The Nature Conservancy (TNC) menjembatani kepentingan warga suku Dayak di empat kampung Kecamatan Segah, Berau, Kalimantan Timur, dengan perusahaan kayu untuk mewujudkan hutan lestari. Community Development Spesialist Segah-Lesan TNC Indah Astuti mengatakan kolaborasi ini tidak hanya mengurangi konflik antara penduduk dan perusahaan, juga mencegah kerusakan hutan lebih parah. “Karena masyarakat ikut mengawasi hutan yang ditebang oleh perusahaan,” kata Astuti di Kampung Long Laai, Kecamatan Segah, Berau, akhir pekan lalu.
Program hutan lestari adalah bagian dari misi besar Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Developing Countries (REDD+) yang dikembangkan pemerintah Indonesia. Kelompok konservasi TNC sejak 2010 termasuk terlibat dalam program tersebut dengan mengembangkan model pemberdayaan masyarakat kampung yang mereka sebut Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan dalam REDD+ (SIGAP-REDD+). Pendekatannya melibatkan masyarakat untuk menyusun rencana strategis dan rencana pembangunan, termasuk menata lahan dan ruang di dalam dan di luar kampung yang berupa hutan.
Kisah konflik-damai di hutan Segah, menurut Astuti, melibatkan PT Sumalindo Lestari Jaya, perusahaan kayu pemilik hak pengusahaan hutan seluas 100 ribu hektare di daerah ini. Dari luasan itu, 66 ribu hektare di antaranya kawasan hutan produksi terbatas. Perusahaan yang mendapat izin sejak 1990 itu menebang meranti.
Sebelum tercapai kesepakatan tertulis pada Juni 2004, masyarakat lima kampung di hutan yakni Kampung Long Laai, Long Ayap, Long Oking, Long Pay, dan Long Ayan merasa perusahaan kayu tersebut telah mengancam kehidupan mereka. Penduduk di lima kampung itu totalnya sekitar 1.400 jiwa. Sebagian besar adalah suku Dayak Gaai dan Punan yang hidupnya bergantung dengan hasil hutan. Merasa terancam, pada 1999 mereka mulai protes dan puncaknya menggelar unjuk rasa serta menghentikan kegiatan Sumalindo selama tiga tahun pada 2000-2003.
Dari konflik inilah, menurut Astuti, justru lahir model baru kemitraan antara masyarakat setempat dan perusahaan kayu Sumalindo. TNC bersama Pemerintah Kabupaten Berau memediasi konflik tersebut. Mereka menyepakati secara tertulis sejumlah poin, termasuk membentuk Badan Pengelola Segah yang berperan menentukan kawasan dan model pengelolaan hutan bersama masyarakat.
Ketua Pelaksana Badan Pengelola Segah Jones Lokan mengatakan dengan adanya kesepakatan itu, masyarakat empat kampung — sejak 2007 kampung Long Ayan keluar dari kesepakatan tersebut — memperoleh uang lebih banyak dari perusahaan kayu dibanding di lokasi lain. Kampung mereka memperoleh kompensasi Rp 3.000 dari setiap meter kubik kayu yang ditebang.
Selain itu, setiap jiwa di empat kampung setiap tahun masih memperoleh tambahan fee Rp 33 ribu dari setiap meter kubik kayu yang dipanen perusahaan. Anak yang baru lahir pun dapat fee, kata Jones, guru yang tinggal dan mengajar di Kampung Long Laai.
Tahun lalu, setiap kepala di empat kampung itu memperoleh fee sekitar Rp 200 ribu. Pemberian fee seperti ini tidak terjadi di kampung lain yang menjadi lokasi penebangan kayu legal.
Site Manager PT Sumalindo Lestari Jaya IV Andi Amiruddin mengakui perusahaannya kini lebih nyaman beroperasi dibanding sebelumnya. Kalau perusahaan mau langgeng mau tidak mau harus melibatkan masyarakat, ujar Andi yang sudah bergabung ke perusahaan tersebut sejak pertengahan 1980-an.
Sumber : Klik di sini