Asap yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan lahan di Jambi kian menyebar. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jambi memperkirakan, hal itu akan berdampak ke negara-negara tetangga seiring dengan pergerakan angin yang cenderung ke utara.
“Arah angin umumnya bergerak dari tenggara dan selatan. Asap dari Sumatera bisa menuju ke negara tetangga,” kata Koordinator Bidang Pengkajian dan Informasi BMKG Jambi Kurnianingsih.
Direktur Eksekutif Walhi Jambi Musri Nauli, Minggu (5/7), di Jambi, menilai, upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Jambi cenderung dilimpahkan kepada negara. Sementara tanggung jawab para pemegang konsesi dalam mengantisipasi kebakaran lahan dalam wilayahnya minim dengan dalih keterbatasan alat, tenaga, dan faktor keamanan.
“Padahal, pengamanan hutan dan lahan dari kebakaran merupakan tanggung jawab yang melekat sejak perusahaan mendapat izin konsesinya,” ujarnya.
Untuk itu, para pemegang konsesi didorong agar sigap mengantisipasi kebakaran lahan di wilayahnya. Kelalaian pemegang konsesi dalam mengatasi masalah tersebut menimbulkan bencana asap yang merugikan masyarakat luas. “Masyarakat tak mau jadi korban akibat perusahaan tidak bertanggung jawab menjaga lahannya,” katanya.
Berdasarkan citra Satelit NOAA yang diolah Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, dari 35 titik panas di Jambi, 17 di antaranya berada di areal konsesi tanaman industri dan perkebunan sawit. Sebaran titik panas terbanyak di konsesi tanaman karet sejumlah perusahaan, termasuk PT Lestari Asri Jaya 5 titik.
Dalam pengendalian kebakaran lahan di konsesinya, Manajer Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Lingkungan PT Lestari Asri Jaya Brian Bermana mengaku meminta bantuan tim manggala agni. Pelibatan pasukan pemadam Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi itu karena faktor keamanan.
“Bukan karena peralatan kami tak memadai, tetapi lokasi yang terbakar adalah wilayah perambahan rawan konflik,” ujarnya. Perusahaannya punya empat mesin pompa dan sekitar 150 petugas pemadam.
Hujan buatan
Kebakaran lahan di Riau sulit teratasi dengan hujan buatan. Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Heru Widodo, kemarin, di Jakarta, musim kemarau yang menuju puncak kekeringan di Riau membuat operasi teknologi modifikasi cuaca sulit memicu hujan akibat awan tak memadai.
Oleh karena itu, kegiatan bom air dinilai lebih mampu membantu untuk mencegah serta mengatasi kebakaran hutan dan lahan. “Secara historis, Riau sedang kemarau. Di sisi lain, tahun ini terjadi El Nino sehingga kekeringan meningkat dan awan bagus sulit didapat,” ucapnya.
El Nino adalah fenomena peningkatan suhu muka laut di Samudra Pasifik sekitar ekuator, yakni bagian timur dan tengah, sebagai hasil interaksi laut dan atmosfer. Itu meningkatkan kekeringan di Indonesia jika bersamaan dengan kemarau.
Apalagi tiga pusat tekanan rendah di area Samudra Pasifik menyedot banyak massa uap air, termasuk yang berpotensi jadi awan di Riau. Itu membuat tim operasi TMC tak setiap hari mendapat awan bagus selama dua pekan kegiatan itu berjalan.
Sejak dimulai Senin (22/6), penaburan garam (NaCl) di udara demi mempercepat proses awan jadi hujan dilakukan 11 kali penerbangan. Garam yang ditaburkan 23,28 ton.
Sumber : klik di sini