Pentingnya Sistem Merit dalam Promosi Terbuka

Undang-Undang (UU) ASN nomor 5 tahun 2014 memuat banyak perubahan besar dalam dinamilka birokrasi di Indonesia. Salah satu yang cukup menonjol adalah penerapan sistem merit dalam promosi jabatan secara terbuka.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) Irham Dilmy dalam seminar bertajuk Mengawal Kebijakan, Implementasi melalui Keterlibatan Policy Communities dan Evidence Based Policy di kampus UI Depok, Kamis (02/04). “Sistem merit memiliki dua konsekuensi, yakni semua jabatan harus memiliki standar kompetensi dan seluruh pejabat harus memahami tugas dan target kerjanya,” ujarnya.

Dikatakan, standar kompetensi dalam hal ini adalah adanya kecakapan terkait jabatan yang direbutkan dalam agenda open recruitment. Sedangkan mengenai konsekuensi kedua, para calon pemangku jabatan diharapkan paham mengenai garis besar tugas kerja yang akan diembannya.

Kedua hal ini, menurut Irham, mutlak dipenuhi oleh calon pemangku jabatan agar tercipta profesionalitas. “Konsekuensi tentu akan menghasilkan implikasi, dan dalam kaitannya dengan manajemen kepegawaian, sistem merit mampu memberikan enam implikasi baik bagi instansi-instansi terkait,” tambah Irham.

Implikasi pertama adalah penataan jabatan yang lebih jelas sehingga kinerja instansi-instansi yang menaungi semakin efisien dan akuntabel. Selanjutnya, sistem merit akan menghasilkan implikasi berupa penyusunan kualifikasi dan standar kompetensi pemangku jabatan yang lebih terstruktur.

Sedangkan implikasi ketiga adalah terciptanya penerapan sistem penilaian yang kinerja pemangku jabatan yang lebih obyektif dan transparan. Adapun implikasi keempat adalah penyempurnaan sistem remunerasi agar terciptanya efisiensi biaya kinerja ASN.

Irham menggaris bawahi remunerasi sebagai salah satu masalah yang cukup pelik dalam reformasi birokrasi di bidang anggaran, karena kerap kali penetapan gaji tidak sesuai dengan tingkat kerja yang ditunjukkan oleh aparat pemangku jabatan terkait.Oleh sebab itu, sistem merit diharapkan mampu memilih kandidat yang tepat untuk mengisi jabatan-jabatan starategis di kementerian, lembaga negara, dan pemerintahan daerah.

Untuk implikasi yang kelima adalah mengenai penempatan pegawai, yang diharapkan dapat mengurangi kesenjangan penempatan PNS yang masih cukup sering dialami oleh banyak instansi di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk implikasi terakhir yaitu penyusunan rencana pengembangan karir bagi ASN yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai diklat.

Menurut Irham, pengembangan karir sangatlah penting untuk meningkatkan motivasi dan potensi kerja ASN. “Konsep merit tidak akan berjalan dengan sempurna jika tidak dibarengi dengan pengawasan proses seleksi yang ketat sehingga Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dapat terjamin kaulifikasi dan legalitasnya,” tukas Irham.

Untuk mencapai tujuan pengawasan tersebut, Irham menyebut empat tahapan yang harus dikerjakan dengan baik. Pertama adalah pelaksanaan sikap proaktif dan reaktif dalam menilai kandidat JPT. Hal itu harus diikuti tahapan kedua berupa pemberian peringatan dan reaksi terhadap proses dan metode yang terjadi dalam seleksi, jika ditemui kejanggalan.

Selanjutnya, pengawasan proses seleksi juga memberi wewenang untuk pemberian endorsement jika panitia terkait menolak hasil seleksi karena tidak memenuhi kualifikasi yang diharapkan. Adapun tahapan keempat adalah penggenapan legalitas yang dilakukan dengan menggandeng Sekretariat Kabinet dalam rapat pra-JPT. (hfu/ HUMAS MENPANRB)

Sumber : Klik disini

Share Button

Ketika Dayak Punan Siapkan “Senjata” Melawan Penghancuran Hutan Adat

Malam itu, 15 Juni 2013. Bunyi mesin mobil memecah kesunyian Desa Punan Adiu, Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Markus Ilun segera keluar rumah. Sorot lampu mobil membuat silau mata. Empat orang turun dari mobil.

Markus, sang ketua adat, mencari tahu siapa mereka. Piang Irang, Kepala Desa Punan Adiu mendekati Markus. Mereka memperhatikan tamu-tamu itu. Salah seorang tamu mereka kenal. Dia adalah Perminas, Camat Malinau Selatan Hilir.

“Silakan masuk, Pak Camat,” kata Markus.

“Saya datang ke sini membawa tamu dari perusahaan sawit,” jawab Perminas.

Markus dan Piang saling bertatap. Keduanya bisa menduga maksud kedatangan camat dan tiga orang perusahaan sawit itu. Markus dan Piang mengajak warga sama-sama bertemu dan mendengarkan penjelasan orang-orang ini.

Sekitar 20-an warga datang. Mereka berkumpul di rumah Markus. Duduk membentuk lingkaran. Markus Ilun dan Piang Irang menjadi juru bicara.

Dari pertemuan itu, terungkap, tiga orang itu membawa bendera perusahaan sawit PT. Putra Bangun Bersama, PT. Dulong Agro Plantation, dan PT. Borneo Dulong Agro Lestari. Mereka mengincar hutan adat Dayak Punan Adiu.

“Kalau menanam sawit, masyarakat akan sejahtera,” kata salah satu dari mereka.

Perminas selaku wakil pemerintah menjelaskan, hanya mengantarkan orang-orang itu ke Kampung Dayak Punan. Dia telah mendapat izin bupati.

“Mohon maaf, bapak-bapak. Saya tidak bisa terima perusahaan sawit masuk di hutan kami,” kata Markus.

Perusahaan terus membujuk. Mereka mengiming-imingi kehidupan nyaman dan sejahtera. Perusahaan merinci, tahun pertama, target menanam sawit di hutan Dayak Punan seluas 40 hektar. Berikutnya 2015,  target mereka 100 hektar, 2017 sebanyak 150 hektar, dan 2020 seluas 200 hektar.

“Biarpun masyarakat sejahtera, kayu di hutan kami habis dibabat,” kata Markus.

Markus tak goyah. Dia bersama warga menolak tawaran orang-orang perusahaan itu. Pertemuan berlangsung dari pukul 20.00 hingga 23.00 itu tak menghasilkan apa-apa. Rombongan pulang dengan tangan hampa. Malam itu, menjadi saksi penolakan warga Dayak Punan “mengusir” investasi sawit yang siap menghancurkan hutan adat mereka.

Truk berukuran besar memuat batubara, lalu-lalang memecah kesunyian hutan. Jalan tak mulus. Penuh batu dan berlubang. Debu beterbangan menutupi pepohonan. Bak awan, debu ini menghalangi pemandangan saya.

Tak jauh dari jalan itu, dua perusahaan batubara beroperasi, PT Kayan Prima Utama Coal dan PT Bara Dinamika Muda Sukses.

Jalan ini menuju Desa Punan Adiu. Dari ibukota kabupaten menuju Punan Adiu ditempuh sekitar satu setengah jam. Sebelum pemekaran, daerah ini masuk Kalimantan Timur.

Punan adalah salah satu sub suku Dayak di Kalimantan. Diaspora etnis ini hingga ke negeri seberang di Serawak, Malaysia. Ia menyebar hingga di belahan Kalimantan.

Di Punan Adiu, mereka ada 27 keluarga dengan 121 jiwa. Luas pemukiman berkisar empat hektar dengan hutan adat seluas 17.400 hektar.

“Hutan ini tempat lahir kami,” kata Markus, pada medio Februari 2015.

Untuk bertahan dari godaan perusahaan, masyarakat Dayak Punan punya senjata. Senjata itu bukanlah bedil berisikan peluru tajam tetapi selembar peta. Peta yang menegaskan pengakuan tanah adat mereka di Adiu.

Peta itu dibuat partisipatif difasilitasi Lembaga Pemerhati Pendayagunaan Punan di Malinau (LP3M), dan Simpul Layanan Pemetaan Pertisipatif Kalimantan Timur (SLPP). Mereka bekerja sama dengan Jaringan Kerja Pemetaan Pertisipatif (JKPP), dan Perkumpulan Padi Indonesia.

“Ketika Pak Camat dan tiga orang perusahaan itu datang, kami sedang proses pembuatan peta partisipatif,” kata Piang.

Piang Irang rajin mencatat. Ketika ada pertemuan dengan siapa saja, dia menjadi notulen. Detail-detail peristiwa dicatat. Dalam catatan Piang, di desa mereka seringkali datang orang survei batubara. Juga perusahaan hutan tanaman industri yang merayu warga menanam akasia. Perusahaan mengincar kayu log hutan adat.

“Sekarang dengan peta, masyarakat bisa menentukan sikap. Kami bisa menolak perusahaan-perusahaan yang ingin masuk ke hutan adat.”

Peta partisipatif masyarakat Punan Adiu baru selesai Januari 2015. Proses pembuatan memerlukan waktu panjang. Beberapa kali survei lapangan, dari Juni 2012 hingga 2014.

“Dalam peta ini tidak hanya bicara tata batas, juga tata ruang. Seperti di mana hutan adat, kebun, atau tempat warga berburu,” kata Ahmad Suudi Jawahir Asyami, Direktur Perkumpulan Padi Indonesia.

Bagi Among, panggilan akrab pria ini, peta adalah alat dan pengakuan diri masyarakat. Untuk pemerintah, katanya, sangat berguna karena dengan peta partisipatif akan tahu daerah itu ada masyarakat bermukim. Among berharap, peta itu bisa masuk rencana tata ruang wilayah.

Boro Suban Nicolaus, Direktur LP3M mengatakan, di Kabupaten Malinau, pemetaan partisipatif sudah mulai lama, diawali pelatihan pada 28 Februari 2012. Langkah maju juga tampak dengan ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Kabupaten Malinau.

“Pertama kali, peta partisipatif di Malinau yang jadi baru di Punan Adiu. Nanti peta milik ini akan menjadi model bagi kampung-kampung lain di Malinau,” kata Nico.

Menurut dia, proses awal pembuatan peta ini mengundang semua kampung-kampung tetangga, berjumlah enam desa. Mereka akan bertukar pendapat mengenai sejarah kampung, dan bersepakat tentang tata batas. Tujuannya, meminimalisir konflik, baik dengan perusahaan maupun sesama masyarakat.

Proses pembuatan peta ini, katanya, bukan tanpa kendala. Pernah dalam pembahasan peta terjadi selisih paham antara masyarakat Setarap dengan Punan Adiu dan Merap Gong Solok. Persoalannya Danau Sigong Kelapa. Luas 12 hektar. Orang Setarap ingin danau itu masuk wilayah mereka, tetapi berdasarkan sejarah itu wilayah adat Punan Adiu.

“Ketua adat dari Punan Adiu bilang, ‘tidak mungkin ikan danau dicat dan dibagi dua biar ketahuan punya masing-masing’. Lama berdebat, akhirnya mereka bersepakat danau itu masuk wilayah adat Punan Adiu dan menjadi titik temu tiga masyarakat adat. Tata batas berdasarkan sejarah nenek moyang mereka.”

“Orang-orang Dayak punya kesantunan adat yang luar biasa,” kata Nico.

Rahmat Sulaiman, Kepala Divisi Organisasi JKPP berharap, peta ini segera ditindaklanjuti ke level berikutnya, yaitu didaftarkan ke Badan Registrasi Wilayah Adat. Di kabupaten, katanya, aturan daerah itu harus ada turunan, yaitu peraturan bupati berisi pembentukan Badan Pelaksana Urusan Masyarakat Adat.

Perahu ketinting melaju kencang melawan arus Sungai Malinau. Piang Irang memegang kemudi. Dia harus waspada. Kalau lengah, perahu bisa menghantam batu atau batang pohon besar di sungai. Kadang dia, memperlambat laju perahu. Sesekali mesin mati. Piang sigap turun dan mendorong perahu.

“Hutan adat orang Punan Adiu jauh dari sini. Kurang lebih setengah jam naik perahu,” katanya.

Pada 25 Februari 2015, saya dan beberapa wartawan bersama Piang Irang dan Markus Ilun dan warga lain ke hutan adat. Kami melewati beberapa anak sungai. Pohon-pohon rapat. Hutan lebat.

Markus turun pertama. Mengenakan kaos oblong lengan panjang bergaris merah hitam dan bercelana pendek.

“Ini pohon gaharu yang kami tanam.”

Markus memperlihatkan gaharu banyak tumbuh di sana. Sejak 2006, warga wajib menanam pohon dengan nama latin Aquilaria malaccensis ini di hutan mereka. Selain memiliki nilai tinggi, pohon ini menjadi tanda batas dengan wilayah hutan komunitas lain.

“Cara mengusir perusahaan juga dengan menanam gaharu. Perusahaan tidak bisa asal serobot karena tanda wilayah kami adalah pohon ini. Ini sudah ada di peta adat Dayak Punan Adiu,” kata Markus.

Gaharu juga memiliki hubungan erat dengan orang-orang Dayak Punan. Pohon ini memiliki nilai spiritual dan jadi ramuan obat-obatan. Dahulu, kata Markus, gaharu sebagai alat barter.

Di hutan ini juga diatur wilayah terlarang, tidak sembarang orang bisa masuk. Mereka juga membuat pos untuk mencegah orang mengambil kayu di hutan Punan Adiu.

“Kami sedang menggodok peraturan desa mengenai wilayah-wilayah adat yang dilarang maupun yang boleh beserta sanksi,” kata Piang.

Masyarakat Dayak di Punan Adiu memiliki kearifan lokal tinggi dalam menjaga wilayah adat. Namun, ancaman bisa datang kapan saja, terutama dari perusahaan.

“Kami tidak ingin menyerahkan hutan kami kepada perusahaan. Karena hutan ini tempat lahir kami.”

Sumber : klik disini

Share Button

Mengatasi Perubahan Iklim Itu Tidak Bisa Sendiri

Isu perubahan iklim masih menjadi isu hangat yang diperbincangkan di seluruh dunia oleh berbagai kalangan. Di Indonesia, isu perubahan iklim terus menjadi perhatian utama karena peran Indonesia sebagai salah satu negara penyuplai oksigen dunia. Berbagai kalangan bahu membahu secara simultan terus mencari solusi terbaik untuk mengatasi perubahan iklim yang dari hari ke hari semakin tak terbendung lagi.

Selain Pemerintah Indonesia melalui kementerian terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pihak lain juga ikut mengawasi perubahan iklim ini hingga bersama-sama mencari cara untuk mengatasinya. Salah satunya, adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus melakukan penelitian tentang perubahan iklim dan dampaknya di Indonesia.

Di luar LSM, beragam kegiatan juga dilaksanakan untuk menyebarluaskan dan update terkini dari isu perubahan iklim yang terjadi di Indonesia dan dunia. Salah satunya, adalah pegelaran Indonesia Climate Change Education Forum & Expo yang tahun ini sudah memasuki gelaran tahun kelima.

Tahun ini, ICCEFE akan digelar pada 14-17 Mei di Assembly Hall, Jakarta Convention Center, Jakarta. Kegiatan tersebut akan berisi rangkaian acara  yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas, dari usia kanak-kanak sampai lanjut usia, tentang perubahan iklim.

Selain itu, ICCEFE digelar juga bertujuan untuk memberikan edukasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kemudian, yang tak kalah penting, pelaksanaan ICCEFE juga diharapkan menjadi sarana efektif untuk pertukaran informasi dan mempromosikan program berkaitan dengan perubahan iklim antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat secara umum.

Ketua Tim Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Rachmat Witoelar, menyebut kegiatan ICCEFE sebagai ajang istimewa karena menjadi paket lengkap dalam aksi memberikan pemahaman tentang perubahan iklim.“Ini adalah sesuatu yang sangat strategis dan harus bisa dimanfaatkan oleh semua kalangan,” katanya saat jumpa pers tentang ICCEFE di Gedung Wana Manggala Bhakti, Jakarta, Senin (06/04/2015).

Menurut mantan Ketua Harian Dewan Harian Nasional Perubahan Iklim itu, isu perubahan iklim dewasa ini menjadi urusan semua orang dan karenanya harus ada kepedulian yang kontinu untuk mengatasinya secara bersama.”Untuk melawan perubahan iklim sendirian itu jelas tidak bisa. Perlu ada kerja sama antara semua pihak yang ada,” ujarnya.

Akan tetapi, Rachmat mengingatkan, untuk bisa menumbuhkan kesadaran dan memberikan pemahaman tentang perubahan iklim kepada masyarakat, perlu ada keterangan sangat otentik yang bisa dipahami dengan menyeluruh. Sarana yang bisa menjembatani maksud tersebut, ungkap dia, adalah melalui pelaksanaan forum seperti ICCEFE.

Rachmat menjelaskan, saat ini topik perubahan iklim juga menjadi bahasan serius dan kontinu di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Karenanya, Indonesia bisa memanfaatkannya untuk sarana edukasi bagi masyarakat dan juga penguatan poros maritim yang saat ini menjadi program utama pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Tim Teknis Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Yetti Rusli, Indonesia saat ini harus bisa menegakkan kepedulian terhadap isu perubahan iklim. Salah satu caranya adalah dengan melaksanakan hal teknis yang bisa mendukung untuk mengatasi isu perubahan iklim.

“Dengan penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, Indonesia harus melaksanakan langkah teknis dan taktis untuk mengatasi isu perubahan ikllim ini,” kata Yetti di Gedung Wana Manggala Bhakti, belum lama ini. Dia mencontohkan, salah satu bentuk langkah teknis yang bisa diterapkan adalah meningkatkan kewaspadaan masyarakat nasional terhadap bencana seperti banjir, gagal panen dan lain sebagainya.

Dengan pelaksanaan ICCEFE nanti, Staf Ahli Menteri KLHK Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim itu berharap kepedulian masyarakat terhadap perubahan iklim bisa semakin baik lagi. Sehingga, ke depannya penanganan teknis bisa diterapkan seiring dengan peningkatan pemahaman dari masyarakat.

Di sisi lain, pelaksanaan ICCEFE juga akan membawa manfaat signifikan bagi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. “Kita mendapatkan manfaat berupa pengembangan SDM, tersedianya data dan informasi terkait rencana pembangunan maritim nasional dan navigasi bencana di laut,” ungkap Nani pada kesempatan yang sama.

Terkait pelaksanaan ICCEFE, Katili, Anggota Tim Teknis Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Amanda Katili menjelaskan bahwa kegiatan tersebut akan mengombinasikan kegiatan forum dan pameran yang berkaitan dengan perubahan iklim.

“Kami adakan kegiatan ini sebagai forum strategis yang bertujuan untuk mewujudkan Indonesia rendah emisi karbon dan diakhiri dengan pencarian solusi inovatif,” ungkapnya.

Amanda mengatakan, sejak pertama kali digelar pada 2011, ICCEFE terus mengalami peningkatan dari sisi penyelenggaraan dan jumlah kunjungan masyarakat. Kata dia, tahun pertama pelaksanaan, pengunjung yang datang berkisar di angka 15 ribu orang. Namun, jumlah itu terus meningkat hingga pada pelaksanaan 2014 berhasil menyedot 80 ribu pengunjung.

Untuk tahun ini, pihaknya menargetkan bisa menyedot pengunjung hingga mencapai minimal 90 ribu orang. “Tahun ini kita bekerja sama dengan LAPAN. Diharapkan, kehadiran LAPAN bisa menarik pengunjung lebih banyak,” tandas dia

Sumber : klik disini

Share Button

Laju Hilangnya Tutupan Pohon Indonesia Terendah Dalam Sepuluh Tahun Terakhir

Hasil penelitian terbaru tentang kehutanan (02/04/2015) yang dipimpin oleh pakar kehutanan Matt Hansen dari University of Maryland dan World Resources Institute (WRI) melaporkan laju kehilangan tutupan pohon di Indonesia periode 2011-2013 adalah 1,6 juta hektar/tahun; angka terendah sejak sepuluh tahun terakhir, namun masih termasuk peringkat lima besar di seluruh dunia.

Di sisi lain, laju hilangnya hutan primer Indonesia 2013 juga menunjukkan pelambatan, yaitu kurang dari setengah juga hektar per tahun, terendah sejak tahun 2003.

Penyebab dari turunnya tutupan pohon dan kehilangan hutan primer diprediksi akibat diberlakukannya moratorium atas izin konversi hutan, anjloknya harga komoditas (tambang dan mineral serta sawit) di pasar internasional, komitmen perusahaan untuk menerapkan kebijakan nol-deforestasi, dan fakta bahwa hutan yang tertinggal adalah hutan yang sulit untuk diakses.

Data terbaru ini menunjukkan tanda-tanda cukup menggembirakan bagi hutan di Indonesia, tetapi dibutuhkan data dengan rentang waktu yang lebih lama dan riset tambahan untuk mengkonfirmasi tren tersebut. Hutan primer di Indonesia dikenal sebagai hutan yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati dan stok karbon tertinggi di dunia.

“Informasi terbaru ini menuturkan cerita positif mengenai hutan di Indonesia, namun terlalu dini menyatakan ini adalah tren yang pasti, saat ini kami sedang membandingkan angka yang dimiliki Kementerian dengan temuan ini,” jelas Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam siaran persnya.

“Apabila benar, ini adalah indikator kuat bahwa investasi signifikan yang dilakukan Indonesia untuk melindungi hutan terbayarkan. Kami akan mengambil langkah-langkah tambahan untuk memastikan tren positif ini tetap berlanjut.”

 

Sumber: GFW/WRI

Sudah sewajarnya jika Menteri LHK menyampaikan kelegaannya, karena pada laporan sebelumnya yang dipublikasikan oleh University of Maryland dan WRI, disebutkan bahwa angka kehilangan tutupan hutan primer di Indonesia meningkat selama periode 2001-2012.

“Data terbaru ini harus dapat terus mendorong momentum untuk memperbaiki sistem pengawasan dan pengelolaan hutan di Indonesia,” jelas Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia. Menurutnya, perbaikan dalam bidang penegakan hukum dan transparansi data untuk mempromosikan pengembangan komoditas berkelanjutan, memperkuat moratorium hutan dan pemetaan hutan perlu terus dilanjutkan.

Meskipun secercah harapan mulai tumbuh, namun secara global pada tahun 2013, 18 juta hektar hutan di seluruh dunia telah hilang, meningkat hampir sepertiga sejak awal tahun 2000-an yang menyebabkan krisis kehilangan hutan global masih jauh dari terpecahkan. Secara bersamaan, Rusia dan Kanada mewakili bagian empat puluh persen dari total negara yang kehilangan hutan arborealnya. Dimana kehilangan hutan telah naik hampir 50 persen dalam 13 tahun terakhir.

Hilangnya hutan empat musim (arboreal), dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh kebakaran dan pembalakan. Penebangan hutan menyebabkan hutan yang tersisa menjadi rentan terhadap kebakaran. Perubahan iklim juga memperburuk risiko kebakaran.

Sumber: Mongabay.com

Secara global, dunia kehilangan lebih dari 18 juta hektar tutupan pohon pada tahun 2013. Data menunjukan negara-negara seperti Rusia, Kanada, dan Brasil menyumbang 2,2 juta hektar, Amerika Serikat (1,7 juta hektar), dan Indonesia (1,6 juta hektar) adalah 5 peringkat teratas negara dengan angka rata-rata kehilangan tutupan pohon pertahun tertinggi dari 2011–2013. Hanya di tahun 2013 Indonesia mengalami angka kehilangan tutupan pohon terendah selama 10 tahun terakhir.

Sementara negara-negara di belahan utara mengalami percepatan hilangnya tutupan pohon secara serius, daerah tropis masih menyumbang sebagian besar hutan yang hilang, yaitu sebesar hampir 19 juta hektar selama periode 2011-2013. Masing-masing negara tersebut adalah Brasil (4,5 juta hektar kehilangan tutupan hutan), Indonesia (3,3 juta ha), Republik Demokratik Kongo (1,4 juta ha), dan Malaysia (931.000 ha).

Tiga dari empat negara yaitu, Brasil, Indonesia dan Malaysia diketahui terdapat trend signifikan pelambatan hilangnya hutan pada tahun 2013.

Hilangnya hutan akan berpengaruh terhadap fungsi ekologis bumi, termasuk pengaruhnya terhadap curah hujan, lepasnya simpanan karbon, hilangnya lapisan tanah subur dan berkurangnya jasa lingkungan dan pasokan oksigen dalam sistem planet. Hilangnya hutan pun akan berpengaruh terhadap gagalnya sistem pertanian yang berkelanjutan.

Riset Global Forest Watch adalah sistem online dinamis untuk memantau hutan lewat penyatuan data citra satelit beresolusi tinggi, open data dan crowdsourcinguntuk memperoleh informasi hutan secara tepat waktu dan terpercaya. Dari dari University of Maryland dan Google ini dapat menampilkan data kehilangan tutupan pohon dengan resolusi 30 meter.

Sumber : klik disini

Share Button

Dampak Pembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 Oleh MK Tentang Sumber Daya Air

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat M. Basoeki Hadimoeljono menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI guna membahas dampak pembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap kebijakan dan program kerja di bidang sumber daya air, Selasa (31/3) di Ruang Sidang Komisi V DPR RI Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta. Salah satu dampak yang dibicarakan yaitu masalah saluran irigasi yang tidak bisa memasuki hutan produksi karena merupakan kewenangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rapat Kerja yang terbuka untuk umum ini dihadiri oleh 53 orang Anggota Komisi V DPR RI. Sementara itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan didampingi oleh 3 orang Eselon I, sejumlah jajaran Eselon 2 serta Eselon 3 terkait.
Terkait dengan putusan MK Nomor 85/PUU-XII/2013 tanggal 18 Februari 2015 terhadap pembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dan pemberlakuan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang pengairan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan bahwa Konservasi Sumber Daya Air dapat menggunakan landasan hukum UU 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (KTA). Peran serta/partisipasi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat yang tidak diatur dalam UU 11/1974 tersebut dapat menggunakan PP 37/2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pasal 57 sampai dengan 63, sedangkan tentang Sistem Informasi SDA dapat menggunakan PP 37/2012 tentang Pengelolaan DAS pasal 64 sampai dengan 66.
Kelembagaan SDA seperti Dewan SDA (nasional atau provinsi) dan Tim Koordinasi Pengelolaan SDA dapat menggunakan kelembagaan seperti Forum DAS (tingkat Nasional dan Provinsi serta Kabupaten/Kota) dan Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia sebagai wadah koordinasi karena telah memiliki dasar hukum yaitu PP 37/2012 tentang Pengelolaan DAS dan UU 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air.
SDA merupakan bagian dari DAS, dimana seluruh wilayah daratan terbagi habis dalam DAS, sehingga Pengelolaan SDA yang berkelanjutan harus berbasis DAS dan tidak bisa hanya memperhatikan variabel-variabel hidrologis sekitarnya saja, karena harus memperhatikan keseluruhan DAS secara utuh. Ekosistem DAS di ujung terluar dapat mempengaruhi keberadaan dan kualitas SDA didalamnya. Oleh karena itu, PP 37/2012 tentang Pengelolaan DAS harus menjadi acuan dalam melakukan Pengelolaan SDA.
Sumber : www.dephut.go.id

 

Share Button

Peran Besar KLHK Untuk Tangani Kebakaran Hutan. Seperti Apa?

Memasuki musim kemarau, pemerintah harus mulai bersiap untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang akan merugikan baik dari segi lingkungan, kesehatan dan perekonomian bila terjadi. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempunyai peran yang sangat besar dalam menangani karhutla.

“KLHK ini sekarang punya satu kekuatan luar biasa. Dulu LH pisah dengan kehutanan, sekarang digabung,” kata Pemerhati Hukum dan Pemerintahan dariThamrin School of Climate Change and Sustainability, Mas Achmad Santosa dalam jumpa pers di Jakarta, pada Kamis (02/04/2015).

Apalagi dengan keputusan Mahkamah Agung yang menguatkan peranan KLH waktu itu sesuai pasal 95 ayat 1, UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dimana KLH disebutkan sebagai sebagai koordinator penanganan karhutla. “Jadi ada legitimasi KLHK menjadi koordinator penanganan karhutla. Apalagi sekarang tidak ada lagi UKP4, DNPI, BP REDD, maka semua tanggung jawab ada di KLHK,” kata Mas Achmad Santosa yang lebih akrab dipanggil Ota.

Pada  Juni  tahun 2014,  pemerintahan  SBY-Boediono,  telah mengidentifikasi enam permasalahan karhutla yang perlu ditanggulangi yaitu (1) sistem peringatan dini yang  tidak  optimal,  (2) jaringan  komunikasi  lemah  untuk  melakukan  koordinasi  deteksi  dan  pemadaman  karhutla (3). ketidak patuhan perusahaan-perusahaan pemilik konsesi dalam persiapan dan pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan Karhulta di wilayah konsesinya.

Juga (4) lemahnya  pengawasan  dan  penegakan  hukum , (5) konflik  dengan  masyarakat  dan kesulitan  akses  jalan  transportasi    dan  (6) belum  adanya  kebijakan  perlindungan kawasan ekosistem gambut.

Ota melihat akar dari enam permasalahan tersebut adalah ketidakoptimalan  sistem  deteksi  dini  disebabkan  lemahnya  koordinasi  dalam  mendayagunakan  data  satelit NOAA/MODIS dan   BMKG.

Masalah lainnya yaitu dari hasil audit kepatuhan perusahaan ekstraktif yang dilakukan oleh UKP4 menunjukkan tidak   ada   satupun   perusahaan   dari   97 perusahaan  perkebunan  dan  122  perusahaan  kehutanan  mematuhi  seluruh  kewajiban  yang   diamanatkan  peraturan   perundang-undangan.  Capaian  dari   kedua   kelompok  perusahaan  ini  kurang dari 50%.

Untuk  tingkat  kepatuhan  Pemda,  dari  enam kabupaten  dan  kota  hanya  satu  kabupaten  yang  patuh  (92,74% dari 67 kewajiban). Selebihnya dikategorikan  kurang patuh (62% mematuhi 67 kewajiban). Faktor ketidaksiapan pemerintah daerah juga ikut berpengaruh.

Akan tetapi, menurutnya ahli hukum lingkungan UI itu, ketidaktaatan  tersebut  hampir  sebagian besar tidak diberikan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin atau pencabutan izin sebagai langkah preventif.

Meski, sejak 2012 penegak hukum (PPNS KLH, Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan) telah melakukan penanganan perkara karhutla di beberapa daerah,  namun  aparat  penegak  hukum  khususnya  hakim  belum  melihat  kasus  hukum karhutla   ini   sebagai   hal   penting  dan mendesak.

Ota melihat pada umumnya putusan hakim membebaskan terdakwa atau menghukum   ringan   terdakwa. Sehingga, praktek penegakan hukum saat ini belum mampu menumbuhkan  efek jera bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan.

“Banyak kasus karhutla yang diajukan ke pengadilan, tetapi yang diajukan pelaku lapangan. Pelaku individu atau perusahaan, belum diajukan.  Tantangan bagi KLHK bagaimana mencari pelaku intelektual dari karhutla,” lanjut Ota.

Sementara KLHK merupakan kementerian yang memiliki paling banyak Penyidik PNS dibanding institusi lain, karena gabungan PPNS KLH dan PPNS Kemhut.

Sedangkan Pemerhati Isu Kehutaanan dari Thamrin School, Togu Manurung menegaskan  bahwa 99%  penyebab kebakaran adalah  manusia (anthropogenic  factor). Pembukaan lahan dengan cara membakar yang biasa dilakukan masyarakat  lokal, pendatang dan para perambah hutan merupakan pemicu utama karhutla. Lahan yang terbakar sebagian besar berada di wilayah klaim / pendudukan / okupasi  kawasan hutan ilegal/konflik oleh masyarakat atau  wilayah yang diterlantarkan pemegang izin konsesi hutan atau HGU perkebunan.

Disamping itu, perusahaan pemilik konsesi hutan dan perkebunan kelapa sawit disinyalir ada yang   secara sengaja melakukan pembakaran hutan dalam proses pembersihan  lahan  (land  clearing). Kondisi  tersebut  diperparah  oleh  kondisi  lokasi  kebakaran  yang  sulit  dijangkau  oleh  sarana  transportasi  darat.

Harapan besar

Ada harapan besar terhadap penegakan hukum karhutla setelah ditandatanganinya kesepakatan bersama enam pemimpin kementerian dan lembaga pada Desember   2012 dan dimulainya pendekatan  multi  rezim  hukum termasuk penggunaancorporate criminal liability.

Tetapi banyak kasus karhutla yang dibawa ke pengadilan berakhir  dengan  putusan  yang  mengecewakan.  Sehingga penegakan hukum karhutla belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan perilaku terutama korporasi penyebab karhutla.

Ota melihat sumber penyebab ketidak efektifan  penegakan hukum adalah kualitas dan pemahaman para penegak hukum   yang masih terbatas dalam menerapkan pendekatan multi rezim hukum  dengan mendayagunakan berbagai peraturan perundang-undanganan yang  relevan seperti UU PPLH, UU  Kehutanan, UU Perkebunan, UU  Tindak  Pidana  Pencucian  uang,  UU Tindak  Pidana  Korupsi,  UU  Pajak, termasuk menerapkan corporate criminal liability.

Koordinasi juga tidak berjalan baik antara penyidik dan penuntut dan PPNS lainnya yang terkait dengan pendektan multi rezim  hukum . Dan intervensi penanganan perkara terutama perkara-perkara korporasi besar  yang membutuhkan kepemimpinan dan pelaksana yang memiliki integritas kuat.

“Saat ini sepatutnya, ketiga persoalan tersebut harus dapat diatasi oleh KLHK yang  memegang  dua  portofolio sekaligus yaitu lingkungan hidup dan kehutanan,” jelas Ota.

Ada  dua hal yang  dihasilkan dari kunjungan  Presiden  Jokowi yaitu Presiden menginstruksikan   untuk memelihara gambut di Kabupaten   Meranti tetap dalam keadaan basah. Sekarang  lahan  gambut yang akan dijaga untuk tetap basah telah  diidentifikasi,” kata Farhan.

Pemprov Riau juga telah menindaklanjuti Instruksi  Presiden  dengan menerbitkan Peraturan   Gubernur  Riau  No.5/2015 tentang Pelaksanaan Rencana Aksi  Pencegahan  Kebakaran  Hutan dan    Lahan  di Riau.

Oleh karena itu, Thamrin School melihat perlu diperkuatnya peran koordinasi dan fasilitasi KLHK   sehingga  memilki kemampuan  merangkul  dan  memfasilitasi  kerja-kerja  sinergis  seluruh  aparat gakum terkait Karhutla.

Pengembangan kapasitas SDM aparat penegak hukum (apgakum) harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh pihak. Maka penguatan kapasitas green  inspector,  green  police,  green  prosecutor, dan  green  judges  menjadi  sebuah  keharusan  dalam  melindungi  sumberdaya  alam dan lingkungan.

Kemampuan  investigasi,  pemantauan  kasus-kasus  dan  perkara  dari   LSM-LSM  dan masyarakat sipil menjadi  penting  untuk  mendorong  percepatan penanganan perkara yang lebih efektif,   memberi pesan penjeraan dan mengembalikan kerugian negara akibat karhutla.

Sedangkan hakim dalam memberikan vonis hukuman kepada pihak yang terbukti bersalah harus memberikan hukuman yang maksimal (terberat) untuk menimbulkan efek jera dan denda yang juga maksimal agar dapat dimanfaatkan untuk memulihkan fungi jasa lingkungan dari ekositem hutan akibat karhutla.

Praktek pembukaan lahan dengan cara dibakar disinyalir juga dilakukan oleh perusahaan. Oleh sebab itu /sistem  hukum harus menerapkan  asas  pembuktian  terbalik oleh pemilik lahan atau pemilik konsesi hutan (HGU perkebunan) untuk membuktikan mereka tidak melakukannya.

Sumber : klik disini

Share Button