Produsen Didorong Gunakan Plastik Mudah Terurai

Tingginya persentase sampah anorganik termasuk plastik, yang diperkirakan mencapai lebih dari 15.000 ton per hari, membuat pemerintah terus mendorong produsen untuk menggunakan plastik yang mudah terurai secara alami.

“Perbandingan persentase sampah organik dan anorganik tidak terlalu tinggi. Di tahun 2015 sepertinya kecenderungan sampah plastik meningkat, karena itu kita dorong agar perusahaan menggunakan plastik ramah lingkungan,” kata Asisten Deputi Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) R Sudirman di sela-sela dialog Penanganan Sampah Plastik di Jakarta, Rabu (10/6/2015).

Tanggung jawab penanggulangan dampak penggunaan plastik terhadap pengelolaan sampah oleh produsen tertuang dalam Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Tanggung Jawab Produsen (Extended Producer Responsibility/EPR).

Karena itu, ia mengatakan kementeriannya tentu akan mempertanyakan peran pengusaha, termasuk peritel, dalam mengurangi sampah plastik anorganik yang sulit terurai secara alami.

“Peta jalan produsen untuk pengurangan penggunaan sampah plastik anorganik ini nanti diminta. Upaya apa yang sudah mereka lakukan harus ada, misalnya plastiknya dibuat lebih tipis,” ujar dia.

Menurut dia, tidak mudah membuat produsen mau beralih menggunakan biodegradable plastic atau plastik yang mudah terurai secara alami. Berbagai faktor, di antaranya, persoalan teknologi dan harga, menjadi kendala produsen beralih ke plastik ramah lingkungan.

Ke depan, KLHK akan memperkuat kampanye kepada masyarakat agar lebih memilih kemasan yang ramah lingkungan. Kesadaran konsumen untuk hanya menggunakan kemasan ramah lingkungan pada akhirnya juga akan membuat produsen memilih untuk semakin ramah lingkungan.

Kepala Pusat Pengkajian Industri Hijau Kementerian Perindustrian Lilih Handayaningrum mengatakan, penggunaan biodegradeble plastic perlu pertimbangan dan kesiapan industri dalam negeri, selain juga perlu ada pengembangan teknologi untuk mempertipis plastik.

Masalah mengurangi plastik anorganik ini, menurut dia, memang menjadi tantangan besar sehingga perlu ada upaya bersama dari pemerintah, peneliti termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), produsen, hingga konsumen.

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2012 tentang penggunaan bahan baku plastik yang mudah terurai oleh proses alam memang dilakukan bertahap selama 10 tahun. Jangka waktu tersebut cukup masuk akal mengingat proses yang sama di Amerika Serikat (AS) pun butuh waktu hingga 25 tahun.

“Teknologinya butuh investasi cukup besar, dan ini jadi tantangan,” ujar dia.

Sumber : klik di sini

Share Button

Menteri Lingkungan Perancis: Selai Nutella Memicu Penebangan Hutan

Menteri Lingkungan Prancis, Segolene Royal, mendorong orang untuk berhenti memakan Nutella (merek selai coklat) karena dibuat dari minyak kelapa sawit dan merusak lingkungan.

Royal mengatakan selai rasa coklat-hazelnut tersebut menyumbang terjadinya penebangan hutan karena kepala sawit menggantikan pohon.

Ferrero, perusahaan coklat Italia yang memiliki Nutella, mengatakan pihaknya telah berjanji akan menggunakan minyak kelapa sawit yang dibuat secara bertanggung jawab.

Para senator Prancis gagal menerapkan pajak 300 persen terhadap minyak kelapa sawit pada 2011.

Mereka mengatakan minyak tersebut berbahaya karena menggemukkan dan penanamannya merusak lingkungan.

Pada hari Selasa (16/6/2015), Royal mengatakan Nutella seharusnya dibuat dari “bahan-bahan lain”.

“Kami harus menanam kembali banyak pohon karena deforestasi besar-besaran yang juga menyebabkan pemanasan dunia. Kita harus berhenti memakan Nutella, sebagai contoh, karena dibuat dari minyak kelapa sawit,” kata Royal saat diwawancara jaringan televisi Prancis Canal+.

Ferrero mendapatkan hampir 80% pasokannya dari Malaysia. Sisanya perusahaan tersebut mendapatkan minyak kelapa sawit dari Brasil, Indonesia dan Papua New Guinea.

Sumber : klik di sini

Share Button

Indonesia Rilis Strategi Nasional Atasi Serangan Spesies “Alien”

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup merilis Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Invasif di Indonesia pada Pameran Lingkungan Hidup di Jakarta, Jumat (18/6/2015).

Dokumen strategi nasional itu diharapkan dapat menjadi dasar dalam langkah selanjutnya, mulai dari penyusunan kelompok kerja mengatasi spesies invasif hingga rencana operasional oleh para lembaga yang bertanggung jawab.

Antung Deddy, Direktur Ekosistem Esensial Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, mengungkapkan bahwa spesies invasif sudah terbukti merugikan, baik secara ekosistem maupun ekonomi. Di Waduk Jatilihur, jenis aligator mendominasi dan menghabiskan ikan-ikan lokal.

“Dalam bidang pertanian, keong mas dulu dianggap sebagai hiasan, kemudian saat bosan dibuang ke perairan. Kerugian 7,5 juta dollar AS per tahun terjadi karena keong mas,” kata Antung dalam diskusi hari ini.

Titik Setyawati, peneliti spesies invasif yang juga turut menyusun dokumen strategi nasional, mengungkapkan, spesies invasif bahkan sudah merambah kawasan taman nasional dan berpotensi mengancam flora dan fauna yang dilindungi.

“Survei tahun 2015 pada 24 taman nasional, sebenarnya kita sebar pada 50, namun yang kembali hanya 24, menunjukkan, spesies invasif sudah merambah kawasan taman nasional. Spesies invasif terbanyak ada di Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Leuser, dan Ujung Kulon,” katanya.

Apabila dibiarkan tumbuh dan mencapai zona inti, spesies invasif akan lebih sulit untuk diatasi dan memakan biaya. Di zona inti taman nasional, spesies invasif tidak mungkin dibasmi dengan herbisida. Sementara itu, kontrol biologi pun penuh tantangan.

Menurut Titik, spesies invasif menjadi masalah karena selama ini pemerintah tidak menaruh perhatian dan tidak paham konsekuensinya. Akibatnya, banyak jenis asing diintroduksi ke Indonesia dan banyak jenis lokal juga diintroduksi ke luar habitatnya.

Strategi nasional mengatasi spesies invasif mencakup gagasan langkah pencegahan, deteksi dini dan respons cepat, pengendalian dan mitigasi dampak, rehabilitasi dan restorasi, serta lainnya. Antung mengatakan, selanjutnya akan dibentuk pokja.

Iwan Hilman dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor mengatakan, “Spesies invasif harus diangkat menjadi isu nasional karena mengancam ketahanan, seperti soal pangan. Kalau mau aman dan berkelanjutan, negara harus setting biodiversitasnya.”

Sumber : klik di sini

Share Button