Perdagangan Satwa Liar secara “Online” Mengkhawatirkan

Pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), harus serius memerangi perdagangan online satwa liar. Strategi baru perlu dikembangkan.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, Sudiyono, mengungkapkan, perdagangan satwa liar secaraonline terjadi di daerahnya.

Satwa yang diperdagangkan antara lain kuskus dan monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra). Satu tersangka berinisial DS telah ditangkap.

“Status saat ini, penyidikan oleh Polda Sulawesi Utara,” kata Sudiyono dalam pertemuan di KLHK, Rabu (2/7/2015).

Kasus perdagangan online di Sulawesi Utara itu hanya salah satu contoh. Februari 2015 lalu, jaringan perdagangan online di Garut terungkap.

Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Center for Orangutan Protection menyita 14 jenis hewan langka yang akan diperdagangkan lewat Facebook.

Hewan langka yang diperdagangkan antara lain beruang madu, orangutan, kakatua jambul kuning, dan burung kasuari.

Irma Hermawati dari Wildlife Crime Unit Wildlife Conservation Society (WCS) mengatakan, “Kondisi sekarang sudah darurat satwa. Tiap detik orang posting jual satwa.”

“Yang terpenting usahakan Menhut mendesak Presiden bentuktask force, jadikan isu satwa isu nasional,” imbuhnya.

KLHK juga mesti melakukan langkah progresif agar jaringan perdagangan satwa lewat online bisa lebih banyak terungkap.

“Bisa kerja sama dengan Facebook, dengan e-commerce, revisi UU ITE dengan memasukkan larangan (berjualan satwa liar), menghubungi jasa kirim,” kata Irma.

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan bahwa pihaknya akan mulai menjalin kerja sama.

“Bukan hanya tentang satwa liar nanti, tetapi juga bahan kimia. Sekarang banyak orang beli bahan kimia, seperti merkuri, secaraonline,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Batubara dan Transportasi Penyumbang Emisi Terbesar Sektor Energi

Sektor energi yang sebelumnya tidak menjadi sorotan ternyata menyumbang emisi gas rumah kaca besar. Pendataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap bahwa pada tahun 2013, total emisi karbon dioksida dari energi sebesar 494.998.490 ton.

“Emisi paling besar berasal dari batubara dan transportasi,” ungkap Kirsfianti L Ginoga, Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca di sela Seminar Perubahan Iklim bertema “Implementasi di Tingkat Nasional dan Persiapan Menuju COP 21 Paris” pada Jumat (3/7/2015).

Data Sign Smart yang didapatkan lewat pengukuran emisi dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi itu mengungkap, pada tahun 2000, emisi karbon dioksida dari batubara masih 444.738 ton, tetapi pada tahun 2013 mencapai 2.290.082 ton. Meningkat pesat.

Sementara, pada sektor transportasi, emisi pada tahun 2.000 sebesar 56.454.652 ton. Tahun 2013, emisi meningkat hampir tiga kali lipat, mencapai 142.318.307 ton. Diprediksi, emisi akan terus meningkat bila berlaku business as usual.

Etty menuturkan, data yang ada bisa menjadi rujukan dalam strategi penurunan emisi. “Akan berhasil tidak kita menurunkan emisi sebesar 26 persen seperti yang ditargetkan pada tahun 2020,” katanya.

Menanggapi peningkatan pesat emisi dari sektor energi, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan bahwa Greenpeace telah mengingatkan ancaman tingginya emisi dari energi sejak beberapa tahun terakhir.

“Saat ini, emisi karbon dari sektor energi memang masih lebih rendah dari sektor hutan. Namun, jika ketergantungan pemerintah pada sektor batubara masih dilanjutkan maka emisi karbon dari sektor energi akan melonjak drastis dalam 5 tahun ke depan,” urainya.

Rencana membangun pembangkit listrik 35 GW yang 60 persennya adalah dari batubara merupakan ancaman nyata peningkatan emisi. Arif mengatakan, KLHK harus mengingatkan pemerintah untuk meninjau rencana tersebut.

“KLHK harus menyusun regulasi yang memastikan proyek pembangkit listrik yang akan dibangun ini tidak akan memperburuk kondisi lingkungan dan kualitas udara. Jika Indonesia punya regulasi yang kuat soal ini maka PLTU baru mustahil dibangun,” pungkasnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Sasaran Strategis Terwujudnya Keamanan Lingkungan dan Hutan

Tiga tahun terakhir, Indonesia kehilangan 200 Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Catatan dari WWF Indonesia menunjukkan pada tahun 2012, 36 gajah ditemukan mati. Penyebab kematian utama adalah karena racun, sementara beberapa kasus disebabkan oleh kena setrum atau terjerat di perkebunan sawit. Secara keseluruhan, kematian gajah di Pulau Sumatera dalam tiga tahun terakhir sekitar 200 ekor. Padahal berdasarkan data Forum Gajah Indonesia 2014, populasi gajah di Sumatera sebanyak 1.700 ekor.

“Jika hukum tidak ditegakkan untuk mencegah pembunuhan dan perburuan, gajah sumatera bisa punah dalam waktu kurang dari 10 tahun,” ujar Sunarto, Wildlife Species WWF-Indonesia. “Populasi gajah sumatera menurun drastis. Kami mendesak dan siap mendukung tim penegak hukum untuk segera mengungkap kasus ini agar pihak-pihak terlibat dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya,” lanjutnya.

Dalam kegiatan penanganan pidana kehutanan terdapat 27 kasus yang menangani tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi (TSL). Dalam 27 kasus tersebut, 14 diantaranya merupakan kasus yang terkait hewan mamalia. Jumlah tersebut kurang dari jumlah populasi gajah yang ditemukan mati.

Pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya Pasal 21 (2) dijelaskan secara rinci mengenai apa yang tidak boleh dilakukan terhadap satwa yang dilindungi.

Berdasarkan mandat penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan (LHK) tersebut, Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho, memberitahu bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki beberapa sasaran strategis. Sasaran strategis tersebut, yakni jumlah aparat penegak hukum bidang lingkungan hidup (LH) dan kehutanan yang dibina dan ditingkatkan kapasitasnya sebanyak 3.600 orang/tahun, penyelesaian pelanggaran administrasi dan perdata sebesar 75% dari jumlah kasus dan sengketa yang ditangani, penyelesaian tindak pidana LHK (P21) sebesar 75% dari kasus pidana yang ditangani, serta jumlah pelanggaran hukum lingkungan dan kehutanan menurun 20%. Sasaran-sasaran strategis ini berharap terwujudnya keamanan lingkungan dan hutan melalui peningkatan ketaatan terhadap hukum lingkungan dan kehutanan.

Ada pula beberapa strategi yang dapat digunakan guna terwujudnya visi tersebut, yakni pencegahan yang dilakukan dengan sosialisasi, pengawasan dan pengamanan, lalu penguatan jejaring kerja, administrasi, pidana, dan penguatan dengan pendekatan sains.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berharap masyarakat dapat turut mengawasi dan membantu terwujudnya keamanan lingkungan dan hutan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Ratusan Trenggiling yang akan Diselundupkan melalui Bandara Juanda Ditulis Ikan Segar

Upaya penyelundupan 455 ekor trenggiling mati dengan berat 1.390 kilogram melalui Bandara Internasional Juanda, Surabaya tujuan Singapura berhasil digagalkan. Petugas Kantor Pengawas dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda, menyita barang bukti tersebut yang dikemas dalam 43 kotak dan disamarkan bersama ikan segar.

Iwan Hermawan, Kepala Kantor Pengawas dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda, menuturkan tertangkapnya pelaku berinisial KWP, asal Sidoarjo, Jawa Timur, berawal dari kecurigaan petugas dan PT. JAS selaku cargo handling, mengenai ekspor barang yang tidak sesuai dengan pemberitahuan alias dokumen pelengkap pabean.

“Informasi dokumen ekspor menyebutkan barang itu sebagai ikan segar. Setelah diperiksa, isinya trenggiling mati yang sudah tidak ada kulitnya. Ada dua karton berisi ikan segar, sedangkan 41 karton merupakan trenggiling. Modusnya, diatas paket tersebut dilapisi ikan segar sebagai kamuflase,” kata Iwan.

Petugas masih menelusuri dari mana trenggiling yang akan diekspor ke Singapura berasal. Meski, berdasarkan informasi dari Bea Cukai Jakarta yang juga pernah menggagalkan penyelundupan trenggiling, satwa ini diperoleh dari di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. “Tersangka belum mengaku dari mana asal barang tersebut. Ia hanya mengaku menerima titipan dari orang yang mengirimkan. Hingga di sini mata rantai putus.”

Iwan menambahkan, trenggiling termasuk komoditi yang laku di pasar mancanegara, seperti Singapura, Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam. Dari penyidikan petugas, nilai jual dagingnya seberat 1,3 ton akan mencapai 3,4 miliar rupiah. Atau, 2,5 juta rupiah per kilogram.

“Biasanya dijual ke pasar Singapura sebagai bahan kosmetik, bahan makanan restoran, hingga bahan obat-obatan tradisional. Belum lagi sisiknya, yang menurut informasi dapat digunakan untuk precursor bahan pembuat sabu.”

Atas perbuatan yang dikategorikan menyerahkan pemberitahuan pabean palsu atau dipalsukan, dan barang tidak sesuai dengan pemberitahuan, pelaku terancam pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. Atau, denda paling sedikit 100 juta rupiah dan maksimal 5 miliar rupiah.

”Tersangka dititipkan di Rumah Tahanan Kelas IIA Sidoarjo. Sedangkan barang bukti akan dimusnahkan, dan dilakukan penyisihan sebagian untuk selanjutnya diserahkan ke Kejaksaan Sidoarjo demi kepentingan pembuktian,” tandas Iwan.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I, Rahmad Subagyo menambahkan, trenggiling merupakan satwa dilindung di Indonesia dan dunia, karena termasuk apendik 1 atau sangat langka. Penyelidikan yang dilakukan masih menelusuri jaringan maupun asal satwa itu didapat. “Penyidikan masih dilakukan, sambil kami informasikan ke BKSDA Jatim dan Balai Karantina guna penanganan lebih lanjut,” ujar Rahmad.

Trenggiling (Manis javanica) merupakan satwa yang tubuhnya dilindungi sisik. Di Indonesia, populasinya tersebar di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Meski telah dilindungi, namun perburuan terus terjadi.

Sumber : klik di sini

Share Button