Gua bawah tanah tak sekadar taman bermain bagi Dr Cahyo Rahmadi (39). Penelusur gua sekaligus peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini memilih jalan sunyi yang tak banyak diminati: peneliti biologi gua. Di Asia, ia menjadi satu-satunya peneliti kalacemeti alias laba-laba gua.
Bersetia pada pelestarian gua, Cahyo diakui dunia internasional sebagai penemu beragam spesies aneh yang telah beradaptasi dengan kehidupan tanpa cahaya, jauh di bawah bumi. Bagaimana tidak aneh, spesies baru temuannya itu memiliki perawakan yang sekilas menakutkan. Akibat bertahan hidup di ekosistem terisolasi, mereka memiliki morfologi unik, seperti kaki panjang, tubuh berduri, mata hilang, hingga wajah pucat.
“Banyak konsekuensi hidup di gua gelap total. Sekilas menakutkan, padahal tidak berbahaya. Kalacemeti tidak beracun dan belum ada peneliti lain di Asia yang meneliti. Di Indonesia pun belum banyak yang tahu. Setiap kali ke gua pasti ada sesuatu yang baru. Bahkan, di Jawa pun masih banyak peluang eksplorasi spesies baru,” kata Cahyo.
Menekuni keahlian taksonomi amblypygi, biologi gua, dan konservasi karst, lebih dari 12 spesies baru telah ditemukan dan diberi nama oleh Cahyo dan timnya. Beberapa spesies temuan barunya dari beragam gua di Indonesia adalah Amauropelma matakecil (2012),Sarax mardua (2010), Stenasellus javanicus (2006), dan Stygophrynus sunda (2008).
Kalacemeti gua
Sebagai penemu, Cahyo berhak memberi nama spesies baru yang ditemukannya. Sebuah spesies laba-laba gua yang ditemukan di kawasan karst Sangkulirang, Kalimantan Timur, sengaja diberi nama Sarax yayukae (2010). Nama ini didedikasikan untuk Prof Dr Yayuk R Suhardjono sebagai penghargaan atas sumbangsihnya bagi pengetahuan biologi gua di Indonesia.
Sarax yayukae bertubuh mini, panjangnya 6-16 mm. Tubuhnya semakin unik karena dilengkapi capit dengan duri tajam dan sepasang kaki terdepan bermodifikasi menjadi antena serta berjalan dengan tiga pasang kaki, berbeda dengan laba-laba pada umumnya yang berjalan dengan empat pasang kaki.
“Berperan sebagai predator. Jumlah kalacemeti ini sangat sedikit, hanya 170 spesies di seluruh dunia. Di Indonesia sampai saat ini ada minimal 30 spesies laba-laba gua. Kami terus mencari manfaatnya bagi manusia,” kata Cahyo.
Saat ini, Cahyo telah menelusuri hampir semua gua di pulau besar di Indonesia. Dalam setahun, minimal ia menjelajah ke tiga gua berbeda. Sama seperti penelusur gua lainnya, ia harus menuruni gua dengan standar keamanan tinggi untuk menjangkau lokasi ekstrem tempat hidup spesies unik ini.
Alat tambahan perlengkapan masuk gua lainnya yang wajib dibawa terkesan “aneh”, seperti sendok, pinset, hingga alkohol untuk mengambil dan mengawetkan spesimen gua yang mayoritas berukuran mini. Jika hanya menemukan beberapa spesies unik, semuanya akan diambil untuk diteliti. Idealnya, ia membutuhkan 10 spesimen demi keperluan penelitian lanjutan di laboratorium.
“Saya tidak bisa mengharapkan kesempatan kedua. Masuk gua harus lebih telaten dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Belum tentu saya bisa kembali datang lagi dan belum tentu bertemu lagi dengan spesies yang sama,” tambah Cahyo.
Hidup di lokasi unik dengan proses evolusi panjang menjadikan biota gua semakin menarik. Spesies baru yang tak terduga pun masih bisa ditemukan di gua-gua di Jawa. Di Gua Cikaray, Cibinong, Jawa Barat, bersama peneliti dari Perancis, Dr Guy Magniez, Cahyo menemukan udang-udangan kecil (Isopoda) warna merah jambu yang tidak ditemukan di Jawa.
Pada 2006, Isopoda merah jambu ini diberi nama Stenasellus javanicus. Spesies ini diyakini hanya hidup di Gua Cikaray.
“Kekayaan biota gua di Jawa ternyata sangat tinggi. Di Jawa Tengah ada jenis baru yang hanya ditemukan di beberapa gua. Hal ini menjadikan nilai strategis untuk ilmu pengetahuan karena punya sebaran terbatas. Kerusakan di gua akan menjadi kepunahan spesies itu di muka bumi,” ujarnya.
Rentan punah
Spesies gua di Jawa yang tak kalah unik adalah Sesarmoides jacobsoni alias kepiting jacobson. Kepiting berwarna putih pucat dengan mata relatif kecil ini seharusnya hidup di air payau. Namun, di gua-gua di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, kepiting tersebut bisa ditemukan di ketinggian 300 mdpl.
Kepiting jacobson memiliki nenek moyang yang hidup di laut. Namun, kini mereka hidup di genangan air yang berasal dari tetesan atap gua. Mereka tidak ditemukan di aliran sungai yang terhubung dengan permukaan tanah. Karena itu, tingkat kerentanan terhadap gangguan sangat tinggi.
“Perubahan lingkungan di kawasan karst akan memengaruhi lingkungan gua dan biota di gua. Perubahan lingkungan akan mengurangi suplai air dan menyebabkan lingkungan di dalam gua kering. Hilangnya aliran dan genangan air akan menghilangkan biota aquatic,” ujar Cahyo.
Karena itu, pengelolaan kawasan karst dengan ciri khas perbukitan kapur dan aliran sungai di gua bawah tanah ini harus benar-benar memperhatikan kajian biologis. Wilayah permukaan ataupun di bawah permukaan menjadi “rumah” bagi beragam biota unik yang memberi sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan.
“Pemanfaatan tanpa kajian akan menyebabkan hilangnya informasi yang penting. Biota di dalam gua secara nilai strategis berperan sebagai penyeimbang ekosistem, langka, dan tingkat evolusi tinggi akan hilang jika tanpa kajian. Ini alasan penting bagi kita untuk jaga kawasan karst tetap hijau. Habitat spesies gua sangat bergantung pada tetesan air dari atap gua,” kata Cahyo, yang juga salah satu inisiator Indonesian Caver Society.
Cahyo menegaskan, ekosistem gua bukanlah ekosistem asing bagi manusia. Pemusnahan ekosistem gua secara tidak langsung akan memengaruhi kehidupan makhluk hidup lain, termasuk manusia. Dari daya survival makhluk aneh penghuni gua, misalnya, manusia bisa saja mengadopsi teknologinya untuk obat-obatan hingga modifikasi ketahanan pangan.
Ketika kecintaan pada gua berpadu dengan ilmu pengetahuan, Cahyo bersetia menerangi gua dengan cahaya pengetahuan. Semua demi mimpi kelestarian gua dan kehidupan manusia yang lebih baik.
Sumber : klik di sini