UGM: Kerusakan Akibat Penambangan Karst Pasti Terjadi, Dua Dosennya Akan Dikenai Sanksi

Bertempat di ruang sidang pimpinan gedung pusat Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (25/04/2015), tim kajian independen menyampaikan sikapnya sebagai respon atas aduan masyarakat Rembang dan Sedulur Sikep tentang kasus rencana penambangan pegunungan Kendeng dan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang.

Tim yang diketuai Dr. Pujo Semedi, terdiri atas para pakar dan mahasiswa dari berbagai bidang ilmu yakni bidang karst, air tanah, hukun lingkungan, kehutanan, ekonomi dan antropologi.

“Tim independen bertugas memberikan kajian tentang pengalihan fungsi sumber daya publik untuk kepentingan industri serta melakukan kajian atas kesaksian dosen UGM dalam persidangan di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Semarang beberapa waktu lalu,” kata Paripurna, Wakil Rektor Bidang Kerjasama UGM dalam acara tersebut.

Paripurna menyampaikan kajian menyimpulkan saat ini tidak ada keperluan mendesak bagi industri semen di Indonesia untuk meningkatkan produksi. Bila memang produksi semen akan ditingkatkan, maka harus dilakukan dengan mengikuti pertimbangan bahwa kerusakan lingkungan akibat penambangan karst pasti terjadi dengan konsekuensi hidrologis, flora, fauna dan sosial yang secara akademik belum dapat diidentifikasi dengan tuntas.

Oleh karena itu pengubahan lingkungan karst harus dilakukan secara konservatif, terlokalisir di wilayah yang kosong penduduk atau tidak padat penduduk guna meminimalkan akibat negatif.

“Di wilayah yang dihuni oleh warga, pengalihan lahan ke perusahaan dan pengubahan penggunaan lahan harus dengab rela (consent) warga yang diperoleh melalui proses tanpa tekanan (free), berdasar pemberian informasi yang terang (informed) mengenai potensi resiko dan hasil yang mungkin terjadi,” tambah Paripurna.

Terhadap kesaksian dua dosen UGM yaitu Dr. Eko Haryono dan Dr. Heru Hendrayana di PTUN Semarang beberapa waktu lalu,  tim menyimpulkan bahwa mereka merupakan utusan dari universitas yang menjadi saksi ahli atas permintaan pihak tergugat. Mereka saksi ahli yang sah dan telah memberikan paparan tentang bidang keahliannya secara profesional.

Akan tetapi dalam komunikasi selanjutnya muncul kesaksian yang tidak sesuai dengan asas kepatutan saksi ahli, antara lain dengan memberikan kesaksian yang dapat mengarahkan pada satu kesimpulan tertentu, padahal kedua pakar tidak melakukan penelitian langsung di wilayah Rembang.

“Menindaklanjuti hasil kajian ini maka UGM akan memberikan sanksi administratif sesuai aturan yang berlaku,” kata Paripurna.

Dosen dan ahli hukum lingkungan UGM, Hari Supriyono mengatakan saksi ataupun saksi ahli dalam hukum cara apapun termasuk hukum acara PTUN, harus netral dan tidak boleh menyimpulkan. Tim menyimpulkan dua dosen tersebut tidak pantas secara etika tim setelah melihat rekaman dan statemen kesaksian dua dosen tersebut di PTUN Semarang.

Yang pertama ketika saksi ahli bicara tentang karst sampai pada kesimpulan bahwa karst yang akan ditambang adalah karst muda yang berdasarkan klasifikasi menurut Kepmen No.1456 Tahun 2000 memang ada tiga klasifikasi. “Tetapi berdasarkan Permen nomor 17 tahun 2012 yang mengatur tentang karst tidak mengenal lagi klasifikasi karst,” kata Hari.

Penentuan kepastian karst harus berdasar penelitian geologi yang melibatkan unsur pemerintah yakni badan geologi, Kementerian ESDM, ahli dari perguruan tinggi dan termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), seperti penetapan bentang alam karst Gunungsewu dan karst Gombong.

“Kami menganggap tidak pantas dan patut karena saksi tidak pernah melakukan penelitian di lokasi yang akan ditambang,” tegas Hari.

Hari melanjutkan dua dosen itu harusnya hanya menjelaskan kesaksian berdasar keahliannya dengan menjawab pertanyaan umum seperti ciri-ciri, bentuk dan definisi karst. Ketika bicara inkonkreto atau wilayah yang spesifik terhadap kasus,  jika ahli tidak punya dasar ilmiah cukup maka tidak perlu menjawab atau penyatakan bahwa tidak bisa menjawab.

Terkait kesaksian Heru Hendrayana tentang Cekungan Air Tanah (CAT), Hari mengatakan sebagai Heru sebagai saksi ahli menyatakan tidak ada CAT di lokasi yang akan ditambang oleh PT. Semen Indonesia, tetapi belakangan mengakui ada CAT dilokasi penambangan sesuai Perpres No.16/2011 tentang penetapan CAT. Ada 31 CAT di Jateng, diantaranya ada di Rembang.

Dalam kesaksiannya di PTUN, Heru juga mengkritisi kelemahan Perpres yang berkaitan dengan penetapan CAT. “Sepatutnya saksi ahli tidak menyatakan hal demikian. Jika ingin mengkritik Perpres maka wilayahnya lain, yakni melakukan judicial review ke Mahkamah Agung,” tambah Hari.

Dari seluruh kesaksiannya, Hari menyimpulkan dua saksi ahli itu menjustifikasi dan mengarahkan bahwa seakan-akan penambangan tidak masalah di Rembang.

Terkait dengan sikap resmi UGM terhadap penambangan semen di Rembang, Ketua Tim Kajian Independen Pujo Semedi mengatakan bahwa UGM tidak pada posisi menerima atau menolak. Akan tetapi sebagai lembaga akademik, UGM berpandangan bahwa secara ekonomis saat ini tidak ada keperluan mendesak industri semen di Indonesia untuk meningkatkan produksi.

Apabila putusan hakim akhirnya menolak gugatan warga karena pertimbangan kedua dosen UGM di persidangan, Paripurna mengatakan bahwa perhatian UGM pada pemberian keterangan saksi kedua dosennya di PTUN Semarang. Yakni bahwa UGM berkewajiban mengijinkan atau menenuhi permintaan siapapun untuk hadir sebagai saksi ahli karena hal tersebut sebagai bentuk pengabdian terhadap masyarakat. Namun kesaksian diberikan dibawah sumpah dan kesaksian yang diberikan bebas sesuai pengetahuan akademiknya secara netral dan objektif.

Kedua saksi yang bersaksi dalam pengadilan tersebut bukan satu-satunya saksi, artinya banyak saksi lainnya. Kesaksian ahli tidak harus dijadikan patokan oleh hakim, karena hakim bebas untuk menafsirkan kesusuaian keterangan saksi ahli.

Sedangkan saksi adminstrasi yang diberikan kepada kedua dosen tersebut berupa sanksi tertulis, dan tidak akan pada saksi terberat yakni pemberhentian.

Dampak Penambangan di kawasan hutan

Pada kesempatan yang sama, Dr. Satyawan Pudyatmoko, ahli kehutanan yang juga dekan Fakultas Kehutanan UGM mengatakan pertambangan, pabrik dan infrastruktur lainnya akan mengubah bentang lahan. Penambangan pasti akan mengubah dan memberikan dampak negatif terhadap hutan, ekosistemnya, flora dan fauna serta terhadap komponen lingkungan lain.

“Pasti ada dampak negatifnya dan tidak bisa dihindari. Agar dampak tidak meluas maka penambangan harus dilakukan secara terlokalisir agar tidak berdampak pada manusia dan non human,” kata Satyawan.

Hari menambahkan terkait dengan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan diatur dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan, pada pasal 38 yang pada prinsipnya boleh menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan non hutan, tapi hanya boleh diberikan di hutan produksi dan hutan lindung. Untuk hutan lindung hanya untuk kegiatan bawah tanah atau tidak open mining. Sedangkan lokasi pertambangan di Rembang adalah hutan produksi.

Pada PP No.24/2010 dan perubahan PP No.61/2012 dan Permen No.16/2014 tentang prosedur penggunaan kawasan hutan untuk non hutan, ada prinsip persentase mininal dan ketentuanya. “Prinsipnya tidak boleh merubah fungsi kawasan hutan. Fungsi kawasan hutan harus tetap terjaga. Prosedur pengalihan kawasan hutan sangat ketat,” kata Hari.

Pada kesempatan terpisah, Muhnur Satyaprabu selaku kuasa hukum warga Rembang kepada Mongabay mengatakan,  kesaksian dari kedua saksi ahli dari UGM telah menyalahi etika karena seharusnya saksi berpihak pada kelestarian alam. Bahwa seharusnya keterangan saksi ahli harusnya berdasarkan bukti ilmiah, yakni memberikan keterangan berdasarkan keahlian dan background penelitian yang dilakukan oleh saksi.

“Namun terbukti saksi ahli tidak pernah melakukan penelitian dilokasi yang akan ditambang terhadap karst dan CAT,” kata Muhnur.

Sebelumnya, warga Rembang dan Sedulur Sikep melakukan aksi di kampus UGM pada 20 Maret 2015 yang memprotes dan menyayangkan kesaksian dua dosen yang tidak jujur sebagai saksi ahli pada persidangan gugatan warga Rembang di PTUN Semarang.

Sumber : klik disini

Share Button

Penghapusan Penerapan SVLK untuk Mebel dan Furnitur Belum Jelas

Merespons klaim beberapa kalangan pengusaha yang menyebut Presiden Joko Widodo sepakat menghapuskan penerapan sistem verifikasi dan legalisasi kayu (SVLK) diragukan. Pasalnya, belum jelas secara pasti bahwa Presiden menyebutkan hal tersebut dan menyeriusinya dengan tindak lanjut instruksi ke kementerian terkait.
“Saya belum bisa berkomentar, akan kita konfirmasi dulu,” kata Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono pada Kamis (16/4). Namun ditegaskannya, sampai saat ini penerapan SVLK masih akan dilangsungkan sebagaimana yang disebut dalam deklarasi ekspor.
KLHK, kata dia, juga akan terus konsisten dalam pencegahan ilegal logging yang mana salah satu upayanya yakni dengan menerapkan SVLK. Lagi pula, kabar penghapusan datang dari media. Maka ia akan melakukan pengecekan kabar tersebut terlebih dahulu.
Senada dengan KLHK, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel berpendapat serupa. “Tentu SVLK tidak bisa dicabut begitu saja, ini sudah jadi komitmen dan syarat ekspor kita ke negara eropa,” kata dia.
SVLK, lanjut dia, justru akan memberikan kemudahan kepada para pelaku industri dalam menjalankan usahanya secara legal, di samping melindungi negara dari praktik ilegal logging. “Saya rasa ada salah persepsi di situ, Presiden maksudnya tidak seperti itu,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Daerah Kalimantan Barat Anton P Wijaya menekankan, jangan sampai pemerintah mencabut penerapan SVLK, meskipun memang masih belum kuat sistem pengawasannya.
“Ada aturan saja masih rentan pelanggaran, apa lagi dicabut,” tuturnya. Alih-alih dicabut, pemerintah seharusnya memperketat sistem pengawasan agar aturan SVLK berlaku efektif. Jangan sampai, penghapusan dilakukan karena ada segelintir pengusaha yang mengeluh dengan alasan ada stok bahan baku yang menipis dan mengancam industri furnitur.
Ia menginginkan, tata kelola lingkungan termasuk eksploitasi kayu jangan melulu mengandalkan motif ekonomi belaka tanpa mempertimbangkan keberjalanan sistem kelestarian lingkungan. Lebih lanjut, jika benar dihapuskan, maka sisem perlindungan pemanfaatan kayu akan dikembalikan ke industri. Dampaknya, transaksi jual beli kayu ilegal justru malah semakin besar karena kayu tersebut harganya lebih murah.
Sampai saat ini, ia melihat belum ada instrumen yang pasti untuk melindungi kayu dari eksploitasi liar. Rancangan soal standar, parameter dan regulasi yang mengatur ilegal logging belum efekrif dalam penerapan dan penawalannya. Makanya, adalah tanggung jawab pemerintah untuk mengawalnya. Walhi pun terus berkomitmen untuk mengawal, agar SVLK benar-benar menjadi aturan yang pasti dan diterapkan secara efektif.

Sumber : klik disini

Share Button

Jokowi Setuju SVLK Dihapus

Sejumlah pengusaha ekspor-impor mengeluhkan kebijakan pemerintah yang dinilai menghambat kegiatan ekspor. Salah satu yang dikeluhkan adalah Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK).
Salah satu pengusaha, Sunoto mengatakan, kebijakan itu memberatkan pengusaha kecil. Menurut dia, Presiden Jokowi setuju untuk menghapus SVLK.
“Akhirnya presiden setuju SVLK tidak diberlakukan untuk mebel dan kerajinan, tapi untuk hulu,” ujarnya usai pertemuan, Rabu (15/4).
Tak hanya itu, Sunoto melanjutkan, ia juga meminta pada Jokowi agar industri kecil diberikan akses yang sama pada perbankan. Sebab, menurutnya, selama ini bank pelat merah masih memandang sebelah mata pada pengusaha furniture dan handycraft.
“Bahwa jumlah kreditnya tidak sama tidak masalah. Tapi aksesnya harus sama,” ucap Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia.
Tak hanya itu, pengusaha juga meminta agar insentif berupa pemberian restitusi PPn disederhanakan. Ketua Asosiasi Pertekstilan Benny Sutrisno mengatakan, pengusaha meminta agar restitusi diberikan paling lama tiga bulan.
“Nah kita mau uang kita kembali lebih cepat, supaya kita fast track. Maksimal tiga bulan,” ucap dia.

Sumber : klik disini

Share Button