Kelestarian hutan mangrove seluas 230 hektar di Pulau Nusa Lembongan, membawa berkah bagi warga Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung-Bali. Warga Nusa Lembongan kini tidak hanya menggantungkan kehidupanya dari budidaya rumput laut, tetapi juga dari mengantar wisatawan berkeliling hutan mangrove. Hutan mangrove yang alami dan lestari menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Mangrove tour saat ini menjadi salah satu paket wisata andalan yang ditawarkan di Nusa Lembongan.
Anggota nelayan mangrove tour, Gede Adnyana ketika ditemui belum lama ini menuturkan awalnya tidak menyangka jika hutan mangrove di Nusa Lembongan akan menjadi obyek wisata yang menarik dan memberi manfaat secara ekonomi. Apalagi selama ini tidak ada promosi khusus baik dari masyarakat Nusa lembongan ataupun pemerintah terkait obyek wisata mangrove. Wisatawan yang pernah berkunjung yang secara tidak langsung melakukan promosi. Promosi yang dilakukan juga sebatas dari mulut ke mulut yang menceritakan kelestarian mangrove Nusa Lembongan. Kecanggihan teknologi melalui media sosial juga sangat membantu promosi paket wisata mangrove Nusa Lembongan.
“Itu yang menyebabkan wisatawan semakin hari semakin ramai, kita terbantu dari segi promosi walaupun tidak dipromosikan. Kalau dulu paling kita cuma bisa tawarkan wisata lautnya , tetapi sekarang ada tambahan wisata mangrove,” ujar Gede Adnyana yang kini juga berprofesi sebagai guide tour. Adnyana menjelaskan terjaganya kelestarian mangrove pada sisi lain juga memberi keuntungan dari segi penanggulangan abrasi. Jika dulu pada bulan Desember kenaikan air laut dapat mencapai wilayah perkebunan, namun seiring dengan semakin lestarinya mangrove kenaikan air lait tidak lagi mencapai wilayah perkebunan. Masyarakat juga tidak lagi mengalami kendala dalam bercocok tanam, karena kenaikan air laut tidak merendam tanaman perkebunan. “Hutan mangrove ini terjaga dengan baik kemudian tumbuh pesat, kemudian air tidak sampai ke daratan,” kata Adnyana.
Adnyana menyampaikan perlu waktu panjang untuk menjaga kelestarian mangrove di Nusa Lembongan. Buktinya upaya untuk menjaga kelestarian mangrove telah dilakukan warga Nusa Lembongan sejak tahun 1980an. Dimana warga Nusa Lembongan telah menerapkan aturan tidak tertulis yang memuat larangan untuk memotong pohon mangrove, apalagi merusak hutan mangrove.
Walaupun berupa aturan tidak tertulis nyatanya tidak ada warga yang berani melakukan perusakan mangrove atau mencari kayu di hutan mangrove. Sejak tahun 2000, aturan larangan mencari kayu atau merusak hutan mangrove kemudian di buat kedalam aturan tertulis desa yang disebut sebagai awig-awig desa. “Sosialisasinya memang daru dulu disampaikan secara lisan melalui paruman atau pertemuan banjar,” jelas Adnyana seperti dikutip Beritabali.com (Sindikasi situs Beritalingkungan.com).
Dengan adanya awig-awig (hukum adat) maka seluruh warga Nusa Lembongan memiliki kewajiban untuk menjaga hutan mangrove dari upaya perusakan. Penerapan awig-awig mangrove tidak sebatas menjadi kewenangan aparat desa ataupun pecalang segara (petugas pengamanan adat wilayah laut). Warga Nusa Lembongan terutama yang berprofesi sebagai nelayan memiliki kewajiban untuk melakukan pencegahan. Jika upaya pencegahan gagal dilakukan maka, nelayan dapat melaporkan upaya perusakan mangrove ke Polisi segara, Bendesa Adat ataupun ke Polisi Air. “Misalnya saya di daerah sini melihat ada teman atau orang lain yang merusak lingkungan kami disini otomatis kami langsung mencegah langsung karena sudah ada awig-awig, kemudian kalau tidak bisa dicegah langsung melapor ke desa,” ucap Adnyana. Menurut Adnyana, kelestarian hutan mangrove saat ini seakan menjadi kebutuhan bagi warga Nusa Lembongan. Mengingat terdapat 34 nelayan yang kini menggantungkan hidupnya dari kegiatan mangrove tour yang tergabung dalam kelompok mangrove tour. Nelayan-nelayan tersebut akan bergantian mengantar para wisatawan keliling hutan mangrove dengan menggunakan perahu kecil tanpa mesin (sampan) selama hampir 30 menit. Penggunaan sampan juga merupakan bentuk upaya mengembangkan wisata berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dimana setiap sampan maksimal mampu mengangkut 4 orang dengan biaya sekali keliling mencapai Rp. 300.000. Adnyana menambahkan pembentukan kelompok mangrove tour pada dasarnya berawal dari keinginan beberapa wisatawan untuk melakukan eksplorasi mangrove di Nusa Lembongan pada tahun 2000. Seiring dengan perjalanan waktu jumlah wisatawan yang berkunjung terus meningkat. Hingga pernah pada suatu hari jumlah wisatawan yang datang mencapai 150 orang.
Wayan Suarbawa yang merupakan Sabha Desa (Dewan Pengawas Desa), Desa Adat Nusa Lembongan mengakui awig-awig mangrove selama ini cukup efektif dalam upaya menjaga kelestarian hutan mangrove di Nusa Lembongan. Dengan adanya awig-awig mangrove maka bukan hanya warga Nusa Lembongan saja yang harus melestarikan mangrove tetapi juga orang yang datang dan ingin berinvestasi di Nusa Lembongan. “Jika korporasi akan melakukan sesuatu pasti mereka akan memotong mangrove. Jika mereka memotong mangrove maka akan mendapat sanksi dari desa,” kata Wayan Suarbawa. Suarbawa menyebutkan dalam awig-awig mangrove tentunya juga terdapat sanksi bagi pihak yang melanggar. Sanksi yang diberikan sifatnya tidak hanya membuat efek jera, tetapi juga menimbulkan rasa malu. Dimana bagi warga yang melanggar akan dirampas kayunya dan dikenakan saksi berupa diumumkan dalam pertemuan banjar dan desa. Jika kembali melakukan pelanggaran maka selain diumumkan dalam pertemuan juga dikenakan denda beras 3 kilogram. “Sebenarnya bukan nilai besar atau kecilnya tapi ada moral di sana” ujar Suarbawa.
Salah seorang Pecalang Segara, Nanek Widana menegaskan penegakan awig-awig mangrove pada dasarnya bukan hanya tugas pecalang segara. Masyarakat justru yang dituntut lebih berperan menjaga hutannya. Pecalang segara sangat berharap masyarakat aktif memberikan laporan jika ditemukan terjadi pelanggaran. Apalagi selama ini pecalang segara bertugas dengan konsep ngayah (sukarela) dan tidak memiliki biaya operasional. “Laporan masyarakat sangat diharapkan, karena mereka yang sering di lapangan, terutama nelayan” ucap Nanek Widana. Nanek Widana mengakui selama bertugas sebagai pecalang segara belum pernah menemukan ataupun menerima laporan terkait pelanggaran awig-awig mangrove. Hal ini terjadi karena warga cenderung malu ketika diumumkan dalam pertemuan banjar dan desa. “Sanksi juga berlaku bagi warga luar Nusa Lembongan, sanksinya dapat berupa kerja sosial, seperti membersihkan tempat umum atau membersihkan pura,” kata Nanek Widana.
Sementara Project Leader Coral Triangle Center (CTC) Nusa Penida Dewa Kadek Wira Sanjaya menyampaikan CTC berupaya membantu warga Nusa Lembongan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove. Salah satu langkah yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi secara berkala, sehingga masyarakat paham pentingnya menjaga kelestarian mangrove. Langkah lainnya berupa pembuatan poster informasi, pendidikan lingkungan dan upaya rehabilitasi mangrove. Wira Sanjaya menegaskan tantangan terbesar yang harus segera diselesaikan saat ini adalah mensinergikan pengelolaan ruang laut dengan tata ruang laut. Hal ini menjadi penting karena pada dasarnya ruang laut berkaitan erat dengan darat. Sehingga kedepan perlu koordinasi lintas sektoral dan koordinasi yang berkesinambungan agar upaya yang dilakukan masyarakat sejalan dengan program pemerintah, baik pemerintah kabupaten Klungkung dan pemerintah provinsi Bali. “Koordinasi ini menjadi penting untuk mensinergikan semua kegiatan yang ada,” tegas Dewa Kadek Wira Sanjaya.
Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Penida dan Nusa Ceningan merupakan bagian dari kawasan Nusa Penida atau yang lebih dikenal dengan sebutan three sisters island. Ketiga pulau tersebut juga bagian dari kawasan segitiga karang dunia yang paling mudah diakses karena letaknya berada di Bali. Berdasarkan kajian cepat kelautan (Marine Rapid Ecological Assessment/REA) 2008 menunjukkan kawasan Nusa Penida memiliki 296 spesies karang keras dan 576 spesies ikan karang termasuk 5 jenis baru. Kawasan ini juga memiliki biota unik, seperti ikan mola-mola, pari manta, penyu, ikan napoleon, lumba-lumba, paus, hiu paus hingga dugong.
Kawasan Pulau Nusa Penida memiliki tebing-tebing karst yang eksotik dan pantai-pantai pasir putih yang elok. Mempunyai luas kawasan terumbu karang 1.419 hektar dan padang lamun seluas 108 hektar. Kawasan Nusa penida menjadi salah satu destinasi utama wisatawan local dan mancanegara, dengan kunjungan rata-rata mencapai 200.000 wisatawan pertahun. Pada 9 Juni 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan meresmikan Nusa penida sebagai kawasan konservasi perairan (KKP). Dengan peresmian tersebut diharapkan kawasan Nusa Penida dapat dikelola dengan efektif dan memberikan manfaat social-ekonomi bagi masyarakat.