Khasiat Kayu Manis yang Memiliki Efek Antivirus

KAYU manis (Cinnamomum verum) adalah sejenis pohon penghasil rempah-rempah. Orang sering menggunakan rempah-rempah ke dalam makanan. Kayu manis telah digunakan di Mesir Kuno sejak 5000 tahun yang lalu dan merupakan salah satu bumbu makanan tertua yang telah digunakan oleh manusia.

Selama ini kayu manis lebih dikenal sebagai bahan makanan yang biasa dicampur kedalam masakan, kue ataupun minuman. Selain sebagai penambah rasa dan memiliki aroma yang sedap, kayu manis ternyata juga memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan.

Sebuah studi dari Touro College di New York menunjukkan bahwa kayu manis mungkin memiliki efek antivirus dan membantu mencegah infeksi pada manusia.

Dr. Milton Schiffenbauer, peneliti dari New York School of Applied Studies dan timnya membandingkan Saign dan cinnamons Ceylon serta ekstrak botani lainnya termasuk bawang, cengkeh, peppermint, kakao dan kunyit Spanyol. Mereka menemukan bahwa kayu manis bisa menonaktifkan virus di beberapa organisme sedangkan ekstrak lainnya tidak.

Para peneliti mengevaluasi ekstrak terhadap Phi X, virus yang menginfeksi bakteri dan memiliki kesamaan dengan virus yang menginfeksi hewan dan manusia. Setelah 24 jam inkubasi, ekstrak dengan 10 persen kayu manis mampu menonaktifkan virus hanya dalam waktu 10 menit saja.

“Ekstrak kayu manis memiliki kekuatan untuk merusak struktur virus phix,” kata Schiffenbauer, seperti dilansir laman Fox News, Senin (29/6).

“Kami meyakini bahwa diet yang mencakup satu sendok makan kayu manis sekali atau dua kali sehari bisa dengan efektif menghilangkan atau mencegah virus menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit, seperti pilek, flu dan bahkan herpes,” pungkas Schiffenbauer.

Sumber : klik di sini

Share Button

Lika-liku Satu-satunya Peneliti Kalacemeti Asia dari Indonesia

Gua bawah tanah tak sekadar taman bermain bagi Dr Cahyo Rahmadi (39). Penelusur gua sekaligus peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini memilih jalan sunyi yang tak banyak diminati: peneliti biologi gua. Di Asia, ia menjadi satu-satunya peneliti kalacemeti alias laba-laba gua.

Bersetia pada pelestarian gua, Cahyo diakui dunia internasional sebagai penemu beragam spesies aneh yang telah beradaptasi dengan kehidupan tanpa cahaya, jauh di bawah bumi. Bagaimana tidak aneh, spesies baru temuannya itu memiliki perawakan yang sekilas menakutkan. Akibat bertahan hidup di ekosistem terisolasi, mereka memiliki morfologi unik, seperti kaki panjang, tubuh berduri, mata hilang, hingga wajah pucat.

“Banyak konsekuensi hidup di gua gelap total. Sekilas menakutkan, padahal tidak berbahaya. Kalacemeti tidak beracun dan belum ada peneliti lain di Asia yang meneliti. Di Indonesia pun belum banyak yang tahu. Setiap kali ke gua pasti ada sesuatu yang baru. Bahkan, di Jawa pun masih banyak peluang eksplorasi spesies baru,” kata Cahyo.

Menekuni keahlian taksonomi amblypygi, biologi gua, dan konservasi karst, lebih dari 12 spesies baru telah ditemukan dan diberi nama oleh Cahyo dan timnya. Beberapa spesies temuan barunya dari beragam gua di Indonesia adalah Amauropelma matakecil (2012),Sarax mardua (2010), Stenasellus javanicus (2006), dan Stygophrynus sunda (2008).

Kalacemeti gua

Sebagai penemu, Cahyo berhak memberi nama spesies baru yang ditemukannya. Sebuah spesies laba-laba gua yang ditemukan di kawasan karst Sangkulirang, Kalimantan Timur, sengaja diberi nama Sarax yayukae (2010). Nama ini didedikasikan untuk Prof Dr Yayuk R Suhardjono sebagai penghargaan atas sumbangsihnya bagi pengetahuan biologi gua di Indonesia.

Sarax yayukae bertubuh mini, panjangnya 6-16 mm. Tubuhnya semakin unik karena dilengkapi capit dengan duri tajam dan sepasang kaki terdepan bermodifikasi menjadi antena serta berjalan dengan tiga pasang kaki, berbeda dengan laba-laba pada umumnya yang berjalan dengan empat pasang kaki.

“Berperan sebagai predator. Jumlah kalacemeti ini sangat sedikit, hanya 170 spesies di seluruh dunia. Di Indonesia sampai saat ini ada minimal 30 spesies laba-laba gua. Kami terus mencari manfaatnya bagi manusia,” kata Cahyo.

Saat ini, Cahyo telah menelusuri hampir semua gua di pulau besar di Indonesia. Dalam setahun, minimal ia menjelajah ke tiga gua berbeda. Sama seperti penelusur gua lainnya, ia harus menuruni gua dengan standar keamanan tinggi untuk menjangkau lokasi ekstrem tempat hidup spesies unik ini.

Alat tambahan perlengkapan masuk gua lainnya yang wajib dibawa terkesan “aneh”, seperti sendok, pinset, hingga alkohol untuk mengambil dan mengawetkan spesimen gua yang mayoritas berukuran mini. Jika hanya menemukan beberapa spesies unik, semuanya akan diambil untuk diteliti. Idealnya, ia membutuhkan 10 spesimen demi keperluan penelitian lanjutan di laboratorium.

“Saya tidak bisa mengharapkan kesempatan kedua. Masuk gua harus lebih telaten dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Belum tentu saya bisa kembali datang lagi dan belum tentu bertemu lagi dengan spesies yang sama,” tambah Cahyo.

Hidup di lokasi unik dengan proses evolusi panjang menjadikan biota gua semakin menarik. Spesies baru yang tak terduga pun masih bisa ditemukan di gua-gua di Jawa. Di Gua Cikaray, Cibinong, Jawa Barat, bersama peneliti dari Perancis, Dr Guy Magniez, Cahyo menemukan udang-udangan kecil (Isopoda) warna merah jambu yang tidak ditemukan di Jawa.

Pada 2006, Isopoda merah jambu ini diberi nama Stenasellus javanicus. Spesies ini diyakini hanya hidup di Gua Cikaray.

“Kekayaan biota gua di Jawa ternyata sangat tinggi. Di Jawa Tengah ada jenis baru yang hanya ditemukan di beberapa gua. Hal ini menjadikan nilai strategis untuk ilmu pengetahuan karena punya sebaran terbatas. Kerusakan di gua akan menjadi kepunahan spesies itu di muka bumi,” ujarnya.

Rentan punah

Spesies gua di Jawa yang tak kalah unik adalah Sesarmoides jacobsoni alias kepiting jacobson. Kepiting berwarna putih pucat dengan mata relatif kecil ini seharusnya hidup di air payau. Namun, di gua-gua di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, kepiting tersebut bisa ditemukan di ketinggian 300 mdpl.

Kepiting jacobson memiliki nenek moyang yang hidup di laut. Namun, kini mereka hidup di genangan air yang berasal dari tetesan atap gua. Mereka tidak ditemukan di aliran sungai yang terhubung dengan permukaan tanah. Karena itu, tingkat kerentanan terhadap gangguan sangat tinggi.

“Perubahan lingkungan di kawasan karst akan memengaruhi lingkungan gua dan biota di gua. Perubahan lingkungan akan mengurangi suplai air dan menyebabkan lingkungan di dalam gua kering. Hilangnya aliran dan genangan air akan menghilangkan biota aquatic,” ujar Cahyo.

Karena itu, pengelolaan kawasan karst dengan ciri khas perbukitan kapur dan aliran sungai di gua bawah tanah ini harus benar-benar memperhatikan kajian biologis. Wilayah permukaan ataupun di bawah permukaan menjadi “rumah” bagi beragam biota unik yang memberi sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan.

“Pemanfaatan tanpa kajian akan menyebabkan hilangnya informasi yang penting. Biota di dalam gua secara nilai strategis berperan sebagai penyeimbang ekosistem, langka, dan tingkat evolusi tinggi akan hilang jika tanpa kajian. Ini alasan penting bagi kita untuk jaga kawasan karst tetap hijau. Habitat spesies gua sangat bergantung pada tetesan air dari atap gua,” kata Cahyo, yang juga salah satu inisiator Indonesian Caver Society.

Cahyo menegaskan, ekosistem gua bukanlah ekosistem asing bagi manusia. Pemusnahan ekosistem gua secara tidak langsung akan memengaruhi kehidupan makhluk hidup lain, termasuk manusia. Dari daya survival makhluk aneh penghuni gua, misalnya, manusia bisa saja mengadopsi teknologinya untuk obat-obatan hingga modifikasi ketahanan pangan.

Ketika kecintaan pada gua berpadu dengan ilmu pengetahuan, Cahyo bersetia menerangi gua dengan cahaya pengetahuan. Semua demi mimpi kelestarian gua dan kehidupan manusia yang lebih baik.

Sumber : klik di sini

Share Button

Sampah di Gunung dan Taman Nasional Indonesia Kian Mengkhawatirkan

Botol plastik dan bungkus plastik mi instan tampak berserakan di salah satu sudut tepian Danau Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur. Sampah itu ditinggalkan begitu saja oleh para pendaki dan pengunjung gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut, tanpa ada yang berinisiatif membawanya ke tempat pembuangan di bagian bawah gunung.

Data Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menunjukkan setiap pengunjung membuang sekitar 0,5 kilogram sampah di Gunung Semeru. Padahal, setiap hari gunung tersebut disambangi 200 hingga 500 pendaki.

“Artinya, di Gunung Semeru ada sekitar 250 kilogram sampah per hari,” kata Khairunissa, humas Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Gunung Semeru. Sejumlah aktivis lingkungan mengatakan tumpukan sampah di taman nasional dan gunung di Indonesia menjadi panorama umum.

“Kebersihannya memprihatinkan, bahkan sudah dalam taraf mengkhawatirkan,” kata Rosek Nursahid, pegiat lingkungan dari lembaga ProFauna.

Pengelolaan sampah

Berdasarkan pemantauan selama beberapa tahun terakhir, Rosek menyaksikan bagaimana kesadaran para pengunjung untuk membuang sampah di tempat yang sudah dialokasikan sangat rendah.

Dia juga menyoroti manajemen taman nasional yang ingin mengembangkan wisata dengan meningkatkan kuota pengunjung per hari, namun tidak diimbangi dengan kesiapan mengolah sampah.

“Dengan kesadaran pengunjung yang lemah ditambah sarana dan prasarana yang sangat kurang, sehingga taman nasional dan gunung-gunung kini menjadi tempat pembuangan sampah,” kata Rosek.

Terbatasnya kemampuan pengelola gunung dan taman nasional untuk menangani sampah diakui Khairunissa, humas Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Menurutnya, pengelola Gunung Semeru hanya memiliki anggaran menyewa truk untuk mengeluarkan sampah setiap pekan. “Nggak mungkin setiap hari, kita nggak punya anggaran untuk itu.”

Gunung Semeru juga mengandalkan empat personel untuk menjaga pintu jalur pendakian Ranupani. Bila ditambah dengan tenaga upah, ada 10 orang yang berjaga di sana.

“Mereka harus melayani ratusan pengunjung, menjaga keamanan, lalu mengurus kebersihan. Jelas secara personel kita tidak mampu (menangani sampah),” ujarnya.

Komunitas peduli sampah gunung

Menyaksikan bagaimana keterbatasan pengelola gunung dan taman nasional, sekelompok pendaki memutuskan untuk mendirikan komunitas peduli sampah gunung atau Trashbag Community.

Didirikan pada 2011, komunitas itu kini mengklaim memiliki 2.500 personel yang tersebar di sejumlah provinsi di Indonesia.

Aksi mereka, yang dapat disaksikan di jejaring media sosial, ialah menurunkan sampah dari gunung-gunung dan taman nasional di Indonesia.

Namun, Ragil Budi Wibowo, ketua umum Trashbag Community, mengatakan aksi menurunkan sampah tersebut sejatinya adalah bagian dari demonstrasi.

“Layaknya demonstrasi di Bundaran HI, Jakarta, aksi kami sebenarnya juga demonstrasi. Kami ingin membawa pesan kepada semua orang untuk tidak membuang sampah sembarangan. Hanya saja, cara kami berbeda,” kata Ragil.

Pria yang hobi mendaki itu mengaku pernah mengangkut sampah botol plastik buatan 1987 dalam kondisi utuh. Padahal, aksi pengangkutan sampah dari gunung telah dimulai para relawan bertahun-tahun lalu.

Karenanya, kata dia, aksi penurunan sampah tidak akan efektif bila tidak dibarengi dengan pemberian pemahaman dan pengawasan.

“Yang efektif adalah mencegah sampah-sampah itu berada di atas gunung. Apabila kami hanya fokus mengangkut sampah dari atas gunung, siklusnya akan berputar tanpa henti,” ujarnya.

Sri Bebassari, ahli penanganan sampah sekaligus pendiri lembaga Indonesian Solid Waste Association (InSwa), senada dengan Ragil.

Sri, yang mendalami teknik penguraian sampah plastik, mengatakan masalah sampah di Indonesia tidak pernah selesai jika diserahkan kepada para insinyur.

“Teknologi mah gampang. Kini sudah ada plastik yang bisa terurai, lalu ada daur ulang yang canggih. Tapi itu tidak menyelesaikan masalah selama masyarakat Indonesia masih tidak terdidik membuang sampah dengan benar. Ahli agama, pendidikan, psikologi, komunikasi, harus kerja keras memberi pendidikan tentang membuang sampah,” tutupnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Penemuan Cacing Pipih Invasif yang Berbahaya

Sebuah tim peneliti internasional mengumumkan bahwa Platydemus Manokwari, cacing pipih Papua Nugini, yang dinilai sebagai salah satu spesies invasif ‘terburuk’ ditemukan di Florida, Amerika Serikat.

Menurut sebuah artikel yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah PeerJ, cacing ini dianggap berpotensi menimbulkan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati siput. “Hewan ini dianggap sebagai bahaya bagi siput endemik di mana pun dia berada,” kata laporan itu.

Cacing pipih ini diduga berasal di Papua Nuguni, namun para peneliti mengatakan cacing tersebut telah menyebar ke Florida, Kaledonia Baru, Puerto Rico, Singapura, Kepulauan Solomon, serta Kepulauan Wallis dan Futuna. Jean-Lou Justine, yang memimpin tim peneliti, mengatakan bahwa para ilmuwan sebelumnya menemukan hewan ini di kepulauan Pasifik dan di Perancis.

“Setelah cacing pipih Papua Nugini tiba di wilayah baru, dan menyediakan kondisi yang tepat, mereka bereproduksi dengan cepat,” kata Justine dalam email-nya kepada The Huffington Post. “mereka dengan cepat menyesuaikan diri dengan memakan siput lokal dan invertebrata lainnya.”

International Union for Conservation of Nature memasukkan cacing ini pada daftar terbaru dari dari 100 spesies asing invasif terburuk. USDA mengklasifikasikan spesies invasif sebagai tanaman, hewan atau patogen yang non-pribumi dari suatu ekosistem, “yang menyebabkan pengenalan atau mungkin menyebabkan kerusakan.”

Aktivitas manusia merupakan alasan utama untuk penyebaran spesies invasif. Justine mengatakan cacing pipih Papua Nugini biasanya bergerak tidak lebih dari beberapa ratus yard dalam satu tahun. Mereka dapat menyebar dengan cepat berkat perdagangan internasional pada tanaman hidup.

Justine mengatakan, spesies ini ditemukan di beberapa kebun di Miami, dan kemungkinan untuk menyebarkan seluruh Florida dan bagian dari Selatan melalui tanah, pot tanaman dan limbah taman.

Sumber : klik di sini

Share Button

Panen Kayu Manis di Sumatera Direkam Oleh Duo Dokumenter

Bermaksud mendokumentasikan kopi dan teh di Sumatera, mereka mengambil kesempatan mendokumentasikan kayu manis juga.

Michael dan David Hanson yang bekerja sebagai pembuat film dokumenter, melancong ke Sumatera untuk mendokumentasikan budidaya kopi dan teh. Sementara di sana, mereka mendengar tentang panen kayu manis di desa Kerinci yang subur, sehingga mengambil kesempatan tersebut untuk mengambil film tersebut, menunjukkan pengolahan rempah-rempah kayu manis. Bumbu sehari-hari yang tersimpan di lemari dapur di seluruh Amerika Utara ini dikenal sebagai cassia, jenis yang paling umum dijual di supermarket AS dan Kanada.

Dari latar belakangnya, cassia tumbuh di China, Vietnam, dan Indonesia, sedangkan kayu manis jenis Ceylon, yang lebih langka dan relatif mahal, berasal dari Sri Lanka. Banyak orang tidak bisa merasakan perbedaan rasa antara keduanya, tapi cassia digambarkan lebih panas dan lebih intens dari Ceylon. Ceylon sendiri terasa lebih ringan, lebih kompleks.

Karena pekerjaan Hanson bersaudara menceritakan tentang orang-orang dan pemandangan mengenai produksi barang secara global seperti coklat, emas, dan kayu, membuat film mengenai petani cassia menjadi terasa alami. Hanson bersaudara berhubungan baik dengan direktur Cassia Co-op, pengolah kayu manis dan perusahaan ekspor yang bekerjasama dengan lebih dari 1.000 petani di Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan harga dari tanaman tersebut. Dengan menghubungkan petani dengan pelanggan, co-op membantu menciptakan rantai pasokan yang lebih transparan, efektif memotong makelar.

“Kami terkejut mengetahui rempah-rempah umum ini berasal dari pohon cemara,” kata David. Panen cassia berskala kecil dilakukan secara tradisional, dengan cara yang ramah lingkungan. Menurut petani setempat, pohon-pohon ini dapat dipanen sekitar sepuluh tahun setelah mereka ditanam, dan banyak yang disisakan agar bisa lebih dewasa lebih lama. Pohon-pohon ini adalah pendapatan sekunder bagi petani lokal dan dipanen ketika keluarganya membutuhkan uang.

Selama panen, semua cabang dipotong dan seluruh pohon ditebang. Kulit luarnya dikelupas memperlihatkan kulit bagian dalam, kayu manis itu sendiri, yang ikal menjadi pena seraya mengering. Menumbuhkan cassia adalah investasi yang mengakar, karena pohon-pohon baru dapat regenerasi dari tunggul akar selama beberapa generasi. Dan, para petani dapat memanennya kapan saja tahun ini, karena mereka menanam kulit, bukan buah. Umumnya, pohon dipanen dua kali setahun setelah hujan lebat.

Kayu manis yang baru dipanen diletakkan di terpal di halaman rumah atau di seberang jalan untuk dikeringkan. Karena itu mudah tercemar karena mobil dan hewan liar. Tapi co-op mengajarkan penduduk bagaimana menjaganya agar tetap bersih. “Dengan sertifikasi kebersihan, co-op membantu mengambil harga yang lebih tinggi untuk kayu manis,” David menjelaskan.

Sumber : nationalgeographic.co.id

Share Button

Kekuasaan Negara Adalah Kekuatan Memaksa Secara Sah

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menerima para aktivis lingkungan yang dimotori oleh Chalid Muhammad , Kamis sore (25/6) di Gedung Pusat Kehutanan Manggala Wanabakti Jakarta. Setelah menjamu buka puasa bersama, Menteri LHK mendengar presentasi kerja-kerja LSM dari Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Barat.

Pada kesempatan tersebut para aktivis dari Aceh mengeluhkan bahaya dari gajah-gajah dan harimau yang mulai berkeliaran di perkampungan penduduk di sekitar hutan di Kabupaten Benar Meriah Aceh Utara. Hal ini terjadi karena tekanan terhadap satwa liar di hutan akibat ekspansi kegiatan perkebunan sawit yang mulai merambah hutan-hutan di sekitarnya. Kalau tidak segera ditangani, maka akan semakin banyak korban manusia dan harta benda akibat serangan binatang liar. Oleh karena itu mereka berharap Pemerintah segera menegur, memberikan sanksi serta mereview izin-izin perkebunan yang merambah hutan. Disamping itu, perwakilan LSM Aceh juga melaporkan kepada Menteri LHK tentang berbagai kemajuan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Mereka mengusulkan agar dapat diberikan izin pengelolaan hutan masyarakat yang sudah lama dikenal masyarakat Aceh yaitu Hutan Mukim.

Selanjutnya para aktivis dari Sumatera Utara yang diwakili oleh Riza Damanik dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menyampaikan kerja-kerja mereka memberdayakan masyarakat nelayan dengan memaksimalkan potensi mangrove seluas 500 hektar. Namun saat ini kegiatan mereka terancam karena adanya izin eksplorasi migas dan kelautan. Mereka berharap Kementerian LHK dapat mensinkronkan izin tersebut agar aktivitas nelayan dapat terus berjalan dengan baik dan tidak terganggu kegiatan eksplorasi.

Pada dialog tersebut para aktivis dari Sulawesi Tengah mempertanyakan banyaknya izin sawit dan tambang yang saling tumpang tindih hingga melebihi luas daratan Sulawesi Tengah. Hal ini sungguh tidak masuk akal. Oleh karena itu mereka meminta Pemerintah untuk mereview izin-izin tersebut dan memperkuat penegakan hukum. Untuk itu para aktivis lingkungan siap mendukung kebijakan tersebut dengan berbagai kegiatan inisiatif lokal baik dalam penegakan hukum maupun pemberdayaan masyarakat.

Para aktivis Kalimantan Barat menyoroti lahan kritis dan pencemaran DAS Kapuas, tumpang tindih izin sawit dan tambang, hutan lindung yang dirambah pemegang izin sawit dan konflik masyarakat dengan perkebunan sawit. Kasus-kasus tersebut terjadi di Kubu Raya, Ketapang dan daerah lainnya di Kalimantan Barat.

Menanggapi presentasi dan keluhan tersebut, Menteri LHK Siti Nurbaya mengapresiasi berbagai inisiatif LSM dalam memberdayakan masyarakat dan memantau berbagai pelanggaran yang terjadi di daerah. Menteri LHK akan menindaklanjuti berbagai laporan pelanggaran di daerah tersebut dengan berprinsip pada “Kekuasaan Negara adalah Kekuatan Memaksa secara Sah”.

Sumber : ppid.dephut.go.id

Share Button