Sasaran Strategis Terwujudnya Keamanan Lingkungan dan Hutan

Tiga tahun terakhir, Indonesia kehilangan 200 Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Catatan dari WWF Indonesia menunjukkan pada tahun 2012, 36 gajah ditemukan mati. Penyebab kematian utama adalah karena racun, sementara beberapa kasus disebabkan oleh kena setrum atau terjerat di perkebunan sawit. Secara keseluruhan, kematian gajah di Pulau Sumatera dalam tiga tahun terakhir sekitar 200 ekor. Padahal berdasarkan data Forum Gajah Indonesia 2014, populasi gajah di Sumatera sebanyak 1.700 ekor.

“Jika hukum tidak ditegakkan untuk mencegah pembunuhan dan perburuan, gajah sumatera bisa punah dalam waktu kurang dari 10 tahun,” ujar Sunarto, Wildlife Species WWF-Indonesia. “Populasi gajah sumatera menurun drastis. Kami mendesak dan siap mendukung tim penegak hukum untuk segera mengungkap kasus ini agar pihak-pihak terlibat dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya,” lanjutnya.

Dalam kegiatan penanganan pidana kehutanan terdapat 27 kasus yang menangani tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi (TSL). Dalam 27 kasus tersebut, 14 diantaranya merupakan kasus yang terkait hewan mamalia. Jumlah tersebut kurang dari jumlah populasi gajah yang ditemukan mati.

Pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya Pasal 21 (2) dijelaskan secara rinci mengenai apa yang tidak boleh dilakukan terhadap satwa yang dilindungi.

Berdasarkan mandat penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan (LHK) tersebut, Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho, memberitahu bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki beberapa sasaran strategis. Sasaran strategis tersebut, yakni jumlah aparat penegak hukum bidang lingkungan hidup (LH) dan kehutanan yang dibina dan ditingkatkan kapasitasnya sebanyak 3.600 orang/tahun, penyelesaian pelanggaran administrasi dan perdata sebesar 75% dari jumlah kasus dan sengketa yang ditangani, penyelesaian tindak pidana LHK (P21) sebesar 75% dari kasus pidana yang ditangani, serta jumlah pelanggaran hukum lingkungan dan kehutanan menurun 20%. Sasaran-sasaran strategis ini berharap terwujudnya keamanan lingkungan dan hutan melalui peningkatan ketaatan terhadap hukum lingkungan dan kehutanan.

Ada pula beberapa strategi yang dapat digunakan guna terwujudnya visi tersebut, yakni pencegahan yang dilakukan dengan sosialisasi, pengawasan dan pengamanan, lalu penguatan jejaring kerja, administrasi, pidana, dan penguatan dengan pendekatan sains.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berharap masyarakat dapat turut mengawasi dan membantu terwujudnya keamanan lingkungan dan hutan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Ratusan Trenggiling yang akan Diselundupkan melalui Bandara Juanda Ditulis Ikan Segar

Upaya penyelundupan 455 ekor trenggiling mati dengan berat 1.390 kilogram melalui Bandara Internasional Juanda, Surabaya tujuan Singapura berhasil digagalkan. Petugas Kantor Pengawas dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda, menyita barang bukti tersebut yang dikemas dalam 43 kotak dan disamarkan bersama ikan segar.

Iwan Hermawan, Kepala Kantor Pengawas dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda, menuturkan tertangkapnya pelaku berinisial KWP, asal Sidoarjo, Jawa Timur, berawal dari kecurigaan petugas dan PT. JAS selaku cargo handling, mengenai ekspor barang yang tidak sesuai dengan pemberitahuan alias dokumen pelengkap pabean.

“Informasi dokumen ekspor menyebutkan barang itu sebagai ikan segar. Setelah diperiksa, isinya trenggiling mati yang sudah tidak ada kulitnya. Ada dua karton berisi ikan segar, sedangkan 41 karton merupakan trenggiling. Modusnya, diatas paket tersebut dilapisi ikan segar sebagai kamuflase,” kata Iwan.

Petugas masih menelusuri dari mana trenggiling yang akan diekspor ke Singapura berasal. Meski, berdasarkan informasi dari Bea Cukai Jakarta yang juga pernah menggagalkan penyelundupan trenggiling, satwa ini diperoleh dari di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. “Tersangka belum mengaku dari mana asal barang tersebut. Ia hanya mengaku menerima titipan dari orang yang mengirimkan. Hingga di sini mata rantai putus.”

Iwan menambahkan, trenggiling termasuk komoditi yang laku di pasar mancanegara, seperti Singapura, Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam. Dari penyidikan petugas, nilai jual dagingnya seberat 1,3 ton akan mencapai 3,4 miliar rupiah. Atau, 2,5 juta rupiah per kilogram.

“Biasanya dijual ke pasar Singapura sebagai bahan kosmetik, bahan makanan restoran, hingga bahan obat-obatan tradisional. Belum lagi sisiknya, yang menurut informasi dapat digunakan untuk precursor bahan pembuat sabu.”

Atas perbuatan yang dikategorikan menyerahkan pemberitahuan pabean palsu atau dipalsukan, dan barang tidak sesuai dengan pemberitahuan, pelaku terancam pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. Atau, denda paling sedikit 100 juta rupiah dan maksimal 5 miliar rupiah.

”Tersangka dititipkan di Rumah Tahanan Kelas IIA Sidoarjo. Sedangkan barang bukti akan dimusnahkan, dan dilakukan penyisihan sebagian untuk selanjutnya diserahkan ke Kejaksaan Sidoarjo demi kepentingan pembuktian,” tandas Iwan.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I, Rahmad Subagyo menambahkan, trenggiling merupakan satwa dilindung di Indonesia dan dunia, karena termasuk apendik 1 atau sangat langka. Penyelidikan yang dilakukan masih menelusuri jaringan maupun asal satwa itu didapat. “Penyidikan masih dilakukan, sambil kami informasikan ke BKSDA Jatim dan Balai Karantina guna penanganan lebih lanjut,” ujar Rahmad.

Trenggiling (Manis javanica) merupakan satwa yang tubuhnya dilindungi sisik. Di Indonesia, populasinya tersebar di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Meski telah dilindungi, namun perburuan terus terjadi.

Sumber : klik di sini

Share Button

Pelantikan Pejabat Eselon III dan IV lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Daftar nama Pejabat Eselon III dan IV lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
eselon_3_upload.pdf
eselon_4_upload.pdf

Share Button

Surabaya, Wajah Kota Ramah Lingkungan di Indonesia

Surabaya terus mempercantik diri. Upaya serius ini terlihat dari penataan sistem transportasi guna mempersiapkan kota terbesar kedua di Indonesia ini sebagai kota yang bersih, hijau, dan berinovasi.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini kepada Mongabay menuturkan, persoalan penataan kota akan sangat mempengaruhi pola hidup masyarakat. Terutama, dalam hal pemanfaatan energi maupun pengelolaan lingkungan. Penambahan ruas jalan dengan rekayasa lalu lintas sedang dipersiapkan, sebagai dukungan atas program pembangunan moda transportasi massal.

“Saat ini sedang dipesiapkan pembangunan jalan baru di lingkar luar timur dan lingkar luar barat. Selain itu, ada juga jalan layang dan jalan bawah. Tujuannya untuk mengurangi kepadatan lalu lintas. Diperkirakan dalam dua tahun ke depan, Surabaya akan memiliki moda transportasi massal dan juga jalan baru yang saling menghubungkan berbagai kawasan di Surabaya,” ungkap Risma, baru-baru ini.

Penataan kota melalui pembangunan jalan baru ini diiringi dengan penyediaan fasilitas publik berupa taman kota. Sebagai ruang terbuka hijau dan tempat bertemunya masyarakat, taman-taman kota di Surabaya menjadi tempat favorit baru, baik untuk rekreasi maupun aktivitas sosial budaya.

Taman kota

Taman Bungkul merupakan ikon baru Surabaya. Taman seluas 900 meter persegi ini pada November 2013 mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu The 2013 Asian Townscape Award (ATA), sebagai taman terbaik se-Asia. Taman yang semula hanya hanya ruang terbuka hijau dengan komplek makam Sunan Bungkul di bagian belakang, kini menjelma indah dan tempat berkumpulnya elemen warga  berbagai usia.

“Taman aktif jumlahnya 70 lebih, sedangkan yang bukan taman aktif ratusan. Ini belum termasuk hutan kota yang kami buat di Balas Klumprik dan di bekas TPA Sukolilo,” jelas Risma.

Pembenahan sungai atau Kali Mas di Surabaya juga jadi perhatian Pemerintah Kota Surabaya. “Kita ingin pintu air di ujung Petekan, tetap terjaga ketinggian airnya sehingga tidak terpengaruh pasang surut air laut. Perlahan, akan kita tata,” ujar wali kota wanita pertama Surabaya ini.

Sampah untuk energi listrik

Pemanfaatan sampah sebagai energi listrik merupakan program baru pemerintah kota. Rumah Kompos Bratang, yang terletak di kawasan Taman Flora-Kebun Bibit merupakan proyek percontohannnya.

Sampah yang diolah, menghasilkan energi listrik sekitar 4.000 watt yang cukup sebagai  penerangan jalan umum dan lampu di Taman Flora. Butuh sekitar 70 kilogram ranting kering dan sampah plastik yang dibakar, untuk dapat menghasilkan energi listrik setiap harinya. “Sampah sebagai bahan bakarnya, sementara asap dan gas yang dihasilkan menggerakkan generator yang menghasilkan listrik,” kata Khalid Buchori, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya.

Menurut Khalid, partisipasi masyarakat secara efektif dapat mengurangi volume sampah per harinya sekitar 200-300 ton dari total 1.800 sampah yang dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo. “TPA ini akan mengasilkan listrik sebesar 10 mega watt.”

Risma menambahkan, rencananya, akan ada dua rumah kompos lagi yang akan difungsikan sebagai penghasil energi listrik. Total, ada 23 rumah kompos yang dikelola DKP nantinya.

Energi alternatif

Ketua Pusat Studi Lingkungan Universitas Surabaya, Yunus Fransiscus, berpendapat sampah yang dihasilkan penduduk Surabaya harus dapat diubah menjadi produk bernilai. Kompos dan biogas merupakan produk yang saat ini banyak dibuat masyarakat.

Yunus mengatakan, pemanfaatan sampah sebagai energi listrik sangat mungkin dilakukan. “Tidak hanya sebagai biogas, tapi juga dijadikan refuse derived fuel (RDF) seperti arang yang hasil pembakarannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.”

Yunus pun mengusulkan agar semua rumah kompos atau tempat pembuangan sementara sampah memiliki mesin pengubah sampah menjadi listrik kapasitas kecil. Energi yang dihasilkan ini nantinya digunakan untuk membantu masyarakat miskin yang rumahnya belum dialiri listrik.

Sumber : klik di sini

Share Button

Khasiat Kayu Manis yang Memiliki Efek Antivirus

KAYU manis (Cinnamomum verum) adalah sejenis pohon penghasil rempah-rempah. Orang sering menggunakan rempah-rempah ke dalam makanan. Kayu manis telah digunakan di Mesir Kuno sejak 5000 tahun yang lalu dan merupakan salah satu bumbu makanan tertua yang telah digunakan oleh manusia.

Selama ini kayu manis lebih dikenal sebagai bahan makanan yang biasa dicampur kedalam masakan, kue ataupun minuman. Selain sebagai penambah rasa dan memiliki aroma yang sedap, kayu manis ternyata juga memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan.

Sebuah studi dari Touro College di New York menunjukkan bahwa kayu manis mungkin memiliki efek antivirus dan membantu mencegah infeksi pada manusia.

Dr. Milton Schiffenbauer, peneliti dari New York School of Applied Studies dan timnya membandingkan Saign dan cinnamons Ceylon serta ekstrak botani lainnya termasuk bawang, cengkeh, peppermint, kakao dan kunyit Spanyol. Mereka menemukan bahwa kayu manis bisa menonaktifkan virus di beberapa organisme sedangkan ekstrak lainnya tidak.

Para peneliti mengevaluasi ekstrak terhadap Phi X, virus yang menginfeksi bakteri dan memiliki kesamaan dengan virus yang menginfeksi hewan dan manusia. Setelah 24 jam inkubasi, ekstrak dengan 10 persen kayu manis mampu menonaktifkan virus hanya dalam waktu 10 menit saja.

“Ekstrak kayu manis memiliki kekuatan untuk merusak struktur virus phix,” kata Schiffenbauer, seperti dilansir laman Fox News, Senin (29/6).

“Kami meyakini bahwa diet yang mencakup satu sendok makan kayu manis sekali atau dua kali sehari bisa dengan efektif menghilangkan atau mencegah virus menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit, seperti pilek, flu dan bahkan herpes,” pungkas Schiffenbauer.

Sumber : klik di sini

Share Button

Lika-liku Satu-satunya Peneliti Kalacemeti Asia dari Indonesia

Gua bawah tanah tak sekadar taman bermain bagi Dr Cahyo Rahmadi (39). Penelusur gua sekaligus peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini memilih jalan sunyi yang tak banyak diminati: peneliti biologi gua. Di Asia, ia menjadi satu-satunya peneliti kalacemeti alias laba-laba gua.

Bersetia pada pelestarian gua, Cahyo diakui dunia internasional sebagai penemu beragam spesies aneh yang telah beradaptasi dengan kehidupan tanpa cahaya, jauh di bawah bumi. Bagaimana tidak aneh, spesies baru temuannya itu memiliki perawakan yang sekilas menakutkan. Akibat bertahan hidup di ekosistem terisolasi, mereka memiliki morfologi unik, seperti kaki panjang, tubuh berduri, mata hilang, hingga wajah pucat.

“Banyak konsekuensi hidup di gua gelap total. Sekilas menakutkan, padahal tidak berbahaya. Kalacemeti tidak beracun dan belum ada peneliti lain di Asia yang meneliti. Di Indonesia pun belum banyak yang tahu. Setiap kali ke gua pasti ada sesuatu yang baru. Bahkan, di Jawa pun masih banyak peluang eksplorasi spesies baru,” kata Cahyo.

Menekuni keahlian taksonomi amblypygi, biologi gua, dan konservasi karst, lebih dari 12 spesies baru telah ditemukan dan diberi nama oleh Cahyo dan timnya. Beberapa spesies temuan barunya dari beragam gua di Indonesia adalah Amauropelma matakecil (2012),Sarax mardua (2010), Stenasellus javanicus (2006), dan Stygophrynus sunda (2008).

Kalacemeti gua

Sebagai penemu, Cahyo berhak memberi nama spesies baru yang ditemukannya. Sebuah spesies laba-laba gua yang ditemukan di kawasan karst Sangkulirang, Kalimantan Timur, sengaja diberi nama Sarax yayukae (2010). Nama ini didedikasikan untuk Prof Dr Yayuk R Suhardjono sebagai penghargaan atas sumbangsihnya bagi pengetahuan biologi gua di Indonesia.

Sarax yayukae bertubuh mini, panjangnya 6-16 mm. Tubuhnya semakin unik karena dilengkapi capit dengan duri tajam dan sepasang kaki terdepan bermodifikasi menjadi antena serta berjalan dengan tiga pasang kaki, berbeda dengan laba-laba pada umumnya yang berjalan dengan empat pasang kaki.

“Berperan sebagai predator. Jumlah kalacemeti ini sangat sedikit, hanya 170 spesies di seluruh dunia. Di Indonesia sampai saat ini ada minimal 30 spesies laba-laba gua. Kami terus mencari manfaatnya bagi manusia,” kata Cahyo.

Saat ini, Cahyo telah menelusuri hampir semua gua di pulau besar di Indonesia. Dalam setahun, minimal ia menjelajah ke tiga gua berbeda. Sama seperti penelusur gua lainnya, ia harus menuruni gua dengan standar keamanan tinggi untuk menjangkau lokasi ekstrem tempat hidup spesies unik ini.

Alat tambahan perlengkapan masuk gua lainnya yang wajib dibawa terkesan “aneh”, seperti sendok, pinset, hingga alkohol untuk mengambil dan mengawetkan spesimen gua yang mayoritas berukuran mini. Jika hanya menemukan beberapa spesies unik, semuanya akan diambil untuk diteliti. Idealnya, ia membutuhkan 10 spesimen demi keperluan penelitian lanjutan di laboratorium.

“Saya tidak bisa mengharapkan kesempatan kedua. Masuk gua harus lebih telaten dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Belum tentu saya bisa kembali datang lagi dan belum tentu bertemu lagi dengan spesies yang sama,” tambah Cahyo.

Hidup di lokasi unik dengan proses evolusi panjang menjadikan biota gua semakin menarik. Spesies baru yang tak terduga pun masih bisa ditemukan di gua-gua di Jawa. Di Gua Cikaray, Cibinong, Jawa Barat, bersama peneliti dari Perancis, Dr Guy Magniez, Cahyo menemukan udang-udangan kecil (Isopoda) warna merah jambu yang tidak ditemukan di Jawa.

Pada 2006, Isopoda merah jambu ini diberi nama Stenasellus javanicus. Spesies ini diyakini hanya hidup di Gua Cikaray.

“Kekayaan biota gua di Jawa ternyata sangat tinggi. Di Jawa Tengah ada jenis baru yang hanya ditemukan di beberapa gua. Hal ini menjadikan nilai strategis untuk ilmu pengetahuan karena punya sebaran terbatas. Kerusakan di gua akan menjadi kepunahan spesies itu di muka bumi,” ujarnya.

Rentan punah

Spesies gua di Jawa yang tak kalah unik adalah Sesarmoides jacobsoni alias kepiting jacobson. Kepiting berwarna putih pucat dengan mata relatif kecil ini seharusnya hidup di air payau. Namun, di gua-gua di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, kepiting tersebut bisa ditemukan di ketinggian 300 mdpl.

Kepiting jacobson memiliki nenek moyang yang hidup di laut. Namun, kini mereka hidup di genangan air yang berasal dari tetesan atap gua. Mereka tidak ditemukan di aliran sungai yang terhubung dengan permukaan tanah. Karena itu, tingkat kerentanan terhadap gangguan sangat tinggi.

“Perubahan lingkungan di kawasan karst akan memengaruhi lingkungan gua dan biota di gua. Perubahan lingkungan akan mengurangi suplai air dan menyebabkan lingkungan di dalam gua kering. Hilangnya aliran dan genangan air akan menghilangkan biota aquatic,” ujar Cahyo.

Karena itu, pengelolaan kawasan karst dengan ciri khas perbukitan kapur dan aliran sungai di gua bawah tanah ini harus benar-benar memperhatikan kajian biologis. Wilayah permukaan ataupun di bawah permukaan menjadi “rumah” bagi beragam biota unik yang memberi sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan.

“Pemanfaatan tanpa kajian akan menyebabkan hilangnya informasi yang penting. Biota di dalam gua secara nilai strategis berperan sebagai penyeimbang ekosistem, langka, dan tingkat evolusi tinggi akan hilang jika tanpa kajian. Ini alasan penting bagi kita untuk jaga kawasan karst tetap hijau. Habitat spesies gua sangat bergantung pada tetesan air dari atap gua,” kata Cahyo, yang juga salah satu inisiator Indonesian Caver Society.

Cahyo menegaskan, ekosistem gua bukanlah ekosistem asing bagi manusia. Pemusnahan ekosistem gua secara tidak langsung akan memengaruhi kehidupan makhluk hidup lain, termasuk manusia. Dari daya survival makhluk aneh penghuni gua, misalnya, manusia bisa saja mengadopsi teknologinya untuk obat-obatan hingga modifikasi ketahanan pangan.

Ketika kecintaan pada gua berpadu dengan ilmu pengetahuan, Cahyo bersetia menerangi gua dengan cahaya pengetahuan. Semua demi mimpi kelestarian gua dan kehidupan manusia yang lebih baik.

Sumber : klik di sini

Share Button