Tanggal 22 April diperingati sebagai Hari Bumi. Bagi Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, seharusnya hari ini diperingati dengan sukacita. Namun, dengan kerusakan alam yang terjadi, Indonesia justru harus menangis.
Ambil contoh pada apa yang terjadi dengan hutan. Indonesia semula merupakan negara yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia. Kini, luasan hutan terus menyusut akibat deforestasi.
Data Global Forest watch dan Forest Watch Indonesia mengungkap bahwa sepanjang tahun 2009 hingga 2013 saja, Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6 juta hektar. Itu berarti, setiap menit, Indonesia kehilangan hutan seluas tiga kali lapangan sepak bola.
Data Forest Watch Indonesia mengungkapkan, luas wilayah hutan Indonesia pada tahun 1950 diperkirakan 193 juta hektar. Tahun 2009, luas hutan Indonesia berkurang lebih dari setengahnya, menjadi cuma sekitar 88 juta hektar. Lalu, tahun 2013, jumlahnya tinggal sekitar 82 juta hektar.
Deforestasi berakibat buruk. Kebakaran hutan di Riau pada tahun 2013 yang dipicu oleh ekspansi kelapa sawit mengakibatkan kerugian 1,7 triliun dollar AS. Deforestasi membuat Orang Rimba mengalami krisis, 14 orang meninggal dalam tiga bulan terakhir.
Indonesia memulai moratorium hutan untuk menghentikan sementara penerbitan izin kehutanan pada tahun 2011. Namun,studi yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciencesmenyatakan, moratorium tak efektif. Jutaan hektar hutan rusak selama moratorium.
Kondisi menyedihkan juga bisa dilihat di lahan gambut, salah satu wilayah yang menyimpan banyak stok karbon. Banyak lahan gambut kini rusak. Kubah gambut rusak karena dipakai untuk area perkebunan.
Penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR)mengungkap fakta menyedihkan. Akumulasi karbon di wilayah gambut Indonesia membutuhkan waktu hingga 11.000 tahun, sementara pelepasan karbonnya berlangsung sangat cepat.
Dari 3.300 ton karbon yang tersimpan di lahan gambut, setengahnya akan hilang dalam 100 tahun terakhir akibat konversi gambut menjadi lahan kelapa sawit. Jumlah karbon yang hilang setara dengan jumlah karbon yang terakumulasi selama 2.800 tahun.
Bila pelepasan karbon di lahan gambut terus terjadi, emisi karbon Indonesia akan tinggi. Indonesia akan gagal memenuhi target penurunan emisi karbon 26 persen pada tahun 2020 seperti dijanjikan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Masalah lingkungan hidup, selain hutan, antara lain pencemaran logam berat merkuri. Penambangan emas secara liar, tambang batubara, serta sektor minyak dan gas mengakibatkan merkuri yang berbahaya terlepas ke lingkungan.
Studi Bali Fokus di wilayah Cisitu menunjukkan bahwa konsentrasi merkuri di udara tinggi, mencapai 50.549,91 nanogram per meter kubik (ng/m3) di kolam ikan. Konsentrasi merkuri di udara yang tinggi juga ditemukan di Bombana, Sulawesi Tenggara, dan Sekotong, NTB.
Dampaknya, di Cisitu, ada seorang anak yang memiliki kepala abnormal, menderita kejang sejak berusia 2 tahun, dan mengalami hipersalivasi (liur berlebih). Gejala itu sangat berkaitan dengan keracunan merkuri. Ada banyak kasus lagi di Bombana dan Sekotong.
Selain limbah merkuri, sampah perkotaan dan limbah plastik juga menjadi masalah. Sampah plastik di Indonesia begitu banyak. Kini, Indonesia tercatat sebagai negara penyetor sampah plastik ke lautan kedua terbesar di dunia.
Di perkotaan, beragam sampah termasuk plastik terakumulasi di sungai. Studi peneliti dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari, menunjukkan bahwa banjir Jakarta tahun 2013 terjadi karena sampah.
Masih banyak fakta menyedihkan tentang alam Indonesia yang bisa diuraikan, mulai dari laut Nusantara yang mengalamioverfishing hingga terancam punahnya gajah sumatera, harimau sumatera, orangutan, dan beragam fauna lainnya.
Hari ini ini menjadi momentum untuk berubah, jika ingin alam Indonesia tetap mampu mendukung keberlangsungan hidup. Perhatian pada kebijakan lingkungan hidup perlu, demikian juga perubahan-perubahan kecil, seperti tidak membuang air berlebihan dan mengurangi penggunaan plastik.
Sumber : klik disini