Instrumen di Daerah Mulai Dirombak

Penggabungan dua kementerian menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membawa konsekuensi perombakan struktur dan instrumen penegakan hukum di daerah. Perombakan untuk memaksimalkan sumber daya manusia dan keberadaan unit pelaksana teknis di daerah dalam fungsi pengamanan dan penegakan hukum.

“Perombakan akan memengaruhi cara kerja di daerah. Tahun ini selesai,” kata Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian LHK, Kamis (2/7), di Jakarta. Ia didampingi direktur dan tujuh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BSKDA) dan Taman Nasional memaparkan tantangan penegakan hukum lingkungan dan kehutanan.

Saat ini, KLHK menangani 169 kasus lingkungan dan kehutanan: 134 proses hukum pidana, 25 proses sengketa/perdata, dan 10 proses administrasi.

Rasio mengatakan, pihaknya punya beberapa pandangan dan opsi menyesuaikan cara kerja UPT dengan semangat penegakan hukum tegas. Opsi itu antara lain membangun UPT yang koordinatif di daerah.

Di daerah, KLHK punya Pusat Pengelolaan Ekoregion dari Kementerian Lingkungan Hidup dan BKSDA/Balai Taman Nasional maupun Brigade Polisi Reaksi Cepat (SPORC) di beberapa daerah. “Kami sedang mempelajari apakah SPORC dan unit kerja akan diformulasikan bersama PPE atau BKSDA dengan fungsi penegakan hukum melekat,” katanya.

Selain itu, keberadaan 416 penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) lingkungan dan 1.043 PPNS Kehutanan yang sama-sama menjalankan amanat UU No 32/2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No 41/1999 tentang Kehutanan diupayakan dilebur. Artinya, PPNSLH bisa menyidik kasus kehutanan dan sebaliknya.

Secara terpisah, pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor Basuki Wasis optimistis peleburan penegak hukum lingkungan dan kehutanan akan membawa kemajuan penanganan isu-isu kejahatan sumber daya alam. “Semua masalah izin hingga dokumen lingkungan sekarang dipegang KLHK. KLHK juga punya perundangan kuat dan instrumen hukum lengkap,” katanya.

Namun, ia mengingatkan agar KLHK peka membaca posisi pelaku korporasi. “Dari pengalaman, untuk kasus korporasi nasional sulit mengandalkan penegak hukum di daerah. Lebih baik langsung dipegang Jakarta,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Sebanyak 2000 Kampung Iklim Ditargetkan Berfungsi di 2019

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan sekitar 2.000 lokasi yang tersebar di Indonesia akan dijadikan sebagai Kampung Iklim pada tahun 2019.

“Pada tahun 2019 mendatang target kami ada sekitar 2.000 kampung iklim yang menyebar di seluruh Indonesia,” kata Dirjen Pengendalian Iklim Nur Masripatin di Jakarta, Senin.

Kampung iklim tersebut, merupakan target yang ingin dicapai Kementerian LHK dalam Program Kampung Iklim (Proklim) sejak peluncurannya pada Oktober 2011 lalu.

Proklim tersebut adalah langkah dalam memperkuat aksi nyata di tingkat lokal yang dapat berkontribusi terhadap upaya mitigasi untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca. Ini juga sebagai upaya adaptasi untuk meningkatkan kapasitas seluruh pihak dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

“Aksi nyata adaptasi dan mitigasi perubahan iklim menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan strategi pembangunan rendah karbon dan tahan perubahan iklim, yang perlu terus dikembangkan dan diperkuat pelaksanaannya,” ujar Masripatin.

Dengan adanya Proklim ini yang menggandeng berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesai sebagai mitra strategis dalam melakukan riset, Masripatin mengharapkan dapat menjadi contoh pihak lainnya untuk ikut serta dalam aksi nyata mengurangi gas emisi rumah kaca.

“Lokasi Proklim ini merupakan pembelajaran bagi daerah lain, swasta, instansi pemerintah dan perorangan agar bisa juga berperan serta dalam aksi nyata dalam pengurangan emisi gas dan mitigasi perubahan iklim,” ucapnya.

Dari data yang dimilikinya, Masripatin mengatakan sepanjang tahun 2012 sampai 2014, telah diterima sebanyak 412 pengusulan lokasi Proklim yang tersebar di 23 provinsi di Indonesia.

“Verifikasi lapangan telah dilaksanakan di 322 lokasi untuk melihat keberadaan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bekerjasama dengan pemerintah daerah,” ujarnya.

Sedangkan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat dikembangkan dan dilaksanakan di tingkat lokal mencakup hal dalam pengendalian bencana alam (banjir, longsor atau kekeringan), peningkatan ketahanan pangan, penanganan kenaikan muka air laut, pengendalian penyakit terkait iklim serta pengelolaan dan pemanfaatan limbah.

“Lalu penggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi; Budidaya pertanian rendah emisi gas rumah kaca; Peningkatan tutupan vegetasi serta pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan,” jelasnya.

Dari keterangannya, para penerima penghargaan Proklim, juga akan menjadi nara sumber untuk kegiatan CSR industri, memperoleh penghargaan dari institusi lain dan mendapatkan bimbingan teknis mengenai akses pendanaan untuk program yang mereka kerjakan.

Sementara itu, keberadaan kelompok masyarakat dan tokoh lokal yang mampu berperan sebagai penggerak pelaksanaan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta ketersediaan instrumen pendukung lainnya merupakan faktor penting yang dievaluasi dalam proses penilaian usulan Proklim.

Pengusulan lokasi Proklim kepada KLH dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik secara individu maupun kelompok yang mempunyai informasi bahwa masyarakat di lokasi tertentu telah melakukan aksi lokal yang dapat mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Sumber : klik di sini

Share Button

Kebakaran Lahan Tak Kunjung Reda, Kapolda Kalbar Keluarkan Maklumat

Sudah sepekan Kota Pontianak diselimuti kabut asap. Bahkan partikel abu tipis beterbangan ke arah kota, hingga masuk ke rumah penduduk. Kondisi ini tentu saja sangat membahayakan kesehatan masyarakat.

Kebakaran hutan dan lahan jadi pemicunya, yang terjadi sejak Kamis (2/7/2015) pekan lalu di wilayah Kabupaten Kubu Raya dan pinggiran Kota Pontianak, hingga hari ini. Cuaca panas disertai udara pengap pun dirasakan masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya.

Kapolda Kalimantan Barat, Brigjen Pol Arief Sulistyanto kemudian mengeluarkan maklumat kepolisian menyikapi terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut. Maklumat kepolisian dengan Nomor: Mak/01/VII/2015/Polda Kalbar memuat tentang larangan pembakaran hutan dan kebun.

Maklumat tersebut merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan rasa aman dan kenyamanan masyarakat di wilayah Kalimantan Barat. Maklumat yang berisi imbauan dan larangan tersebut mencakup tiga poin, yaitu:

1. Bahwa saat ini di wilayah Kalimantan Barat telah memasuki musim kemarau dengan suhu yang cukup tinggi sehingga menimbulkan kekeringan pada lahan yang rawan terjadinya kebakaran.

2. Kepada seluruh warga masyarakat atau pihak manapun di Kalimantan Barat agar tidak melakukan pembakaran lahan, hutan, dan kebun ataupun tindakan lain dengan tujuan apapun, baik sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menimbulkan terjadinya bahaya asap dan rusaknya lingkungan hidup serta gangguan kesehatan dan kegiatan masyarakat lainnya.

3. Bilamana ada pihak-pihak yang melakukan pembakaran hutan, lahan, dan kebun akan diberikan tindakan hukum yang tegas dengan ancaman hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun penjara serta denda 15 miliar rupiah sebagimana ketentuan Pasal 108 Jo Pasal 69 huruf H Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan atau Pasal 48 UU nomor 18 Tahun 2004 dengan ancaman penjara 10 tahun dan denda 10 Miliar.

Maklumat yang ditandatangani pada tanggal 7 Juli 2015 oleh jendral bintang satu ini dikeluarkan setelah dirinya beberapa kali terjun langsung ke lapangan. Lebih jauh Arief juga mengimbau agar masyarakat di Kalimantan Barat tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

“Masyarakat diimbau untuk tidak lagi membuka lahan dengan cara dibakar. Banyak dampak dan kerugian yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan. Mulai dari gangguan kesehatan hingga kenyamanan dan kemananan masyarakat bisa terkena dampaknya,” kata Arief.

Sumber : klik di sini

Share Button

Demam Narsis Sambil Menyiksa Satwa

Narsis di media sosial kini bukan hanya dalam bentuk pamer foto dengan dandanan keren atau dengan latar tempat wisata yang sedang dikunjungi. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sebagian orang narsis memaerkan satwa yang disiksanya.

Posting terkait penyiksaan satwa yang paling heboh antara lain dari Danang Sutowijoyo pada 28 Februari 2014 lalu. Dia mengunggah foto kucing yang ditembaknya dalam kondisi masih berdarah-darah.

Bersama posting foto-foto kucing, Danang menulis, “Anak kucing ini meregang nyawa di ujung laras Sharp TIGER baru saya. Kucing naas ini menjadi korban keganasan proyektil kaliber 4,5 mm yang dilesatkan senapan baru saya.”

“Kucing ini saya tembak dari jarak sekitar 20 meter dengan kekuatan 12 kali pompaan. Hasilnya, peluru menembus bagian rahang kucing dan melaju terus hingga keluar dari wajah kucing. Kucing sempat mengalami kejang-kejang dan akhirnya mati 2 menit kemudian. 1 shot 1 kill. Hahahaha.”

Tindakan Danang menuai kecaman. Dia dilaporkan oleh ke polisi oleh Animakl Defenders Indonesia dengan Pasal 302 ayat 2 KUHP tentang penyiksaan binatang. Dampak terburuk, Danang kehilangan pekerjaannya.

Terulang

Setelah kasus Danang, sejumlah kasus penyiksaan hewan kembali terulang. Februari 2015 lalu, sekelompok warga desa Sibide, Kecamatan Silaen, Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara, menjerat harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).

Manullang Adisutomo mengunggah potret beberapa warga yang berfoto dengan harimau. Ada yang menunggangginya, ada yang yang memeluk kepalanya. Sementara, si harimau tak berdaya. Bercak darah terdapat di sampin g tubuhnya.

Minggu lalu, pemilik akun Facebook Polo Panitia Hari Kiamat mengunggah foto orangutan yang dibunuh dan dibakar. Bersama foto itu, dia mengatakan, “Dimasak gawe buka puasa” dan “Yoo dimasak bumbu kecap seger.”

Belakangan, sang pengunggah mengaku bahwa bukan dia yang memburu dan membunuh orangutan. Polo Panitia Hari Kiamat hanya berperan mengunggah. Sementara, berdasarkan penyidikan Kepolisian Resor Kotawaringin Barat, oknum yang membakar berinisial DBU.

Senin (29/6/2015) kemarin, Novtamaputra yang calon pegawai negeri sipil mengunggah foto dirinya bersama bekantan, salah satu hewan yang masuk kategori terancam punah di Indonesia. Bersama fotonya, dia mengatakan, “Hasil berburu…”

Beberapa saat setelah mengunggah, Novatamaputra meminta maaf. “Untuk semua orang saya mohon maaf karena telah mengupload foto ini,” katanya lewat Instagram. “Saya sangat minta maaf karena di foto ini saya tulis ‘hasil berburu’, tapi sebenarnya bukan saya yang berburu.”

Minta Maaf dan Selesai?

Dalam semua kasus penyiksaan dan pengunggahan proses penyiksaan ke media sosial, pelaku selalu minta maaf. Tapi, apakah minta maaf itu menyelesaikan masalah sementara sejumlah satwa yang disika termasuk dilindungi?

Dalam kasus harimau Sumatera misalnya, populasi harimau itu terus berkurang akibat degradasi hutan di Sumatera. Demikian juga dengan bekantan. Populasi bekantan saat ini kurang dari 25.000 di seluruh dunia.

Irma Hermawati dari Wildlife Crime Unit, Wildlife Conservation Society (WCS) kepada Kompas.com, Selasa (30/6/2015), mengungkapkan, “Permohonan maaf itu tidak cukup. Yang pasti kita tidak boleh menyiksa hewan baik yang dilindungi atau tidak.”

Berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 Pasal 21 ayat 2, siapa pun yang membawa, menangkap, membunuh, dan menjual satwa bisa dikenai denda Rp 100 juta dan 5 tahun penjara. Penyiksaan terhadap hewan juga bisa dikenai hukuman berdasarkan Pasal 302 KUHP.

“Dampak media sosial ini luar biasa, Selain penjualan satwa liar, semakin banyak yang upload dengan bangga memburu, menembak, eksploitasi satwa dilindungi dan tidak dilindungi. Kalau ini dibiarkan, akan berpengaruh pada orang lain untuk mengupload hal yang sama,” urainya.

Novtamaputra mengatakan bahwa motivasi posting-nya bersama bekantan adalah guyonan. Anisa Ratna, sekretaris Garda satwa Indonesia mengatakan, “Kalaupun bercanda, guyonan ini memanacing orang untuk merasa tidak apa-apa berburu satwa yang nyaris punah.”

Irma mengatakan, polisi harus serius menangani kasus kriminal terhadap satwa di dunia maya, baik penjualan maupun penyiksaan. Menurut Irma, selama ini polisi belum menganggap serius kasus penyiksaan pada satwa.

Konten pronografi dan yang berbau SARA selama ini dianggap sebagai konten yang tidak pantas untuk diunggah ke internet. Apakah konten penyiksaan terhadap satwa juga bisa diperlakukan sama? Mungkin itu juga perlu dibahas.

Sumber : klik di sini

Share Button

Bebaskan Mangrove dari Sampah dan Limbah

Hutan mangrove Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur, selalu ramai dikunjungi berbagai kelompok atau perusahaan yang mengadakan acara penanaman pohon mangrove. Namun, penanaman mangrove baru sekadar awal. Pemeliharaan menjadi sangat penting ketika sampah dan pencemaran sungai terus mengancam mangrove yang ditanam.

Data Dinas Pertanian Kota Surabaya menyebutkan, setidaknya ada lima acara penanaman mangrove setiap bulan yang dilakukan komunitas, mahasiswa, pelajar, dan perusahaan. Jumlah pohon mangrove yang ditanam dalam setiap acara ratusan hingga ribuan batang.

Acara penanaman pohon mangrove salah satunya digelar Keuskupan Surabaya dan diikuti sekitar 2.400 umat Katolik, Selasa (2/6) pagi. Selain menanam mangrove, peserta sekaligus berolahraga karena mereka harus berjalan kaki 2,5 kilometer untuk sampai ke lokasi penanaman.

“Acara ini merupakan pemicu untuk mengadakan kegiatan pelestarian mangrove,” kata Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono. Kegiatan ini merupakan keinginan umat Katolik di Keuskupan Surabaya dan dirancang sejak satu tahun sebelumnya. Mereka berkomitmen untuk tetap memantau mangrove yang mereka tanam.

Ancaman lingkungan

Hutan Mangrove Wonorejo seluas 800 hektar itu belumlah aman dari berbagai ancaman. Saat ini, hutan itu terancam serbuan sampah plastik yang melilit batang pohon mangrove dan juga limbah domestik yang terbawa arus Kali Wonorejo. Melihat ancaman lingkungan itu, sebagian warga Surabaya tergerak untuk ikut menjaga kawasan mangrove, dengan cara mereka masing-masing.

Sampah-sampah plastik itu banyak yang berserakan di rerimbunan pohon mangrove di sekitar muara Kali Wonorejo. Sampah itu sebagian besar berupa bekas bungkus makanan ringan, tas keresek, dan botol minuman. Arus Kali Wonorejo membawa sampah-sampah itu dari daerah permukiman. Kepala Dinas Pertanian Kota Surabaya Joestamadji mengatakan, saat ini area mangrove di Wonorejo yang rusak karena sampah seluas 2,5 hektar.

Komunitas Nol Sampah Surabaya adalah komunitas pencinta lingkungan yang rutin membersihkan sampah-sampah di kawasan hutan mangrove itu. Minimal, komunitas itu memunguti sampah plastik dua kali setiap bulan, bersama kelompok mahasiswa atau pencinta lingkungan lain.

Setiap kegiatan pembersihan sampah, rata-rata diikuti sampai 60 orang. Mereka turun ke area mangrove di muara Kali Wonorejo pada pagi hari sebelum air laut pasang. Sampah yang mereka pungut lalu dimasukkan ke kantong plastik. Dalam satu kesempatan, mereka dapat mengumpulkan hingga 10 karung plastik sampah. Setiap karung berisi hingga 5 kilogram sampah plastik. Setelah terkumpul, sampah plastik itu didaur ulang.

content

“Melihat jumlah peserta kegiatan, sulit untuk membersihkan sampah secara tuntas,” kata Koordinator Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some. Namun, inti dari kegiatan itu adalah edukasi bahwa sampah plastik, meskipun terlihat sederhana, dapat mematikan pohon mangrove. Mangrove yang sudah ditanam banyak orang itu pun tak mati percuma.

Sampah plastik melilit batang mangrove dalam waktu lama karena sifat plastik yang sulit terurai. Akibatnya, batang mangrove akan tertutup sampah itu sehingga sulit untuk berkembang. Melalui aksi membersihkan kawasan mangrove itu, peserta diharapkan sadar dan mengubah kebiasaan untuk tidak membuang sampah plastik sembarangan.

Limbah domestik

Selain sampah, limbah domestik dari rumah tangga berupa sisa air cucian yang mengandung sabun dan detergen ikut mengalir ke Kali Wonorejo. Ancaman limbah domestik tidak kalah berbahaya dari sampah karena cepat mematikan mangrove, terutama yang anakan.

Indikasi pencemaran limbah domestik terlihat ketika Kali Wonorejo mengeluarkan busa tebal. Busa muncul dan memenuhi permukaan sungai karena pompa di Rumah Pompa Wonorejo dioperasikan. Detergen di dasar sungai teraduk dan memicu munculnya busa.

Tidak hanya mematikan tanaman mangrove, limbah domestik ini juga mematikan sebagian besar udang yang dibudidayakan para petani di sekitar Kali Wonorejo. Bandeng yang dipelihara di tambak yang sama pertumbuhannya lamban.

Berdasarkan kondisi itu, aktivis lingkungan mangrove, Lulut Sri Yuliani, mencoba membuat alternatif sabun dan detergen yang ramah lingkungan. Ia memakai tanaman mangrove dan tanaman obat sebagai bahan dasar pembuatan sabun dan setelah meneliti sejak tahun 2003, upayanya berhasil tahun 2005. Semua itu dilakukan otodidak dengan membaca berbagai jurnal dan studi banding.

Ada empat jenis sabun dari mangrove yang diberi nama Sirvega (sabun cair mangrove dan toga), yaitu sabun untuk mencuci rambut (sampo), sabun untuk mencuci kain batik dan sutra, sabun untuk mengepel lantai, dan sabun untuk mencuci tangan, piring, dan kendaraan. Setiap botol sabun yang berisi 350 mililiter (ml) dijual Rp 20.000 dan setiap botol pembersih lantai berisi 300 ml dijual Rp 6.000.

“Sabun atau detergen dari mangrove ini tidak membahayakan lingkungan karena semua bahannya alami,” kata Lulut, di Surabaya, Rabu (20/5).

Bahan yang dipakai adalah buah mangrove, garam, jeruk nipis, dan tanaman lidah buaya. Lulut menganjurkan untuk menggunakan limbah air detergen mangrove itu untuk menyiram tanaman lain di rumah.

Bersama Koperasi Griya Karya Tiara Kusuma yang didirikannya, Lulut memproduksi sabun-sabun itu dalam skala industri rumahan. Setiap pekan setidaknya dapat dihasilkan 200 botol untuk keempat jenis itu.

Selama ini, sabun-sabun itu dijual di pusat pameran kerajinan tangan. Selain terjual ke daerah lain di Jatim, beberapa produk itu terjual ke Singapura Malaysia, Belanda, Amerika Serikat, dan Jepang. Lulut berencana menguji mutu produk sekaligus merancang mesin supaya produksi jauh lebih banyak.

Kepala Dinas Pertanian Kota Surabaya Joestamadji mengatakan, Dinas Pertanian Kota Surabaya fokus memberdayakan masyarakat untuk terus menjaga kawasan mangrove. “Kami membuka peluang semua masyarakat untuk ikut menanam mangrove di Wonorejo supaya semakin banyak orang yang memantau mangrove. Pasti mereka penasaran dengan perkembangan mangrove yang mereka tanam,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Monyet Hitam Sulawesi, Terancam Punah tetapi Masih Diburu dan Dimakan

Masuk sebagai salah satu primata paling terancam di dunia, monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) ternyata tak cuma berhadapan dengan tantangan lingkungan yang makin berat, tetapi juga hasrat manusia untuk memakannya.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara Sudiyono mengatakan, “Perburuan monyet hitam Sulawesi ini sangat sadis. Pemburu langsung cari pohon tempat tidur monyet dan langsung ditebang. Sekali tebang, mereka bisa dapat satu kelompok.”

Monyet hasil buruan biasanya lalu diasap dan dijual. “Untuk dimakan,” kata Sudiyono saat ditemui di sela pertemuan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Kamis (2/7/2015). “Kalau pesta atau hari raya, perburuannya makin meningkat.”

Tahun 2014 lalu, kasus perburuan monyet hitam sulawesi atauyaki kembali terjadi. Sebanyak 4 pelaku berinisial D, M, F, dan L telah ditangkap. Dua belas monyet hitam sulawesi yang mati dan tiga yang hidup dijadikan barang bukti.

Pelaku dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Meski demikian, vonis terhadap pelaku masih minim, hanya 1 tahun penjara dengan denda Rp 40 juta. Sementara itu, kerugian ekonomi dan ekosistem akan besar jika yaki punah.

Monyet hitam sulawesi menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) sudah masuk kategori kritis (critically endangered) memiliki habitat terbatas di Sulawesi Utara. Jenis yang hidup di Sulawesi Tengah merupakan subspesies berbeda.

“Populasi monyet hitam sulawesi sekarang tinggal sekitar 5.000 ekor, 3.000 ekor di kawasan konservasi, sementara 2.000 ekor di luar,” kata Sudiyono. Dengan habitat terbatas, jumlah itu mengkhawatirkan.

Wildlife Conservation Specialist WWF-Indonesia, Chaerul Saleh, mengungkapkan, untuk memberantas kriminalitas terhadap satwa, penegakan hukum diperlukan. “Sanksi harus diperberat agar memiliki efek jera,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button