Narsis di media sosial kini bukan hanya dalam bentuk pamer foto dengan dandanan keren atau dengan latar tempat wisata yang sedang dikunjungi. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sebagian orang narsis memaerkan satwa yang disiksanya.
Posting terkait penyiksaan satwa yang paling heboh antara lain dari Danang Sutowijoyo pada 28 Februari 2014 lalu. Dia mengunggah foto kucing yang ditembaknya dalam kondisi masih berdarah-darah.
Bersama posting foto-foto kucing, Danang menulis, “Anak kucing ini meregang nyawa di ujung laras Sharp TIGER baru saya. Kucing naas ini menjadi korban keganasan proyektil kaliber 4,5 mm yang dilesatkan senapan baru saya.”
“Kucing ini saya tembak dari jarak sekitar 20 meter dengan kekuatan 12 kali pompaan. Hasilnya, peluru menembus bagian rahang kucing dan melaju terus hingga keluar dari wajah kucing. Kucing sempat mengalami kejang-kejang dan akhirnya mati 2 menit kemudian. 1 shot 1 kill. Hahahaha.”
Tindakan Danang menuai kecaman. Dia dilaporkan oleh ke polisi oleh Animakl Defenders Indonesia dengan Pasal 302 ayat 2 KUHP tentang penyiksaan binatang. Dampak terburuk, Danang kehilangan pekerjaannya.
Terulang
Setelah kasus Danang, sejumlah kasus penyiksaan hewan kembali terulang. Februari 2015 lalu, sekelompok warga desa Sibide, Kecamatan Silaen, Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara, menjerat harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Manullang Adisutomo mengunggah potret beberapa warga yang berfoto dengan harimau. Ada yang menunggangginya, ada yang yang memeluk kepalanya. Sementara, si harimau tak berdaya. Bercak darah terdapat di sampin g tubuhnya.
Minggu lalu, pemilik akun Facebook Polo Panitia Hari Kiamat mengunggah foto orangutan yang dibunuh dan dibakar. Bersama foto itu, dia mengatakan, “Dimasak gawe buka puasa” dan “Yoo dimasak bumbu kecap seger.”
Belakangan, sang pengunggah mengaku bahwa bukan dia yang memburu dan membunuh orangutan. Polo Panitia Hari Kiamat hanya berperan mengunggah. Sementara, berdasarkan penyidikan Kepolisian Resor Kotawaringin Barat, oknum yang membakar berinisial DBU.
Senin (29/6/2015) kemarin, Novtamaputra yang calon pegawai negeri sipil mengunggah foto dirinya bersama bekantan, salah satu hewan yang masuk kategori terancam punah di Indonesia. Bersama fotonya, dia mengatakan, “Hasil berburu…”
Beberapa saat setelah mengunggah, Novatamaputra meminta maaf. “Untuk semua orang saya mohon maaf karena telah mengupload foto ini,” katanya lewat Instagram. “Saya sangat minta maaf karena di foto ini saya tulis ‘hasil berburu’, tapi sebenarnya bukan saya yang berburu.”
Minta Maaf dan Selesai?
Dalam semua kasus penyiksaan dan pengunggahan proses penyiksaan ke media sosial, pelaku selalu minta maaf. Tapi, apakah minta maaf itu menyelesaikan masalah sementara sejumlah satwa yang disika termasuk dilindungi?
Dalam kasus harimau Sumatera misalnya, populasi harimau itu terus berkurang akibat degradasi hutan di Sumatera. Demikian juga dengan bekantan. Populasi bekantan saat ini kurang dari 25.000 di seluruh dunia.
Irma Hermawati dari Wildlife Crime Unit, Wildlife Conservation Society (WCS) kepada Kompas.com, Selasa (30/6/2015), mengungkapkan, “Permohonan maaf itu tidak cukup. Yang pasti kita tidak boleh menyiksa hewan baik yang dilindungi atau tidak.”
Berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 Pasal 21 ayat 2, siapa pun yang membawa, menangkap, membunuh, dan menjual satwa bisa dikenai denda Rp 100 juta dan 5 tahun penjara. Penyiksaan terhadap hewan juga bisa dikenai hukuman berdasarkan Pasal 302 KUHP.
“Dampak media sosial ini luar biasa, Selain penjualan satwa liar, semakin banyak yang upload dengan bangga memburu, menembak, eksploitasi satwa dilindungi dan tidak dilindungi. Kalau ini dibiarkan, akan berpengaruh pada orang lain untuk mengupload hal yang sama,” urainya.
Novtamaputra mengatakan bahwa motivasi posting-nya bersama bekantan adalah guyonan. Anisa Ratna, sekretaris Garda satwa Indonesia mengatakan, “Kalaupun bercanda, guyonan ini memanacing orang untuk merasa tidak apa-apa berburu satwa yang nyaris punah.”
Irma mengatakan, polisi harus serius menangani kasus kriminal terhadap satwa di dunia maya, baik penjualan maupun penyiksaan. Menurut Irma, selama ini polisi belum menganggap serius kasus penyiksaan pada satwa.
Konten pronografi dan yang berbau SARA selama ini dianggap sebagai konten yang tidak pantas untuk diunggah ke internet. Apakah konten penyiksaan terhadap satwa juga bisa diperlakukan sama? Mungkin itu juga perlu dibahas.
Sumber : klik di sini