“Nature doesn’t need people. People need nature.” Begitu pesan dari video pendek berjudul Nature is Speaking, yang diputar Concervation International pada acara Tropical Landscapes Summit 2015 di Jakarta, Senin (27/4/15). Pesan ini sejalan dengan pertemuan hari itu, di mana berbagai pihak, dari pemerintah, pengusaha dan organisasi masyarakat sipil duduk bersama membahas investasi hijau atau investasi ramah lingkungan. Investasi yang memastikan alam tetap terjaga karena buat keberlanjutan hidup manusia.
“Ada tiga hal penting bagi suatu negara agar berjalan dengan baik, yakni, demokrasi, menghargai HAM dan menjaga lingkungan,” kata Wakil Presiden, Jusuf Kalla, kala itu. Indonesia, katanya, punya pengalaman buruk dalam mengelola sumber daya alam yang menyebabkan kehancuran alam dan banyak menderita. JK mengacu pada era Orde Baru, di mana eksploitasi hutan besar-besaran terjadi.
Kini, pola pembangunan menghancurkan hutan (alam) harus diubah dengan berorientasi lingkungan. Untuk mengurangi eksploitasi besar-besaran sumber daya alam, misal, mulai tahun lalu Indonesia melarang ekspor bahan mentah mineral dan batubara. “Jadi, dibuat kebijakan sangat ketat untuk lindungi lingkungan,” katanya. Dengan begitu, pengembangan industri pengelolaan bahan baku mineral seperti bauksit terbuka, dengan catatan ramah lingkungan.
Begitu juga dalam bidang energi, secara bertahap dilakukan peralihan dari energi fosil ke terbarukan. Meskipun JK mengakui, hingga kini, energi fosil, seperti batubara masih menjadi sumber utama tetapi upaya-upaya pengembangan energi terbarukan dilakukan, misal lewat mix energi (antara terbarukan dan fosil). Dia juga mencontohkan, pembangunan pembangkit listrik 35.000 mega watt, 60% masih batubara, 40% energi terbarukan. Dia sadar, batubara itu energi sangat kotor, tetapi saat ini yang paling memungkinkan, murah dan Indonesia masih perlu listrik. “Buat energi terbarukan 40% ada geotermal, hydro, kami terbuka untuk investasi itu,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Wapres juga mengajak berbagai negara bersama-sama dalam menjaga alam dan lingkungan. Dia menyentil negara yang kerab mengingatkan Indonesia agar menjaga hutan, padahal senang menikmati ‘hasil’ produk kayu murah dari Indonesia. “Mari bertanggung jawab, mari bersama-sama menjaga, jangan hanya menyalahkan Indonesia.”
Peluang dan insentif
Dalam 2015-2019, Badan Koodinasi Penanaman Modal (BKPM) menargetkan realisasi investasi Rp3.500 triliun, naik dua kali lipat dari realisasi investasi 2010-2014 sebesar Rp1.632,8 triliun. Sedang realisasi investasi hijau selama 2010-2014 masih sekitar 30,3% (Rp486 triliun). BKPM menargetkan investasi hijau meningkat dua kali lipat sekitar Rp972 triliun.
Franky Sibarani, Kepala BKPM mengatakan, Tropical Summit ini menjadi peluang dalam mempromosikan investasi hijau di Indonesia. Di sini, katanya, pemerintah, ahli, pelaku usaha dan organisasi masyarakat sipil berkumpul.
Guna mendukung investasi ramah lingkungan ini, pemerintah menyiapkan kebijakan fiskal dan non fiskal. BKPM sedang menyiapkan aturan pelaksanaan tata cara pemberian fasilitas tax allowance setelah terbit Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Dalam aturan itu, BKPM menargetkan pengajuan tax allowance bisa selesai paling lama 50 hari kerja.
Hasil kajian BKPM, katanya, setidaknya ada 10 bidang usaha investasi hijau yang bisa mendapatkan keringanan pajak. Yakni, pengusahaan tenaga panas bumi, industri pemurnian dan pengolahan gas alam, dan industri kimia dasar organik bersumber dari hasil pertanian (fragrance). Lalu, industri lampu tabung gas (LED), pembangkit tenaga listrik, pengadaan gas alam dan buatan, penampungan penjernihan dan penampungan air bersih, angkutan perkotaan yang ramah lingkungan, kawasan pariwisata (ecotourism) serta pengelolaan dan pembuangan sampah yang tidak berbahaya. “Mudah-mudah ini bisa menjadi daya tarik bagi investor.”
Luhut Pandjaitan, Kepala Staf Kepresidenan mengatakan, Presiden mendukung penuh investasi hijau. “Kita tak hanya bicara pertumbuhan juga ramah lingkungan. Jadi ‘hijau’ dan pertumbuhan jadi satu kesatuan,” katanya. Untuk itu, kata Pandjaitan, Indonesia juga perlu dukungan keuangan (financial support) dan asisten teknis dari negara-negara maju. Menurut dia, bunga bank dunia jauh lebih murah. Namun, Indonesia, tak mau lagi didikte negara maju. “Indonesia negara berdaulat, bantuan asing saling menguntungkan.”
Dia mengatakan, penting mengubah pola pikir dalam mengelola alam dari hanya eksploitasi ke ramah lingkungan. Dia mencontohkan, dulu di Kalimantan, hutan hijau dan lebat tetapi kini hutan banyak hilang. “Yang menjadi korban manusia dan keragaman hayati.” Mengubah pandangan itu, katanya, merupakan tantangan tersendiri. Kini, kesadaran menjaga lingkungan di Indonesia, sudah tumbuh, tinggal bagaimana membuat kebijakan baru untuk meningkatkan investasi hijau. “Insentif sangat penting bagi industri yang mau bekerja ramah lingkungan.”
Tak jauh beda diungkapkan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia mengatakan, yang dikembangkan KLHK dalam investasi hijau ini, dengan mempromosikan beberapa macam industri hijau, antara lain, hutan tanaman dan hutan energi, hutan kota, penangkaran satwa liar, produksi hutan non kayu, pengelolaan limbah energi, geotermal dan restorasi ekosistem.
Beberapa kemudahan dan insentifpun, katanya, sedang dibahas dan finalisasi. “Investasi hijau dapat dukungan bank lewat kemudahan-kemudahan urusan. Kementerian Lingkungan Hidup (dulu) sudah ada memorandum of understanding dengan Otoritas Jasa Keuangan.” Lalu ada insentif apalabila perusahaan menanam tanaman jenis usia 70 tahunan, insentif pinjaman lunak dari badan layanan umum (BLU). Saat ini, soal bunga BLU masih pembahasan. “Diperkirakan 5% di bawah pinjaman rata-rata. Masih tahap finalisasi.”
Ada juga yang sudah berjalan, bagi investasi hijau untuk perpanjangan izin tak ada verifikasi lagi, izin ekowisata 35 tahun dan bisa diperpanjang. “Izin lain 20 tahun. Juga insentif pinjaman lunak buat UKM dan bebas beban bea masuk buat alat-alat investasi hijau terutama pengendalian pencemaran.”
Sementara Widyawan, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan, target energi terbarukan Indonesia pada 2025, sebesar 25%. Kalau tak melakukan terobosan-terobosan, katanya, sulit mencapai target yang diinginkan. “Energi terbarukan ini ada sumber di dalam negeri. Sekarang masih didominasi fosil jadi harus mulai dari sekarang.”
Dia menyadari, dalam jangka pendek, biaya yang keluar buat energi terbarukan lebih mahal daripada sumber fosil. “Ini tugas pemerintah buat mulai dan secara massif arahkan investasi hijau, apakah dengan insentif atau pemberian dana hingga ke depan, berbagai kesempatan investasi hijau bisa berjalan.”
ESDM, katanya, pada 2016 mengusulkan investasi hijau meningkat 10 kali lipat, menjadi sekitar Rp10 triliun pada 2016. “Ini diharapkan dapat memacu berbagai hal yang mendorong energy terbarukan. Apakah surya cell, angin, panas bumi, air, juga konsisten manfaatkan bio energi untuk tenaga listrik dan bahan bakar,” katanya.
Kebijakan sinergis
Kadin menyambut baik peluang investasi hijau ini. Namun, hendaknya antar kebijakan pemerintah saling sinergis hingga menghindari tumpang tindih. Diusulkan juga berbagai insentif dan kemudahan pemerintah itu bisa ditampilkan dalam satu ‘paket informasi’ hingga lebih jelas bagi pelaku usaha.
Shinta Widjaya Kamdani, Wakil Ketua Umum Kadin mengatakan, sangat penting bagi pemerintah menjawab tantangan dunia usaha soal penerapan insentif hijau. Salah satu usulan dunia usaha dalam mendorong investasi ramah lingkungan dengan pemberian keringanan pajak bagi produk atau usaha hijau.
Berbagai kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, katanya, hendaknya bisa bersinergis. Dia mencontohkan, kebijakan tax allowance, hendaknya terkoneksi antara tiga pihak yakni Kementerian Keuangan, BKPM dan dunia usaha. Jadi, kala BKPM memberikan rekomendasi kepada dunia usaha bisa segera terkonekasi pada Kementerian Keuangan. “Jadi, bisa otomatis diproses dan tidak memerlukan waktu panjang.”
Masalah lain yang perlu menjadi perhatian, katanya, tumpang tindih persyaratan antara dua institusi yang terlibat dalam memberikan rekomendasi. “Jangan sampai ada aturan yang sudah diminta di satu institusi diminta lagi di institusi lain termasuk peraturan di pusat dan daerah.”
Pemerintah, katanya, harus memperhitungkan kehilangan sebagian pendapatan pemerintah (pajak) daripada biaya yang harus dikeluarkan akibat kerusakan lingkungan yang memberikan dampak jangka panjang. “Tantangan pemerintah antara lain bagaimana mendesain kebijakan ongkos minimal di tengah beban fiskal yang ada.”
Sumber : klik disini