini resmi menjadi tersangka KPK, dalam kasus dugaan penyuapan hakim PTUN Medan bersama pengacara OC Kaligis.

Menurut dia, bersama tim penanggulangan bencana Sinabung, sudah menghitung pembagian lahan untuk pertanian ini. Masing-masing keluarga, katanya, akan mendapatkan 0,5 hektar lahan bercocok tanam. Lokasi perladangan, terletak tak jauh dari kompleks perumahan kini proses pengerjaan.

“Lahan bercocok tanam, dekat perumahan yang baru dibangun. Sampai kini, selesai dan diresmikan 112 rumah, sisanya proses penyelesaian, target 370 unit tuntas Agustus ini.”

Dia mengatakan, setelah pembersihan lahan, areal ini belum bisa langsung ditanami. Ia harus melalui pengolahan lahan terlebih dahulu, yang diperkirakan sekitar satu tahun. Jadi, menunggu lahan siap, kata Gatot, pemerintah akan menyewakan lahan pertanian di sekitar hutan Siosar, agar tidak jauh dari pemukiman warga.

Pada Selasa (5/5/15), Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, datang ke Karo dan  menyerahkan simbolis 103 rumah bagi pengungsi erupsi Sinabung, di perumahan Desa Siosar, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo.

Sebanyak 103 rumah ini dibangun tim gabungan TNI AD, masyarakat di hutan produksi Kecamatan Merek. Pembangunan rumah bagi warga Desa Bekerah dan tahap awal pembangunan site plan relokasi sebanyak 267 rumah.

Kala itu, Siti mengatakan, masih perlu penyediaan prasarana dan fasilitas umum di rumah baru seperti jalan lingkungan, fasilitas kesehatan, pendidikan, lahan pertanian, dan usaha peternakan.

Namun, dia menegaskan, pemberian izin hutan ini, tidak boleh disalahgunakan karena akan berhadapan dengan hukum.

“Setelah menempati rumah baru, tolong sama-sama dijaga agar hutan tidak rusak. Harus dijaga baik. Ini kita beri izin pemakaian karena mempertimbangkan kemanusiaan.”

Kompleks Siosar, sebagai relokasi pemukiman dan perladangan 2.035 keluarga pengungsi Sinabung. Vulkanologi dan BNBP menganggap, pengungsi tidak bisa kembali ke lokasi di bawah radius lima kilometer.

Erupsi Sinabung berlanjut

Gunung Sinabung, terus memuntahkan lahar dan belum menunjukkan penurunan aktivitas. Pemerintah provinsi dan Kabupaten Karo, sudah mengusulkan agar menjadi bencana nasional. Meskipun begitu, katanya, terpenting Pusat memberikan perhatian. “Salah satu KLHK yang memberikan izin penggunaan hutan menjadi lahan pertanian, dan penyedian hunian tetap sementara di dekat radius tujuh Km. Jika situasi aman, warga  bisa kembali ke ladang maupun rumah,” kata Gatot.

Syamsul Maarif, Kepala BNPB mengatakan, erupsi Sinabung terus terjadi menyebabkan penambahan pengungsi mencapai 10.000-11.000 jiwa. Arah erupsi, katanya, sudah mencapai arah Selatan, Tenggara dan Timur, hingga sebagian warga harus diungsikan. Namun pengungsian jauh dari tempat bercocok tanam.

“Misal, di Desa Kutagugung jarak terlalu jauh dari pegungsian ke ladang. Kita tengah memikirkan kemungkinan ada hunian sementara, kita upayakan lokasi tidak jauh dari tempat bercocok tanam. Sebagian ladang masyarakat masih bisa dimanfaatkan.”

Erupsi Sinabung, berlangsung lebih kurang lima tahun. Sejak erupsi pertama 2010, tiga tahun jeda, pada September 2013 kembali bergolak dan memaksa masyarakat ngungsi 1,8 tahun. Pengungsi dinyatakan berakhir 18 Maret 2015, dan dua desa terakhir dipulangkan adalah Desa Sukanalu dan Sigarang-Garang.

Namun awal Juni 2015, Sinabung kembali ‘aktif’ dari kegempaan guguran lava, abu vulkanik dan luncuran awan panas. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mengeluarkan peningkatan status Sinabung dari siaga III menjadi awas IV dan zona merah bertambah dari radius lima km menjadi radius tujuh km sektoral.

Bupati Karo mengubah status penanganan bencana dari transisi darurat menuju pemulihan kembali, menjadi tanggap darurat 2 Juni 2015.

Adapun titik pengungsian korban erupsi di sejumlah tempat, yaitu Posko Penampungan Paroki, GBKP, KNPI, GPDI, Gudang Jeruk, Batu Karang, Jambur Tanjung Mbelang, dan Jambur Korpri, Jambur Simpang Jaya dan BPPT Jambur Tongkoh. Total pengungsi 9.526 jiwa.

Sumber : klik di sini

Share Button

Ketika Para Guru Sekolah Di Sulawesi Utara Belajar Konservasi

Ada pemandangan yang berbeda di aula Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pada Rabu (29/07/2015).  Biasanya terlihat siswa SD, SMP atau SMA yang datang belajar tentang konervasi.  Namun kali ini, puluhan guru dari dari 18 sekolah di kota Bitung, 3 sekolah di kecamatan Airmadi di kabupaten Minahasa Utara, dan 1 sekolah dari kota Manado  menjadi peserta pelatihan konservasi yang diselenggarakan Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT).

Sejak pagi hingga sore, mereka duduk tenang mendengarkan materi dari orang-orang yang usianya separuh lebih muda dari sebagian besar mereka. Seperti tim PKT, tim Macaca Nigra Project (MNP), Selamatkan Yaki dan PPST. Sesekali, anggota Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau Airmadidi menghibur dengan lagu bertema lingkungan, sehingga suasana lebih rileks.

Berbagai materi disampaikan, seperti pengetahuan dasar lingkungan hidup, ekosistem dan keanekaragaman hutan hujan tropis, flora dan fauna, flora dan fauna di Indonesia dan Sulawesi.

Interaksi pun terjadi, seperti pertanyaan mengenai penurunan yaki (Macaca Nigra), teknis pembagian jadwal di sekolah hingga masalah perburuan, pemeliharaan dan perdagangan satwa dilindungi. Dengan sabar, para pemateri menjawab pertanyaan itu.

Setelah makan siang, peserta diajak menyaksikan langsung sejumlah satwa sitaan irehabilitasi di PPST.  “Baiknya dibagi 3 kelompok. Sehingga, tiap kelompok tidak melebihi 10 orang. Sebab, di lokasi rehabilitasi, bapak-ibu diharap bisa menjaga ketenangan. Tidak terlalu ribut,” kata Billy Gustafianto, Staff Information and Education PPST.

Peserta menurut. Mereka kemudian beranjak ke tempat perawatan orang utan, beruang madu hingga burung. Sebagian besar nampak heran. Mereka mulai mengetahui bahwa satwa-satwa yang disaksikan merupakan sitaan. Selain itu, mereka mengetahui bahwa perdagangan satwa dilindungi merupakan tindak melanggar hukum.

“Sebagai guru, pelajaran yang kami dapat hari ini, akan kami sampaikan ke siswa-siswi. Karena, pendidikan lingkungan hidup hari ini lebih spesifik daripada di sekolah, yang terlalu umum,” ujar Stevi guru dari SD GMIM 9 Pinangunian Bitung.

Sedangkan Desma, pengajar dari SMP 7 Bitung menjadi tahu kekayaan sumber daya alam serta masalah perdagangan dan perburuan satwa di Indonesia.

“Pelatihan guru ini sangat bagus, karena memperkenalkan hewan yang sebagian besar hampir punah. Ini juga memperkenalkan alam Indonesia yang memiliki aneka ragam hewan. Ada beberapa hewan yang tidak pernah dilihat di Sulawesi Utara, kita bisa lihat di tempat ini.”

Menurutnya, pendidikan lingkungan sudah harus menjadi prioritas, karena lembaga pendidikan berperan penting menyampaikan pada masyarakat mengenai persoalan lingkungan, termasuk pelestarian alam.

“Pihak sekolah juga sedang berusaha mempersiapkan diri menjadi sekolah berwawasan lingkungan. Karena, yang paling penting pemahaman dari sekolah bisa disebarkan ke masyarakat. Karena, orang tua dulu, kan, tidak begitu memahami keterancaman satwa, misalnya,” tambah Desmon.

Emanuel, rekan Desmon dari SMP 7, mendukung pendapat sebelumnya. Pelatihan ini tentang penyelamatan satwa liar, khususnya di Sulawesi Utara.

Nanti kami akan menyampaikan dalam proses pembelajaran. Meski belum dipatenkan dalam muatan lokal, tapi saya sebagai guru mata pelajaran IPA, akan mengaitkannya dengan penyelamatan satwa liar. Karena di biologi juga ada materi tentang konservasi,” katanya.

Pelatihan ini memberikan gambaran yang relevan yang bakal ia ajarkan di sekolah. Apalagi, dalam kurikulum 2013 ditekankan pelajaran yang bersifat kontekstual.

“Siswa bisa diajak melihat langsung, memikirkan dan memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat. Misalnya, memberi usulan dan solusi penyelamatan yaki. Mereka akan punya peran kedepannya,” yakinnya.

 

Nona Diko, koordinator lokal PKT, menjelaskan, pelatihan ini bertujuan melibatkan dan memberi penguatan pada guru mengenai isu-isu konservasi, khususnya materi pelajaran yang akan disampaikan PKT ke sekolah-sekolah. Diharap, setelah mengikuti pelatihan, guru bisa menjawab pertanyaan siswa di kelas.

“Lewat pelatihan ini, diharapkan pula timbul ide dan informasi baru dari para guru untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar, khususnya yang berhubungan dengan lingkungan,” tambah Nona.

PKT adalah program pendidikan dari Macaca Nigra Project (MNP) yang telah dimulai sejak 2011. Di tahun awal kegiatan, pendidikan hanya menjangkau sekolah di sekitar Cagar Alam Tangkoko. Tahun 2014, mereka mulai mengajar 13 sekolah. Di 2015 ini, 18 sekolah menjadi sasaran pendidikan konservasi.

Tahun lalu, siswa-siswi mendapat pelajaran semisal, pengenalan dasar lingkungan hidup, keragaman hayati, keragaman hutan hujan tropis dan pengenalan flora-fauna di Indonesia, Sulawesi Utara dan Cagar Alam Tangkoko. Kini, ada 2 mata pelajaran tambahan, yaitu pelajaran mengenai pesisir serta Bahasa Inggris.

“Kami merasa senang telah berkolaborasi dengan sekolah-sekolah dan bersama-sama dengan mereka. Kita semua bisa membentuk generasi baru untuk menyelamatkan hutan dan satwa liar,”  tegas Nona.

MoU Pendidikan Konservasi

3 Juli 2015, Pendidikan Konservasi Tangkoko menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Dinas Pendidikan Kota Bitung untuk mendukung kegiatan pendidikan konservasi. Dikatakan Stephan Miloyski Lentey, Field Station Manager MNP, lewat MoU ini, nantinya pendidikan konservasi akan diarahkan menjadi materi  pelajaran dalam muatan lokal (mulok) atau masuk pelajaran kategori B yang menyesuaikan dengan daerah.

Ia menilai, kesepakatan tersebut adalah suatu kemajuan besar yang dicapai oleh PKT. Stephan mengapresiasi ide dari dinas pendidikan kota Bitung. Sebab, setelah sekian lama bergelut dalam pendidikan konservasi, baru kali ini pemda melihat pendidikan lingkungan secara serius.

“Walau sejak awalnya sudah mendapat rekomendasi dari dinas pendidikan, tapi baru tahun ini ada MoU untuk mata pelajaran konservasi,” ujarnya.

Saat ini, tim PKT harus menyelesaikan administrasi untuk memenuhi persyaratan. Sesuai arahan dari instansi terkait, ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi agar pendidikan konservasi masuk dalam mulok. Misalnya, mempunyai kompetensi dasar, menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan memiliki silabus.

Persyaratan itu dinilai menjadi patokan agar mata pelajaran dapat terukur dan bisa dievaluasi. Stephan memperkirakan, ketika pendidikan konservasi sudah masuk dalam mulok, kerja tim PKT dan pegiat lingkungan di Sulawesi Utara, khususnya Bitung, akan semakin terbantu. Namun, pihaknya berharap, kegiatan saling mendukung antara sekolah dengan pegiat konservasi akan terus terjalin.

Dalam pelatihan guru kali ini, tim PKT menegaskan akan tetap menjadi pengajar di sekolah untuk mata pelajaran konservasi. MoU tadi menjadi pengingat bahwa guru-guru juga harus memahami isu-isu konservasi.

“Karena, tidak bisa dipungkiri, tahun-tahun sebelumnya banyak murid bertanya pada guru namun banyak guru yang tidak tahu apa yang kami ajarkan. Sehingga, lewat kegiatan ini, murid tahu, guru juga tahu tentang pelajaran konservasi,” pungkas Stephan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Pemerintah Siapkan 3 Metode untuk Atasi Kebakaran Hutan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) akan menjajal metode baru memadamkan kebakaran hutan. Tiga metode itu akan diuji coba untuk mengantisipasi musim kering panjang akibat badai El Nino yang diperkirakan mencapai puncaknya pada Oktober– November 2015.

Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, metode baru itu adalah menjatuhkan bahan kimia retardant. Teknologi untuk metode baru itu tengah disiapkan PT. Pindad. Sedangkan metode lainnya adalah menggunakan air tractor.

“Kalau makin panas, makin banyak (hotspot, red) maka nggak bisa lagi pakai helikopter. Harus pakai air tractor. Air tractor itu pesawat biasa, tapi bisa bawa tiga ribu liter untuk padamkan kebakaran,” kata Siti saat jumpa pers di kantor kepresidenan, Jakarta, Jumat (31/7).

Siti menambahkan, metode lain yang digunakan adalah dengan jelly. Cara ini sebelumnya akan diuji di Taman Nasional Bromo, Jawa Timur. Jelly ini dibeli Indonesia dari Jepang.

Siti menambahkan, tiga metode itu adalah pengganti metode bom air (water bombing) yang selama ini dilakukan pemerintah untuk memadamkan api.  “Ada beberapa daerah yang kurang air sehingga kami substitusi airnya. Dengan kimia. Tapi ini tidak akan sampai mengganggu lingkungan sekitar,” imbuh Siti.

Namun, Siti menegaskan bahwa metode-metode itu baru bisa dilakukan jika pemerintah daerah membutuhkannya dan sudah tidak sanggup memadamkan api lagi.  Selama ini pemda di beberapa daerah masih memakai cara water bombing dan modifikasi cuaca untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Kabut Asap Terjang Mancanegara, Indonesia Bisa Kena Denda

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron mengingatkan pemerintah agar mengantisipasi mulai munculnya titik api akibat kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah. Menurutnya,  saat ini ratusan titik api sudah muncul di Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan sebagian Kalimantan.

Herman mengatakan, kondisi iitu perlu diwaspadai. “Saya mengingatkan kesiapan masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan Kementerian Lingkunagn Hidup dan Kehutanan akan datangnya potensi bencana kebakaran hutan dan lahan karena saat ini telah memasuki musim kemarau,” kata Herman melalui siaran persnya, Jumat (31/7).

Politikus Partai Demokrat itu menjelaskan, Indonesia telah menyerahkan dokumen ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Kesepakatan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas) ke Sekretariat ASEAN di Jakarta pada 20 Januari 2015 lalu. Dengan demikian ada konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah.

“Artinya jika kabut asap terjadi lagi ke negara tetangga maka kita bisa kena denda. Kekhawatiran terjadi kembali bencana kebakaran hutan dan lahan yang sudah seperti ritual tahunan ini tentunya perlu disikapi serius terutama oleh pemerintah,” tegasnya.

Herman menambahkan, bila terjadi bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan, maka hal itu tidak hanya merugikan negara lain juga mengganggu kesehatan masyarakat dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Karenanya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai leading sector yang menangani hal itu harus bertindak cepat dan antisipatif.

“Kami di komisi IV mendukung, baik melalui support anggaran APBN maupun perundang-undangan terkait kebakaran hutan dan lahan,” pungkasnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Kepres Satgas Masyarakat Adat Selesai Agustus?

Sejak pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Juni lalu, pertemuan-pertemuan lanjutan dilakukan membahas pembentukan Satgas Masyarakat Adat. Kini, draf keputusan Presiden soal ini sudah finalisasi di sekretariat kabinet.

Andi Widjajanto, Sekretaris Kabinet mengatakan, Satgas Masyarakat Adat sedang proses finalisasi untuk disampaikan ke Presiden. “Diharapkan dalam Agustus Kepres Satgas Masyarakat Adat bisa selesai dan bisa segera bekerja,” katanya usai rapat bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Jumat (31/7/15).

Dia mengatakan, ada dua fungsi utama Satgas Masyarakat Adat, pertama, melindungi masyarakat adat dalam kegiatan mereka terkait penggunaan lahan. Kedua, meminta bisa berpartsipasi aktif dalam pembentukan UU masyarakat adat.

Dalam menyusun satgas ini, katanya, sudah dilakukan diskusi-diskusi dengan organisasi masyarakat sipil yang konsern lingkungan dan masyarakat adat.

“Satgas Masyarakat Adat inilah yang akan mengawal perlindungan bagi masyarakat adat buat menggarab, mereservasi, konservasi lahan-lahan yang penting buat kehidupan mereka.”

Komitmen perlindungan terhadap masyarakat adat ini sudah sejak awal dinyatakan oleh Jokowi bahkan tertuang dalam Nawacita. Setidaknya, ada enam hal pokok terkait masyarakat adat dalam visi misi itu.

AMAN berharap,  keputusan satgas ini  bisa diumumkan bersamaan dengan Hari Ulang Tahun Masyarakat Adat Internasional, 9 Agustus 2015. AMAN mengundang Jokowi hadir dalam perayaan ini di Batur, Bali, sekaligus sebagai ajang rekonsiliasi antara masyarakat adat dan negara.

Pada 25 Juni 2015, Presiden Jokowi bertemu dengan AMAN dan beberapa organisasi masyarakat sipil membahas seputar masyarakat adat, termasuk percepatan pembentukan satgas ini.

Kala itu, Abdon Nababan, Sekjen AMAN, menyatakan, Presiden memahami berbagai permasalahan masyarakat adat, tinggal perlu merumuskan regulasi.  Presiden, juga menyadari, hampir di semua provinsi, terjadi konflik masyarakat adat. Jokowi mencontohkan,  salah satu provinsi di Kalimantan, ada 853 sengketa melibatkan masyarakat adat.

Konflik dan sengketa ini, kata Jokowi, harus diselesaikan melalui instrumen regulasi, dalam hal ini UU. “Karena kondisi di lapangan saat ini, masyarakat adat selalu dikalahkan atau dikorbankan,” begitu ucapan Jokowi, kala itu.

Komitmen pembebasan korban-korban kriminalisasi pun keluar dari Presiden. Untuk itu, pembentukan Satgas Masyarakat Adat, segera ditindaklanjuti.

Setelah pertemuan ini, rapat-rapat gabungan bersama organisasi masyarakat sipil beberapa kali diadakan. Awalnya, ada tiga draf usulan soal satgas ini. Ada dari KLHK, BP REDD+ dan AMAN.  “Sudah finalisasi satu draf di sekretariat kabinet, akan diproses sesuai perundang-undangan,” ucap Andi.

Enam prioritas utama perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat dalam Nawa Cita:1. Meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Khusus, berkaitan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/ MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana yang telah ditetapkan MK 35/2012.

2. Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang kini sudah berada pada pembahasan tahap-tahap akhir berlanjut hingga ditetapkan sebagai Undang-undang, dengan memasukkan perubahan-perubahan isi sebagaimana yang diusulkan oleh DPR, AMAN, dan berbagai komponen masyarakat sipil lain.

3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan dalam MK 35/2012.

4. Mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini.

5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus Presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan.

6. Memastikan penerapan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa berjalan, khususnya dalam hal mempersiapkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa.

Sumber : klik di sini

Share Button