Laju Hilangnya Tutupan Pohon Indonesia Terendah Dalam Sepuluh Tahun Terakhir

Hasil penelitian terbaru tentang kehutanan (02/04/2015) yang dipimpin oleh pakar kehutanan Matt Hansen dari University of Maryland dan World Resources Institute (WRI) melaporkan laju kehilangan tutupan pohon di Indonesia periode 2011-2013 adalah 1,6 juta hektar/tahun; angka terendah sejak sepuluh tahun terakhir, namun masih termasuk peringkat lima besar di seluruh dunia.

Di sisi lain, laju hilangnya hutan primer Indonesia 2013 juga menunjukkan pelambatan, yaitu kurang dari setengah juga hektar per tahun, terendah sejak tahun 2003.

Penyebab dari turunnya tutupan pohon dan kehilangan hutan primer diprediksi akibat diberlakukannya moratorium atas izin konversi hutan, anjloknya harga komoditas (tambang dan mineral serta sawit) di pasar internasional, komitmen perusahaan untuk menerapkan kebijakan nol-deforestasi, dan fakta bahwa hutan yang tertinggal adalah hutan yang sulit untuk diakses.

Data terbaru ini menunjukkan tanda-tanda cukup menggembirakan bagi hutan di Indonesia, tetapi dibutuhkan data dengan rentang waktu yang lebih lama dan riset tambahan untuk mengkonfirmasi tren tersebut. Hutan primer di Indonesia dikenal sebagai hutan yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati dan stok karbon tertinggi di dunia.

“Informasi terbaru ini menuturkan cerita positif mengenai hutan di Indonesia, namun terlalu dini menyatakan ini adalah tren yang pasti, saat ini kami sedang membandingkan angka yang dimiliki Kementerian dengan temuan ini,” jelas Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam siaran persnya.

“Apabila benar, ini adalah indikator kuat bahwa investasi signifikan yang dilakukan Indonesia untuk melindungi hutan terbayarkan. Kami akan mengambil langkah-langkah tambahan untuk memastikan tren positif ini tetap berlanjut.”

 

Sumber: GFW/WRI

Sudah sewajarnya jika Menteri LHK menyampaikan kelegaannya, karena pada laporan sebelumnya yang dipublikasikan oleh University of Maryland dan WRI, disebutkan bahwa angka kehilangan tutupan hutan primer di Indonesia meningkat selama periode 2001-2012.

“Data terbaru ini harus dapat terus mendorong momentum untuk memperbaiki sistem pengawasan dan pengelolaan hutan di Indonesia,” jelas Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia. Menurutnya, perbaikan dalam bidang penegakan hukum dan transparansi data untuk mempromosikan pengembangan komoditas berkelanjutan, memperkuat moratorium hutan dan pemetaan hutan perlu terus dilanjutkan.

Meskipun secercah harapan mulai tumbuh, namun secara global pada tahun 2013, 18 juta hektar hutan di seluruh dunia telah hilang, meningkat hampir sepertiga sejak awal tahun 2000-an yang menyebabkan krisis kehilangan hutan global masih jauh dari terpecahkan. Secara bersamaan, Rusia dan Kanada mewakili bagian empat puluh persen dari total negara yang kehilangan hutan arborealnya. Dimana kehilangan hutan telah naik hampir 50 persen dalam 13 tahun terakhir.

Hilangnya hutan empat musim (arboreal), dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh kebakaran dan pembalakan. Penebangan hutan menyebabkan hutan yang tersisa menjadi rentan terhadap kebakaran. Perubahan iklim juga memperburuk risiko kebakaran.

Sumber: Mongabay.com

Secara global, dunia kehilangan lebih dari 18 juta hektar tutupan pohon pada tahun 2013. Data menunjukan negara-negara seperti Rusia, Kanada, dan Brasil menyumbang 2,2 juta hektar, Amerika Serikat (1,7 juta hektar), dan Indonesia (1,6 juta hektar) adalah 5 peringkat teratas negara dengan angka rata-rata kehilangan tutupan pohon pertahun tertinggi dari 2011–2013. Hanya di tahun 2013 Indonesia mengalami angka kehilangan tutupan pohon terendah selama 10 tahun terakhir.

Sementara negara-negara di belahan utara mengalami percepatan hilangnya tutupan pohon secara serius, daerah tropis masih menyumbang sebagian besar hutan yang hilang, yaitu sebesar hampir 19 juta hektar selama periode 2011-2013. Masing-masing negara tersebut adalah Brasil (4,5 juta hektar kehilangan tutupan hutan), Indonesia (3,3 juta ha), Republik Demokratik Kongo (1,4 juta ha), dan Malaysia (931.000 ha).

Tiga dari empat negara yaitu, Brasil, Indonesia dan Malaysia diketahui terdapat trend signifikan pelambatan hilangnya hutan pada tahun 2013.

Hilangnya hutan akan berpengaruh terhadap fungsi ekologis bumi, termasuk pengaruhnya terhadap curah hujan, lepasnya simpanan karbon, hilangnya lapisan tanah subur dan berkurangnya jasa lingkungan dan pasokan oksigen dalam sistem planet. Hilangnya hutan pun akan berpengaruh terhadap gagalnya sistem pertanian yang berkelanjutan.

Riset Global Forest Watch adalah sistem online dinamis untuk memantau hutan lewat penyatuan data citra satelit beresolusi tinggi, open data dan crowdsourcinguntuk memperoleh informasi hutan secara tepat waktu dan terpercaya. Dari dari University of Maryland dan Google ini dapat menampilkan data kehilangan tutupan pohon dengan resolusi 30 meter.

Sumber : klik disini

Share Button

Dampak Pembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 Oleh MK Tentang Sumber Daya Air

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat M. Basoeki Hadimoeljono menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI guna membahas dampak pembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap kebijakan dan program kerja di bidang sumber daya air, Selasa (31/3) di Ruang Sidang Komisi V DPR RI Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta. Salah satu dampak yang dibicarakan yaitu masalah saluran irigasi yang tidak bisa memasuki hutan produksi karena merupakan kewenangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rapat Kerja yang terbuka untuk umum ini dihadiri oleh 53 orang Anggota Komisi V DPR RI. Sementara itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan didampingi oleh 3 orang Eselon I, sejumlah jajaran Eselon 2 serta Eselon 3 terkait.
Terkait dengan putusan MK Nomor 85/PUU-XII/2013 tanggal 18 Februari 2015 terhadap pembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dan pemberlakuan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang pengairan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan bahwa Konservasi Sumber Daya Air dapat menggunakan landasan hukum UU 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (KTA). Peran serta/partisipasi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat yang tidak diatur dalam UU 11/1974 tersebut dapat menggunakan PP 37/2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pasal 57 sampai dengan 63, sedangkan tentang Sistem Informasi SDA dapat menggunakan PP 37/2012 tentang Pengelolaan DAS pasal 64 sampai dengan 66.
Kelembagaan SDA seperti Dewan SDA (nasional atau provinsi) dan Tim Koordinasi Pengelolaan SDA dapat menggunakan kelembagaan seperti Forum DAS (tingkat Nasional dan Provinsi serta Kabupaten/Kota) dan Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia sebagai wadah koordinasi karena telah memiliki dasar hukum yaitu PP 37/2012 tentang Pengelolaan DAS dan UU 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air.
SDA merupakan bagian dari DAS, dimana seluruh wilayah daratan terbagi habis dalam DAS, sehingga Pengelolaan SDA yang berkelanjutan harus berbasis DAS dan tidak bisa hanya memperhatikan variabel-variabel hidrologis sekitarnya saja, karena harus memperhatikan keseluruhan DAS secara utuh. Ekosistem DAS di ujung terluar dapat mempengaruhi keberadaan dan kualitas SDA didalamnya. Oleh karena itu, PP 37/2012 tentang Pengelolaan DAS harus menjadi acuan dalam melakukan Pengelolaan SDA.
Sumber : www.dephut.go.id

 

Share Button

Peran Besar KLHK Untuk Tangani Kebakaran Hutan. Seperti Apa?

Memasuki musim kemarau, pemerintah harus mulai bersiap untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang akan merugikan baik dari segi lingkungan, kesehatan dan perekonomian bila terjadi. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempunyai peran yang sangat besar dalam menangani karhutla.

“KLHK ini sekarang punya satu kekuatan luar biasa. Dulu LH pisah dengan kehutanan, sekarang digabung,” kata Pemerhati Hukum dan Pemerintahan dariThamrin School of Climate Change and Sustainability, Mas Achmad Santosa dalam jumpa pers di Jakarta, pada Kamis (02/04/2015).

Apalagi dengan keputusan Mahkamah Agung yang menguatkan peranan KLH waktu itu sesuai pasal 95 ayat 1, UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dimana KLH disebutkan sebagai sebagai koordinator penanganan karhutla. “Jadi ada legitimasi KLHK menjadi koordinator penanganan karhutla. Apalagi sekarang tidak ada lagi UKP4, DNPI, BP REDD, maka semua tanggung jawab ada di KLHK,” kata Mas Achmad Santosa yang lebih akrab dipanggil Ota.

Pada  Juni  tahun 2014,  pemerintahan  SBY-Boediono,  telah mengidentifikasi enam permasalahan karhutla yang perlu ditanggulangi yaitu (1) sistem peringatan dini yang  tidak  optimal,  (2) jaringan  komunikasi  lemah  untuk  melakukan  koordinasi  deteksi  dan  pemadaman  karhutla (3). ketidak patuhan perusahaan-perusahaan pemilik konsesi dalam persiapan dan pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan Karhulta di wilayah konsesinya.

Juga (4) lemahnya  pengawasan  dan  penegakan  hukum , (5) konflik  dengan  masyarakat  dan kesulitan  akses  jalan  transportasi    dan  (6) belum  adanya  kebijakan  perlindungan kawasan ekosistem gambut.

Ota melihat akar dari enam permasalahan tersebut adalah ketidakoptimalan  sistem  deteksi  dini  disebabkan  lemahnya  koordinasi  dalam  mendayagunakan  data  satelit NOAA/MODIS dan   BMKG.

Masalah lainnya yaitu dari hasil audit kepatuhan perusahaan ekstraktif yang dilakukan oleh UKP4 menunjukkan tidak   ada   satupun   perusahaan   dari   97 perusahaan  perkebunan  dan  122  perusahaan  kehutanan  mematuhi  seluruh  kewajiban  yang   diamanatkan  peraturan   perundang-undangan.  Capaian  dari   kedua   kelompok  perusahaan  ini  kurang dari 50%.

Untuk  tingkat  kepatuhan  Pemda,  dari  enam kabupaten  dan  kota  hanya  satu  kabupaten  yang  patuh  (92,74% dari 67 kewajiban). Selebihnya dikategorikan  kurang patuh (62% mematuhi 67 kewajiban). Faktor ketidaksiapan pemerintah daerah juga ikut berpengaruh.

Akan tetapi, menurutnya ahli hukum lingkungan UI itu, ketidaktaatan  tersebut  hampir  sebagian besar tidak diberikan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin atau pencabutan izin sebagai langkah preventif.

Meski, sejak 2012 penegak hukum (PPNS KLH, Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan) telah melakukan penanganan perkara karhutla di beberapa daerah,  namun  aparat  penegak  hukum  khususnya  hakim  belum  melihat  kasus  hukum karhutla   ini   sebagai   hal   penting  dan mendesak.

Ota melihat pada umumnya putusan hakim membebaskan terdakwa atau menghukum   ringan   terdakwa. Sehingga, praktek penegakan hukum saat ini belum mampu menumbuhkan  efek jera bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan.

“Banyak kasus karhutla yang diajukan ke pengadilan, tetapi yang diajukan pelaku lapangan. Pelaku individu atau perusahaan, belum diajukan.  Tantangan bagi KLHK bagaimana mencari pelaku intelektual dari karhutla,” lanjut Ota.

Sementara KLHK merupakan kementerian yang memiliki paling banyak Penyidik PNS dibanding institusi lain, karena gabungan PPNS KLH dan PPNS Kemhut.

Sedangkan Pemerhati Isu Kehutaanan dari Thamrin School, Togu Manurung menegaskan  bahwa 99%  penyebab kebakaran adalah  manusia (anthropogenic  factor). Pembukaan lahan dengan cara membakar yang biasa dilakukan masyarakat  lokal, pendatang dan para perambah hutan merupakan pemicu utama karhutla. Lahan yang terbakar sebagian besar berada di wilayah klaim / pendudukan / okupasi  kawasan hutan ilegal/konflik oleh masyarakat atau  wilayah yang diterlantarkan pemegang izin konsesi hutan atau HGU perkebunan.

Disamping itu, perusahaan pemilik konsesi hutan dan perkebunan kelapa sawit disinyalir ada yang   secara sengaja melakukan pembakaran hutan dalam proses pembersihan  lahan  (land  clearing). Kondisi  tersebut  diperparah  oleh  kondisi  lokasi  kebakaran  yang  sulit  dijangkau  oleh  sarana  transportasi  darat.

Harapan besar

Ada harapan besar terhadap penegakan hukum karhutla setelah ditandatanganinya kesepakatan bersama enam pemimpin kementerian dan lembaga pada Desember   2012 dan dimulainya pendekatan  multi  rezim  hukum termasuk penggunaancorporate criminal liability.

Tetapi banyak kasus karhutla yang dibawa ke pengadilan berakhir  dengan  putusan  yang  mengecewakan.  Sehingga penegakan hukum karhutla belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan perilaku terutama korporasi penyebab karhutla.

Ota melihat sumber penyebab ketidak efektifan  penegakan hukum adalah kualitas dan pemahaman para penegak hukum   yang masih terbatas dalam menerapkan pendekatan multi rezim hukum  dengan mendayagunakan berbagai peraturan perundang-undanganan yang  relevan seperti UU PPLH, UU  Kehutanan, UU Perkebunan, UU  Tindak  Pidana  Pencucian  uang,  UU Tindak  Pidana  Korupsi,  UU  Pajak, termasuk menerapkan corporate criminal liability.

Koordinasi juga tidak berjalan baik antara penyidik dan penuntut dan PPNS lainnya yang terkait dengan pendektan multi rezim  hukum . Dan intervensi penanganan perkara terutama perkara-perkara korporasi besar  yang membutuhkan kepemimpinan dan pelaksana yang memiliki integritas kuat.

“Saat ini sepatutnya, ketiga persoalan tersebut harus dapat diatasi oleh KLHK yang  memegang  dua  portofolio sekaligus yaitu lingkungan hidup dan kehutanan,” jelas Ota.

Ada  dua hal yang  dihasilkan dari kunjungan  Presiden  Jokowi yaitu Presiden menginstruksikan   untuk memelihara gambut di Kabupaten   Meranti tetap dalam keadaan basah. Sekarang  lahan  gambut yang akan dijaga untuk tetap basah telah  diidentifikasi,” kata Farhan.

Pemprov Riau juga telah menindaklanjuti Instruksi  Presiden  dengan menerbitkan Peraturan   Gubernur  Riau  No.5/2015 tentang Pelaksanaan Rencana Aksi  Pencegahan  Kebakaran  Hutan dan    Lahan  di Riau.

Oleh karena itu, Thamrin School melihat perlu diperkuatnya peran koordinasi dan fasilitasi KLHK   sehingga  memilki kemampuan  merangkul  dan  memfasilitasi  kerja-kerja  sinergis  seluruh  aparat gakum terkait Karhutla.

Pengembangan kapasitas SDM aparat penegak hukum (apgakum) harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh pihak. Maka penguatan kapasitas green  inspector,  green  police,  green  prosecutor, dan  green  judges  menjadi  sebuah  keharusan  dalam  melindungi  sumberdaya  alam dan lingkungan.

Kemampuan  investigasi,  pemantauan  kasus-kasus  dan  perkara  dari   LSM-LSM  dan masyarakat sipil menjadi  penting  untuk  mendorong  percepatan penanganan perkara yang lebih efektif,   memberi pesan penjeraan dan mengembalikan kerugian negara akibat karhutla.

Sedangkan hakim dalam memberikan vonis hukuman kepada pihak yang terbukti bersalah harus memberikan hukuman yang maksimal (terberat) untuk menimbulkan efek jera dan denda yang juga maksimal agar dapat dimanfaatkan untuk memulihkan fungi jasa lingkungan dari ekositem hutan akibat karhutla.

Praktek pembukaan lahan dengan cara dibakar disinyalir juga dilakukan oleh perusahaan. Oleh sebab itu /sistem  hukum harus menerapkan  asas  pembuktian  terbalik oleh pemilik lahan atau pemilik konsesi hutan (HGU perkebunan) untuk membuktikan mereka tidak melakukannya.

Sumber : klik disini

Share Button

Kementerian LHK Gelar Rakor Siaga Darurat Kebakaran Hutan dan Lahan

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia Tedjo Edhy membuka Rapat Koordinasi Siaga Darurat Kebakaran Hutan dan Lahan di Ruang Rimbawan I Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta (31/3/2015). Acara dilanjutkan dengan diskusi panel tentang upaya dan rencana aksi penanganan kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 yang dipimpin oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Turut hadir sebagai narasumber kepala daerah yang wilayahnya termasuk rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Barat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kementerian Pertanian, serta Kepolisian Republik Indonesia.
Menteri LHK menekankan bahwa pencegahan merupakan titik utama dalam siaga darurat karhutla kedepan yang dilakukan melalui beberapa upaya sebagai berikut yaitu: koordinasi yang lebih intensif dan kewaspadaan para pihak, menjaga gambut tetap basah, sistem eco-hydro dari lahan gambut mengikuti kaidah ilmiah, sosialisasi masyarakat, optimalisasi penegakan hukum serta antisipasi kondis cuaca dan mengembangkan berbagai metode teknik ilmiah.
Langkah penanganan karhutla 2015 dititikberatkan terhadap upaya pencegahan. Kementerian LHK melakukan deteksi dini hotspot/titik panas yang dapat diakses melalui situs sipongi.menlhk.go.id/home, membuka posko karhutla yang bisa dihubungi di nomor +62 8131 003 5000, sms center +62 81297185 000 dan Twitter @HotspotSipongi. Selain itu Kementerian LHK melakukan koordinasi dengan BNPB, Koordinasi Lintas Daerah (Pusat, Pemda, Akademisi, masyarakat dan swasta), termasuk menerbitkan SK Satgas Siaga Darurat Bencana Karhutla. BNPB juga memberikan dukungan kepada Riau untuk pembuatan 1.000 unit kanal dan hujan buatan yang sudah berlangsung sejak 4 Maret 2015. Melakukan inventarisasi kanal yang ada dan pemblokiran kanal juga merupakan upaya pencegahan yang efektif. Hal yang tidak kalah penting yaitu adanya tanggung jawab dunia usaha yang memperoleh izin pengelolaan hutan untuk melaksanakan kewajiban melakukan perlindungan kawasan dalam fungsi ekologis.
Rakor kali ini digelar sebagai upaya persiapan menghadapi puncak musim kemarau yang diprediksi berlangsung bulan Juni sampai dengan September. Berdasarkan data hotspot tahun 2006-2014, pola hotspot di Sumatera dominan terjadi pada pertengahan Juni – Oktober (5 bulan), sedangkan di Kalimantan pada Juli – Oktober (4 bulan). Khusus untuk wilayah Riau, sesuai polanya pada bulan Februari – April adalah kering sehingga berpotensi terjadi karhutla seperti pada tahun 2014. Data BMKG untuk curah hujan 30 tahun terakhir di Riau menunjukkan ada perubahan pola hujan, dimana pada Februari – April kering dan curah hujan terbatas sehingga mudah terbakar.
Share Button