Merawat Hutan Mangrove dan Hutan Kota

Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Aceh, berupaya menjaga kondisi lingkungan asri untuk menciptakan kenyamanan bagi warga di pesisir laut. Paling tidak, mereka merawat hutan mangrove alami seluas kurang lebih 700 hektar dan hutan kota peninggalan penjajah Belanda seluas 9 hektar di kota tersebut.

Hari itu, Jumat (10/4), di Langsa, seorang pendatang dari Medan, Sumatera Utara, Bayu Aji (36), mengeluhkan panas lembab yang begitu menyengat. “Panasnya enggak enak. Rasanya sangat terik, membuat tubuh gerah dan selalu keringatan,” ujarnya.

Pengalaman Bayu menjadi gambaran cuaca Langsa. Daerah seluas 262,41 kilometer persegi ini sebagian wilayahnya berupa pesisir laut yang menghadap Selat Malaka. Ketinggian daratan rata-rata 0-25 meter dari permukaan laut. Kondisi ini membuat Langsa memiliki suhu tinggi yang rata-rata 28-32 derajat celsius dan kelembaban tinggi yang rata-rata 75 persen.

Kendati demikian, Langsa memberikan secercah harapan keteduhan. Setidaknya, daerah yang berhari jadi 17 Oktober 2001 ini memiliki hutan mangrove kurang lebih 700 hektar dan hutan kota peninggalan penjajah Belanda seluas 9 hektar.

Hutan mangrove berada di kawasan Kuala Langsa, sekitar 10 kilometer ke arah timur dari pusat Kota Langsa. Hutan itu memiliki vegetasi yang rimbun nan alami. Pohon-pohon mangrove tua dengan ketinggian rata-rata 5 meter menaungi kawasan itu.

Hutan kota berada di kawasan Paya Bujok Suleumak. Tepatnya, sekitar 3 kilometer ke arah utara Kota Langsa. Hutan itu memiliki sejumlah jenis pohon dengan ketinggian lebih dari 10 meter dan diameter mencapai 3 meter. Hutan itu sudah ada sejak era pendudukan Belanda di Langsa, yakni sebelum 1945-an. Dahulu hutan kota memiliki luas sekitar 100 hektar, sedangkan saat ini hanya bersisa 9 hektar.

Keberadaan hutan mangrove dan hutan kota itu sangat disambut positif oleh warga pendatang maupun warga lokal. Bayu mengatakan, hutan mangrove dan hutan kota memberikan kesejukan dan suasana berbeda di Langsa. “Setidaknya, saya bisa berteduh dari teriknya cuaca kota ini,” ucapnya.

Bagi warga lokal, Jaelani (51), hutan mangrove dan hutan kota juga menjadi tempat rekreasi penghilang penat di Langsa. Para warga, terutama keluarga, bisa mendapatkan hiburan murah dan menyenangkan di kota itu. “Hutan-hutan ini bisa menghilangkan suntuk sehingga kualitas hidup masyarakat bisa terjaga baik. Kalau suntuk, orang-orang tidak bisa kerja optimal,” katanya.

Atas dasar itu, warga lokal mengharapkan pemerintah setempat menjaga dan merawat hutan-hutan tersebut. “Pemerintah harus memperhatikan sampah yang banyak berserakan di hutan-hutan itu. Kalau tidak dibersihkan, keindahan dan kelestarian hutan-hutan itu akan terganggu,” tutur Jaelani.

Kepala Bidang Ekonomi dan Ketenagakerjaan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Langsa Yanis Prianto menuturkan, pihaknya terus berupaya menjaga dan merawat hutan mangrove dan hutan kota itu. Bahkan, pihaknya tengah mengembangkan hutan-hutan itu menjadi kawasan wisata unggulan di Langsa, seperti membangun jalan setapak (pedestrian) dan gazebo.

Namun, Yanis menyampaikan, saat ini masalah utama justru kesadaran masyarakat. Setidaknya, masyarakat belum disiplin, masih suka membuang sampah sembarangan di kawasan hutan mangrove maupun kota. Bahkan, masih ada orang melakukan perusakan fasilitas umum berupa jalan setapak.

Padahal, jalan setapak yang dibangun pemerintah setempat sejak tahun lalu baru selesai sekitar 80 persen. Jika tidak ada dukungan dari masyarakat, pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak akan optimal.

Tingkatkan interaksi

Wakil Wali Kota Langsa periode 2012-2017 Marzuki Hamid mengatakan, pihaknya berupaya mewujudkan kenyamanan bagi masyarakat di Langsa, terutama melakukan perawatan dan pelestarian lingkungan. Apalagi Langsa adalah daerah tropis di pesisir laut sehingga cuaca cenderung panas dan lembab.

Kendati demikian, pihaknya menyadari untuk mewujudkan itu masih banyak kekurangan, terutama masih timbul keluhan di masyarakat. Untuk itu, mereka berupaya meningkatkan interaksi dengan masyarakat guna mendengar keluh-kesah masyarakat. “Hal ini penting agar pemerintah mengetahui duduk perkara suatu masalah di Langsa guna perbaikan yang optimal di daerah ini,” katanya.

Paling tidak, Marzuki menjelaskan, pihaknya melakukan tiga cara untuk meningkatkan interaksi dengan masyarakat, yakni melakukan safari subuh setiap Sabtu, safari maghrib sekali setiap akhir bulan, dan gotong-royong sekali setiap awal bulan.

Safari subuh digilir di 40 masjid dan maghrib digilir di 20 masjid di lima kecamatan di Langsa. Kegiatan itu memungkinkan pemerintah dan masyarakat beribadah bersama. Pemerintah dan masyarakat pun bisa saling berinteraksi seusai ibadah. Kegiatan itu wajib diikuti para jajaran pejabat dalam Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) Langsa dan diajurkan kepada warga.

Gotong-royong digilir di 66 desa di lima kecamatan di Langsa. Kegiatan itu memungkinkan pula pemerintah dan masyarakat saling berinteraksi. Kegiatan itu juga wajib diikuti oleh jajaran pejabat dalam SKPD Langsa dan masyarakat. “Ketika berinteraksi dalam kegiatan-kegiatan itu, kami berupaya menanggapi semua keluhan masyarakat. Di situ, kami pun berusaha menghilangkan prasangka bahwa para pejabat pemerintahan sulit untuk ditemui oleh masyarakat,” katanya.

Melalui safari subuh dan maghrib, pihaknya berupaya meningkatkan kualitas ibadah masyarakat Langsa. Dengan gotong-royong, diharapkan meningkatkan disiplin masyarakat untuk menjaga dan merawat lingkungan.

Sumber : klik disini

Share Button

Kementerian LHK Peringati KTT AA ke 60 dengan Melepasliarkan Owa Jawa

Bersamaan dengan Peringatan KTT Asia Afrika ke-60 di Gedung Merdeka Bandung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan pelepasliaran dua pasang Owa Jawa (Hylobates moloch) , pada hari Jumat (24/4) di Kawasan hutan lindung Gunung Puntang, Malabar, Bandung Jawa Barat. Sebelum pelepasliaran Owa Jawa, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menandatangani prasasti Pusat Informasi Owa Jawa Gunung Puntang di lokasi pelepasan . Hutan Lindung Malabar berada dalam kawasan pengelolaan Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan telah disurvei oleh Yayasan Owa Jawa sebagai lokasi yang cocok untuk habitat Owa Jawa.

Owa Jawa yang dilepasliarkan yakni dua pasang (empat individu). Pasangan pertama Robin (jantan) dan Moni (betina) dan pasangan kedua Moli (jantan) dan Nancy (betina). Sebelumnya, mereka sebagai satwa peliharaan masyarakat. Pelepasliaran dikawasan Gunung Puntang ini merupakan yang ke-3 kalinya. Pelepasliaran pertama pada 15 Juni 2013 pada sepasang Owa Jawa. Selanjutnya kedua, pada 27 Maret 2014, satu keluarga Owa Jawa yang berjumlah empat individu dilepasliarkan di lokasi hutan yang sama.

“Pelepasliaran Owa Jawa bersamaan KTT Asia Afrika menggambarkan semangat gotong royong antara negara-negara Asia Afrika untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan, peningkatan kualitas hidup masyarakat, dan penghargaan terhadap keanekaragaman alam yang menyokong kehidupan,” ungkap Menteri LHK

Sekedar diketahui, Owa Jawa termasuk jenis satwa yang dilindungi dan masuk dalam daftar merah (red list) IUCN (International Union for Conservation of Nature) dengan status terancam. Dan termasuk dalam daftar Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Owa Jawa merupakan salah satu dari 25 satwa prioritas yang menjadi target peningkatan populasi sebesar 10% dalam RPJM Kementerian LHK tahun 2015-2019 di site-site monitoring yang telah ditentukan. Owa Jawa merupakan satwa primata endemik pulau Jawa yang sebagian besar populasi owa jawa saat ini mendiami hutan-hutan dataran rendah dan tinggi di Jawa bagian barat, dan sebagian kecil di Jawa bagian tengah.

Sumber : klik disini

Share Button

Pemerintah Dorong Investasi Ramah Lingkungan, Seperti Apa?

Nature doesn’t need people. People need nature.” Begitu pesan dari video pendek berjudul Nature is Speaking, yang diputar Concervation International pada acara Tropical Landscapes Summit 2015 di Jakarta, Senin (27/4/15). Pesan ini sejalan dengan pertemuan hari itu, di mana berbagai pihak, dari pemerintah, pengusaha dan organisasi masyarakat sipil duduk bersama membahas investasi hijau atau investasi ramah lingkungan. Investasi yang memastikan alam tetap terjaga karena buat keberlanjutan hidup manusia.

“Ada tiga hal penting bagi suatu negara agar berjalan dengan baik, yakni, demokrasi, menghargai HAM dan menjaga lingkungan,” kata Wakil Presiden, Jusuf Kalla, kala itu. Indonesia, katanya, punya pengalaman buruk dalam mengelola sumber daya alam  yang menyebabkan kehancuran alam dan banyak menderita. JK mengacu pada era Orde Baru, di mana eksploitasi hutan besar-besaran terjadi.

Kini, pola pembangunan menghancurkan hutan (alam) harus diubah dengan berorientasi lingkungan. Untuk mengurangi eksploitasi besar-besaran sumber daya alam, misal, mulai tahun lalu Indonesia melarang ekspor bahan mentah mineral dan batubara. “Jadi, dibuat kebijakan sangat ketat untuk lindungi lingkungan,” katanya. Dengan begitu, pengembangan industri pengelolaan bahan baku mineral seperti bauksit terbuka, dengan catatan ramah lingkungan.

Begitu juga dalam bidang energi, secara bertahap dilakukan peralihan dari energi fosil ke terbarukan. Meskipun JK mengakui, hingga kini, energi fosil, seperti batubara masih menjadi sumber utama tetapi upaya-upaya pengembangan energi terbarukan dilakukan, misal lewat mix energi (antara terbarukan dan fosil). Dia juga mencontohkan, pembangunan pembangkit listrik 35.000 mega watt, 60% masih batubara, 40% energi terbarukan. Dia sadar, batubara itu energi sangat kotor, tetapi saat ini yang paling memungkinkan, murah dan Indonesia masih perlu listrik. “Buat energi terbarukan 40% ada geotermal, hydro, kami terbuka untuk investasi itu,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Wapres juga mengajak berbagai negara bersama-sama dalam menjaga alam dan lingkungan. Dia menyentil negara yang kerab mengingatkan Indonesia agar menjaga hutan, padahal  senang menikmati  ‘hasil’ produk kayu murah dari Indonesia. “Mari bertanggung jawab, mari bersama-sama menjaga, jangan hanya menyalahkan Indonesia.”

Peluang dan insentif 

Dalam 2015-2019, Badan Koodinasi Penanaman Modal (BKPM) menargetkan realisasi investasi Rp3.500 triliun, naik dua kali lipat dari realisasi investasi 2010-2014 sebesar Rp1.632,8 triliun.  Sedang realisasi investasi hijau selama 2010-2014 masih sekitar 30,3% (Rp486 triliun). BKPM menargetkan investasi hijau meningkat dua kali lipat sekitar Rp972 triliun.

Franky Sibarani, Kepala  BKPM mengatakan, Tropical Summit ini menjadi peluang dalam mempromosikan investasi hijau di Indonesia. Di sini, katanya, pemerintah, ahli, pelaku usaha dan organisasi masyarakat sipil berkumpul.

Guna mendukung investasi ramah lingkungan ini, pemerintah menyiapkan kebijakan fiskal dan non fiskal. BKPM sedang menyiapkan aturan pelaksanaan tata cara pemberian fasilitas tax allowance setelah terbit Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Dalam aturan itu,  BKPM menargetkan pengajuan tax allowance bisa selesai paling lama 50 hari kerja.

Hasil kajian BKPM, katanya,  setidaknya ada 10 bidang usaha investasi hijau yang bisa mendapatkan keringanan pajak. Yakni,  pengusahaan tenaga panas bumi, industri pemurnian dan pengolahan gas alam, dan industri kimia dasar organik bersumber dari hasil pertanian (fragrance). Lalu, industri lampu tabung gas (LED), pembangkit tenaga listrik, pengadaan gas alam dan buatan, penampungan penjernihan dan penampungan air bersih, angkutan perkotaan yang ramah lingkungan, kawasan pariwisata (ecotourism) serta pengelolaan dan pembuangan sampah yang tidak berbahaya.  “Mudah-mudah ini bisa menjadi daya tarik bagi investor.”

Luhut Pandjaitan, Kepala Staf Kepresidenan mengatakan, Presiden mendukung penuh investasi hijau. “Kita tak hanya bicara pertumbuhan juga ramah lingkungan. Jadi ‘hijau’ dan pertumbuhan jadi satu kesatuan,” katanya. Untuk itu, kata Pandjaitan, Indonesia juga perlu dukungan keuangan (financial support)  dan asisten teknis dari negara-negara maju. Menurut dia, bunga bank dunia jauh lebih murah. Namun, Indonesia, tak mau lagi didikte negara maju. “Indonesia negara berdaulat, bantuan asing saling menguntungkan.”

Dia mengatakan, penting mengubah pola pikir dalam mengelola alam dari hanya eksploitasi ke ramah lingkungan. Dia mencontohkan, dulu di Kalimantan, hutan hijau dan lebat tetapi kini hutan banyak hilang. “Yang menjadi korban manusia dan keragaman hayati.” Mengubah pandangan itu, katanya, merupakan tantangan tersendiri. Kini, kesadaran menjaga lingkungan di Indonesia, sudah tumbuh, tinggal bagaimana membuat kebijakan baru untuk meningkatkan investasi hijau. “Insentif sangat penting bagi industri yang mau bekerja ramah lingkungan.”

Tak jauh beda diungkapkan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia mengatakan, yang dikembangkan KLHK dalam investasi hijau ini, dengan mempromosikan beberapa macam industri hijau, antara lain, hutan tanaman dan hutan energi, hutan kota, penangkaran satwa liar, produksi hutan non kayu, pengelolaan limbah energi, geotermal dan restorasi ekosistem.

Beberapa kemudahan dan insentifpun, katanya, sedang dibahas dan finalisasi. “Investasi hijau dapat dukungan bank lewat kemudahan-kemudahan urusan. Kementerian Lingkungan Hidup (dulu) sudah ada memorandum of understanding dengan Otoritas Jasa Keuangan.” Lalu ada insentif apalabila perusahaan menanam tanaman jenis usia 70 tahunan, insentif pinjaman lunak dari badan layanan umum (BLU). Saat ini, soal bunga BLU masih pembahasan. “Diperkirakan 5% di bawah pinjaman rata-rata. Masih tahap finalisasi.”

Ada juga yang sudah berjalan, bagi investasi hijau untuk perpanjangan izin tak ada verifikasi lagi, izin ekowisata 35 tahun dan bisa diperpanjang. “Izin lain 20 tahun. Juga insentif pinjaman lunak buat UKM dan bebas beban bea masuk buat alat-alat investasi hijau terutama pengendalian pencemaran.”

Sementara Widyawan, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan, target energi terbarukan Indonesia pada 2025, sebesar 25%. Kalau tak melakukan terobosan-terobosan, katanya, sulit mencapai target yang diinginkan. “Energi terbarukan ini ada sumber di dalam negeri. Sekarang masih didominasi fosil jadi harus mulai dari sekarang.”

Dia menyadari, dalam jangka pendek, biaya yang keluar buat energi terbarukan lebih mahal daripada sumber fosil. “Ini tugas pemerintah buat mulai dan secara massif arahkan investasi hijau, apakah dengan insentif atau pemberian dana hingga ke depan, berbagai kesempatan investasi hijau bisa berjalan.”

ESDM, katanya, pada 2016 mengusulkan investasi hijau meningkat 10 kali lipat, menjadi sekitar Rp10 triliun pada 2016. “Ini diharapkan dapat memacu berbagai hal yang mendorong energy terbarukan. Apakah surya cell, angin, panas bumi, air, juga konsisten manfaatkan bio energi untuk tenaga listrik dan bahan bakar,” katanya.

Kebijakan sinergis

Kadin menyambut baik peluang investasi hijau ini. Namun, hendaknya antar kebijakan pemerintah saling sinergis hingga menghindari tumpang tindih. Diusulkan juga berbagai insentif dan kemudahan pemerintah itu bisa ditampilkan dalam satu ‘paket informasi’ hingga lebih jelas bagi pelaku usaha.

Shinta Widjaya Kamdani, Wakil Ketua Umum Kadin mengatakan, sangat penting bagi pemerintah menjawab tantangan dunia usaha soal penerapan insentif hijau. Salah satu usulan dunia usaha dalam mendorong investasi ramah lingkungan dengan pemberian keringanan pajak bagi produk atau usaha hijau.

Berbagai kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, katanya, hendaknya bisa bersinergis. Dia mencontohkan, kebijakan tax allowance, hendaknya terkoneksi antara tiga pihak yakni Kementerian Keuangan, BKPM dan dunia usaha. Jadi, kala BKPM memberikan rekomendasi kepada dunia usaha bisa segera terkonekasi pada Kementerian Keuangan. “Jadi, bisa otomatis diproses dan tidak memerlukan waktu panjang.”

Masalah lain yang perlu menjadi perhatian, katanya, tumpang tindih persyaratan antara dua institusi yang terlibat dalam memberikan rekomendasi. “Jangan sampai ada aturan yang sudah diminta di satu institusi diminta lagi di institusi lain termasuk peraturan di pusat dan daerah.”

Pemerintah, katanya, harus memperhitungkan kehilangan sebagian pendapatan pemerintah (pajak) daripada biaya yang harus dikeluarkan akibat kerusakan lingkungan yang memberikan dampak jangka panjang. “Tantangan pemerintah antara lain bagaimana mendesain kebijakan ongkos minimal di tengah beban fiskal yang ada.”

Sumber : klik disini

Share Button

Sistem Legalitas Kayu Tekan Pembalakan Liar, Jombang Membuktikan

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengapresiasi langkah Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko mengeluarkan Peraturan Bupati tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Peraturan tersebut diharapkan mampu mengendalikan pembalakan liar dan peredaran kayu ilegal di Jawa Timur.

“Kabupaten Jombang mulai menerapkan SVLK,” kata Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Dwi Sudharto dalam lokakarya jurnalis lingkungan di Yogyakarta, Senin, 27 April 2015.

Pemerintah, kata Dwi, akan melakukan sosialisasi SVLK kepada pelaku usaha dan industri olahan kayu dari sektor hulu hingga hilir di Jawa Timur. Pemerintah juga akan mendirikan klinik SVLK di Pasuruan. Tujuannya, memberikan penjelasan ihwal cara mendapatkan SVLK dan tata kelolanya kepada para pelaku usaha olahan kayu, sehingga mereka bisa mengambil manfaat SVLK. Terutama para pelaku olahan kayu untuk pasar ekspor. SVLK, kata dia, akan memastikan bahwa kayu yang diolah tersebut diperoleh dengan cara legal.

Dwi menyangkal jika Presiden Joko Widodo disebut menghentikan penerapan SVLK. Sebab, jika SVLK dihentikan, tata kelola hasil hutan akan mengalami kemunduran dan memicu pembakalan liar di kawasan hutan lindung. “Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Menteri Perdagangan memastikan SVLK tak dihentikan,” katanya.

Pada 2013, Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan 28 negara Uni Eropa. Indonesia juga melakukan kesepakatan bersama dengan Australia. Saat ini Indonesia tengah berupaya menghasilkan kerja sama dengan Jepang dan Cina agar kedua negara itu hanya membeli kayu legal dari Indonesia. Selama empat tahun terakhir, pemerintah telah menerbitkan SVLK 21 miliar kilogram kayu untuk 192 negara dengan total nilai US$ 16 miliar.

“Hasilnya kasus pembalakan liar bisa ditekan,” kata Dwi. Untuk mengendalikan pembalakan liar, Dwi melanjutkan, Kementerian Kehutanan sejak 2012 mewajibkan penerapan SVLK. Ia menjamin, dengan diterapkannya SVLK, kelestarian hutan bakal terjaga. Data Kementerian Kehutanan mencatat jumlah kasus pembalakan liar tertinggi terjadi pada 2006, yakni sebanyak 1.705 kasus. Namun angka itu turun sejak 2007 dan semakin terkendali sejak dua tahun terakhir.

Sumber : klik disini

Share Button

Moratorium Penebangan Hutan Akan Diperpanjang

Pemerintah akan tetap memberlakukan moratorium penebangan hutan di lahan gambut hingga dua tahun ke depan. Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) Siti Nurbaya mengungkapkan saat ini kementerian masih membahas soal tata kelola kehutanan baru, termasuk di lahan gambut.

“Kami ingin mempertegas dulu bagaimana penguatan tata kelola lahan gambut,” kata dia di sela Tropical Landscapes Summit di Jakarta pada Senin, 27 April 2015. Bahkan, ia mengatakan seharusnya tak ada lagi izin di lahan itu.

Siti memaparkan proses pembicaraan yang berlangsung dalam rapat terakhir di Kementerian Koordinator Perekonomian pada 20 Maret lalu. Sempat ada pertimbangan apakah moratorium akan diberlakukan dua tahun sekali, atau langsung ditutup selamanya. Namun, dengan pertimbangan masih harus berkoordinasi dengan kementerian lainnya, maka diambil keputusan yang pertama.

Penggunaan moratorium sendiri telah tertuang sejak 2011 lalu dalam Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011. Dalam aturan yang dibuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono waktu itu, ada sekitar 64 juta hektare yang terdiri dari hutan alam dan hutan gambut.

Seluas 58 hektare ada di kawasan kawasan hutan konservasi. Sementara sisanya, sekitar 6 juta hektare, adalah hutan alam primer dan lahan gambut yang ada di hutan produksi. Kebijakan ini sudah diperpanjang sekali pada 2013 lalu, untuk mengurangi penebangna hutan alam dan lahan gabut.

Secara terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan moratorium akan terus dilanjutkan. Semua kayu yang digunakan untuk kebutuhan industri harus diambil dari hutan khusus industri. “Tak boleh lagi ambil dari alam. Kalau nanti moratorium habis, ya ekstensi lagi,” kata dia. Ia juga berharap ada ketegasan dalam hukum, terutama untuk kasus-kasus pembakaran hutan. Kasus diharapkan tetap diusut sampai selesai, bukan berhenti di tengah jalan.

JK, sapaan Kalla, pun memastikan perkebunan sawit tak dapat lagi menggunakan lahan bukaan dari hutan yang sudah ada. Selain itu, Indonesia pun telah menjalin kerja sama bilateral dengan Norwegia terkait deforestation.

Sumber : klik disini

Share Button

Mengembalikan Habitat Orangutan di Sekunyer, Kalimantan Tengah

Butuh “keajaiban” untuk mengembalikan habitat orangutan di daerah Sekunyer, Kumai, Kalimantan Tengah, kata aktivis lingkungan menyambut Hari Bumi, Rabu (22/04).

Sebanyak 250 siswa sekolah dasar berpartisipasi dalam kegiatan menanam pohon di tempat di mana populasi orangutan semakin berkurang akibat banyaknya kegiatan pertambangan dan perkebunan sawit.

Penanaman 30 jenis tanaman lokal Kalimantan ini merupakan langkah kecil yang bisa dilakukan.

“Nanti setidaknya lahan ini bisa menjadi kawasan agroforestry. Karena untuk mengembalikan habitat orangutan di kawasan ini, butuh keajaiban dan harapannya kecil,” ujar Basuki Budi Santoso dengan nada pesimistis.

Pegiat di Friends of National Parks Foundation Kalimantan ini mengatakan bahwa lokasi penanaman sangat dekat dengan penemuan tulang belulang orangutan beberapa tahun lalu.

“Wilayah ini adalah penyangga Taman Nasional Tanjung Puting, dan diapit konsesi sawit. Habitatnya tergerus, namun masih ada hutan kecil di mana kita bisa menemukan satu dua orangutan.”

Kuburan Orangutan

Pada 2013 lalu, aktivis lingkungan Rahma Shofiana melihat sendiri penemuan tulang belulang orangutan di kawasan itu.

“Bagian-bagian tulang terpisah, kita menemukan tengkorak, lalu beberapa meter di depannya ada tulang hasta, lengan, jalan lagi, ketemu tulang kaki dan jari,” katanya kepada BBC Indonesia.

Belum jelas ada berapa banyak orangutan yang terkubur di lokasi yang merupakan perbatasan antara dua konsesi kelapa sawit tersebut.

“Dugaannya adalah habitat mereka terjepit antara dua kebun sawit, sehingga ketika makanan habis, mereka pergi ke perkebunan sawit. Di kebun sawit itu diduga orangutan dibunuh karena mengganggu,” sambung Rahma, Media Campaigner Greenpeace Indonesia.

Orangutan Foundation International (OFI) dan Friends of National Parks Foundation (FNPF), dalam surat kepada pihak berwenang, menggambarkan kawasan ini sebagai “kuburan” orangutan.

Sumber : klik disini

Share Button