Menteri Siti Geram Bupati dan Gubernur “Main Hajar” Keluarkan Izin Pertambangan

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar menyesalkan para pemimpin di daerah yang dengan mudahnya memberikan izin pertambangan, bahkan hingga merangsek ke wilayah hutan lindung dan konservasi.

“Kalau lihat angkanya seram. Izin pertambangan di kawasan hutan ada 25,983485 juta hektar. Di hutan produksi 19,674 juta hektar, sisanya hutan konservasi dan hutan lindung,” kata Siti dalam diskusi Minggu (22/3/2015).

Banyaknya wilayah hutan yang alihfungsi menjadi area pertambangan, sebut Siti, lantaran izin pertambangan dikeluarkan oleh Bupati dan Gubernur, dan bukannya dari Kementerian ESDM dan atau dari Ditjen Minerba.

“Saya nanya, seharusnya Menteri ESDM. Tapi ternyata dari Bupati dan Gubernur. Jadi dia main hajar saja. Hutan konservasi masuk, hutan lindung masuk. Ini sedang kita rapikan,” lanjut Siti.

Selain itu, sebut Siti,  banyak izin yang ternyata tidak mengikuti kaidah tata kelola baik. Saat ini ada sekitar 10.648 izin pertambangan, dan IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang dikeluarkan Bupati dan Gubernur sebanyak 7.519 izin.

“Dan celakanya, ini data dari KPK dan pajak, 16 persen (dari 7.519 IUP) tidak ada NPWP-nya. Ini memang menjadi perhatian,” kata Siti.

Menurut Siti, Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam perlu dilanjutkan. Memang ada beberapa masalah yang melatarbelakangi gerakan tersebut, seperti lemahnya informasi, longgarnya regulasi, masalah negoisasi kontrak dan tata kelola yang belum benar.

“Dan yang terpenting bagi lingkungan adalah kewajiban reklamasi tambang. Ini juga hampir tidak dilakukan. Ini semua menjadi catatan kita,” kata Siti.

Sumber : klik di sini

Share Button

Menhut Akui Penyusunan Peta Tunggal Bisa Lama

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya pesimis peta tunggal yang disusun pemerintah dan kementerian terkait saat ini bisa diselesaikan dalam tempo kurang dari setahun.

“Tahun ini kalau untuk mengawalinya, bisa. Tapi kalau selesainya, cukup panjang (jalannya),” kata Siti kepada wartawan usai rapat koordinasi One Map Policy, Kamis (19/3/2015).

Di samping banyaknya peta tematik dari berbagai instansi yang perlu disatukan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang belum selesai juga berpeluang menghambat penyusunan peta tunggal. Siti menuturkan, saat ini belum seluruh provinsi menyelesaikan RTRW.

Berdasarkan data yang terekam pada Badan Informasi Geospasial (BIG) sudah ada 26 provinsi yang menyelesaikan RTRW. Namun, di catatan KLH sendiri masih ada 9 provinsi yang bermasalah, utamanya perihal kesepakatan luas lahan kehutanan.

“Kita masih berebutan (Kementerian KLH dan Pemprov). Saya bilang di KLH luas hutannya sekian, tapi Provinsi mintanya lebih sedikit. Yang kayak gitu-gitu yang belum ketemu,” lanjut Siti.

Kendati belum seluruhnya rampung, Siti mengatakan sebenarnya proses penyusunan RTRW bisa dilakukan paralel dengan penyusunan peta tunggal.

Sekadar informasi, wacana menyusun peta dasar sudah digagas sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kepala Bappenas kala itu, Armida Alisjahbana memandang munculnya sengketa peruntukan lahan disebabkan adanya perbedaan peta. (baca:Perbedaan Peta Bisa Berujung Sengketa).

Diakui pula oleh Armida sembilan provinsi yang belum merampungkan Perda RTRW menghambat penyusunan peta dasar. (baca: 9 Provinsi Ini Belum Selesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah).

Presiden Joko Widodo sendiri sudah menaruh perhatian pada pentingnya peta tunggal. Bahkan sejak Debat Capres-Cawapres kelima yang mengusung tema ‘Pangan, Energi, dan Lingkungan’ Jokowi menyadari banyaknya kasus tumpang tindih lahan disebabkan tidak adanya peta tunggal.

“Saya berikan contoh di sebuah provinsi ada 753 kasus di 1 provinsi, peruntukkan lahan tumpang tindih, untuk tambang, untuk perkebunan, padalah untuk hutan lindung. Kalau tidak diselesaikan, hutan kita mulai akan digerus untuk kepentingan lain. Tidak ada peta yang jelas,” kata lulusan Fakultas Kehutanan UGM itu, Sabtu (5/7/2014).

Sumber : klik di sini

Share Button

Dari Rakernas AMAN: Mendagri Bicara Soal Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat

Pagi itu, ratusan masyarakat adat dari berbagai penjuru nusantara, berpakaian adat bersiap memasuki Lapangan Waronai, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Itulah tempat pembukaan rapat kerja nasional (rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara IV. Sebelum masuk, di pintu gerbang ada ritual penyambutan. Para pemimpin adat berada di jajaran depan. Antara lain tampak Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat dan Ketua Dewan AMAN Nasional, Hein Namotemo, juga Bupati Halmahera Utara.

Tali penutup jalan digunting, penanda pemilik wilayah adat di Sorong,  menerima para tamu dari berbagai daerah itu masuk. Beberapa pejabat juga baru tiba. Ada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Gubernur Papua Barat  Abraham Octavianus Atururi, dan jajaran pimpinan daerah Papua Barat, yang lain. Tak lama, Tjahjo Kumolo Menteri Dalam Negeri, juga datang. Dia disambut tarian selamat datang.

Pada 17 Maret itu, AMAN tak hanya rakernas. Itu juga hari ulang tahun ke-16 organisasi ini, sekaligus memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat  Adat. Tjahjo Kumolo dan Siti Nurbaya, hadir mewakili Presiden Joko Widodo.

“Kami menyampaikan sambutan atas nama pemerintah. Moga rakernas dan Hut ke-16 moga bisa lahirkan pikiran buat menata kekuatan masyarakat adat sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan negara Indonesia,” kata Tjahjo.

Sebelum Indonesia, berdiri, katanya, masyarakat adat sudah ada lebih dulu. “Jadi masyarakat adat nusantara, harus mampu jadi perekat kebhinekaan, dan kekuatan bangsa yang besar.”

Untuk itu, dia atas nama pemerintah dan Mendagri, meminta seluruh bupati dan walikota serius memberikan perhatian kepada desa dan wilayah adat di daerah masing-masing. “Lakukan pendataan, penataan, hingga jelas mana hak-hak adat., yang merupakan daerah yang harus dihargai,” ujar dia.

Sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, menjadi angin segar perjuangan masyarakat adat Indonesia. Masyarakat adat, kata Tjahjo,  memiliki hak, kewenangan kongkrit untuk  mengelola adat, sosial, kultural, sampai ekonomi. “Ini bagian di mana ada hak tradisional tersimpan yang melekat pada masyarakat hukum adat.”

Dia menyadari, pengabaian pengakuan hak-hak kepada masyarakat adat selama ini menciptakan ketidakpercayaan kepada pemerintah dan benturan-benturan di lapangan. “Ke depan harus dihilangkan.”

Guna membangun struktur sosial, ekonomi, dan politik dalam mendukung pemberdayaan,  katanya, masyarakat adat harus diberi ruang untuk mengembangkan kearifan lokal dalam proses pembangunan daerah. Pemerintah, katanya, seperti janji presiden, akan mengupayakan pengakuan dan perlindungan masyarakat  hukum adat, baik secara ekonomi, sosial, dan budaya.

“Kami sebagai pembantu presiden akan mengeluarkan instruksi kembali untuk meminta pada seluruh kepala daerah memetakan, memberdayakan, agar nilai-nilai budaya, adat yang tersebar di seluruh wilayah bisa terjaga baik dan terhormat.”

Dia mengatakan, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat  merupakan tugas besar bersama. “Terutama masyarakat adat nusantara dan pemerintah serta elemen bangsa. Kita percepat pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat adat. Ini penting.”

Jadi, komitmen-komitmen presiden yang tertuang dalam Nawacita, ucap Tjahjo, merupakan kampanye politik yang harus dilaksanakan. “Saya Siti, akan menjadi bagian dari komitmen dan janji politik yang telah disusun dalam program jangka pendek, menengah dan panjang dan dijabarkan dalam RPJM. Tentu,  ini proses menuju pembangunan dengan lebih baik.”

Abdon Nababan, Sekjen AMAN mengatakan, awalnya berharap kehadiran kedua menteri yang mewakili presiden ini membawa kabar kongkret bagi masyarakat adat ternyata belum. Meskipun, kedua menteri mempertegas komitmen pemerintah akan memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat. “Kita pikir, misal,  ada kejelasan soal kapan pasti Satgas Masyarakat Adat terbentuk. Rupanya belum.”

Wali data peta adat

Meskipun Tjahjo berulangkali menegaskan soal percepatan pengakuan dan perlindungan hak-hak adat, namun kementerian ini belum menyiapkan infrastuktur buat menjadi walidata peta-peta wilayah adat. “Saat ini belum, kita masih siapkan infrastruktur. Nanti daerah yang pemetaan, saya sudah minta kepala daerah perhatikan,” kata Tjahjo usai acara.

Akhir, tahun lalu, Kepala BP REDD+, Heru Prasetyo mengatakan, Kemendagri siap menjadi wali data tetapi masih membangun infrastruktur, berupa kebijakan yang mengatur itu. Karena itulah, maka BP REDD+–yang kini lebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—bersedia menjadi wali data sementara.

Abdon mengatakan, akhir tahun lalu, AMAN sudah menyerahkan 4,8 juta hektar peta wilayah adat kepada BP REDD+ dan KLHK. “Sampai sekarang belum ada perkembangan.” Sampai saat ini, katanya, belum ada satupun lembaga pemerintah yang siap menjadi wali data peta-peta itu.

Komunitas adat di AMAN

Sementara itu, dalam usia 16 tahun ini, AMAN sudah mempunyai 21 pengurus wilayah, 107 pengurus daerah, tiga organisasi sayap, tiga badan otonom, dan 2.244 komunitas adat. “AMAN mengurus langsung, hampir 17 juta warga adat di seluruh nusantara,” kata Abdon.

Dalam rakernas AMAN yang berlangsung 16-19 Maret 2015 ini AMAN menerima 128 komunitas sebagai anggota baru, 64 dengan syarat dan mengeluarkan satu anggota. Kini, anggota AMAN menjadi 2.349 komunitas.

Dalam pernyataan resmi lewat website AMAN, menyebutkan, masyarakat adat di Aceh, menyatakan kembali bergabung dengan AMAN. Hein Namotemo, Ketua Dewan AMAN Nasional senang masyarakat adat Aceh ingin kembali bergabung. Aceh menyatakan keluar dari keanggotaan AMAN saat Kongres AMAN III 2007 di Pontianak.

Sumber : klik di sini

Share Button

Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah Kalimantan Timur Tak Kunjung Terbentuk, Apa Masalahnya?

Dua tahun sudah Pemerintah Kalimantan Timur mengeluarkan Peraturan Daerah (perda) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah yang mengamanatkan dibentuknya Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah (KPRPD). Dua kali pergantian kalender sudah, komisi yang ditunggu itu belum ada penampakannya. Padahal, bila mengacu perda tersebut, enam bulan setelah peraturan diterbitkan, KPRPD sudah bertugas. Nyatanya?

Saat ini, rancangan peraturan gubernur (ranpergub) mengenai pembentukan KPRPD berada di Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur. Ranpergub tersebut sudah melalui kajian dan telah mengakomodir berbagai masukan dari pemerintah, pengusaha, NGO, pemerhati lingkungan, hingga masyarakat. “Namun, hingga saat ini belum terlihat “geliat” yang baik menuju terbentuknya KPRPD. Jangankan masyarakat, kami juga mempertanyakan lambannya masalah ini,” tutur Najidah, anggota penyusun rancangan peraturan gubernur sekaligus akademisi Universitas Mulawarman, Samarinda.

Menurut Najidah, tidak adanya “geliat” ini, dikarenakan banyaknya kepentingan yang merecoki pembentukan komisi tersebut. Meski begitu, menurutnya, pengawasan reklamasi tambang harus terus dilakukan terlebih di Kalimantan Timur yang banyak mengalami kegagalan reklamasi.

Meski Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca-tambang telah menyebutkan aturan teknis terkait reklamasi tambang, namun dalam aturan tersebut belum sepenuhnya bisa diterapkan di daerah. “Kalimantan Timur kan banyak lubang menganga pasca-tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja. Nah, ketika lubang tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah maka aturan teknis tersebut harus dibuat melalui peraturan gubernur sebagai legitimasinya,” jelas Najidah.

Terkait tambang di Kalimantan Timur, lanjut Najidah, pengawasannya tidak cukup dilakukan melalui supervisi instansi sektoral saja, tapi juga harus melibatkan para ahli lingkungan dan masyarakat. Bila KPRPD hanya dihuni oleh dinas terkait saja misal, Dinas Pertambangan dan Energi, maka akan tidak maksimal hasilnya. “Nah, inilah pentingnya pembentukan KPRPD yang diharapkan dapat melakukan pengawasan dan perbaikan lingkungan.”

Najidah juga tidak menampik bila talik-ulur komposisi komisioner merupakan salah satu penyebabnya, selain isi ranpergub itu sendiri. Menurutnya, berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2013, keanggotaan KPRPD dibentuk melalui seleksi yang nantinya beranggotakan tujuh orang yang berasal dari kalangan profesional, ahli hukum, serta penugasan dari instansi pemerintah seperti Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan. “Harusnya komisi ini bebas intervensi, namun pemerintah provinsi menginginkan sebagian besar anggotanya dari instansi pemerintah,” jelasnya.

Padahal, dengan terbentuknya KPRPD akan membawa angin segar terhadap permasalahan pertambangan di Kalimantan Timur yang hingga kini masih menimbun beragam persoalan. “KPRPD akan memiliki kewenangan menerima laporan warga jika ada indikasi pidana dan dapat mengkoordinasikan langsung kepada instansi terkait. Misal, bila pengawasan reklamasi pertambangan yang dilakukan dinas tertentu tidak ada kemajuannya maka pengawasan selanjutnya dapat diambil alih oleh KPRPD,” ujar Najidah.

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, menganggap lambannya pembentukan komisi pengawas ini karena tidak ada kesungguhan dari Pemerintah Kalimantan Timur. Pasalnya, tanpa melalui perda, harusnya kegiatan reklamasi tetap dijalankan sebagimana yang tertuang dalam PP No 78 Tahun 2010. Sanksi juga jelas, hanya penegakan hukum yang belum dilakukan.

Menurut Merah, proses yang dilakukan menerjemahkan peraturan pemerintah menjadi peraturan daerah yang diwujudkan melalui komisi pengawas melalui peraturan gubernur sangat melelahkan. “Akibatnya, kini semua terjebak pada birokrasi. Padahal, tanpa adanya pergub kewajiban reklamasi telah diatur melalui peraturan pemerintah tadi,” tuturnya.

Carolus Tuah, dari Pokja 30 Samarinda, juga berpendapat, lambatnya pembentukan komisi tambang ini dikarenakan tidak adanya kepercayaan diri Pemerintah Kalimantan Timur, yang takut akan terjadi tumpang tindihnya kewenangan. Yaitu, antara inspektur tambang sejumlah 18 orang yang mengawasi 1.223 perusahaan dengan komisi pengawas yang bertugas selama dua tahun dan hanya boleh menjabat selama dua periode.  “Padahal, komisi ini sebagai lembaga pengawas, bukan lembaga yang berfungsi untuk mengeksekusi,” jelasnya, Senin (16/3/2015).

Menurut Tuah, agar permasalahan ini tidak berlarut, pemerintah provinsi dengan kabupaten atau kota harus membuat kesepakatan serah terima kewenangan. “Bila tidak berjalan, ada baiknya Kementerian ESDM menerbitkan peraturan tentang kewenangan perizinan pertambangan mineral dan batubara. Sehingga, sengkarut perizinan usai, dan komisi tambang punya pijakan yang jelas,” paparnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Rimbawan Siaga Lestarikan Hutan dan Lingkungan

BPTKSDA (Samboja, 18/02/2015)_Dalam rangka memperingati hari Bhakti Rimbawan tahun 2015 yang jatuh pada 16 Maret 2015, Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA) Samboja mengadakan beberapa kegiatan yang menekankan pada sumbangsih dan kebersamaan Rimbawan, khususnya rimbawan Balitek KSDA. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain penanaman pohon, aneka perlombaan dan donor darah pada tanggal 16, 17 dan 18 Maret 2015 di KHDTK Hutan Penelitian Samboja dan Kantor Balitek KSDA. Koordinator kegiatan, Suwarno, S.Sos., M.Si., mengungkapkan bahwa kegiatan ini dilakukan dengan sederhana dan menitikberatkan pada manfaat dan kebersamaan rimbawan sebagai landasan pelestarian hutan dan lingkungan. “Bukan hanya senang-senang, tapi apa yang bisa kita berikan untuk hutan dan lingkungan disekitar kita, termasuk masyarakat banyak, itu yang penting,” ujarnya.

Mengambil tema “Rimbawan Siaga Lestarikan Hutan dan Lingkungan” kegiatan yang dilaksanakan dengan sederhana ini memulai kegiatan dengan melakukan penanaman pohon di Km 6 KHDTK Hutan Penelitian Samboja, dengan jumlah bibit + 500 buah. 5Bibit yang ditanam adalah Ficus variegata dan Dryobalanops lanceolata. Acara ini diikuti oleh pegawai Balitek KSDA bersama Siswa SMK Kehutanan Samarinda yang sedang melaksanakan magang. Areal yang dijadikan lokasi penanaman merupakan semak belukar dan hutan sekunder muda akibat kebakaran dan perladangan liar. Dengan penanaman ini, diharapkan proses suksesi hutan dapat lebih cepat dengan penambahan jenis-jenis pohon dari ekosistem hutan primer. “Lokasi ini awalnya merupakan areal hutan yang memiliki potensi wisata dengan keberadaan beberapa titik sumber air panas,” ungkap Nanang Riana, pengelola KHDTK Hutan Penelitian Samboja. Seusai kegiatan penanaman, panitia kegiatan menggelar penarikan undian doorprize sembari peserta penanaman beristirahat.

13 16 Hari kedua rangkaian kegiatan Bhakti Rimbawan diisi dengan aneka perlombaan di halaman kantor Balitek KSDA. Perlombaan yang diadakan adalah lomba makan krupuk, lomba suap pisang, lomba balap balon, lomba balap bakiak dan ditutup dengan lomba tarik tambang. Acara yang berlangsung dengan semangat kebersamaan ini juga dimeriahkan dengan doorprize menarik hingga akhir kegiatan. Seluruh pegawai mengambil bagian dalam perlombaan ini, tak terkecuali Kepala Balai Balitek KSDA yang bersemangat untuk berlomba bersama peserta lainnya dalam lomba makan kerupuk dan balap bakiak. Walaupun belum bisa memenangkan perlombaan, terlihat keceriaan seluruh peserta ketika bisa mengikuti lomba-lomba tersebut.

1020Untuk mengakhiri rangkaian kegiatan Bhakti Rimbawan, pada hari ketiga dilakukan kegiatan donor darah oleh 20 pegawai Balitek KSDA yang difasilitasi oleh PMI RSUD Aji Bhatara Agung Dewa Sakti Samboja. Dengan kegiatan ini, kebersamaan dari pegawai Balitek KSDA diharapkan dapat ditingkatkan lagi untuk mempersiapkan diri menjadi rimbawan siaga lestarikan hutan dan lingkungan.***ADS

IMG_2805IMG_3112IMG_2971

Share Button

TNC Gandengkan Warga Dayak Gaai dengan Sumalindo

The Nature Conservancy (TNC) menjembatani kepentingan warga suku Dayak di empat kampung Kecamatan Segah, Berau, Kalimantan Timur, dengan perusahaan kayu untuk mewujudkan hutan lestari. Community Development Spesialist Segah-Lesan TNC Indah Astuti mengatakan kolaborasi ini tidak hanya mengurangi konflik antara penduduk dan perusahaan, juga mencegah kerusakan hutan lebih parah. “Karena masyarakat ikut mengawasi hutan yang ditebang oleh perusahaan,” kata Astuti di Kampung Long Laai, Kecamatan Segah, Berau, akhir pekan lalu.

Program hutan lestari adalah bagian dari misi besar Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Developing Countries (REDD+) yang dikembangkan pemerintah Indonesia. Kelompok konservasi TNC sejak 2010 termasuk terlibat dalam program tersebut dengan mengembangkan model pemberdayaan masyarakat kampung yang mereka sebut Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan dalam REDD+ (SIGAP-REDD+). Pendekatannya melibatkan masyarakat untuk menyusun rencana strategis dan rencana pembangunan, termasuk menata lahan dan ruang di dalam dan di luar kampung yang berupa hutan.

Kisah konflik-damai di hutan Segah, menurut Astuti, melibatkan PT Sumalindo Lestari Jaya, perusahaan kayu pemilik hak pengusahaan hutan seluas 100 ribu hektare di daerah ini. Dari luasan itu, 66 ribu hektare di antaranya kawasan hutan produksi terbatas. Perusahaan yang mendapat izin sejak 1990 itu menebang meranti.

Sebelum tercapai kesepakatan tertulis pada Juni 2004, masyarakat lima kampung di hutan yakni Kampung Long Laai, Long Ayap, Long Oking, Long Pay, dan Long Ayan merasa perusahaan kayu tersebut telah mengancam kehidupan mereka. Penduduk di lima kampung itu totalnya sekitar 1.400 jiwa. Sebagian besar adalah suku Dayak Gaai dan Punan yang hidupnya bergantung dengan hasil hutan. Merasa terancam, pada 1999 mereka mulai protes dan puncaknya menggelar unjuk rasa serta menghentikan kegiatan Sumalindo selama tiga tahun pada 2000-2003.

Dari konflik inilah, menurut Astuti, justru lahir model baru kemitraan antara masyarakat setempat dan perusahaan kayu Sumalindo. TNC bersama Pemerintah Kabupaten Berau memediasi konflik tersebut. Mereka menyepakati secara tertulis sejumlah poin, termasuk membentuk Badan Pengelola Segah yang berperan menentukan kawasan dan model pengelolaan hutan bersama masyarakat.

Ketua Pelaksana Badan Pengelola Segah Jones Lokan mengatakan dengan adanya kesepakatan itu, masyarakat empat kampung — sejak 2007 kampung Long Ayan keluar dari kesepakatan tersebut — memperoleh uang lebih banyak dari perusahaan kayu dibanding di lokasi lain. Kampung mereka memperoleh kompensasi Rp 3.000 dari setiap meter kubik kayu yang ditebang.

Selain itu, setiap jiwa di empat kampung setiap tahun masih memperoleh tambahan fee Rp 33 ribu dari setiap meter kubik kayu yang dipanen perusahaan. Anak yang baru lahir pun dapat fee, kata Jones, guru yang tinggal dan mengajar di Kampung Long Laai.

Tahun lalu, setiap kepala di empat kampung itu memperoleh fee sekitar Rp 200 ribu. Pemberian fee seperti ini tidak terjadi di kampung lain yang menjadi lokasi penebangan kayu legal.

Site Manager PT Sumalindo Lestari Jaya IV Andi Amiruddin mengakui perusahaannya kini lebih nyaman beroperasi dibanding sebelumnya. Kalau perusahaan mau langgeng mau tidak mau harus melibatkan masyarakat, ujar Andi yang sudah bergabung ke perusahaan tersebut sejak pertengahan 1980-an.

Sumber : Klik di sini

Share Button