Pagi itu, ratusan masyarakat adat dari berbagai penjuru nusantara, berpakaian adat bersiap memasuki Lapangan Waronai, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Itulah tempat pembukaan rapat kerja nasional (rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara IV. Sebelum masuk, di pintu gerbang ada ritual penyambutan. Para pemimpin adat berada di jajaran depan. Antara lain tampak Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat dan Ketua Dewan AMAN Nasional, Hein Namotemo, juga Bupati Halmahera Utara.
Tali penutup jalan digunting, penanda pemilik wilayah adat di Sorong, menerima para tamu dari berbagai daerah itu masuk. Beberapa pejabat juga baru tiba. Ada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Gubernur Papua Barat Abraham Octavianus Atururi, dan jajaran pimpinan daerah Papua Barat, yang lain. Tak lama, Tjahjo Kumolo Menteri Dalam Negeri, juga datang. Dia disambut tarian selamat datang.
Pada 17 Maret itu, AMAN tak hanya rakernas. Itu juga hari ulang tahun ke-16 organisasi ini, sekaligus memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat. Tjahjo Kumolo dan Siti Nurbaya, hadir mewakili Presiden Joko Widodo.
“Kami menyampaikan sambutan atas nama pemerintah. Moga rakernas dan Hut ke-16 moga bisa lahirkan pikiran buat menata kekuatan masyarakat adat sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan negara Indonesia,” kata Tjahjo.
Sebelum Indonesia, berdiri, katanya, masyarakat adat sudah ada lebih dulu. “Jadi masyarakat adat nusantara, harus mampu jadi perekat kebhinekaan, dan kekuatan bangsa yang besar.”
Untuk itu, dia atas nama pemerintah dan Mendagri, meminta seluruh bupati dan walikota serius memberikan perhatian kepada desa dan wilayah adat di daerah masing-masing. “Lakukan pendataan, penataan, hingga jelas mana hak-hak adat., yang merupakan daerah yang harus dihargai,” ujar dia.
Sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, menjadi angin segar perjuangan masyarakat adat Indonesia. Masyarakat adat, kata Tjahjo, memiliki hak, kewenangan kongkrit untuk mengelola adat, sosial, kultural, sampai ekonomi. “Ini bagian di mana ada hak tradisional tersimpan yang melekat pada masyarakat hukum adat.”
Dia menyadari, pengabaian pengakuan hak-hak kepada masyarakat adat selama ini menciptakan ketidakpercayaan kepada pemerintah dan benturan-benturan di lapangan. “Ke depan harus dihilangkan.”
Guna membangun struktur sosial, ekonomi, dan politik dalam mendukung pemberdayaan, katanya, masyarakat adat harus diberi ruang untuk mengembangkan kearifan lokal dalam proses pembangunan daerah. Pemerintah, katanya, seperti janji presiden, akan mengupayakan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, baik secara ekonomi, sosial, dan budaya.
“Kami sebagai pembantu presiden akan mengeluarkan instruksi kembali untuk meminta pada seluruh kepala daerah memetakan, memberdayakan, agar nilai-nilai budaya, adat yang tersebar di seluruh wilayah bisa terjaga baik dan terhormat.”
Dia mengatakan, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat merupakan tugas besar bersama. “Terutama masyarakat adat nusantara dan pemerintah serta elemen bangsa. Kita percepat pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat adat. Ini penting.”
Jadi, komitmen-komitmen presiden yang tertuang dalam Nawacita, ucap Tjahjo, merupakan kampanye politik yang harus dilaksanakan. “Saya Siti, akan menjadi bagian dari komitmen dan janji politik yang telah disusun dalam program jangka pendek, menengah dan panjang dan dijabarkan dalam RPJM. Tentu, ini proses menuju pembangunan dengan lebih baik.”
Abdon Nababan, Sekjen AMAN mengatakan, awalnya berharap kehadiran kedua menteri yang mewakili presiden ini membawa kabar kongkret bagi masyarakat adat ternyata belum. Meskipun, kedua menteri mempertegas komitmen pemerintah akan memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat. “Kita pikir, misal, ada kejelasan soal kapan pasti Satgas Masyarakat Adat terbentuk. Rupanya belum.”
Wali data peta adat
Meskipun Tjahjo berulangkali menegaskan soal percepatan pengakuan dan perlindungan hak-hak adat, namun kementerian ini belum menyiapkan infrastuktur buat menjadi walidata peta-peta wilayah adat. “Saat ini belum, kita masih siapkan infrastruktur. Nanti daerah yang pemetaan, saya sudah minta kepala daerah perhatikan,” kata Tjahjo usai acara.
Akhir, tahun lalu, Kepala BP REDD+, Heru Prasetyo mengatakan, Kemendagri siap menjadi wali data tetapi masih membangun infrastruktur, berupa kebijakan yang mengatur itu. Karena itulah, maka BP REDD+–yang kini lebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—bersedia menjadi wali data sementara.
Abdon mengatakan, akhir tahun lalu, AMAN sudah menyerahkan 4,8 juta hektar peta wilayah adat kepada BP REDD+ dan KLHK. “Sampai sekarang belum ada perkembangan.” Sampai saat ini, katanya, belum ada satupun lembaga pemerintah yang siap menjadi wali data peta-peta itu.
Komunitas adat di AMAN
Sementara itu, dalam usia 16 tahun ini, AMAN sudah mempunyai 21 pengurus wilayah, 107 pengurus daerah, tiga organisasi sayap, tiga badan otonom, dan 2.244 komunitas adat. “AMAN mengurus langsung, hampir 17 juta warga adat di seluruh nusantara,” kata Abdon.
Dalam rakernas AMAN yang berlangsung 16-19 Maret 2015 ini AMAN menerima 128 komunitas sebagai anggota baru, 64 dengan syarat dan mengeluarkan satu anggota. Kini, anggota AMAN menjadi 2.349 komunitas.
Dalam pernyataan resmi lewat website AMAN, menyebutkan, masyarakat adat di Aceh, menyatakan kembali bergabung dengan AMAN. Hein Namotemo, Ketua Dewan AMAN Nasional senang masyarakat adat Aceh ingin kembali bergabung. Aceh menyatakan keluar dari keanggotaan AMAN saat Kongres AMAN III 2007 di Pontianak.
Sumber : klik di sini