Greenpeace Sebut Kebun Sawit Andil Besar Deforestasi, Apa Langkah Perbaikan?

Greenpeace menyatakan, setidaknya ratusan perusahaan perkebunan sawit memberikan andil deforestasi cukup tinggi. Penelitian Greenpeace memperlihatkan keadaan ini. Untuk itu, ini perlu langkah langkah penanganan serius hingga Indonesia mampu menerapkan nol deforestasi.

“Beberapa tahun terakhir, Greenpeace kampanye khusus menekan dan mendesak perusahaan sawit menjalankan komitmen menekan deforestasi akibat pembukaan lahan besar-besaran,” kata Grant Rosoman, Global Forest Solutions Project Coordinator, Greenpeace Forest Network, usai The Forests Dialogue, di Pekanbaru, Riau.

Kampanye zero deforestasi ini, katanya, terus disuarakan karena perusahaan-perusahaan masih eksploitasi bahkan di hutan lindung/konservasi, sampai hutan adat. Mereka juga mendorong perusahaan komitmen nol deforestasi. “Kami memantau agar ada fokus hak-hak masyarakat, dan upaya-upaya konservasi nyata.”

Dia berharap, perusahaan  baik sawit, HTI, HPH, tambang dan perusaahan lain memberikan apresiasi kepada masyarakat adat/lokal yang tinggal di kawasan hutan. “Bisa saling menjaga kawasan agar tidak rusak.”

Menurut dia, peran pemerintah pusat dan daerah sangat penting dalam menghentikan deforestasi di Indonesia. “Bagaimana mereka mengintegrasikan perencanaan konsep high carbon stock dan high conservation value. Perlu juga memperluas moratorium  untuk menyelesaikan masalah hutan di Indonesia.”

Greenpeace, mendesak, pemerintah membuat dasar hukum kuat dan penegakan hukum dalam menekan kerusakan hutan dan menjalin kerjasama dengan masyarakat adat.  “Agar hutan hancur tidak terus meningkat karena perubahan kawasan menjadi perkebunan sawit,” katanya.

Dia mengatakan, penting, melibatkan masyarakat adat dalam menjaga hutan karena mereka memahami betul tempat hidupnya, menghargai, meski memanfaatkan alam. “Tidak seperti perusahaan, masuk dan menghancurkan tanpa mampu mengembalikan seperti semula, karena itu mustahil dilakukan.”

Dia mencontohkan, masyarakat adat mampu mempertahankan hutan, di Desa Dosan, Riau. Disana,  ada masyarakat menanam sawit dan konservasi serta menjaga hutan. Mereka memiliki konsep memanfaatkan lahan tanpa merusak hutan.

“Contoh masyarakat Desa Dosan, membuktikan bagaimana mereka mampu menjaga kawasan, dan mampu menekan deforestasi. Kisah itu juga terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, sebelum akhirnya pemerintah memberikan izin kepada ratusan perusahaan masuk ke dalam kawasan dan menghancurkan hutan yang selama berabad-abad dijaga masyarakat adat.”

Data Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  memperlihatkan, hasil citra satelit 2000,  berdasarkan data 1985-1997, terjadi pengurangan luas hutan 22,46 juta hektar  atau 1,87 juta hektar pertahun. Angka ini makin meningkat tajam 1997-2000 sebesar 2,84 juta hektar pertahun. Sedangkan data citra SPOT Vegetation, pengurangan tutupan berhutan 1,08 juta hektar pertahun, pada 2000-2005.  Data penghitungan deforestasi Indonesia periode 2006-2009 menghasilkan angka 0,83 juta hektar pertahun.

Luas deforestasi daratan Indonesia selama 2009-2011, adalah 0,90 juta hektar, angka rerata tahunan 0,45 juta hektar, meliputi kawasan hutan 0,33 juta hektar (73,3%), dan 0,12 juta hektar (26,7%) di luar kawasan (areal penggunaan lain).

Deforestasi dalam kawasan hutan pertahun, terdiri dari hutan primer 3,1% atau 14.000 hektar, hutan sekunder 58,7 %, atau 264.400 hektar, hutan tanaman 11,5 % atau 51.8.000 hektar. Pada APL, deforestasi pertahun, pada hutan primer 3.200 hektar (0,7%), hutan sekunder 111.900 hektar (24,8%), dan hutan tanaman 5.300 hektar (1,2%).

Berdasarkan laporan November 2014 oleh Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan, KLHK beberapa kegiatan ditengarai sebagai penyebab pengurangan luas hutan. Antara lain, konversi hutan untuk pembangunan sektor lain misal perkebunan dan transmigrasi, pembalakan tidak lestari, pencurian kayu atau penebangan liar, pertambangan, perambahan dan okupasi lahan, serta kebakaran hutan.

Satu sisi, katanya, penghijauan dan reboisasi belum optimal, hingga lahan kritis makin luas. Kerusakan lingkungan pun meningkat seiring peningkatan deforestasi.

Sumber : klik disini

Share Button

Selamatkan Air, Kemendagri Gandeng 7 Kementerian

Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) gagal dilaksanakan di daerah. Ini diakui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Muhammad Marwan.

“Program ini sebelumnya di pusat sudah jalan, tetapi di daerah mengalami hambatan. Diamanatkan oleh pemerintah pusat, sebagai pembina umumnya Kemendagri, tetapi teknisnya oleh masing-masing menteri,” ujar Marwan di Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 7 Mei 2015.

Untuk mengoptimalkan program yang diluncurkan tahun ini, Kementerian Dalam Negeri lantas menggandeng tujuh kementerian lain. Tujuh kementerian itu antara lain; Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (BPN), Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian BUMN, serta Kementerian Pertanian.

Rencananya gerakan tersebut akan dirilis Sabtu 9 Mei 2015 di Waduk Pluit, Jakarta Utara. Pelibatan tujuh kementerian itu diharapkan bisa mengoptimalkan program revitalisasi yang bertujuan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya penyelamatan air di Indonesia.

Sasaran revitalisasi GN-KPA meliputi 108 DAS prioritas, 15 danau prioritas, 29 bendungan prioritas dan 17 Provinsi sentra padi. Fokus program kegiatan antara lain; penataan ruang, penataan pembangunan fisik, penatagunaan tanah dan penataan kependudukan; konservasi tanah dan air, serta konservasi sumber daya air; pengendalian daya rusak air; pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Efisiensi dalam pengelolaan pemanfaatan air dan terakhir, pendayagunaan sumber daya air.

Program yang sebelumnya digagas oleh tiga kementerian (Kementerian PU, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian) itu sesuai Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menitikberatkan pada pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

“Gerakan ini mendorong bagaimana penataan ruang di daerah, yang nantinya berkaitan dengan keseimbangan pasokan dan pemanfaatan air,” ujar Marwan.

Revitalisasi GN-KPA bertujuan mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) guna menghasilkan sumber air yang baik.

Senada dengan Dirjen Bina Pangda, Kasubdit Prasarana Konservasi dan Sedimen pada Direktorat Sungai dan Pantai, Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Muhammad Rizal, mengatakan kementeriannya telah menjalankan program GN-KPA yang sebelumnya dengan berfokus pada konservasi tanah dan air, serta konservasi sumber daya air. (asp)

Sumber : klik disini

Share Button

“Pendidikan Pelestarian Lingkungan untuk Pelajar” Kerjasama PT Sharp dan Balitek KSDA

BPTKSDA (Samboja, 2/5/2015). Dalam rangka menanamkan cinta lingkungan dan hutan kepada pelajar, PT Sharp Electronics Indonesia (PT SEID) bekerjasama dengan Balitek KSDA mengadakan kegiatan Pendidikan Pelestarian Lingkungan di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Penelitian Samboja. Kegiatan yang diikuti oleh pelajar SMAN 2 Samboja dan SMK Kehutanan Negeri Samarinda ini berlangsung ceria dan penuh semangat. Fasilitator dalam kegiatan ini adalah Dr. Hendra Gunawan (Peneliti Utama dan Koordinator Riset Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Melani Kurnia Riswati, S.Si (Pranata Humas Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI) dan Tri Atmoko, S.Hut, M.Si (Peneliti Madya Balitek KSDA).

IMG_3606“Balitek KSDA sangat bangga bisa ikut dilibatkan dalam salah satu agenda dari PT SEID dengan judul “SHARP Kualitas Takumi Roadshow” di Pulau Kalimantan,” ungkap Drinus Arruan, S.Hut (Kepala Seksi Program, Evaluasi dan Kerjasama Balitek KSDA) dalam sambutannya. Menurut Drinus, pendidikan mengenai pelestarian lingkungan dan kehutanan harus ditanamkan sejak dini dan pelajar didorong untuk melakukan aksi nyata terkait pelestarian lingkungan tersebut.

Pandu Setio selaku PR, CSR dan Promotion Manager PT SEID mengajak pelajar untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman siswa mengenai pentingnya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Kegiatan ini diawali dengan sesi presentasi mengenai ekosistem lingkungan hidup dan Teknik kultur jaringan tanaman anggrek, kemudian dilanjutkan dengan kunjungan lapangan ke KHDTK Samboja untuk mengenal ekosistem Hutan Dipterocarpa dan penanaman jenis pohon hutan asli Kalimantan.

Hendra Gunawan pada sesi pengenalan ekosistem lingkungan hidup memaparkan tentang proses regenerasi dan rantai ekosistem dalam hutan. Terungkap bahwa dalam rantai makanan di hutan, ada yang disebut predator puncak yang nantinya juga akan mati dan terurai ditanah. “Ini yang disebut dengan rantai makanan, sebagai indikator keseimbangan lingkungan hutan,” jelas Hendra. Di akhir pemaparannya, Hendra mengajak seluruh pelajar untuk melestarikan hutan untuk masa depan penuh harapan.

IMG_3547Pada sesi kedua, para pelajar belajar mengenai kultur jaringan tanaman anggrek sebagai salah satu upaya pembudidayaan dan pelestarian anggrek alam Kalimantan yang disampaikan oleh Melani Kurnia Riswati. Pada sesi ini, pelajar secara berkelompok ditugaskan untuk membuat kultur jaringan dari anggrek yang telah disediakan oleh panitia pelaksana. Hasil karya mereka tersebut kemudian dijadikan souvenir untuk dipelihara di sekolah sebagai contoh kegiatan pelestarian tumbuhan.

Usai sesi presentasi, panitia dan peserta mengunjungi KHDTK Samboja, tepatnya di Rintis Baru Km 4. Setiba di lokasi, peserta  menanam Damar Borneo (Agathis borneensis), Kapur/kamfer (Dryobalanops lanceolata), Gaharu (Aquilaria microcarpa), Damar Gunung (Shorea leprosula) dan Meranti Merah (Shorea balangeran) di lokasi yang telah disediakan panitia. Terlihat beberapa pelajar ada yang terpeleset saat berjalan di hutan namun mereka tetap menikmati dan merasakan kebanggaan tersendiri telah melakukan hal kecil yang kelak akan memberikan manfaat besar bagi lingkungan dan hutan.

Setelah menanam, para peserta diajak belajar mengenal hutan Dipterocarpa dengan dipandu oleh Tri Atmoko. Terlihat beberapa pelajar mulai aktif bertanya mengenai biji-biji Dipterocarpa yang mereka temukan di sekitar mereka. “Fungsi sayap pada biji yang kalian pegang tersebut adalah membantu proses pemencaran biji agar tidak terlalu dekat dengan pohon induknya,” jelas Tri Atmoko. Keingintahuan yang besar dari para pelajar mengenai apa saja yang ada di hutan, merupakan tanda awal kepedulian mereka terhadap hutan itu sendiri. Harapan besar terhadap pelestarian lingkungan dan hutan tentu saja tersemat di pundak mereka sebagai generasi penerus bangsa. *ADS*

IMG_3568

IMG_3734

Share Button

Moratorium: Antara Deforestasi dan Penegakan Hukum

Berbicara tentang moratorium tidak hanya menyinggung bahwa Indonesia merupakan peraih “emas” dunia di bidang deforestasi, melainkan juga mempertanyakan lemahnya penegakan hukum di negeri ini. Setelah menempuh masa evaluasi dan menuai banyak kecaman, akhirnya sesuai instruksi presiden, moratorium penebangan hutan akan diperpanjang dengan pelbagai perbaikan. Salah satunya adalah rancangan kebijakan hukum yang harus diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengikat pihak terkait aparatur pemerintahan.

Penelitian di  wilayah hutan alam primer dan lahan gambut yakni di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah pun diselenggarakan oleh Wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) dan Kemitraan dari daerah untuk menganalisis kebijakan-kebijakan yang terdapat dalam moratorium.

Hasil analisis yang dipaparkan bersama dalam “Launching Hasil Kajian Analisis Moratorium” lalu (29/4) menjelaskan bahwa lemahnya pemerintah dalam mengontrol pemberian izin untuk pengelolaan hutan primer dan lahan gambut. I Nengah Surati Jaya selaku ketua tim peneliti menyatakan bahwa keberadaan Pemberian Ijin Baru Pemanfaatan Hutan yang sudah direvisi hingga tujuh kali ini justru membawa degradasi yang signifikan, “Pengurangan luas hutan lahan gambut mencapai 914.067 Ha dan 66.398 Ha untuk hutan alam primer. Kebijakan ini harus dilanjutkan dengan upaya pemulihan dan tata kelola hutan yang lebih profesional.” jelasnya.

Selain tidak dapat mengontrol pemberian izin, kebijakan ini dinilai tidak efisien dalam menempatkan  wilayah-wilayah yang dinaungi Moratorium. “Untuk apa melindungi hutan lindung dan kawasan konservasi yang memang dari awal memiliki kebijakan untuk steril dari konversi? Seharusnya kawasan moratorium itu diperluas hingga wilayah yang terabaikan seperti karts, mangrove, dan pulau-pulau yang belum mendapat perlindungan.” ungkap Sita Supomo selaku Direktur Program Sustainable Development Kemitraan.

Berkaitan dengan hasil analisis yang dipaparkan, Kemitraan dan Walhi memberikan dukungan untuk perpanjangan moratorium yang setidaknya dilakukan lebih dari dua tahun. Pastinya kebijakan ini harus menerapkan visi dan misi awal dari moratorium, yakni memberi nafas bagi ekositem untuk meremajakan diri.

Sumber : Klik disini

Share Button

Belajar Konservasi Hutan dan Mata Air Di Wonosalam

Berbekal pemahaman sederhana bahwa hutan gundul akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dapat merugikan masyarakat, Wagisan bersama warga Dusun Mendiro, Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, melakukan upaya penanaman kembali hutan yang gundul seluas lebih dari 50 hektar.

Awal mulanya hutan di kawasan Dusun Mendiro ditumbuhi banyak tanaman kayu, serta tanaman buah-buahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan. Hutan seluas 50 hektar yang masuk dalam wilayah penguasaan Perhutani ini mengalami kerusakan dan menjadi gundul, akibat penebangan kayu hutan secara ilegal pada tahun 1998-1999. Tidak hanya oleh warga masyarakat sekitar, penebangan kayu juga banyak dilakukan oleh oknum aparat.

Melalui inisiatif dan swadaya sendiri, Wagisan bersama 10 orang yang menamakan diri sebagai kelompok Kepuh (Kelompok Pelindung Hutan dan Pelestari Mata Air), kelompok masyarakat yang peduli terhadap hutan melakukan penanaman bibit pohon buah-buahan, pada lahan yang gundul. Wagisan beranggapan bila kondisi ini dibiarkan, maka tidak hanya akan berakibat pada bencana lingkungan, namun juga mempengaruhi perekonomian warga yang semula sangat bergantung pada hutan.

“Dulu jaman saya kecil tanaman duriannya berbuah lebat, tapi kemudian semuanya dijarah orang, ditebangi sampai habis total dan gundul. Kemudian saya bersama warga yang lain mulai lagi menanami, selain durian ada juga nangka, kemiri, jengkol, dan masih banyak lagi,” ujar Wagisan, ditemui di rumahnya di Dusun Mendiro, Sabtu (18/04/2015).

Melalui gerakan menanami kembali hutan yang gundul, Wagisan beranggapan bahwa keberadaan pohon-pohon atau tanaman berkayu akan mampu menahan serta menyimpan air, mencegah bahaya longsor dan banjir bandang, dan mengembalikan debit air dari mata air yang sempat hilang atau mati.

Secara mandiri, mereka melakukan pembibitan tanaman buah aneka macam, melakukan penanaman dan penyiraman, hingga bergantian melakukan patroli untuk menjaga agar tidak ada lagi penebangan pohon secara ilegal. Pada awal mula kelompok Kepuh melakukan pembibitan hingga 10.000 bibit tanaman buah-buahan dari 40 jenis tanaman.

“Semua kami lakukan sendiri, tidak ada bantuan dari siapa pun, semua swadaya masyarakat,” tukas Wagisan.

Kerelaan menjadi penjaga hutan dan pelestari mata air juga diakui oleh Tumariono, warga Dusun Mendiro. Tumariono mengaku tidak dibayar untuk menjadi bagian dari kelompok Kepuh. Melalui upaya menjaga hutan dengan cara menanam pohon dan merawat mata air, bayarannya berupa air bersih gratis dirasa lebih dari cukup bagi Tumariono serta warga lainnya.

“Masyarakat disini tidak pakai pompa air, pompa airnya ya pohon yang ditanam. Dengan itu semua airnya bisa langsung disalurkan lewat pipa paralon ke masing-masing rumah warga. Kalau bayarannya ya gak ada,” tutur Tumariono yang mengaku pernah bertengkar antar warga, karena berebut sumber mata air saat debit air yang keluar masih sedikit.

Selama lebih dari 3 tahun, Tumariono mengaku tidak sampai mengalami kekurangan air, bahkan saat memasuki musim kemarau. Kebutuhan warga akan air bersih, serta air untuk berternak dan berladang, selalu tercukupi sejak reboisasi berhasil dilakukan di hutan Dusun Mendiro.

“Ini setelah warga sadar dan melakukan pembibitan, menanam di sebelah mata air, terutama di Petung Pecut dan Sumber Gintung. Warga menanam aneka tanaman kayu, seperti kayu bendho, durian, kemiri, trembesi, gondang, pucung, juga bambu apus dan bambu petung,” jabar Tumariono.

Kondisi seperti ini diharapkan Wagisan tidak sampai menimbulkan perusakan dan pembabatan hutan kembali, setelah masyarakat merasakan manfaat hutan secara ekonomis.

“Sekarang sudah menjadi hutan, ada durian dan jengkol yang sudah berbuah, alpukat, nangka, kemiri, juga ada manggis, langsep. Kami menjadikan lahan yang gundul sebagai hutan beraneka ragam buah. Harapan kami hutan lestari, masyarakat banyak rejeki, dan tidak lagi merusak hutan,” harap Wagisan.

Melalui upaya konservasi yang dilakukan kelompok Kepuh bersama masyarakat setempat, tidak hanya mengembalikan kondisi hutan seperti semula, tapi juga ikut menjaga satwa serta ekosistem yang ada sebelumnya.

“Kita juga melindungi satwa jangan sampai diburu. Sekarang kita sudah mulai menemui lutung, kancil, kijang, berbagai jenis burung, bahkan masih terlihat macan kumbang,” imbuh Wagisan yang merupakan mantan Kepala Dusun Mendiro ini.

Meski telah berupaya melakukan penanaman kembali hutan yang gundul, ternyata masih ada juga masyarakat serta oknum aparat yang melakukan penebangan pohon. Sekitar 50 pohon kemiri yang telah ditanam kelompok Kepuh bersama warga didapati ditebang oleh orang yang tidak bertanggungjawab, sehingga sempat menimbulkan ketegangan antara warga dengan Perhutani.

“Setelah pohon kemiri jadi dan banyak, sekitar 50 pohon ditebangi pada Mei 2010, sejak saat itu kelompok Kepuh sudah siaga semuanya. Kalau ada yang menebang atau mencuri, ramai-ramai akan diambil tindakan dan dilaporkan pihak berwajib. Kalau pencurian ini dibiarkan, kasihan anak cucu kita nanti kalau hutannya rusak kembali,” tegas Wagisan.

Wagisan berharap konservasi hutan yang telah dilakukan warga yang dimotori kelompok Kepuh ini, tidak sampai dirusak oleh pihak yang kurang bertanggungjawab dan ingin mencari keuntungan sendiri. pemerintah diminta turun tangan dan terlibat secara langsung dalam mendukung upaya konservasi yang telah digalakkan oleh kelompok Kepuh bersama masyarakat.

“Jangan sampai hutan konservasi yang sudah jadi seperti ini dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, kalau pemerintah tidak turun tangan ya tidak menutup kemungkinan bisa rusak lagi,” serunya.

Selain meminta dukungan pemerintah daerah Kabupaten Jombang dan Pemprov Jatim, kelompok Kepuh berharap potensi sumber daya alam khususnya di hutan Wonosalam dapat dikembangkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi masyarakat secara maksimal.

“Kalau pas panen durian, ini jadi hutan durian. Ini yang bisa mendatangkan pemasukan ekonomi warga, juga tanaman dengan buah yang lain. Sejauh ini kami menjual sendiri, belum ada yang menampung hasil panen warga. Selain itu akses jalan yang kurang baik jadi hambatan kami,” ucap Wagisan.

Pada waktu panen durian, hampir seluruh area yang dihijaukan menghasilkan buah durian. Rata-rata 1 pohon menghasilkan 10 hingga 20 buah durian. Bila dijual seharga Rp30.000, masyarakat memperoleh pemasukan Rp300.000- Rp600.000 per pohon. Padahal dalam sebidang lahan yang digarap warga bisa ada lebih dari 10 pohon durian.

Sedangkan dari panen kemiri, setiap 100 butir kemiri dihargai Rp7.000, sedangkan setiap pohonnya bisa menghasilkan antara 500 hingga 1.000 butir kemiri. Pohon kemiri di hutan Mendiro merupakan salah satu jenis pohon yang paling banyak ditanam di lahan seluas 50 hektar, karena pohonnya yang merupakan jenis tegakan.

“Bisa dihitung sendiri berapa hasil yang diperoleh sekali panen untuk kemiri dan durian. Belum lagi jengkol, nangka, dan hasil pohon buah lainnya. Intinya masyarakat semakin sejahtera setelah upaya penghijauan ini berhasil,” ungkap Wagisan.

Partisipasi Masyarakat

Aktivis lingkungan dari Ecological Observation and Wetlands Conservation(ECOTON) Amiruddin Muttaqin mengungkapkan, keberadaan kelompok Kepuh merupakan salah satu contoh partisipasi yang dilakukan masyarakat, dalam menjaga dan melindungi hutan terutama hutan-hutan lindung yang ada di perbatasan desa-desa paling ujung.

“Seharusnya memang di hampir semua hutan itu ada kelompok-kelompok seperti yang dilakukan kelompok Kepuh ini, yang sudah menjadikan hutan ini lebih bagus, terjaga, terawat, mata airnya terus mengalir dan bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat yang ada di hulu maupun di hilir,” katanya.

Amiruddin menilai bahwa sangat penting melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan, karena masyarakatlah yang setiap hari berinteraksi di hutan dengan berbagai ikatan emosional dan ekonomi yang terkandung di dalamnya. Fungsi hutan baik secara ekologi maupun ekonomi inilah, yang menjadikan hutan sebagai ekosistem yang harus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat.

“Mau tidak mau masyarakat harus menjaga hutan dan melindunginya, karena ini untuk tujuan peningkatan ekonomi dan juga melindungi mata air yang ada,” kata Amir yang sudah mendampingi kelompok Kepuh sejak 2010.

Sudah selayaknya, lanjutnya, pemerintah harus berterimakasih dan memberikan apresiasi bagi masyarakat di hulu yang sudah menjaga hutan dan mata air.

Keberhasilan kelompok Kepuh ini perlu didukung oleh semua pihak, karena upaya menjaga serta melestarikan hutan serta mata air tidak dapat dilakukan sendiri, khususnya masyarakat yang berdekatan dengan kawasan hutan yang kritis.

“Sebenarnya masih ada kawasan yang gundul di sekitar gua Sigolo-golo seluas 5-10 hektar, itu di wilayah Perhutani. Tidak tahu kenapa petugasnya kurang antusias. Masyarakat sebenarnya bisa saja melakukan penghijauan di situ, tapi ternyata hanya menanam tanaman palawija,” tukas Wagisan.

Saat ini hutan di Dusun Mendiro yang hijau dan lebat menjadi daya tarik wisatawan lokal dan mancanegara, baik untuk tujuan rekreasi maupun studi lingkungan. Bahkan tidak sedikit kelompok pelajar dan mahasiswa yang melakukan studi mengenai kehutanan, sekaligus melakukan aksi menanam pohon di hutan Desa Mendiro.

“Sekarang ini banyak kelompok masyarakat seperti pramuka, kelompok pemuda yang datang dan menanam disana, ditempat yang masih jarang pohonnya. Setiap kunjungan rata-rata kami siapkan 50-100 bibit untuk ditanam, dan tiap bulan selalu ada yang datang berkunjung,” pungkasnya.

Dengan banyaknya perhatian dari masyarakat di luar Wonosalam, Wagisan berharap ekosistem hutan Mendiro tetap terjaga, dan tetap menjadi sumber penghidupan masyarakat yang ikut menjaga kelestarian hutan dan mata air.

Mengajarkan Cinta Hutan Sejak Dini

Kesadaran untuk mau menjaga serta melestarikan hutan serta mata air, merupakan kunci mengatasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan hutan beserta ekosistem di dalamnya. Melalui pendidikan dapat diberikan pemahaman serta pengetahuan mengenai pentingnya hutan bagi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Berawal dari kekhawatiran terhadap kondisi hutan yang semakin rusak oleh ulah orang yang tidak bertanggungjawab, Mukhlas Bassa menjadi pelopor untuk mengajarkan pentingnya menjaga hutan dan mata air kepada para pelajar.

Guru Madrasah Aliyah (MA) Fasser, Kecamatan Wonosalam ini, akhirnya terjun total mengajarkan pentingnya melestarikan hutan kepada siswa-siswi didiknya. Dibantu LSM Ecoton, Mukhlas mengawali membentuk kelas khusus yang mengajarkan mengenai pelajaran hutan dan mata air. Mata pelajaran ini mungkin menjadi satu-satunya mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa di tingkat SMA sederajat.

“Hutan kami rusak sekitar tahun 1998-2002. Malah pada tahun 2002 terjadi banjir bandang di wilayah Mojokerto akibat hutan di sekitar kita gundul. Kekhawatiran terhadap hutan yang semakin rusak, serta terhadap mata air yang pada 2007 semakin banyak yang mati atau hilang, menjadi awal kegiatan kami di bidang lingkungan,” kisah Mukhlas.

Berawal dari kebosanan para siswa saat belajar di dalam kelas, memunculkan ide bagi Mukhlas untuk mengajak para siswa belajar mengenai lingkungan di luar kelas. Pelajaran di luar kelas itulah yang semakin menunjukkan bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari dari lingkungan, selain pelajaran teori mengenai ilmu pengetahuan alam.

Meski pada awal mula para siswa tampak kebingungan dengan metode yang baru ini, akhirnya lambat laun siswa didiknya dapat menikmati dan menyukai pelajaran baru yang diberikan tiap hari Sabtu, dengan sistem pengajaran lebih banyak di dalam hutan dan sekitar mata air.

“Kami mengajarkan tentang morfologi tumbuhan, pelestariannya, hidrologinya, kesehatan sungai, pembibitan, dan kemudian wirausaha sosial di bidang lingkungan. Awalnya siswa kami kebingungan karena banyak yang jurusan sosial, bukan IPA. Tapi lama-lama mereka semakin tertarik,” terangnya.

Tidak hanya semakin banyak siswa yang berminat mengikuti pelajaran hutan dan mata air, Madrasah Aliyah Fasser Wonosalam mulai menggandeng sekolah lain untuk bekerjasama melakukan penyelamatan hutan serta mata air bagi kehidupan manusia.

“Kalau kita belajar mengenai pembibitan tanaman hutan, kita juga mengundang teman-teman dari luar kota, seperti Surabaya, Gresik, Mojokerto, dan Jombang sendiri. Kita juga belajar tentang kondisi sungai-sungai kita dengan melakukan biomonitoring, inventarisasi tanaman-tanaman yang masih ada di hutan lindung, juga patroli,” jabar Mukhlas yang menyadari masih banyak anggota keluarga para siswa yang belum peduli terhadap kondisi hutan.

Selain belajar bersama di hutan, para siswa juga diajarkan untuk memberikan pengajaran mengenai hutan dan mata air kepada pelajar lain dibawahnya, baik tingkat SMP maupun SD. Pengajaran dan penyadaran mengenai pentingnya menjaga serta melestarikan hutan dan mata air menurut Mukhlas, merupakan upaya dasar untuk menanamkan kecintaan terhadap lingkungan sejak usia dini.

“Harapan kami memang ada pengaruh yang cukup besar walaupun tidak sekarang, karena sebagian besar anak-anak kami ini rata-rata orang tua mereka hidupnya juga tergantung dari hutan di sekitarnya. Dengan mereka kita sadarkan tentang pengetahuan hutan dan mata air, lambat laun mereka lebih arif lagi terhadap hutannya dan ikut menjaga hutannya,” tutur Mukhlas.

Melalui kegiatan belajar mengajar di hutan, sekaligus patroli hutan dan mata air yang dilakukan setiap Sabtu, membuat aktivitas penebangan kayu hutan serta perburuan liar menjadi jauh berkurang. Mukhlas berharap upaya kecilnya dalam menyelamatkan hutan dan mata air membuahkan hasil, berupa tersebarnya pemahaman baru yang positif mengenai kecintaan masyarakat akan hutan, sehingga dapat mencegah kerusakan yang terjadi.

“Dampaknya mungkin orang-orang yang merusak hutan mulai berkurang, dan keterlibatan kita menanam pohon dihutan menjadikan mereka ikut sadar dan ikut menanam tanaman hutan. Jadi kesadaran masyarakat tentang hutan sangat perlu diberikan sejak dini, khususnya melalui dunia pendidikan,” pungkas Mukhlas yang berharap ada materi khusus mengenai hutan yang dimasukkan pada kurikulum pendidikan.

sumber: klik disini

Share Button

Konflik Lahan Menggila? Inilah Usulan Peneliti

Center for International Forestry Research (CIFOR), menyatakan, negara Indonesia perlu memiliki resolusi konflik, dalam mengatasi konflik lahan antara masyarakat lokal (adat) dan perusahaan. Sebab,  dengan pengembangan bisnis yang memanfaatkan lahan luas berpotensi besar bersinggungan bahkan merampas wilayah kelola warga.

“Itulah mengapa kami menganggap perlu konsep resolusi konflik, yang bisa mencegah atau menekan konflik terjadi,” kata Romain Pirard, Saintis Senior Center for International Forestry Research (CIFOR), saat The Forests Dialogue, dalam diskusi lapangan mengenai Understanding Deforestation-Free (UDF), di Pekanbaru, Sabtu (2/5/15).

Pirard mengatakan, HTI bakal berkembang dramatis memenuhi tuntutan akan serat, pangan, dan energi di masa depan. Data FAO, perluasan hutan tanaman terjadi besar-besaran mencapai lima juta hektar per tahun.

Dampak ini, katanya, tumpang tindih klaim kepemilikan lahan dengan masyarakat lokal/adat, hingga berpeluang konflik dengan perusahaan HTI, sampai berujung kriminalisasi.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga 2014,  menunjukkan terdapat 10 juta hektar izin pemanfaatan HTI. Dari analisis, lahan yang dimanfaatkan baru 5,7 juta hektar. Salah satu penyebab pemanfaatan minim karena banyak tumpang tindih klaim kepemilikan lahan dengan masyarakat, yang tinggal di sekitar dan dalam kawasan hutan.

Optimalisasi pemanfaatan 10 juta hektar ini, katanya, diperkirakan bisa meningkatkan eskalasi konflik.  “Jadi perlu resolusi konflik, karena potensi muncul kekerasan, ketidakadilan, kerugian ekonomi, keterbatasan pembangunan pada tingkat lokal, dan merosot kredibilitas negara dalam keadilan dan kapasitas penegakan hukum.”

Konflik agraria, katanya, sepanjang 2013, tercatat 369 kasus, melibatkan lahan 1,2 juta hektar. Di sektor kehutanan 31 konflik dengan luas lahan 0,5 juta hektar.

“Mediasi, mekanisme resolusi konflik di berbagai negara, termasuk Indonesia, namun penerapan belum menujukkan hasil memuaskan, ” katanya.

Dengan resolusi konflik, tidak hanya menghentikan kekerasan, namun solusi jangka panjang, sebagai upaya mengubah paradigma hubungan sosial, hingga muncul keharmonisan dan saling percaya para pihak.

Dia mencontohkan, penyelesaian konflik di Kelurahan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, pada 2001 mengenai lahan APL menjadi hutan produksi.

Hasil penelitian CIFOR, tipologi konflik di Senyawang berupa klaim masyarakat atas hak tanah adat pada konsesi HTI PT Wira Karya Sakti (WKS), Sinarmas Forestry (SMF), yang menanam akasia dan mulai memasuki daur ketiga saat konflik memanas. Konflik ini memuncak setelah 2008.

Dewan Kehutanan Nasional, tercatat berperan dalam mendorong proses penyelesaian di sana, pada 2011-2013, berdasarkan permintaan masyarakat, Kementrian Kehutanan dan perusahaan. DKN memunculkan ide awal kemitraan sebagai upaya penyelesaian konflik.

Pemerintah Jambi juga mengeluarkan SK Gubernur sebagai dasar hukum pembentukan tim terpadu penyelesaian konflik di Senyerang. Tim ini menghasilkan rekomendasi kepada Kementerian Kehutanan  (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), untuk mengeluarkan kebijakan kemitraan dengan komposisi tamanan 90% karet dan 10% akasia.

Lalu  penelitian dan analisis stratus arah mediasi di Jambi. Mediasi berlangsung selama dua dekade terakhir. Walaupun kasus bisa dikatakan sukses dalam mencapai kesepakatan, namun ketegangan masih dirasakan. Awal tahun ini, satu petani tewas dianiaya sekuriti WKS kala akan masuk kebun.

Johnny Lagawurin, Kepala Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah I Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau, menyatakan, hutan produksi, pasti terjadi perubahan kawasan karena hutan produktif menjadi peruntukan lain, atau dari hutan alam menjadi hutan tanaman.

Lalu, terlepas ada izin atau tidak, perusaahaan perkebunan sawit ada masuk dalam hutan produksi. Ada juga di wilayah adat. Disitulah, katanya,  terjadi konflik dengan  masyarakat adat yang turun temurun menjaga hutan.

Untuk mencegah konflik, kata Johnny, harus ada inisiatif pemerintah daerah memberikan masukan atau trobosan kebijakan yang tidak merusak hutan. Juga tidak memberikan izin perusahaan mengelola kawasan di hutan adat. “Ini dilakukan Pemerintah Indragiri Hilir, Riau, yang mengusulkan kawasan tidak jelas 36.000 hektar terdiri kawasan mangrove,  pantai dan gambut Pulau Baso atau dikenal Pulau Bakong, menjadi taman hutan raya.”

“Ide ini kan sangat bagus. Jadi perusahaan sawit tidak masuk dalam konflik kepentingan dan perusakan kawasan hutan, masyarakat adat juga tidak terganggu. Apalagi kalau kawasan tidak jelas itu sampai disetujui pemerintah pusat menjadi Tahura, peyelamatan akan makin tinggi dan konflik bisa dicegah.”

Johnny sepakat dengan CIFOR soal resolusi konflik penting. “Ini akan membuat penyelesaian konflik di luar peradilan, menggunakan musyawarah mufakat, duduk sila, diskusi dengan kepala dingin tanpa kekerasan yang menyebabkan banyak kerugian. Bukan saja hutan hancur, tetapi masyarakat adat tidak damai hidup di sekitar hutan rusak. Mari kita fokus menjaga hutan, mengelola dengan baik dan benar.”

sumber: klik disini

Share Button