Moratorium izin di hutan alam dan lahan gambut akan segera berakhir pada 13 Mei 2015 mendatang. Sederet catatan mengiringi perjalanan kebijakan itu. Namun, muaranya tetap satu. Yakni, moratorium penting dilanjutkan. Hanya saja, kebijakan yang sudah berjalan patut dievaluasi guna perbaikan moratorium selanjutnya.
Hal ini terungkap dalam diskusi antara lembaga swadaya masyarakat (NGO) dengan kalangan jurnalis di Pontianak. “Moratorium izin penting dilanjutkan, tapi dengan sejumlah catatan. Evaluasi kebijakan itu agar tepat sasaran,” kata Nikodemus Ale dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat, Jumat (27/3/2015).
Menurut Niko, semangat moratorium untuk menghentikan kerusakan hutan tentu sangat baik. Hanya saja lokasi penunjukan kawasannya yang tidak baik. Sesuai peta moratorium di Kalbar, posisinya ada di luar areal penggunaan lain (APL). Padahal, di lokasi itulah masalah kerapkali terjadi.
“Prinsipnya kita setuju melanjutkan moratorium. Tapi, kawasan yang dimoratorium diperlebar lagi. Jadi bukan hanya di kawasan lindung saja, tapi masuk ke kawasan APL,” ucap Niko.
Sementara Arif Munandar, peneliti Swandiri Institute mengatakan, kebijakan moratorium di Kalbar belum berjalan maksimal. Hal ini bisa dilihat dari kawasan yang didorong dalam moratorium seperti kawasan lindung dan konservasi. Status kedua kawasan tersebut sudah jelas dilindungi.
“Kita juga bisa lihat di wilayah-wilayah gambut yang sudah ada izin sawitnya. Ternyata di situ tidak dievaluasi oleh pemerintah. Malah terakhir lebih ekstrem lagi. Sawit yang ada di kawasan hutan, lalu sawit yang ada di kawasan gambut, juga dikeluarkan dari peta moratorium,” ungkap Arif.
Padahal, urai Arif, sebagian besar APL di Kalbar sudah dikuasai perkebunan sawit. Bahkan di kawasan hutan pun sawit bisa masuk. “Sepertinya ada agenda pemutihan yang sistemik dari sisi kebijakan. Ini bisa dilihat dari PP 60 dan 61 tahun 2012.”
Itu yang membuat blunder semua gerakan civil seciety di Kalbar. Terutama ketika hendak melakukan advokasi tata ruang, ternyata hal ini diperbolehkan adanya ketelanjuran izin. Perusahaan bisa terus melaju, lantaran sudah telanjur dapat izin sebelum Undang-Undang Tata Ruang dikeluarkan.
Jadi, lanjut Arif, sebagian besar sawit yang ada di kawasan hutan di Kalbar saat ini, tidak ada masalah. “Menurut aturan, hal itu diperbolehkan selagi pemerintah bisa mencari lahan pengganti. Dan, kebijakan tersebut menjadi bagian dari upaya melegalkan praktik ilegal,” tegasnya.
Terkait pemutihan kawasan hutan, Arif mencontohkan bagaimana wajah RTRW Kalbar. Ada sekitar 800 ribu hektar izin sawit dalam kawasan hutan yang dijadikan APL. “Sebenarnya ini sudah kita laporkan. Tapi selalu terganjal di PP 60 dan 61. Jadi, aspek penting yang perlu dievaluasi adalah moratorium harus pada konteks masalah. Itu saran untuk moratorium ke depan,” ucapnya.
Rentetan persoalan di atas tak cukup sampai di situ. Mursyid Hidayat dari Lembaga Gemawan membeberkan contoh lain. Dalam pandangannya, moratorium belum berjalan sebagaimana diharapkan banyak pihak.
Buktinya, kata Hidayat, masih ada perpanjangan izin hutan tanaman industri (HTI) oleh pemerintah pusat di Kabupaten Kapuas Hulu pada 2013. “Padahal, masyarakat adat Kayaan Mendalam sudah menolak perusahaan ini,” katanya.
Agustinus dari Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) membeberkan contoh lain. Menurutnya, moratorium sudah berlangsung selama lima periode. Tapi implikasinya di lapangan masih lemah.
Di Kabupaten Melawi saja, proses penebangan dan land clearing oleh perusahaan besar seperti sawit masih terus berlangsung. Kawasan hutan primer juga digarap. “Inpres No 6 tahun 2013 ini belum efektif. Pemerintah daerah belum memiliki langkah konkret, termasuk mengevaluasi izin-izin perkebunan dan pertambangan,” ucapnya.
Sudut pandang jurnalis
Lebih jauh, persoalan moratorium juga datang dari perspektif jurnalis. Adalah Teguh Imam Wibowo dari Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang menyebut persoalan gambut di Kalbar cenderung terabaikan. “Gampangnya, kalau melihat dari udara, sawit sudah dominan menguasai kawasan gambut Kubu Raya,” katanya.
Kemudian, lanjut Teguh, sekarang ada aturan baru dari Kementerian ESDM soal penggunaan biofuel. “Mulai 1 April solar harus dicampur 15 persen biofuel. Saya kira kita perlu perhatikan soal ini, karena bahan bakunya berasal dari sawit. Artinya, sudah bisa dibayangkan, ekspansi perkebunan kelapa sawit ke depan akan sangat massif dan tidak terkendali,” ucapnya.
Lain hal dengan Muhammad Aswandi dari Metro TV. Menurutnya, hingga saat ini penebangan kayu secara ilegal masih terus terjadi. Kasus terakhir, Reserse Kriminal Khusus Polda Kalbar menangkap enam truk fuso dari Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang. Truk bermuatan kayu jenis bengkirai itu masuk melalui jalur Ambawang, dan katanya mau ke Jakarta.
Selain itu, Aswandi juga meng-update kunjungan Jokowi ke Kecamatan Rasau Jaya, Kubu Raya. Di situ presiden dengan tegas mengatakan tak mau lagi melihat ada kebakaran lahan pada 2015. Sanksinya, menteri dicopot. “Saya setuju melanjutkan moratorium, tapi tetap dikritisi, dievaluasi sehingga berdampak besar bagi perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Kalbar,” pintanya.
Sementara Agus Wahyuni dari Suara Pemred lebih menyoroti ancaman kabut asap. “Di Kalbar, seminggu saja tak hujan kabut asap sudah ada. Anehnya, tidak satu pun mengetahui perusahaan mana yang membakar lahan. Justru petani kecil yang ditangkap. Saya berharap ada keterbukaan akses antara NGO dengan jurnalis,” ucapnya.
Ketua AJI Kota Pontianak, Heriyanto Sagiya menilai isu lingkungan sudah dapat perhatian jurnalis. “Pada konteks moratorium, saya sepakat diteruskan. NGO yang lebih tahu kondisi di lapangan soal kebijakan ini. Tapi, informasi itu harus disuarakan. Jika teman-teman NGO kuat menyuarakannya, maka media pun siap mempublikasikan,” pungkasnya.
Sumber : klik disini