Selain sebagai penjaga ekosistem dan habitat satwa, hutan di kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) di Jember, Jawa Timur, bakal dijadikan kawasan percontohan perdagangan karbon dari aktivitas penanaman pohon di lokasi lahan rehabilitasi hutan dengan menggandeng menggandeng masyarakat desa.
Pihak TN Meru Betiri telah menggandeng masyarakat, untuk ikut merehabilitasi lahan kritis seluas lebih dari 4.000 hektar, dengan memberikan hak pengelolaan lahan kepada masyarakat untuk ditanami tanaman pokok atau pohon tegakan. Program berhasil menghijaukan kembali lahan kritis tersebut.
Keberhasilan program tersebut, bisa dikompensasikan melalui skema perdagangan karbon. Arif Aliadi dari Konsorsium Pengelola Jasa Lingkungan Indonesia, kegiatan masyarakat untuk mencegah deforestasi dan kerusakan hutan perlu mendapatkan apresiasi dalam bentuk uang, dari hasil upaya menanam pohon yang memenuhi syarat untuk penyerapan karbon.
“Masyarakat di sekitar hutan harus difasilitasi agar ikut mempertahankan hutan. Kalau mereka mempertahankan hutan, maka mereka akan memperoleh benefitnya, selain hasil hutan juga uang dari penjualan karbon,” papar Alief.
Alief yang juga fasilitator dari Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) menambahkan Indonesia belum pernah melakukan program perdagangan karbon pasca Kyoto Protokol (2008-2012).
Hingga saat ini pihaknya masih melakukan sosialisasi dan pengenalan kepada masyarakat, untuk mengetahui mengenai bagaimana dan apa saja keuntungan yang dapat diperoleh dari perdagangan karbon.
“Sampai sekarang di Indonesia belum ada, justru dari program ini kami berharap menjadi yang pertama untuk menarik pembeli,” ujar Alief yang mengaku sedang menjajaki kerjasama dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang peduli lingkungan, untuk bergabung dengan program ini.
LATIN sedang memfasilitasi masyarakat yang bersedia terlibat dalam program rehabilitasi hutan untuk mendapatkan sertifikat perdagangan karbon setelah tahapan MRV (monitoring, reporting and verificating) dilakukan di lokasi.
“Kalau mereka mau mempertahankan hutan maka akan ada benefitnya, ini petingnya kenapa kita dorong untuk mendapat sertifikasi. Karena dengan itu mereka punya komitmen mempertahankan, dan akan ada insentif atau nilai tambah dari karbon itu,” kata Alief.
Sertifikat didapatkan setelah ada kesepakatan kemampuan masyarakat menahan laju deforestasi dalam sekian waktu ke depan, dan akan dihitung emisi karbon yang berhasil ditahan.
“Misal dalam 10 tahun terdapat 400 hektar hutan yang mengalami deforestasi, kalau masyarakat tidak ingin hutannya rusak maka berapa luas hutan yang sanggup ditahan deforestasinya oleh masyarakat. Misalkan 50 persennya bisa ditahan, berarti masyarakat menjanjikan mempertahankan 200 hektar. Maka inilah komitmen masyarakat yang nantinya akan diajukan sertifikatnya yang kemudian dapat dijual, berisi komitmen masyarakat menurunkan emisi,” terang Alief.
Perdagangan karbon dari sektor hutan ini masuk dalam skema REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation). Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk menurunkan 26 persen emisi gas rumah kaca pada 2020.
Setiap tahunnya Bank Dunia menyiapkan dana 2-20 miliar USD, untuk penanganan deforestasi bagi negara berkembang, yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia yang memiliki hutan seluas lebih dari 88 juta hektar.
Alief mengatakan, pada dasarnya semua tanaman yang berkayu dapat menyimpan karbon, karena karbon disimpan di dalam pohon. Kandungan karbon dapat diketahui dengan mengetahui berat jenis pohon. Semakin tinggi berat jenis pohon akan semakin tinggi kandungan kayu, maka nilai karbonnya juga semakin tinggi.
“Secara fisik karbon merupakan arang, dimana dalam konteks penjualan karbon bukan berarti kita tebang pohon dan dijadikan arang lalu kita jual. Tapi yang kita jual adalah bagaimana pohon itu tidak menjadi arang, tidak ditebang, tidak dibakar.Yang akan kita jual adalah usaha kita untuk mempertahankan pohon itu agar tidak menjadi arang,” tuturnya.
Alief menyebutkan beberapa contoh jenis pohon yang mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar, antara lain trembesi, joho lawe, kedawung, dan bintungan, yang memiliki kemampuan tumbuh dengan cepat dan memiliki cabang yang banyak.
“Ketika melakukan rehabilitasi hutan, tentu semakin banyak pohon yang ditanam. Semakin banyak pohon yang tumbuh besar dan rimbun, maka kemampuan menyimpan karbon juga semakin banyak,” imbuhnya.
Sementara itu Direktur Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), Nurhadi, mengatakan melalui mekanisme karbon ini masyarakat dapat terbantu untuk membangun sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
“Salah satu skema dari karbon ini adalah kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari, disamping perlu juga untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Carbon trading ini merupakan bentuk apresiasi kepada masyarakat yang telah menanam pohon di hutan yang gundul,” kata Nurhadi yang juga merupakan warga Jember.
TN Meru Betiri seluas 58.000 hektar ini telah menyiapkan 40 Plot Sampel Permanen (PSP), dengan masing-masing berukuran 40 meter x 100 meter. PSP itu nantinya akan ditanami jenis pohon yang dapat dimanfaatkan buahnya, tanpa perlu menebang pohonnya.
Sejauh ini masyarakat di Desa Curahnongko dan Desa Andongrejo kata Nurhadi, sangat antusias terhadap rencana pelaksanaan program perdagangan karbon. Dengan melindungi hutan yang menjadi penghidupan mereka sehari-hari, maka kebutuhan hidup masyarakat dapat lebih terjamin.
“Dana yang nanti kita peroleh akan kita kembalikan lagi untuk merehabilitasi kawasan hutan, tentu nanti akan ada skemanya. Misal kalau 100 persen dari biaya yang didapatkan, maka 60 persen untuk rehabilitasi, 40 persen untuk kegiatan usaha produktif dan penguatan kelembagaan,” sambungnya.
Namun demikian Nurhadi mengakui tidak mudah mengajak seluruh masyarakat merehabilitasi hutan untuk dapat dijual karbonnya kepada negara maju maupun perusahaan. Tantangan terletak pada pemahaman masyarakat yang lebih suka menanam tanaman pertanian, yang mendatangkan keuntungan jangka pendek. Dengan begitu cukup sulit memenuhi target pohon yang harus ditanam, untuk dapat menghasilkan uang dari penjualan karbon.
“Kita sedang cari tanaman yang punya nilai ekonomi lebih tinggi dari tanaman pertanian. Tanaman obat sudah dicoba tapi belum semua masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari itu,” tandasnya.
Perdagangan karbon merupakan skema kompensasi pendanaan yang diberikan oleh negara-negara maju atau pihak swasta yang telah mengemisi gas GRK penyebab perubahan iklim, kepada negara berkembang atau pihak lain yang berhasil menahan emisi gas GRK melalui berbagai program seperti REDD+.
Maka menjadi peluang bagi pemilik hutan seperti Indonesia, Papua Nugini, Afrika dan Amerika Latin memperoleh dana dari perdagangan karbon tersebut.
“Dengan project karbon ini, kita selalu mengkaitkan dengan rehabilitasi hutan, karena itu kegiatan sehari-hari yang dilakukan masyarakat,” tambah Alief.
Sumber : klik disini