Karbon Terkurangi Dari Strategi Pembangunan Berkelanjutan Di 8 Kabupaten. Dimana Sajakah?

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dan 41 persen bila mendapat bantuan dari luar negeri. Sebagai salah satu sektor pengemisi utama, pemerintah berusaha menurunkan emisi dari sektor kehutanan, dengan melakukan tata kelola dan konservasi hutan dan lahan gambut yang mempunyai bernilai tinggi.

Komitmen penurunan emisi tersebut, tidak akan berhasil bila pemerintah daerah tidak ikut berperan aktif dalam pengelolaan wilayah dan hutan mereka.  Untuk itu, delapan wilayah kabupaten di Indonesia dengan dibantu pemerintah Amerika Serikat melalui proyek USAID Indonesia Forestry and Climate Support (IFACS) melakukan review tata ruang wilayah yang lebih baik dengan mengintegrasikan konservasi hutan dan lahan gambut yang mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan agar tercipta strategi pembangunan yang rendah emisi (low emission development strategies / LEDS).

“IFACS membuat program yang ambisius di daerah kawasan stok karbon dan hutan agar tetap terjaga di Indonesia. Dan kita mulai di pusatnya, yaitu di KLHK. Tentu saja kita berhubungan dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup, dan berhubungan dengan beberapa propinsi,” kata John Hansen, Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID Indonesia, disela-sela acara Lokakarya KLHS-SPRE dan Penyiapan Proyek Karbon Bersama Masyarakat, di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, pada minggu kemarin.

Delapan kawasan strategis itu berada di tiga pulau besar di Indonesia, dimana masih terdapat hutan primer dan stok karbon yang besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan dan Papua.  Di Sumatera dilakukan di Aceh Selatan, Aceh Tenggara. Sedangkan di Kalimantan Barat yaitu di Ketapang, Kayong Utara dan Malawi, serta di Kalimantan Tengah yaitu di Katingan. Sedangkan di Papua yaitu di Sarmi, Mamberamo, Mimika dan Asmat.

Proyek IFACS di 8 daerah tersebut diharapkan dapat menyimpan 6 juta ton ekuivalen karbon melalui perbaikan tata kelola sumber daya alam dan pengelolaan hutan yang berdampak pada pengurangan tingkat deforestasi dan degradasi lingkungan pada kawasan luas sekitar 11 juta hektar.

Dengan sinergi pemerintah daerah, masyarakat lokal dengan proyek IFACS, diharapkan dapat dikelola  dengan baik sekitar 3 juta hektar hutan tropis dan lahan gambut alami, dengan  1,7 juta hektar merupakan habitat utama orangutan.

Selain itu, 12 daerah yang telah memiliki skema rencana tata ruang diharapkan dapat melaksanakan rekomendasi dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) . Dan 12.000 pihak penerima manfaat hutan memperoleh keuntungan ekonomi dari kegiatan-kegiatan rendah emisi yang diselenggarakan di dalam wilayah program IFACS.

“Program lima tahun dari IFACS telah memperoleh hasil dan perkembangan yang baik, dan perkembangan yang bisa dilihat adalah sekitar 2000 hektar pada hutan bernilai konservasi tinggi yang sekarang dilindungi dan itu melalui proses perencanaan tata ruang. IFACS membantu dalam proses tersebut, dengan kriteria pembangunan rendah emisi yang diinginkan oleh pemerintah daerah seperti RAN GRK dan RAD GRK, anggaran pembangunan dan proses strategis dengan kerjasama dengan bupati dan masyarakat di daerah itu dengan memperhatikan keuntungan dari konservasi  yang diselaraskan dengan pertumbuhan ekonomi meski dengan melindungi lingkungan,” kata Hansen.

Penurunan emisi tersebut diperoleh dari delapan proyek karbon dengan skema pembayaran untuk jasa lingkungan (payment for environmental services / PES) seperti skema REDD+, skema mekanisme pembangunan bersih, atau skema perdagangan karbon lainnya.

Proyek karbon tersebut antara lain penguatan konservasi hutan desa di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dengan pengendalian kebakaran dan produksi karet di wilayah sekitar 17.432 hektar.  Potensi reduksi gas rumah kaca sebesar 13.303 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Proyek pengelolaan kawasan ekosistem bakau seluas 345.713 hektar sebagai kawasan penangkapan dan penyimpanan karbon di Mimika, Papua dengan potensi reduksi emisi sebesar 227.245 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Ada juga proyek skema ekoturisme dan patroli bersama warga di Karidor Rimba Trumon seluas 2.700 hektar untuk mengurangi deforestasi di Aceh Selatan, dengan potensi reduksi emisi sekitar 5.345 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Juga proyek pengelolaan daerah penyangga Taman Nasional Gunung Palung di Kayong Utara, Kalimantan Barat seluas 12.000 hektar, dengan potensi pengurangan emisi sebesar 25.761 ton setara karbon selama dua tahun pertama.

Meski demikian, ada beberapa hambatan, antara lain kurangnya pemahaman dan keahlian yang diperlukan untuk pengembangan proyek karbon, kurangnya kemauan politik untuk mengembangkan mekanisme yang berkelanjutan, dan kegiatan yang terlalu fokus pada proyek karbon berbasis pasar daripada skema penanggulanan emisi berskala wilayah.

Untuk itu, USAID IFACS dengan mitra lokal melakukan program bantuan teknis untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan bagi pemangku kepentingan setempat untuk mengembangkan proyek karbon di wilayah kerja IFACS. Selain itu didorong pengembangan invoasi proyek karbon pragmatis dan didorong kepemilikan program pengembangan karbon di wilayah setempat.

Menggandeng Perusahaan Swasta

Hambatan lain dari proyek ini adalah nilai tukar karbon dalam pasar karbon sukarela masih dalam posisi nol USD atau nol rupiah. Oleh karena itu, USAID IFACS menggandeng berbagai perusahaan swasta untuk ikut berperan dan berinvestasi dalam proyek karbon.

“Ada momentum global dengan tumbuhnya perdagangan karbon.  Dan mengenai harga karbon nol dolar dalam pasar karbon sukarela, itu benar. Pendapat pribadi saya, ada kekecewaan besar ketika nilai tukar karbon di pasar karbon tidak tumbuh untuk menghasilkan pendanaan bagi program konservasi.  Banyak pegiat konservasi yang kecewa terhadap ini,” kata Hansen. “Banyak perusahaan yang berinvestasi kepada beberapa program yang mempunyai nilai karbon tinggi pada skema pasar karbon sukarela,” lanjutnya.

Dia menjelaskan sudah ada 13 perusahaan swasta, sebagian besar perusahaan konsesi HPH, yang berkomitmen untuk membantu dalam investasi dan pembelian kredit karbon dari proyek tersebut. Meski, perusahaan tersebut belum menyatakan nominal pendanaan dalam perdagangan karbon di proyek tersebut.

Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyambut baik proyek dari USAID IFACS tersebut.  “Bentuk-bentuk inisiatif yang konstruktif akan menjadi penguatan apabila dihubungkan dengan apa yang harus kita lakukan. Kalau kita kembalikan kepada undang-undangn No.32/2009 yang sebetulnya amanahnya juga untuk mengatasi perubahan iklim, didalamnya ada ketentuan mengenai KLHS. Dan KLHS tidak berdiri sendiri, tentu bicara tentang RPPLH, Amdal, izin lingkungan, tata ruang, dan . macam-macam,” kata Arief Yuwono,  Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim KLHK.

Dia mengatakan penguatan dan pengayaan sektor kehutanan tersebut akan berpengaruh dan berdampak pada kebijakan dan implementasi di lapangan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Gerbang Utama Menuju Transparansi Tata Kelola Hutan dan Lahan

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menilai transparansi pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan Barat masih sebatas mimpi. Jaminan keterbukaan dalam mengakses informasi terkait dokumen tata kelola hutan dan lahan kerapkali tersandung. Kendati, mayoritas daerah sudah menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Hal ini terungkap dari hasil diskusi Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 27-28 Februari 2015 di Pontianak. “Ada angin segar ketika geburnur, bupati, dan wali kota menunjuk PPID. Ini mengindikasikan bahwa roda pemerintahan sudah mulai berjalan ke arah perbaikan tata kelola hutan dan lahan,” kata Faisal Riza dari Jari Indonesia Borneo Barat, Jumat (27/2/2015).

Namun demikian, Faisal juga mengakui masih ada daerah di Kalimantan Barat (Kalbar) yang belum sama sekali menunjuk PPID hingga saat ini. Alasan paling dominan adalah penunjukan PPID sedang dalam proses administrasi dan kendala penganggaran.

Di Provinsi Kalimantan Barat, ada empat kabupaten yang belum menunjuk PPID. Mereka adalah Kabupaten Sintang, Sanggau, Landak, dan Mempawah. Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak, Kota Singkawang, Kabupaten Kubu Raya, Kayong Utara, Ketapang, Sambas, Bengkayang, Sekadau, Melawi, dan Kabupaten Kapuas Hulu sudah menunjuk PPID.

Faisal mengatakan, penunjukan PPID ini hanya sebuah langkah awal keterbukaan. Masih banyak upaya yang musti dilakukan setelah pejabatnya ditunjuk. Di antaranya, PPID mesti membuat kategorisasi informasi yang mereka miliki. Kemudian, membuat mekanisme pelayanan informasi, dan mekanisme penyelesaian sengketa informasi di tingkat internal.

“Sesungguhnya jalan untuk mencapai semangat keterbukaan informasi publik ini masih panjang. Tapi, apapun alasannya, jalan itu harus ditempuh karena dia adalah amanat Undang-Undang No 14 Tahun 2008,” ucap Faisal.

Jari Indonesia Borneo Barat juga sudah mengidentifikasi sejumlah kasus yang berkaitan dengan kurangnya akses informasi bagi masyarakat. Di antaranya, permukiman masyarakat masuk dalam kawasan hutan lindung, lahan masyarakat yang dirampas perusahaan, konflik lahan di tingkat masyarakat, dan berbagai contoh kasus lainnya.

Masyarakat berhak tahu

Dalam diskusi terbatas tersebut, Mongabay Indonesia juga menghadirkan aktor utama sengketa informasi di Kabupaten Ketapang. Dia adalah Syamsul Rusdi dari Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo.

“Uji akses yang kita lakukan di Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Ketapang akan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak dalam menangani kasus yang berkaitan dengan sengketa informasi di Kalbar. Padahal, saya hanya ingin mengetahui lampiran peta dalam Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan tambang di Ketapang. Kalau hanya dokumennya saja untuk apa kita minta. Kita butuh lampirannya supaya tahu duduk

Namun demikian, kata Syamsul, pihak Distamben Ketapang melalui Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) menyebut lampiran peta dalam dokumen Amdal perusahaan tambang adalah bukan dokumen publik, dan tidak bisa dibuka kepada khalayak ramai. Alasannya, informasi tersebut bisa berpotensi jadi persaingan usaha yang tidak sehat dan melanggar hak atas kekayaan intelektual.

“Saya keberatan dengan Putusan KIP itu dan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak pada tanggal 4 Juni 2014. Empat bulan kemudian, gugatan saya dikabulkan PTUN setelah lima kali masa persidangan. Namun, pihak Distamben Ketapang keberatan dengan putusan PTUN Pontianak. Dan, mereka kasasi,” urai Syamsul.

Denni Nurdwiansyah dari Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan mengatakan apa yang dilakukan Syamsul Rusdi hanya satu contoh kasus sengketa informasi di Kalbar. “Saya kira masih banyak sengketa informasi yang belum berjawab hingga kini,” katanya.

Menurut Denni, langkah lanjutan sebuah daerah yang sudah memiliki PPID adalah menyusun standar operasional prosedur (SOP) dan daftar informasi publik (DIP). Artinya, PPID segera menyusun informasi apa yang boleh diakses publik dan mana informasi yang dikecualikan.

“Kalau hanya sebatas menujuk PPID saja, saya kira pejabatnya tidak akan bisa bekerja. Kendala sekarang di Kalbar kan seperti itu. SOP dan DIP tidak ada. Jika sudah demikian, PPID-nya mau kerja apa?” ucap Denni.

Hal ini diamini Muhammad Lutharif dari Kontak Rakyat Borneo. Menurutnya, tidak ada pilihan lain kecuali menguatkan posisi PPID dan Komisi Informasi Daerah (KID). “PPID penting untuk membuat SOP informasi dan klasifikasi informasi. Mana informasi yang tersedia setiap saat dan mana yang dikecualikan,” ucapnya.

Persoalan lain menurut pria yang akrab disapa Anong ini adalah mekanisme memperoleh informasi yang wajib disosialisasikan. “Mekanisme seperti ini harus diperkuat tidak hanya ditingkatan masyarakat, tapi juga harus menyasar hingga ke badan publik,” ucapnya.

Jalan menuju keterbukaan informasi publik yang masih panjang ini membuat Rheinardho Sinaga dari Perkumpulan Kensurai pun angkat bicara. “Melihat dari alur diskusi kita, saya kira kehadiran PPID di daerah belum menjamin adanya transparansi. Lebih khusus lagi di bidang pengelolaan sumber daya alam,” katanya.

Rheinardo menegaskan bahwa masyarakat berhak tahu jika kampung halaman mereka ternyata sudah dikuasai izin konsesi perusahaan ekstraktif. “Kenapa masyarakat berhak tahu? Tujuannya supaya tidak terjadi konflik sosial di kemudian hari. Obatnya cuma satu. Dokumen Amdal beserta lampirannya harus bisa diakses publik. Kalau tidak, maka kita pasti akan kembali berjalan dalam kegelapan informasi. Konflik membukit, korupsi sumber daya alam meroket,” pungkasnya.

Sumber : Klik di sini

Share Button