Komisi Informasi Pusat (KIP) mengabulkan seluruh gugatan permohonan informasi yang disengketakan Forest Watch Indonesia (FWI) terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Keputusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Komisioner KIP, Yhanu Setiawan, di ruang sidang KIP Jakarta, Jumat (8/5/2015), ini mewajibkan KLHK segera memberikan informasi yang dipinta FWI paling lambat 14 hari setelah putusan dikeluarkan. Jika menolak, KLHK bisa menempuh langkah keberatan.
“Memutuskan untuk membatalkan penetapan data dan informasi yang dikecualikan dalam hasil uji konsekuensi oleh kepala pusat hubungan masyarakat selaku Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ucap Yhanu.
Majelis Komisioner KIP memutuskan bahwa dokumen RKUPHHK dan RKTUPHHK bersifat terbuka. Kecuali, bagian yang memuat informasi sistem silvikultur berupa penggunaan dan penjualan serta analisis finansial. Begitu juga dokumen rencana kerja tahunan pada hutan tanaman seluruh Indonesia tahun 2014, sifatnya terbuka.
Yanu menuturkan dokumen lengkap Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) diatas 6 ribu meter kubik di seluruh Indonesia yang masih berlaku hingga tahun 2014 bersifat terbuka. Dokumen izin pemanfaatan kayu di seluruh Indonesia tahun 2012, 2013, dan 2014 juga terbuka. “Saya ingin mengingatkan bahwa keputusan yang diambil oleh majelis ini merupakan bahan yang cukup baik bagi PPID KLHK dalam menyusun dan memperbaiki daftar informasi yang dikecualikan.”
Bintoro, staf pusat humas KLHK, seusai persidangan mengatakan pihaknya akan mengkaji hasil putusan majelis komisioner KIP. “Kami pikir-pikir dulu. Nanti, dibahas dengan pimpinan dan pimpinan yang putuskan,” ujarnya.
Keterbukaan informasi
Linda Rosalina, Pengkampanye FWI, menuturkan langkah yang diambil oleh Majelis Komisioner ini menandakan bahwa KIP serius dalam menjalankan amanah UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Meskipun masih ada hal yang harus diperbaiki di internal KIP, namun keputusan ini tergolong cermat karena mampu membedakan informasi yang sifatnya terbuka dan yang dikecualikan. “Ini keberhasilan yang menggembirakan. Tak masalah bagian silvikultur dan analisis keuangan ditutup. Karena kita memang tidak membutuhkannya. Itu domain perusahaan,” ujarnya.
Informasi yang dimohonkan FWI adalah mengenai dokumen Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK), Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKTUPHHK), Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) diatas 6.000 meter kubik, serta Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). “Informasi yang dimohonkan FWI kepada KLHK ini merupakan informasi dasar agar masyarakat dapat membedakan antara kegiatan legal dan illegal dalam pemantauan pemanfaatan hutan.”
Linda menjelaskan, proses yang ditempuh FWI bersama Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) untuk memperoleh akses informasi ini hampir setahun lamanya. Padahal, informasi yang dimintakan itu adalah dokumen publik yang bisa dibuka tanpa harus melalui sengketa informasi. “Ini menunjukkan, di lingkungan KLHK belum benar-benar sepenuhnya terbuka memberikan akses informasi. Artinya, tata kelola kehutanan memang belum transparan.”
Menurut Linda, sikap KLHK yang menutupi data dan informasi yang diminta tersebut, jelas bertolak belakang dengan pernyataannya yang menyatakan bahwa masyarakat merupakan unsur penting guna menyampaikan informasi berbagai pelanggaran yang terjadi di lingkup lingkungan hidup dan kehutanan. Semua itu tidak berguna bila informasi dasar mengenai sistem dan mekanisme pelayanan pengaduannya tidak dibuka. “Karena yang kita minta data dari seluruh Indonesia maka kita harus memaksa KLHK untuk menaati hasil putusan ini. Yang terpenting adalah data tersebut harus dieksekusi,” ujarnya.
Apa yang menyebabkan KLHK enggan memberikan informasi yang dimohonkan FWI? Pada Berita Acara Uji Konsekuensi Informasi Kementerian Kehutanan yang ditandatangani 2 Juli 2014, disebutkan ada pengecualian 14 jenis informasi publik yang dianggap rahasia. Pada beberapa sidang sengketa informasi, argumen inilah yang digunakan KLHK, sebagai badan publik yang menguasai informasi kehutanan, bahwa pengecualian tersebut dilakukan untuk melindungi perusahaan kehutanan dari persaingan usaha yang tidak sehat.
Padahal, menurut Dessy Eko Prayitno, peneliti dari Indonesian Center of Environment Law (ICEL), substansi Berita Acara Uji Konsekuensi Informasi itu justru bertentangan dengan berbagai regulasi yang diterbitkan untuk mengatur sektor kehutanan. “Selain bertabrakan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, berita acara tersebut mengabaikan putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 030/I/KIP-PS-A-M-A/2014 yang menyatakan bahwa Rencana Kerja Tahunan merupakan informasi yang terbuka. “UU Kehutanan secara gamblang menyatakan hak seluruh masyarakat untuk berperan serta dalam pengawasan pembangunan kehutanan dan untuk memperoleh informasi menyangkut perencanaan kehutanan,” papar Eko.
Zainuri Hasyim, Dinamisator JPIK, menuturkan bahwa bagi pemantau hutan independen, data dasar mengenai RKUPHHK, RKTUPHHK, RPPBI, dan IPK memang sangat dibutuhkan dalam monitoring Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Yaitu, persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak kehutanan.
Pemantau independen yang bertugas menjaga kredibilitas SVLK tentunya tidak akan bekerja maksimal tanpa adanya data pendukung atas temuan pelanggaran yang terjadi di lapangan. Pantauan dan kontrol ketat masyarakat mustahil dilakukan jika masyarakat tidak memiliki informasi yang kuat sebagai dalilnya. “Putusan sidang hari ini sudah tepat, karena itu KLHK harus menyerahkan data yang dimohonkan,” papar Zainuri.
Sebelumnya, KLHK juga telah disengketakan di Komisi Informasi Pusat oleh Citra Hartati dari ICEL. Citra menyengketakan KLHK mengenai peta tutupan hutan dalam bentuk shapefile yaitu format data digital yang mudah untuk dipergunakan dan diedit menggunakan piranti lunak sistem informasi geografis (SIG). Saat ini, kasusnya masih menunggu proses persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta.
Sumber : klik disini