Tandatangani Deklarasi Penyelamatan SDA di Depan Presiden

Pemerintah mewujudkan rencana penyelamatan sumber daya alam (SDA) dengan menandatangani Deklarasi Penyelamatan SDA Indonesia. Penandatanganan ini dilaksanakan oleh Pelaksana Tugas (Plt) KPK Taufiequrrahman Ruki, Jaksa Agung HM Prasetyo, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, dan Plt Kapolri Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti, serta 20 menteri dan 9 (sembilan) pimpinan lembaga.

Penandatanganan disaksikan oleh  Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Negara, Kamis (19/3).

Dalam sambutannya di penandatanganan itu, Presiden Jokowi mengajak para pejabat negara untuk menindaklanjuti kegiatan penyelamatan SDA Indonesia, tidak hanya sebatas upacara seremonial dan tandatangan belaka.

“Di sini semua sudah pernah menandatangani Pakta Integritas, tapi indeks prestasi korupsi kita masih jauh ketinggalan di urutan 107 dengan IPK 34.  Jadi yang penting adalah tindak lanjut dari pertemuan ini,” kata presiden.

Presiden juga menguraikan sejumlah kegagalan besar pemerintah Indonesia dalam mengelola SDA. Di antaranya pada tahun 1970-an pemerintah gagal mengelola sumber daya energi, khususnya minyak dan gas, pada saat dunia tengah booming.

Selanjutnya,  kata dia, di tahun 1980-an pemerintah gagal mengelola sumber daya alam, khususnya hasil hutan, pada saat pasar dunia  membutuhkan kayu. Dan di tahun 1990-2000an, tegasnya, pemerintah gagal mengelola sektor tambang.

“Itulah kesalahan besar jangan sampai kita ulang. Tidak ada yang bisa kita nikmati, berapa miliar itu. Kita ekspor batu bara besar-besaran, kita malah mendukung industrialisasi negara lain. Mereka kemudian memproduksi barang, yang kita beli dengan senang hati,” ungkap presiden.

Penandatanganan Deklarasi Penyelamatan SDA Indonesia itu, pinta presiden, hendaknya jadi mementum untuk mengingatkan kegagalan tersebut sebelum terlambat.

“Saya tadi dibisiki Menteri Kelautan, katanya ‘Pak belum terlambat’. Saya senang mendengar itu. Artinya  belum terlambat mengelola sumber daya alam laut kita,” kata presiden.

Sumber : klik di sini

Share Button

Menteri Ingatkan Wisata Desa Harus Berbasis Lingkungan

Menteri Desa, Pembangunan Daerah  Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) Marwan Jafar mengatakan, potensi wisata baru di pedesaan harus berbasis lingkungan. Sehingga, lingkungan sekitar tetap terjaga dan masyarakat tidak terimbas dampak buruk akibat pengelolaan yang tak baik.

‪”Wisata desa harus memerhatikan lingkungannya. Dibuat kawasan penghijauan, agar masyarakat yang datang betah dan akan terus berkunjung. Sehingga akan menambah ekonomi masyarakat desa,” ujarnya saat meninjau wisata Bukit Jamur, Desa Bungah, Gresik, Jawa Timur, Sabtu, (21/3).

Menurut Marwan, pandangannya lahir bukan tanpa alasan. Paling tidak wisata di Desa Bungah terbukti mampu menarik perhatian masyarakat, meski sebelumnya bekas galian C. Namun karena batu-batunya mirip jamur, orang menjadi penasaran untuk berkunjung.

‪”Tempat ini bagus. Infonya, pada akhir pekan selalu didatangi masyarakat yang ingin melihat keunikan batuan yang terbentuk seperti jamur. Cuma perlu ditata lingkungannya,” ujarnya.‬

‪Wisata desa, kata Marwan, harus dikelola dengan baik. Karena bisa menjadi tambahan ekonomi bagi masyarakat desa.

“Pengembangan desa-desa wisata baru,  harus dikembangkan dan ditata lebih bagus lagi,” ujarnya

‪Apabila ada tempat wisata potensial yang merupakan milik pribadi,  Marwan menilai sebaiknya tetap memerhatikan keterlibatan masyarakat. Agar bisa dikembangkan lebih baik.

“Nah kalau wisata desa yang sudah jalan, lebih baik dibentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), agar masyarakat juga terlibat,” ujarnya.‬

Sumber : Klik di sini

Share Button

Menteri Siti Pastikan Perpanjangan Moratorium Izin Hutan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memastikan kebijakan moratorium izin di hutan dan lahan gambut yang bakal berakhir Mei 2015, berlanjut. Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, dari hasil rapat kerja di Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolkam) memutuskan moratorium diperpanjang. “Itu kita lanjutkan, tak boleh ada izin baru di hutan dan gambut,” katanya di Jakarta, Senin (23/3/15).

Dia mengatakan, dengan ada peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) maka bisa menjadi alat kontrol bagi pemerintah. Kebijakan moratorium ini, katanya, dibarengi kaji ulang perizinan oleh Kementerian LHK.  “Review perizinan terus jalan. Ada timreview perizinan dan audit satwa. Ini sedang proses. Minggu ini saya rapiin seluruhnya,” ujar dia.

Menurut dia, tak mudah mempersiapkan semua agar segera berjalan. Terlebih, kementerian ini sedang menyiapkan pemilihan eselon satu. “Itu tak mudah.  Semua harus jalan, gak boleh ada yang berhenti.”

Penguatan subtansi

Teguh Surya, dari Greenpeace Indonesia, menyambut baik komitmen perpanjangan moratorium zin hutan dan lahan gambut. Namun, katanya, tanpa penguatan subtansi tak akan banyak membantu presiden dalam mencapai target perbaikan tata kelola kehutanan dan penurunan emisi.

“Misal, pengecualian pada Inpres 2013 harus dihapuskan,” katanya di Jakarta. Pengecualian dalam inpres moratorium itu, tak berlaku pada izin-izin yang telah mendapatkan izin prinsip.

Selain itu, kata Teguh, seharusnya, review perizinan dan langkah-langkahnya jelas tercantum dalam perpanjangan moratorium pasca Mei 2015. Terpenting, katanya, perpanjangan dan penguatan moratorium harus pada posisi mengawali peta jalan Indonesia menuju nol deforestasi 2020.

“Semua itu bisa dicapai jika perpanjangan moratorium diikuti penguatan subtansi dan pengawasan ketat. Legal basis perpanjangan moratorium ini minimal peraturan presiden.”

Kebijakan moratorium izin ini diawali kala era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Mei 2011. Perpanjangan kedua, pada Mei 2013-Mei 2015. Kali ini, presiden baru, Joko Widodo, melanjutkan perpanjangan ketiga.

Sumber : klik di sini

Share Button

TNBBBR, Rumah Nyaman Bagi Orangutan Kalimantan

Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) yang lokasinya berada di kabupaten Sintang dan Melawi (Kalimantan Barat), serta Katingan (Kalimantan Tengah) kini akan menjadi rumah yang nyaman bagi orangutan kalimantan. Sejumlah orangutan yang telah direhabilitasi, akan dilepasliarkan di kawasan konservasi seluas 181.090 hektar ini.

Penandatanganan kerja sama antara TNBBBR dengan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), penanggung jawab terhadap pelepasliaran tersebut, dilakukan di Kantor Balai TNBBBR di Nanga Pinoh, Melawi, yang disaksikan langsung Wakil Bupati Melawi, Panji, pertengahan Maret lalu.

Kepala Balai TNBBBR, Bambang Sukendro, mengungkapkan kerja sama ini merupakan tindak lanjut dari kesepahaman antara Kementerian Kehutanan sebelumnya dengan YIARI.

“Dalam pelestarian orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), ada tiga langkah yang harus dilakukan yaitu penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasan ke alam liar. Pihak TNBBBR memfasilitasi pelepasan orangutan di taman nasional ini,” ujarnya.

Bambang mengungkapkan, ada beberapa hal yang ingin dicapai dari kerja sama ini. Diantaranya adalah pendayagunaan TNBBBR sebagai lokasi pelepasan orangutan kalimantan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan penyelamatan, perlindungan dan konservasi satwa liar, serta edukasi pada masyarakat pentingnya melestarikan orangutan di taman nasional.

“Kerja sama ini diawali dengan kajian kelayakan habitat, survei sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat, serta survei masyarakat yang berada di sekitar taman nasional,” tuturnya.

Bambang mengatakan dukungan Pemerintah Kabupaten Melawi sangat dibutuhkan pada program yang berlangsung hingga lima tahun ini. Bila program berhasil, pelepasliaran akan berlanjut hingga orangutan kalimantan benar-benar nyaman di TNBBBR.

Ketua YIARI, Tantiyo Bangun, menuturkan pemilihan TNBBBR sebagai lokasi pelepasliaran orangutan kalimantan karena wilayah berhutan di taman nasional ini masih baik. “Aksesnya mudah dan potensi pengembangan ekowisatanya menjanjikan. Kami akan memulainya dari Melawi,” ujarnya.

Tantiyo menjelaskan, tahun pertama ini, jumlah orangutan yang akan dilepasliarkan sebanyak lima individu. Diikuti dengan jumlah yang sama di tahun berikutnya. “Orangutan tersebut telah menjalani rehabilitasi di Ketapang yang dulunya pernah dipelihara atau juga yang berhasil diselamatkan dari perkebunan. “Diperkirakan, total orangutan kalimantan saat ini sekitar 42 ribu individu yang habitatnya terus terancam akibat pembukaan hutan untuk perkebunan atau juga karena kebakaran.”

 

Peta Distribusi Orangutan di Indonesia. Sumber: www.forina.or.id

Wakil Bupati Melawi, Panji, menegaskan komitmen Pemerintah Kabupaten Melawi dalam mendukung konservasi orangutan ini. “Sudah seharusnya banyak pihak yang peduli terhadap persoalan ini. Karena pada prinsipnya, lingkungan hidup adalah bagian dari hidup kita yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.

Panji juga menegaskan dirinya sangat membenci orang yang membunuh orangutan, baik karena alasan ekonomi maupun karena keserakahan. “Kita juga berharap konservasi orangutan bisa dilakukan di wilayah lain, seperti Bukit Saran, yang dulunya banyak orangutan namun kini berkurang akibat diburu.”

Sukartaji, Direktur Suar Institute, lembaga lokal di Melawi yang fokus terhadap isu-isu lingkungan mengungkapkan, lembaganya pernah melakukan survei orangutan di sejumlah desa dan kecamatan di Melawi melalui metode wawancara. “Dari wawancara itu diketahui, keberadaan orangutan masih ada di sejumlah kawasan hutan. Keberadaan orangutan tersebut, jauh dari pemukiman warga,” jelasnya.

Tahun 2013 juga, Suar menemukan sarang orangutan saat melakukan survei nilai konservasi tinggi (NKT) hutan di wilayah Desa Senempak dan Poring, Kecamatan Pinoh Selatan. Hutan Poring dinilai memiliki NKT lengkap karena sejumlah satwa dilindungi masih berada di wilayah tersebut.

Sumber : klik di sini

 

Share Button

Cara Unik dalam Upaya Konservasi Elang

Satu kelompok konservasi menawarkan apa yang bisa dilihat dari seekor burung itu hari Sabtu (14/3) dengan memasang kamera video kecil di belakang Darshan, elang yang terbang dari atas menara tertinggi di dunia.

Inilah pemandangan yang sebenarnya dari seekor burung. Satu kelompok konservasi menawarkan apa yang bisa dilihat dari seekor burung itu hari Sabtu dengan memasang kamera video kecil di belakang Darshan, elang yang terbang dari atas Burj Khalifa di Dubai, menara tertinggi di dunia.

Darshan terbang sekitar 830 meter, menawarkan pemandangan menakjubkan ibukota perdagangan Uni Emirat Arab. Apa yang dilihat elang tersebut, terbang di sekitar Burj Khalifa, disaksikan langsung oleh orang-orang di darat, termasuk gerakannya berputar-putar mengitari lengan seorang laki-laki di darat.

Pertunjukan itu disebut Freedom Conservation. Kelompok tersebut mengatakan apa yang mereka lakukan itu guna menarik lebih banyak perhatian terhadap konservasi elang.

Sumber : klik di sini

Share Button

Menyelamatkan Hutan TN Meru Betiri Dengan Memakmurkan Masyarakat. Kok Bisa?

Meski berstatus taman nasional, kawasan Meru Betiri memiliki ribuan hektar lahan kritis hutan. Berbagai cara dilakukan untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut, salah satunya adalah dengan cara memberdayakan masyarakat.

Pihak Taman Nasional (TN) Meru Betiri berhasil merehabilitasi lahan kritis dengan cara dengan menggandeng masyarakat sekitar untuk bekerjasama mengelola lahan seluas 7 hektar, sekaligus mencegah upaya pembalakan kayu hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Keterlibatan masyarakat menjadi penting ditengah minimnya upaya pemerintah serta aparatur terkait dalam menjaga kelestarian hutan. Program rehabilitasi bersama masyarakat saat ini telah dilakukan pada lahan seluas 4.023 hektar, dilakukan dengan menanam tanaman ekonomis berdimensi konservasi.

Menurut Nurhadi selaku Direktur Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), LSM yang didirikan dari dan oleh masyarakat setempat, kegiatan rehabilitasi lahan merupakan cara yang efektif untuk menjaga serta melestarikan hutan, karena didalamnya juga berlangsung proses penguatan ekonomi masyarakat, melalui pemanfaatan lahan serta tanaman hutan tanpa harus menebang pohon.

“Masyarakat dapat menghasilkan tanaman tumpangsari disamping tanaman pokok hutan yang ditanam. Ini agar masyarakat aktif melakukan kegiatan rehabilitasi hutan di lahan rehabilitasi, serta mengelola dan mendapatkan hasilnya untuk meningkatkan ekonomi keluarga,” ujar Nurhadi.

Dalam program rehabilitasi itu, masyarakat mendapat izin menanam dan mengelola tanamam pokok dan tanaman tumpangsari pada lahan yang masih gundul, tetapi lahan tetap milik TN Meru Betiri. Sekarang lahan menjadi hjau dan rimbun.

“Setelah lahan digarap masyarakat, masyarakat menerima manfaar dari tanaman tumpang sari, sedangkan Taman Nasional menerima manfaat dari tanaman pokoknya, artinya pohonnya ada lagi,” tutur Abdul Halim Fanani, warga Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jatim yang berharap sinergi semacam ini dapat terus terbina.

Abdul mengatakan legalitas hak pengelolaan pada lahan kritis kepada masyarakat menjadi penting ada kawasan konservasi seperti di TN Meru Betiri, agar tidak bermasalah dengan hukum.

“Legalitas, dimana masyarakat diberikan hak resmi tertulis untuk mengelola hutan. Kalau bicara konservasi itu sangat kaku, tapi pertanyaannya mampukah pemerintah kita melakukan itu. Maka alternatifnya adalah keterlibatan masyarakat dalam membantu konservasi,” kata Abdul Halim yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Urusan Keamanan Desa.

Tingkat pendidikan masyarakat desa yang masih tergolong rendah, bukanlah halangan untuk peduli konservasi hutan pasca terjadinya penjarahan kayu di hutan.

Kepedulian konservasi masyarakat, kata Abdul, berawal dari perkenalan dengan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) yang memberikan pemahaman tentang lingkungan di kawasan hutan TN Meru Betiri.

“Masyarakat tidak serta merta mau ikut apalagi ini terkait dengan lingkungan, yang harus memberi pemahaman mengenai dampak ketika hutan terbakar atau gundul, maka masyarakat yang tinggal dekat dengan hutan adalah kuncinya,” katanya.

Untuk menampung dan mengelola hasil panen tumpangsari dari program rehabilitasi itu, didirikan koperasi bernama Multi Usaha Lestari.

“Saat ini petani sudah bisa mengelola hasil dari lahan rehabilitasi berupa keripik nangka. Kalau buah nangka dulunya dijual seperti biasa itu kurang menguntungkan, dengan dijadikan keripik nangka bisa mendatangkan nilai lebih,” papar Nurhadi.

Selain keripik nangka juga ada hasil buah-buahan lainnya serta buah hasil pohon hutan seperti kemiri, kedawung, dan pakem. Ibu-ibu rumah tangga juga turut memanfaatkan tanaman hasil hutan rehabilitasi seluas 7 hektar, dalam bentuk pengolahan dan pembuatan jamu tradisional dari tanaman obat.

“Dari pekarangan dan di lahan rehabilitasi serta di dalam hutan kami memperoleh kapulogo, kemukus, cabe jawa, ada juga kayu rapat. Kami bersyukur karena orang yang sakit dan tidak dapat sembuh secara medis, dapat diobati dan sembuh dengan ramuan Toga (tanaman obat keluarga),” ujar Katemi, Ketua Kelompok Toga Sumber Waras, Desa Andongrejo.

Ada sekitar 70 jenis dari 300-350 bibit tanaman obat dari hutan yang berhasil dibudidayakan di pekarangan warga dan diolah untuk dijual menjadi jamu tradisional yang meningkatkan perekonomian warga.

“Manfaat obat dari Taman Nasional Meru Betiri cukup membantu, baik untuk menyembuhkan penyakit maupun menambah pendapatan dari menjual jamu,” tambah Katemi yang mengaku telah menerima pesanan jamu tradisional dari berbagai daerah dan luar pulau Jawa.

Sedangkan Kepala Resort Andongrejo, TN Meru Betiri, Heman Sutresna mengatakan, kerjasama pengelolaan hutan di lahan rehabilitasi telah banyak membantu Taman Nasional menghijaukan kembali kawasan yang kritis.

“Pasca reformasi terjadi penjarahan kayu secara besar-besaran di Meru Betiri, dengan merintis kegiatan rehabilitasi kawasan hutan yang kritis bersama masyarakat, tugas kami dalam menjaga hutan menjadi terbantu,” kata Heman.

Terdapat 4 desa yang berbatasan langsung dengan TN Meru Betiri, yaitu Desa Curahnongko, Andongrejo, Sanenrojo, dan Wonoasri, dimana terdapat 24 kelompok petani hutan di Desa Curahnongko dan 18 kelompok petani hutan di Desa Andongrejo, yang diajak bekerjasama mengembalikan fungsi hutan.

Pada seluruh kawasan Taman nasional Meru Betiri yang masih perlu direhabilitasi, tercatat seluas 2.773 hektar berdasarkan review zonasi yang dilakukan pada tahun 2011.

“Dari semua upaya yang telah kita lakukan, masih ada 60 persen lahan kritis yang belum direhabilitasi, peran masyarakat sangat penting bagi kami karena mereka sangat membantu menghijaukan kembali lahan yang kritis,” ujarnya.

Heman mengungkapkan, kendala yang dihadapi hingga kini adalah pemahaman masyarakat yang masih suka menanam tanaman pertanian, yang mendatangkan keuntungan untuk jangka pendek. Sedangkan tanaman hutan justru dapat mendatangkan nilai ekonomis yang lebih tinggi, dengan memanen buah tanaman pokok tanpa biaya perawatan.

“Belum semua masyarakat menyadari pentingnya melestarikan hutan, banyak juga yang kurang peduli, diberi bibit gratis tapi tidak mau menanam. Kami memberikan pemahaman bahwa menanam untuk masa depan, tidak hari ini tapi paling tidak 5 tahun baru bisa dinikmati hasilnya,” tutur Heman.

Selain minimnya sumber daya yang dimiliki TN, Heman menambahkan bahwa belum semua masyarakat peduli terhadap pelestarian dan rehabilitasi hutan. Persoalan pendidikan masyarakat yang masih rendah serta alasan ekonomi menjadikan upaya rehabilitasi hutan berjalan lambat.

Namun demikian, kelompok masyarakat petani hutan seperti di Curahnongko dan Andongrejo menjadi contoh yang baik dalam rangka menyadarkan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat, mengenai konservasi yang mendatangkan keuntungan bagi perekonomian masyarakat.

“Masyarakat sekitar hutan adalah yang paling terdampak bila hutan gundul dan rawan bencana. Kami berharap banyak masyarakat di sekitar kawasan hutan lainnya, ikut terlibat dalam upaya pelestarian serta rehabilitasi hutan dan tetap memperoleh keuntungan,” tandasnya.

Fasilitator dari LATIN, Kaswinto menambahkan, model pengelolaan lahan kritis melalui program rehabilitasi 7 hektar di Curahnongko dan Andongrejo, dapat dijadikan contoh pemanfaatan lahan kritis lainnya di hutan. Model pelibatan masyarakat untuk menanami lahan kritis, juga menjadi cara efektif bagi pemerintah untuk menjaga hutan dari penebangan liar seperti sebelumnya.

“Buktinya saat yang lain ditebangi, tidak ada satu pun pohon yang ditebang di lahan 7 hektar yang dikelola petani. Ini bukti masyarakat sebenarnya mampu ikut menjaga hutan, asalkan masyarakat juga diperkenankan mengambil manfaat dari hutan,” pungkas Kaswinto.

Sumber : klik di sini

Share Button