Ilmuwan Desak Negara PBB Tandatangani Kesepakatan Terkait Pemanasan Global

Sejumlah ilmuwan menyerukan para pemimpin dunia untuk menandatangani delapan butir kesepakatan dalam pembicaraan di Paris nanti.

Kunci kesepakatan ini adalah tujuan untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius dengan mengarah ke emisi karbon nol pada tahun 2050 mendatang.

Pertemuan PBB pada bulan Desember mendatang adalah “kesempatan terakhir” untuk mencegah perubahan iklim yang berbahaya, sebut Liga Bumi.

Bukti ilmiah menunjukkan hal ini bisa dicapai, tapi jika dilakukan tindakan nyata sekarang, kata gabungan peneliti iklim dari 17 lembaga.

Pernyataan berisi delapan butir seruan untuk:

  • Membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius
  • Menjaga emisi CO2 di bawah 1.000 gigaton (miliar ton) di masa yang akan datang
  • Menciptakan masyarakat nol-karbon pada tahun 2050
  • Pendekatan yang adil – negara-negara kaya membantu yang miskin
  • Penelitian teknologi dan inovasi
  • Strategi global untuk mengatasi kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim
  • Menjaga ekosistem seperti hutan dan lautan yang menyerap CO2
  • Menyediakan pendanaan iklim untuk negara-negara berkembang.

“Enam tahun setelah kegagalan di Kopenhagen, dunia kini mendapatkan kesempatan kedua untuk menyepakati jalur aman menuju masa depan yang tidak merusak keselamatan manusia di dunia.”

Dia mengatakan pernyataan itu merangkum apa yang kelompok ilmuwan yakini harus dibahas dalam pembicaraan di Paris untuk menghindari risiko perubahan iklim yang parah terkait dengan kenaikan permukaan laut, gelombang panas, kekeringan dan banjir.

“Masih ada kesempatan untuk beralih menuju masa depan iklim yang aman dan cukup stabil,” katanya

Dia menambahkan: “Pernyataan itu menyebutkan dengan sangat jelas bahwa 2 derajat Celcius adalah batas atas yang harus menjadi tujuan dunia”.

Organisasi Liga Bumi terdiri dari 17 lembaga penelitian ilmiah dari seluruh dunia, dua diantaranya dari Inggris.

Profesor Sir Brian Hoskins dari Institut Grantham untuk Perubahan Iklim dan Lingkungan, Imperial College, London, mengatakan negara-negara kaya harus memimpin dalam topik ini dan membantu sejumlah negara miskin.

“Kita semua bersama-sama – dalam satu planet, atmosfer, dan sistem iklim.”

Pernyataan ini diluncurkan bertepatan dengan Hari Bumi, sebuah acara tahunan untuk menegaskan dukungan bagi perlindungan lingkungan.

Sumber : klik disini

Share Button

Berkah Awig-awig di Nusa Lembongan

Kelestarian hutan mangrove seluas 230 hektar di Pulau Nusa Lembongan, membawa berkah bagi warga Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung-Bali. Warga Nusa Lembongan kini tidak hanya menggantungkan kehidupanya dari budidaya rumput laut, tetapi juga dari mengantar wisatawan berkeliling hutan mangrove. Hutan mangrove yang alami dan lestari menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Mangrove tour saat ini menjadi salah satu paket wisata andalan yang ditawarkan di Nusa Lembongan.
Anggota nelayan mangrove tour, Gede Adnyana ketika ditemui belum lama ini menuturkan awalnya tidak menyangka jika hutan mangrove di Nusa Lembongan akan menjadi obyek wisata yang menarik dan memberi manfaat secara ekonomi. Apalagi selama ini tidak ada promosi khusus baik dari masyarakat Nusa lembongan ataupun pemerintah terkait obyek wisata mangrove. Wisatawan yang pernah berkunjung yang secara tidak langsung melakukan promosi. Promosi yang dilakukan juga sebatas dari mulut ke mulut yang menceritakan kelestarian mangrove Nusa Lembongan. Kecanggihan teknologi melalui media sosial juga sangat membantu promosi paket wisata mangrove Nusa Lembongan.
“Itu yang menyebabkan wisatawan semakin hari semakin ramai,  kita terbantu dari segi promosi walaupun tidak dipromosikan.  Kalau dulu paling kita cuma bisa tawarkan wisata lautnya , tetapi sekarang ada tambahan wisata mangrove,” ujar Gede Adnyana yang kini juga berprofesi sebagai guide tour. Adnyana menjelaskan terjaganya kelestarian mangrove pada sisi lain juga memberi keuntungan dari segi penanggulangan abrasi. Jika dulu pada bulan Desember kenaikan air laut dapat mencapai wilayah perkebunan, namun seiring dengan semakin lestarinya mangrove kenaikan air lait tidak lagi mencapai wilayah perkebunan. Masyarakat juga tidak lagi mengalami kendala dalam bercocok tanam, karena kenaikan air laut tidak merendam tanaman perkebunan. “Hutan mangrove ini terjaga dengan baik kemudian tumbuh pesat, kemudian air tidak sampai ke daratan,” kata Adnyana.
Adnyana menyampaikan perlu waktu panjang untuk menjaga kelestarian mangrove di Nusa Lembongan. Buktinya upaya untuk menjaga kelestarian mangrove telah dilakukan warga Nusa Lembongan sejak tahun 1980an. Dimana warga Nusa Lembongan telah menerapkan aturan tidak tertulis yang memuat larangan untuk memotong pohon mangrove, apalagi merusak hutan mangrove.
Walaupun berupa aturan tidak tertulis nyatanya tidak ada warga yang berani melakukan perusakan mangrove atau mencari kayu di hutan mangrove. Sejak tahun 2000, aturan larangan mencari kayu atau merusak hutan mangrove kemudian di buat kedalam aturan tertulis desa yang disebut sebagai awig-awig desa. “Sosialisasinya memang daru dulu disampaikan secara lisan melalui paruman atau pertemuan banjar,” jelas Adnyana seperti dikutip Beritabali.com (Sindikasi situs Beritalingkungan.com).
Dengan adanya awig-awig (hukum adat) maka seluruh warga Nusa Lembongan memiliki kewajiban untuk menjaga hutan mangrove dari upaya perusakan. Penerapan awig-awig mangrove tidak sebatas menjadi kewenangan aparat desa ataupun pecalang segara (petugas pengamanan adat wilayah laut). Warga Nusa Lembongan terutama yang berprofesi sebagai nelayan memiliki kewajiban untuk melakukan pencegahan. Jika upaya pencegahan gagal dilakukan maka, nelayan dapat melaporkan upaya perusakan mangrove ke Polisi segara, Bendesa Adat ataupun ke Polisi Air. “Misalnya saya di daerah sini melihat ada teman atau orang lain yang merusak lingkungan kami disini otomatis kami langsung mencegah langsung karena sudah ada awig-awig, kemudian kalau tidak bisa dicegah langsung melapor ke desa,” ucap Adnyana. Menurut Adnyana, kelestarian hutan mangrove saat ini seakan menjadi kebutuhan bagi warga Nusa Lembongan. Mengingat terdapat 34 nelayan yang kini menggantungkan hidupnya dari kegiatan mangrove tour yang tergabung dalam kelompok mangrove tour. Nelayan-nelayan tersebut akan bergantian mengantar para wisatawan keliling hutan mangrove dengan menggunakan perahu kecil tanpa mesin (sampan) selama hampir 30 menit. Penggunaan sampan juga merupakan bentuk upaya mengembangkan wisata berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dimana setiap sampan maksimal mampu mengangkut 4 orang dengan biaya sekali keliling mencapai Rp. 300.000. Adnyana menambahkan pembentukan kelompok mangrove tour pada dasarnya berawal dari keinginan beberapa wisatawan untuk melakukan eksplorasi mangrove di Nusa Lembongan pada tahun 2000. Seiring dengan perjalanan waktu jumlah wisatawan yang berkunjung terus meningkat. Hingga pernah pada suatu hari jumlah wisatawan yang datang mencapai 150 orang.
Wayan Suarbawa yang merupakan Sabha Desa (Dewan Pengawas Desa), Desa Adat Nusa Lembongan mengakui awig-awig mangrove selama ini cukup efektif dalam upaya menjaga kelestarian hutan mangrove di Nusa Lembongan. Dengan adanya awig-awig mangrove maka bukan hanya warga Nusa Lembongan saja yang harus melestarikan mangrove tetapi juga orang yang datang dan ingin berinvestasi di Nusa Lembongan. “Jika korporasi akan melakukan sesuatu pasti mereka akan memotong mangrove. Jika mereka memotong mangrove maka akan mendapat sanksi dari desa,” kata Wayan Suarbawa. Suarbawa menyebutkan dalam awig-awig mangrove tentunya juga terdapat sanksi bagi pihak yang melanggar. Sanksi yang diberikan sifatnya tidak hanya membuat efek jera, tetapi juga menimbulkan rasa malu. Dimana bagi warga yang melanggar akan dirampas kayunya dan dikenakan saksi berupa diumumkan dalam pertemuan banjar dan desa. Jika kembali melakukan pelanggaran maka selain diumumkan dalam pertemuan juga dikenakan denda beras 3 kilogram. “Sebenarnya bukan nilai besar atau kecilnya tapi ada moral di sana” ujar Suarbawa.
Salah seorang Pecalang Segara, Nanek Widana menegaskan penegakan awig-awig mangrove pada dasarnya bukan hanya tugas pecalang segara. Masyarakat justru yang dituntut lebih berperan menjaga hutannya. Pecalang segara sangat berharap masyarakat aktif memberikan laporan jika ditemukan terjadi pelanggaran. Apalagi selama ini pecalang segara bertugas dengan konsep ngayah (sukarela) dan tidak memiliki biaya operasional. “Laporan masyarakat sangat diharapkan, karena mereka yang sering di lapangan, terutama nelayan” ucap Nanek Widana. Nanek Widana mengakui selama bertugas sebagai pecalang segara belum pernah menemukan ataupun menerima laporan terkait pelanggaran awig-awig mangrove. Hal ini terjadi karena warga cenderung malu ketika diumumkan dalam pertemuan banjar dan desa. “Sanksi juga berlaku bagi warga luar Nusa Lembongan, sanksinya dapat berupa kerja sosial, seperti membersihkan tempat umum atau membersihkan pura,” kata Nanek Widana.
Sementara Project Leader Coral Triangle Center (CTC) Nusa Penida Dewa Kadek Wira Sanjaya menyampaikan CTC berupaya membantu warga Nusa Lembongan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove. Salah satu langkah yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi secara berkala, sehingga masyarakat paham pentingnya menjaga kelestarian mangrove. Langkah lainnya berupa pembuatan poster informasi, pendidikan lingkungan dan upaya rehabilitasi mangrove. Wira Sanjaya menegaskan tantangan terbesar yang harus segera diselesaikan saat ini adalah mensinergikan pengelolaan ruang laut dengan tata ruang laut. Hal ini menjadi penting karena pada dasarnya ruang laut berkaitan erat dengan darat. Sehingga kedepan perlu koordinasi lintas sektoral dan koordinasi yang berkesinambungan agar upaya yang dilakukan masyarakat sejalan dengan program pemerintah, baik pemerintah kabupaten Klungkung dan pemerintah provinsi Bali. “Koordinasi ini menjadi penting untuk mensinergikan semua kegiatan yang ada,” tegas Dewa Kadek Wira Sanjaya.
Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Penida dan Nusa Ceningan merupakan bagian dari kawasan Nusa Penida atau yang lebih dikenal dengan sebutan three sisters island. Ketiga pulau tersebut juga bagian dari kawasan segitiga karang dunia yang paling mudah diakses karena letaknya berada di Bali. Berdasarkan kajian cepat kelautan (Marine Rapid Ecological Assessment/REA) 2008 menunjukkan kawasan Nusa Penida memiliki 296 spesies karang keras dan 576 spesies ikan karang termasuk 5 jenis baru. Kawasan ini juga memiliki biota unik, seperti ikan mola-mola, pari manta, penyu, ikan napoleon, lumba-lumba, paus, hiu paus hingga dugong.
Kawasan Pulau Nusa Penida memiliki tebing-tebing karst yang eksotik dan pantai-pantai pasir putih yang elok. Mempunyai luas kawasan terumbu karang 1.419 hektar dan padang lamun seluas 108 hektar. Kawasan Nusa penida menjadi salah satu destinasi utama wisatawan local dan mancanegara, dengan kunjungan rata-rata mencapai 200.000 wisatawan pertahun. Pada 9 Juni 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan meresmikan Nusa penida sebagai kawasan konservasi perairan (KKP). Dengan peresmian tersebut diharapkan kawasan Nusa Penida dapat dikelola dengan efektif dan memberikan manfaat social-ekonomi bagi masyarakat.
Sumber : Klik disini
Share Button

Wacana Pencabutan SVLK Perlu Dihentikan

Wacana seperti yang disampaikan Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Sunoto usai pertemuan dengan Presiden Joko Widodo tentang penghapusan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi industri mebel dan kerajinan, perlu dihentikan. Bila ini diteruskan maka upaya yang telah ditempuh Indonesia bertahun-tahun dan telah menuai hasil ini akan mundur kembali.

Pembuktian legalitas kayu pada dasarnya adalah salah satu tiket bagi produk mebel dan kerajinan Indonesia untuk dapat bersaing di pasar internasional khususnya Uni Eropa, Amerika dan Australia. Lebih penting lagi, SVLK adalah jalan bagi Indonesia untuk menjamin dapat terwujudnya pengelolaan hutan lestari.

“Hingga saat ini pembalakan liar (illegal logging) masih merupakan salah satu kontributor terhadap deforestasi dan kerusakan hutan. Penerapan SVLK bagi industri mebel dan kerajinan akan menutup peluang masuknya kayu yang tidak jelas asal usulnya masuk ke industri mebel dan kerajinan,” kata Arnold Sitompul, Direktur Konservasi WWF-Indonesia melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com. “SVLK tetap merupakan instrumen yang diperlukan dalam menata perdagangan dan pergerakan kayu untuk mendorong tata kelola yang baik di sektor kehutanan,” lanjutnya.

Menurut data Kementerian Perdagangan, hingga saat ini, dari 3500 UKM mebel dan kerajinan tercatat hanya 637 perusahaan yang telah mendapatkan SVLK. Banyak keluhan yang disampaikan pengusaha terkait proses mendapatkan SVLK, yakni proses yang sulit dan mahal dalam pembuatan Ijin Usaha Industri (IUI), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Ketiganyamerupakan persyaratan perijinan di bidang lingkungan hidup bagi usaha yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan namun skala usahanya masih cukup kecil hingga belum dikenai wajib AMDAL. Kendala lain diakibatkan ketidakseimbangan jumlah assessor yang minim di lapangan dibandingkan dengan jumlah perusahaan mebel dan kerajinan.

Alih-alih menghapuskan SVLK yang merupakan langkah mundur, Pemerintah Indonesia diharapkan dapat  lebih fokus pada pembenahan implementasi SVLK yang dirasakan oleh banyak pengusaha UKM masih rumit dan rawan ditunggangi oknum tertentu untuk melakukan pungutan liar. Pembenahan ini penting karena akan berdampak pada upaya mempertahankan Indonesia sebagai negara pengekspor produk kayu ketiga terbesar ke pasar Eropa.

Sumber : klik disini

Share Button

Kementerian LHK Luncurkan Pekan Lingkungan Indonesia 2015

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) meluncurkan Pekan Lingkungan Indonesia (PLI) 2015. PLI tahun ini merupakan gelaran ke-19 sejak dimulai pada 1996.

Rencana PLI 2015 ini akan diselenggarakan di Jakarta Convention Center 18-21 Juni 2015 yang akan dibuka oleh Wakil Presiden RI.

Deputi Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat KLHK Ilyas Asaad mengatakan, melalui PLI masyarakat diedukasi untuk tahu kondisi lingkungan, bagaimana mengatasi persoalan lingkungan dan kebijakan yang dilakukan pemerintah.

“Peringatan PLI tahun lalu tercatat 64.000 orang hadir dengan 37 dunia usaha, swasta dan BUMN,” katanya dalam peluncuran PLI 2015 di Jakarta, Selasa (21/4).

Ilyas mengimbau meski PLI 2015 dipusatkan di Jakarta, pemerintah juga diminta memperingati hari lingkungan hidup.

“Penyelenggaraan PLI merupakan rangkaian peringatan hari Lingkungan Hidup Dunia atau World Environment Day (WED) yang merupakan perayaan lingkungan hidup terakbar di seluruh dunia,” katanya.

Puncak acara itu diperingati 5 Juni setiap tahunnya. Sejak digelar pertama kali tahun 1972, WED telah menjadi media bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui United Nations Environment Programme mengampanyekan pentingnya kelestarian lingkungan hidup.

Peringatan hari lingkungan sedunia bertujuan menyadarkan semua pihak untuk ikut bertanggungjawab merawat bumi sekaligus menjadi pelopor perubahan bumi dan lingkungan hidup.

Tahun ini WED mengangkat tema “Seven Billion Dreams One Planet Consume with Care”.

PLI 2015 nanti akan diadakan serangkaian kegiatan seperti lomba mewarnai dan menggambar anak-anak, foto lingkungan, eco driving workshop dan rally, lomba green music, eco creative, fun walk, fun bike, seminar dan workshop serta kompetisi insinyur cilik.

Sumber : klik disini

Share Button

UGM: Kerusakan Akibat Penambangan Karst Pasti Terjadi, Dua Dosennya Akan Dikenai Sanksi

Bertempat di ruang sidang pimpinan gedung pusat Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (25/04/2015), tim kajian independen menyampaikan sikapnya sebagai respon atas aduan masyarakat Rembang dan Sedulur Sikep tentang kasus rencana penambangan pegunungan Kendeng dan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang.

Tim yang diketuai Dr. Pujo Semedi, terdiri atas para pakar dan mahasiswa dari berbagai bidang ilmu yakni bidang karst, air tanah, hukun lingkungan, kehutanan, ekonomi dan antropologi.

“Tim independen bertugas memberikan kajian tentang pengalihan fungsi sumber daya publik untuk kepentingan industri serta melakukan kajian atas kesaksian dosen UGM dalam persidangan di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Semarang beberapa waktu lalu,” kata Paripurna, Wakil Rektor Bidang Kerjasama UGM dalam acara tersebut.

Paripurna menyampaikan kajian menyimpulkan saat ini tidak ada keperluan mendesak bagi industri semen di Indonesia untuk meningkatkan produksi. Bila memang produksi semen akan ditingkatkan, maka harus dilakukan dengan mengikuti pertimbangan bahwa kerusakan lingkungan akibat penambangan karst pasti terjadi dengan konsekuensi hidrologis, flora, fauna dan sosial yang secara akademik belum dapat diidentifikasi dengan tuntas.

Oleh karena itu pengubahan lingkungan karst harus dilakukan secara konservatif, terlokalisir di wilayah yang kosong penduduk atau tidak padat penduduk guna meminimalkan akibat negatif.

“Di wilayah yang dihuni oleh warga, pengalihan lahan ke perusahaan dan pengubahan penggunaan lahan harus dengab rela (consent) warga yang diperoleh melalui proses tanpa tekanan (free), berdasar pemberian informasi yang terang (informed) mengenai potensi resiko dan hasil yang mungkin terjadi,” tambah Paripurna.

Terhadap kesaksian dua dosen UGM yaitu Dr. Eko Haryono dan Dr. Heru Hendrayana di PTUN Semarang beberapa waktu lalu,  tim menyimpulkan bahwa mereka merupakan utusan dari universitas yang menjadi saksi ahli atas permintaan pihak tergugat. Mereka saksi ahli yang sah dan telah memberikan paparan tentang bidang keahliannya secara profesional.

Akan tetapi dalam komunikasi selanjutnya muncul kesaksian yang tidak sesuai dengan asas kepatutan saksi ahli, antara lain dengan memberikan kesaksian yang dapat mengarahkan pada satu kesimpulan tertentu, padahal kedua pakar tidak melakukan penelitian langsung di wilayah Rembang.

“Menindaklanjuti hasil kajian ini maka UGM akan memberikan sanksi administratif sesuai aturan yang berlaku,” kata Paripurna.

Dosen dan ahli hukum lingkungan UGM, Hari Supriyono mengatakan saksi ataupun saksi ahli dalam hukum cara apapun termasuk hukum acara PTUN, harus netral dan tidak boleh menyimpulkan. Tim menyimpulkan dua dosen tersebut tidak pantas secara etika tim setelah melihat rekaman dan statemen kesaksian dua dosen tersebut di PTUN Semarang.

Yang pertama ketika saksi ahli bicara tentang karst sampai pada kesimpulan bahwa karst yang akan ditambang adalah karst muda yang berdasarkan klasifikasi menurut Kepmen No.1456 Tahun 2000 memang ada tiga klasifikasi. “Tetapi berdasarkan Permen nomor 17 tahun 2012 yang mengatur tentang karst tidak mengenal lagi klasifikasi karst,” kata Hari.

Penentuan kepastian karst harus berdasar penelitian geologi yang melibatkan unsur pemerintah yakni badan geologi, Kementerian ESDM, ahli dari perguruan tinggi dan termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), seperti penetapan bentang alam karst Gunungsewu dan karst Gombong.

“Kami menganggap tidak pantas dan patut karena saksi tidak pernah melakukan penelitian di lokasi yang akan ditambang,” tegas Hari.

Hari melanjutkan dua dosen itu harusnya hanya menjelaskan kesaksian berdasar keahliannya dengan menjawab pertanyaan umum seperti ciri-ciri, bentuk dan definisi karst. Ketika bicara inkonkreto atau wilayah yang spesifik terhadap kasus,  jika ahli tidak punya dasar ilmiah cukup maka tidak perlu menjawab atau penyatakan bahwa tidak bisa menjawab.

Terkait kesaksian Heru Hendrayana tentang Cekungan Air Tanah (CAT), Hari mengatakan sebagai Heru sebagai saksi ahli menyatakan tidak ada CAT di lokasi yang akan ditambang oleh PT. Semen Indonesia, tetapi belakangan mengakui ada CAT dilokasi penambangan sesuai Perpres No.16/2011 tentang penetapan CAT. Ada 31 CAT di Jateng, diantaranya ada di Rembang.

Dalam kesaksiannya di PTUN, Heru juga mengkritisi kelemahan Perpres yang berkaitan dengan penetapan CAT. “Sepatutnya saksi ahli tidak menyatakan hal demikian. Jika ingin mengkritik Perpres maka wilayahnya lain, yakni melakukan judicial review ke Mahkamah Agung,” tambah Hari.

Dari seluruh kesaksiannya, Hari menyimpulkan dua saksi ahli itu menjustifikasi dan mengarahkan bahwa seakan-akan penambangan tidak masalah di Rembang.

Terkait dengan sikap resmi UGM terhadap penambangan semen di Rembang, Ketua Tim Kajian Independen Pujo Semedi mengatakan bahwa UGM tidak pada posisi menerima atau menolak. Akan tetapi sebagai lembaga akademik, UGM berpandangan bahwa secara ekonomis saat ini tidak ada keperluan mendesak industri semen di Indonesia untuk meningkatkan produksi.

Apabila putusan hakim akhirnya menolak gugatan warga karena pertimbangan kedua dosen UGM di persidangan, Paripurna mengatakan bahwa perhatian UGM pada pemberian keterangan saksi kedua dosennya di PTUN Semarang. Yakni bahwa UGM berkewajiban mengijinkan atau menenuhi permintaan siapapun untuk hadir sebagai saksi ahli karena hal tersebut sebagai bentuk pengabdian terhadap masyarakat. Namun kesaksian diberikan dibawah sumpah dan kesaksian yang diberikan bebas sesuai pengetahuan akademiknya secara netral dan objektif.

Kedua saksi yang bersaksi dalam pengadilan tersebut bukan satu-satunya saksi, artinya banyak saksi lainnya. Kesaksian ahli tidak harus dijadikan patokan oleh hakim, karena hakim bebas untuk menafsirkan kesusuaian keterangan saksi ahli.

Sedangkan saksi adminstrasi yang diberikan kepada kedua dosen tersebut berupa sanksi tertulis, dan tidak akan pada saksi terberat yakni pemberhentian.

Dampak Penambangan di kawasan hutan

Pada kesempatan yang sama, Dr. Satyawan Pudyatmoko, ahli kehutanan yang juga dekan Fakultas Kehutanan UGM mengatakan pertambangan, pabrik dan infrastruktur lainnya akan mengubah bentang lahan. Penambangan pasti akan mengubah dan memberikan dampak negatif terhadap hutan, ekosistemnya, flora dan fauna serta terhadap komponen lingkungan lain.

“Pasti ada dampak negatifnya dan tidak bisa dihindari. Agar dampak tidak meluas maka penambangan harus dilakukan secara terlokalisir agar tidak berdampak pada manusia dan non human,” kata Satyawan.

Hari menambahkan terkait dengan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan diatur dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan, pada pasal 38 yang pada prinsipnya boleh menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan non hutan, tapi hanya boleh diberikan di hutan produksi dan hutan lindung. Untuk hutan lindung hanya untuk kegiatan bawah tanah atau tidak open mining. Sedangkan lokasi pertambangan di Rembang adalah hutan produksi.

Pada PP No.24/2010 dan perubahan PP No.61/2012 dan Permen No.16/2014 tentang prosedur penggunaan kawasan hutan untuk non hutan, ada prinsip persentase mininal dan ketentuanya. “Prinsipnya tidak boleh merubah fungsi kawasan hutan. Fungsi kawasan hutan harus tetap terjaga. Prosedur pengalihan kawasan hutan sangat ketat,” kata Hari.

Pada kesempatan terpisah, Muhnur Satyaprabu selaku kuasa hukum warga Rembang kepada Mongabay mengatakan,  kesaksian dari kedua saksi ahli dari UGM telah menyalahi etika karena seharusnya saksi berpihak pada kelestarian alam. Bahwa seharusnya keterangan saksi ahli harusnya berdasarkan bukti ilmiah, yakni memberikan keterangan berdasarkan keahlian dan background penelitian yang dilakukan oleh saksi.

“Namun terbukti saksi ahli tidak pernah melakukan penelitian dilokasi yang akan ditambang terhadap karst dan CAT,” kata Muhnur.

Sebelumnya, warga Rembang dan Sedulur Sikep melakukan aksi di kampus UGM pada 20 Maret 2015 yang memprotes dan menyayangkan kesaksian dua dosen yang tidak jujur sebagai saksi ahli pada persidangan gugatan warga Rembang di PTUN Semarang.

Sumber : klik disini

Share Button

Penghapusan Penerapan SVLK untuk Mebel dan Furnitur Belum Jelas

Merespons klaim beberapa kalangan pengusaha yang menyebut Presiden Joko Widodo sepakat menghapuskan penerapan sistem verifikasi dan legalisasi kayu (SVLK) diragukan. Pasalnya, belum jelas secara pasti bahwa Presiden menyebutkan hal tersebut dan menyeriusinya dengan tindak lanjut instruksi ke kementerian terkait.
“Saya belum bisa berkomentar, akan kita konfirmasi dulu,” kata Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono pada Kamis (16/4). Namun ditegaskannya, sampai saat ini penerapan SVLK masih akan dilangsungkan sebagaimana yang disebut dalam deklarasi ekspor.
KLHK, kata dia, juga akan terus konsisten dalam pencegahan ilegal logging yang mana salah satu upayanya yakni dengan menerapkan SVLK. Lagi pula, kabar penghapusan datang dari media. Maka ia akan melakukan pengecekan kabar tersebut terlebih dahulu.
Senada dengan KLHK, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel berpendapat serupa. “Tentu SVLK tidak bisa dicabut begitu saja, ini sudah jadi komitmen dan syarat ekspor kita ke negara eropa,” kata dia.
SVLK, lanjut dia, justru akan memberikan kemudahan kepada para pelaku industri dalam menjalankan usahanya secara legal, di samping melindungi negara dari praktik ilegal logging. “Saya rasa ada salah persepsi di situ, Presiden maksudnya tidak seperti itu,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Daerah Kalimantan Barat Anton P Wijaya menekankan, jangan sampai pemerintah mencabut penerapan SVLK, meskipun memang masih belum kuat sistem pengawasannya.
“Ada aturan saja masih rentan pelanggaran, apa lagi dicabut,” tuturnya. Alih-alih dicabut, pemerintah seharusnya memperketat sistem pengawasan agar aturan SVLK berlaku efektif. Jangan sampai, penghapusan dilakukan karena ada segelintir pengusaha yang mengeluh dengan alasan ada stok bahan baku yang menipis dan mengancam industri furnitur.
Ia menginginkan, tata kelola lingkungan termasuk eksploitasi kayu jangan melulu mengandalkan motif ekonomi belaka tanpa mempertimbangkan keberjalanan sistem kelestarian lingkungan. Lebih lanjut, jika benar dihapuskan, maka sisem perlindungan pemanfaatan kayu akan dikembalikan ke industri. Dampaknya, transaksi jual beli kayu ilegal justru malah semakin besar karena kayu tersebut harganya lebih murah.
Sampai saat ini, ia melihat belum ada instrumen yang pasti untuk melindungi kayu dari eksploitasi liar. Rancangan soal standar, parameter dan regulasi yang mengatur ilegal logging belum efekrif dalam penerapan dan penawalannya. Makanya, adalah tanggung jawab pemerintah untuk mengawalnya. Walhi pun terus berkomitmen untuk mengawal, agar SVLK benar-benar menjadi aturan yang pasti dan diterapkan secara efektif.

Sumber : klik disini

Share Button