Kebakaran Lahan Tak Kunjung Reda, Kapolda Kalbar Keluarkan Maklumat

Sudah sepekan Kota Pontianak diselimuti kabut asap. Bahkan partikel abu tipis beterbangan ke arah kota, hingga masuk ke rumah penduduk. Kondisi ini tentu saja sangat membahayakan kesehatan masyarakat.

Kebakaran hutan dan lahan jadi pemicunya, yang terjadi sejak Kamis (2/7/2015) pekan lalu di wilayah Kabupaten Kubu Raya dan pinggiran Kota Pontianak, hingga hari ini. Cuaca panas disertai udara pengap pun dirasakan masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya.

Kapolda Kalimantan Barat, Brigjen Pol Arief Sulistyanto kemudian mengeluarkan maklumat kepolisian menyikapi terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut. Maklumat kepolisian dengan Nomor: Mak/01/VII/2015/Polda Kalbar memuat tentang larangan pembakaran hutan dan kebun.

Maklumat tersebut merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan rasa aman dan kenyamanan masyarakat di wilayah Kalimantan Barat. Maklumat yang berisi imbauan dan larangan tersebut mencakup tiga poin, yaitu:

1. Bahwa saat ini di wilayah Kalimantan Barat telah memasuki musim kemarau dengan suhu yang cukup tinggi sehingga menimbulkan kekeringan pada lahan yang rawan terjadinya kebakaran.

2. Kepada seluruh warga masyarakat atau pihak manapun di Kalimantan Barat agar tidak melakukan pembakaran lahan, hutan, dan kebun ataupun tindakan lain dengan tujuan apapun, baik sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menimbulkan terjadinya bahaya asap dan rusaknya lingkungan hidup serta gangguan kesehatan dan kegiatan masyarakat lainnya.

3. Bilamana ada pihak-pihak yang melakukan pembakaran hutan, lahan, dan kebun akan diberikan tindakan hukum yang tegas dengan ancaman hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun penjara serta denda 15 miliar rupiah sebagimana ketentuan Pasal 108 Jo Pasal 69 huruf H Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan atau Pasal 48 UU nomor 18 Tahun 2004 dengan ancaman penjara 10 tahun dan denda 10 Miliar.

Maklumat yang ditandatangani pada tanggal 7 Juli 2015 oleh jendral bintang satu ini dikeluarkan setelah dirinya beberapa kali terjun langsung ke lapangan. Lebih jauh Arief juga mengimbau agar masyarakat di Kalimantan Barat tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

“Masyarakat diimbau untuk tidak lagi membuka lahan dengan cara dibakar. Banyak dampak dan kerugian yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan. Mulai dari gangguan kesehatan hingga kenyamanan dan kemananan masyarakat bisa terkena dampaknya,” kata Arief.

Sumber : klik di sini

Share Button

Demam Narsis Sambil Menyiksa Satwa

Narsis di media sosial kini bukan hanya dalam bentuk pamer foto dengan dandanan keren atau dengan latar tempat wisata yang sedang dikunjungi. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sebagian orang narsis memaerkan satwa yang disiksanya.

Posting terkait penyiksaan satwa yang paling heboh antara lain dari Danang Sutowijoyo pada 28 Februari 2014 lalu. Dia mengunggah foto kucing yang ditembaknya dalam kondisi masih berdarah-darah.

Bersama posting foto-foto kucing, Danang menulis, “Anak kucing ini meregang nyawa di ujung laras Sharp TIGER baru saya. Kucing naas ini menjadi korban keganasan proyektil kaliber 4,5 mm yang dilesatkan senapan baru saya.”

“Kucing ini saya tembak dari jarak sekitar 20 meter dengan kekuatan 12 kali pompaan. Hasilnya, peluru menembus bagian rahang kucing dan melaju terus hingga keluar dari wajah kucing. Kucing sempat mengalami kejang-kejang dan akhirnya mati 2 menit kemudian. 1 shot 1 kill. Hahahaha.”

Tindakan Danang menuai kecaman. Dia dilaporkan oleh ke polisi oleh Animakl Defenders Indonesia dengan Pasal 302 ayat 2 KUHP tentang penyiksaan binatang. Dampak terburuk, Danang kehilangan pekerjaannya.

Terulang

Setelah kasus Danang, sejumlah kasus penyiksaan hewan kembali terulang. Februari 2015 lalu, sekelompok warga desa Sibide, Kecamatan Silaen, Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara, menjerat harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).

Manullang Adisutomo mengunggah potret beberapa warga yang berfoto dengan harimau. Ada yang menunggangginya, ada yang yang memeluk kepalanya. Sementara, si harimau tak berdaya. Bercak darah terdapat di sampin g tubuhnya.

Minggu lalu, pemilik akun Facebook Polo Panitia Hari Kiamat mengunggah foto orangutan yang dibunuh dan dibakar. Bersama foto itu, dia mengatakan, “Dimasak gawe buka puasa” dan “Yoo dimasak bumbu kecap seger.”

Belakangan, sang pengunggah mengaku bahwa bukan dia yang memburu dan membunuh orangutan. Polo Panitia Hari Kiamat hanya berperan mengunggah. Sementara, berdasarkan penyidikan Kepolisian Resor Kotawaringin Barat, oknum yang membakar berinisial DBU.

Senin (29/6/2015) kemarin, Novtamaputra yang calon pegawai negeri sipil mengunggah foto dirinya bersama bekantan, salah satu hewan yang masuk kategori terancam punah di Indonesia. Bersama fotonya, dia mengatakan, “Hasil berburu…”

Beberapa saat setelah mengunggah, Novatamaputra meminta maaf. “Untuk semua orang saya mohon maaf karena telah mengupload foto ini,” katanya lewat Instagram. “Saya sangat minta maaf karena di foto ini saya tulis ‘hasil berburu’, tapi sebenarnya bukan saya yang berburu.”

Minta Maaf dan Selesai?

Dalam semua kasus penyiksaan dan pengunggahan proses penyiksaan ke media sosial, pelaku selalu minta maaf. Tapi, apakah minta maaf itu menyelesaikan masalah sementara sejumlah satwa yang disika termasuk dilindungi?

Dalam kasus harimau Sumatera misalnya, populasi harimau itu terus berkurang akibat degradasi hutan di Sumatera. Demikian juga dengan bekantan. Populasi bekantan saat ini kurang dari 25.000 di seluruh dunia.

Irma Hermawati dari Wildlife Crime Unit, Wildlife Conservation Society (WCS) kepada Kompas.com, Selasa (30/6/2015), mengungkapkan, “Permohonan maaf itu tidak cukup. Yang pasti kita tidak boleh menyiksa hewan baik yang dilindungi atau tidak.”

Berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 Pasal 21 ayat 2, siapa pun yang membawa, menangkap, membunuh, dan menjual satwa bisa dikenai denda Rp 100 juta dan 5 tahun penjara. Penyiksaan terhadap hewan juga bisa dikenai hukuman berdasarkan Pasal 302 KUHP.

“Dampak media sosial ini luar biasa, Selain penjualan satwa liar, semakin banyak yang upload dengan bangga memburu, menembak, eksploitasi satwa dilindungi dan tidak dilindungi. Kalau ini dibiarkan, akan berpengaruh pada orang lain untuk mengupload hal yang sama,” urainya.

Novtamaputra mengatakan bahwa motivasi posting-nya bersama bekantan adalah guyonan. Anisa Ratna, sekretaris Garda satwa Indonesia mengatakan, “Kalaupun bercanda, guyonan ini memanacing orang untuk merasa tidak apa-apa berburu satwa yang nyaris punah.”

Irma mengatakan, polisi harus serius menangani kasus kriminal terhadap satwa di dunia maya, baik penjualan maupun penyiksaan. Menurut Irma, selama ini polisi belum menganggap serius kasus penyiksaan pada satwa.

Konten pronografi dan yang berbau SARA selama ini dianggap sebagai konten yang tidak pantas untuk diunggah ke internet. Apakah konten penyiksaan terhadap satwa juga bisa diperlakukan sama? Mungkin itu juga perlu dibahas.

Sumber : klik di sini

Share Button

Bebaskan Mangrove dari Sampah dan Limbah

Hutan mangrove Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur, selalu ramai dikunjungi berbagai kelompok atau perusahaan yang mengadakan acara penanaman pohon mangrove. Namun, penanaman mangrove baru sekadar awal. Pemeliharaan menjadi sangat penting ketika sampah dan pencemaran sungai terus mengancam mangrove yang ditanam.

Data Dinas Pertanian Kota Surabaya menyebutkan, setidaknya ada lima acara penanaman mangrove setiap bulan yang dilakukan komunitas, mahasiswa, pelajar, dan perusahaan. Jumlah pohon mangrove yang ditanam dalam setiap acara ratusan hingga ribuan batang.

Acara penanaman pohon mangrove salah satunya digelar Keuskupan Surabaya dan diikuti sekitar 2.400 umat Katolik, Selasa (2/6) pagi. Selain menanam mangrove, peserta sekaligus berolahraga karena mereka harus berjalan kaki 2,5 kilometer untuk sampai ke lokasi penanaman.

“Acara ini merupakan pemicu untuk mengadakan kegiatan pelestarian mangrove,” kata Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono. Kegiatan ini merupakan keinginan umat Katolik di Keuskupan Surabaya dan dirancang sejak satu tahun sebelumnya. Mereka berkomitmen untuk tetap memantau mangrove yang mereka tanam.

Ancaman lingkungan

Hutan Mangrove Wonorejo seluas 800 hektar itu belumlah aman dari berbagai ancaman. Saat ini, hutan itu terancam serbuan sampah plastik yang melilit batang pohon mangrove dan juga limbah domestik yang terbawa arus Kali Wonorejo. Melihat ancaman lingkungan itu, sebagian warga Surabaya tergerak untuk ikut menjaga kawasan mangrove, dengan cara mereka masing-masing.

Sampah-sampah plastik itu banyak yang berserakan di rerimbunan pohon mangrove di sekitar muara Kali Wonorejo. Sampah itu sebagian besar berupa bekas bungkus makanan ringan, tas keresek, dan botol minuman. Arus Kali Wonorejo membawa sampah-sampah itu dari daerah permukiman. Kepala Dinas Pertanian Kota Surabaya Joestamadji mengatakan, saat ini area mangrove di Wonorejo yang rusak karena sampah seluas 2,5 hektar.

Komunitas Nol Sampah Surabaya adalah komunitas pencinta lingkungan yang rutin membersihkan sampah-sampah di kawasan hutan mangrove itu. Minimal, komunitas itu memunguti sampah plastik dua kali setiap bulan, bersama kelompok mahasiswa atau pencinta lingkungan lain.

Setiap kegiatan pembersihan sampah, rata-rata diikuti sampai 60 orang. Mereka turun ke area mangrove di muara Kali Wonorejo pada pagi hari sebelum air laut pasang. Sampah yang mereka pungut lalu dimasukkan ke kantong plastik. Dalam satu kesempatan, mereka dapat mengumpulkan hingga 10 karung plastik sampah. Setiap karung berisi hingga 5 kilogram sampah plastik. Setelah terkumpul, sampah plastik itu didaur ulang.

content

“Melihat jumlah peserta kegiatan, sulit untuk membersihkan sampah secara tuntas,” kata Koordinator Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some. Namun, inti dari kegiatan itu adalah edukasi bahwa sampah plastik, meskipun terlihat sederhana, dapat mematikan pohon mangrove. Mangrove yang sudah ditanam banyak orang itu pun tak mati percuma.

Sampah plastik melilit batang mangrove dalam waktu lama karena sifat plastik yang sulit terurai. Akibatnya, batang mangrove akan tertutup sampah itu sehingga sulit untuk berkembang. Melalui aksi membersihkan kawasan mangrove itu, peserta diharapkan sadar dan mengubah kebiasaan untuk tidak membuang sampah plastik sembarangan.

Limbah domestik

Selain sampah, limbah domestik dari rumah tangga berupa sisa air cucian yang mengandung sabun dan detergen ikut mengalir ke Kali Wonorejo. Ancaman limbah domestik tidak kalah berbahaya dari sampah karena cepat mematikan mangrove, terutama yang anakan.

Indikasi pencemaran limbah domestik terlihat ketika Kali Wonorejo mengeluarkan busa tebal. Busa muncul dan memenuhi permukaan sungai karena pompa di Rumah Pompa Wonorejo dioperasikan. Detergen di dasar sungai teraduk dan memicu munculnya busa.

Tidak hanya mematikan tanaman mangrove, limbah domestik ini juga mematikan sebagian besar udang yang dibudidayakan para petani di sekitar Kali Wonorejo. Bandeng yang dipelihara di tambak yang sama pertumbuhannya lamban.

Berdasarkan kondisi itu, aktivis lingkungan mangrove, Lulut Sri Yuliani, mencoba membuat alternatif sabun dan detergen yang ramah lingkungan. Ia memakai tanaman mangrove dan tanaman obat sebagai bahan dasar pembuatan sabun dan setelah meneliti sejak tahun 2003, upayanya berhasil tahun 2005. Semua itu dilakukan otodidak dengan membaca berbagai jurnal dan studi banding.

Ada empat jenis sabun dari mangrove yang diberi nama Sirvega (sabun cair mangrove dan toga), yaitu sabun untuk mencuci rambut (sampo), sabun untuk mencuci kain batik dan sutra, sabun untuk mengepel lantai, dan sabun untuk mencuci tangan, piring, dan kendaraan. Setiap botol sabun yang berisi 350 mililiter (ml) dijual Rp 20.000 dan setiap botol pembersih lantai berisi 300 ml dijual Rp 6.000.

“Sabun atau detergen dari mangrove ini tidak membahayakan lingkungan karena semua bahannya alami,” kata Lulut, di Surabaya, Rabu (20/5).

Bahan yang dipakai adalah buah mangrove, garam, jeruk nipis, dan tanaman lidah buaya. Lulut menganjurkan untuk menggunakan limbah air detergen mangrove itu untuk menyiram tanaman lain di rumah.

Bersama Koperasi Griya Karya Tiara Kusuma yang didirikannya, Lulut memproduksi sabun-sabun itu dalam skala industri rumahan. Setiap pekan setidaknya dapat dihasilkan 200 botol untuk keempat jenis itu.

Selama ini, sabun-sabun itu dijual di pusat pameran kerajinan tangan. Selain terjual ke daerah lain di Jatim, beberapa produk itu terjual ke Singapura Malaysia, Belanda, Amerika Serikat, dan Jepang. Lulut berencana menguji mutu produk sekaligus merancang mesin supaya produksi jauh lebih banyak.

Kepala Dinas Pertanian Kota Surabaya Joestamadji mengatakan, Dinas Pertanian Kota Surabaya fokus memberdayakan masyarakat untuk terus menjaga kawasan mangrove. “Kami membuka peluang semua masyarakat untuk ikut menanam mangrove di Wonorejo supaya semakin banyak orang yang memantau mangrove. Pasti mereka penasaran dengan perkembangan mangrove yang mereka tanam,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Monyet Hitam Sulawesi, Terancam Punah tetapi Masih Diburu dan Dimakan

Masuk sebagai salah satu primata paling terancam di dunia, monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) ternyata tak cuma berhadapan dengan tantangan lingkungan yang makin berat, tetapi juga hasrat manusia untuk memakannya.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara Sudiyono mengatakan, “Perburuan monyet hitam Sulawesi ini sangat sadis. Pemburu langsung cari pohon tempat tidur monyet dan langsung ditebang. Sekali tebang, mereka bisa dapat satu kelompok.”

Monyet hasil buruan biasanya lalu diasap dan dijual. “Untuk dimakan,” kata Sudiyono saat ditemui di sela pertemuan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Kamis (2/7/2015). “Kalau pesta atau hari raya, perburuannya makin meningkat.”

Tahun 2014 lalu, kasus perburuan monyet hitam sulawesi atauyaki kembali terjadi. Sebanyak 4 pelaku berinisial D, M, F, dan L telah ditangkap. Dua belas monyet hitam sulawesi yang mati dan tiga yang hidup dijadikan barang bukti.

Pelaku dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Meski demikian, vonis terhadap pelaku masih minim, hanya 1 tahun penjara dengan denda Rp 40 juta. Sementara itu, kerugian ekonomi dan ekosistem akan besar jika yaki punah.

Monyet hitam sulawesi menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) sudah masuk kategori kritis (critically endangered) memiliki habitat terbatas di Sulawesi Utara. Jenis yang hidup di Sulawesi Tengah merupakan subspesies berbeda.

“Populasi monyet hitam sulawesi sekarang tinggal sekitar 5.000 ekor, 3.000 ekor di kawasan konservasi, sementara 2.000 ekor di luar,” kata Sudiyono. Dengan habitat terbatas, jumlah itu mengkhawatirkan.

Wildlife Conservation Specialist WWF-Indonesia, Chaerul Saleh, mengungkapkan, untuk memberantas kriminalitas terhadap satwa, penegakan hukum diperlukan. “Sanksi harus diperberat agar memiliki efek jera,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Perdagangan Satwa Liar secara “Online” Mengkhawatirkan

Pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), harus serius memerangi perdagangan online satwa liar. Strategi baru perlu dikembangkan.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, Sudiyono, mengungkapkan, perdagangan satwa liar secaraonline terjadi di daerahnya.

Satwa yang diperdagangkan antara lain kuskus dan monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra). Satu tersangka berinisial DS telah ditangkap.

“Status saat ini, penyidikan oleh Polda Sulawesi Utara,” kata Sudiyono dalam pertemuan di KLHK, Rabu (2/7/2015).

Kasus perdagangan online di Sulawesi Utara itu hanya salah satu contoh. Februari 2015 lalu, jaringan perdagangan online di Garut terungkap.

Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Center for Orangutan Protection menyita 14 jenis hewan langka yang akan diperdagangkan lewat Facebook.

Hewan langka yang diperdagangkan antara lain beruang madu, orangutan, kakatua jambul kuning, dan burung kasuari.

Irma Hermawati dari Wildlife Crime Unit Wildlife Conservation Society (WCS) mengatakan, “Kondisi sekarang sudah darurat satwa. Tiap detik orang posting jual satwa.”

“Yang terpenting usahakan Menhut mendesak Presiden bentuktask force, jadikan isu satwa isu nasional,” imbuhnya.

KLHK juga mesti melakukan langkah progresif agar jaringan perdagangan satwa lewat online bisa lebih banyak terungkap.

“Bisa kerja sama dengan Facebook, dengan e-commerce, revisi UU ITE dengan memasukkan larangan (berjualan satwa liar), menghubungi jasa kirim,” kata Irma.

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan bahwa pihaknya akan mulai menjalin kerja sama.

“Bukan hanya tentang satwa liar nanti, tetapi juga bahan kimia. Sekarang banyak orang beli bahan kimia, seperti merkuri, secaraonline,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Batubara dan Transportasi Penyumbang Emisi Terbesar Sektor Energi

Sektor energi yang sebelumnya tidak menjadi sorotan ternyata menyumbang emisi gas rumah kaca besar. Pendataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap bahwa pada tahun 2013, total emisi karbon dioksida dari energi sebesar 494.998.490 ton.

“Emisi paling besar berasal dari batubara dan transportasi,” ungkap Kirsfianti L Ginoga, Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca di sela Seminar Perubahan Iklim bertema “Implementasi di Tingkat Nasional dan Persiapan Menuju COP 21 Paris” pada Jumat (3/7/2015).

Data Sign Smart yang didapatkan lewat pengukuran emisi dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi itu mengungkap, pada tahun 2000, emisi karbon dioksida dari batubara masih 444.738 ton, tetapi pada tahun 2013 mencapai 2.290.082 ton. Meningkat pesat.

Sementara, pada sektor transportasi, emisi pada tahun 2.000 sebesar 56.454.652 ton. Tahun 2013, emisi meningkat hampir tiga kali lipat, mencapai 142.318.307 ton. Diprediksi, emisi akan terus meningkat bila berlaku business as usual.

Etty menuturkan, data yang ada bisa menjadi rujukan dalam strategi penurunan emisi. “Akan berhasil tidak kita menurunkan emisi sebesar 26 persen seperti yang ditargetkan pada tahun 2020,” katanya.

Menanggapi peningkatan pesat emisi dari sektor energi, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan bahwa Greenpeace telah mengingatkan ancaman tingginya emisi dari energi sejak beberapa tahun terakhir.

“Saat ini, emisi karbon dari sektor energi memang masih lebih rendah dari sektor hutan. Namun, jika ketergantungan pemerintah pada sektor batubara masih dilanjutkan maka emisi karbon dari sektor energi akan melonjak drastis dalam 5 tahun ke depan,” urainya.

Rencana membangun pembangkit listrik 35 GW yang 60 persennya adalah dari batubara merupakan ancaman nyata peningkatan emisi. Arif mengatakan, KLHK harus mengingatkan pemerintah untuk meninjau rencana tersebut.

“KLHK harus menyusun regulasi yang memastikan proyek pembangkit listrik yang akan dibangun ini tidak akan memperburuk kondisi lingkungan dan kualitas udara. Jika Indonesia punya regulasi yang kuat soal ini maka PLTU baru mustahil dibangun,” pungkasnya.

Sumber : klik di sini

Share Button