KPK: Kawasan Hutan Tak Jelas Bikin Masalah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, ketidakjelasan status kawasan hutan, menimbulkan masalah seperti tumpang tindih perizinan antar perusahaan maupun lahan masyarakat. Bahkan, ada izin di hutan konservasi dan lindung. Data KPK, pada 2014 setidaknya 1,3 juta hektar izin tambang dalam kawasan hutan konservasi dan 4,9 juta hektar di hutan lindung.

Taufiquerachman Ruki, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK mengatakan, tumpang tindih pertambangan di kawasan hutan juga terjadi di Sumatera Bagian Utara, seperti Sumatera Utara, Aceh, Riau, dan Sumatera Barat. Di Aceh, 31.000 hektar hutan konservasi, dan 4,9 juta hektar hutan lindung, salah satu di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Di Sumut, tumpang tindih izin pertambangan 2.200 hektar di hutan konservasi, 136 ribu hektar hutan lindung. Di Sumbar, 190.000 hektar hutan konservasi, dan 97.000 hektar hutan lindung. Untuk Riau, tumpang tindih 240.000 hektar di hutan konservasi, dan 10.000 hektar hutan lindung.

“Masalah ini sangat penting dituntaskan. Sinergitas sangat diperlukan. Pengelolaan sumberdaya manusia, tanggung jawab seluruh elemen bangsa, ” katanya, dalam monitoring dan evaluasi gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam di Medan, Selasa (24/3/15). Acara ini juga dihadiri Dian Patria, Ketua Tim Kajian Sumberdaya Alam, Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK, empat gubernur se-Sumbagut dan 18 kementerian/lembaga, serta bupati/walikota dari Aceh, Sumbar, Sumut, dan Riau.

Pengusutan dan penyelidikan soal ini, katanya, akan dilakukan. Dengan data itu, KPK akan ‘menguliti’ satu persatu, siapa yang bertanggungjawab.

Dia mengatakan, kehancuran sektor kehutanan dan pertambangan ini, terjadi karena semrawut-nya sistem yang terjadi di Indonesia. Ini sesuai fakta yang ditemukan adanya masalah tumpang tindih perizinan hingga beroperasi dikawasan hutan.

KPK, juga menemukan tumpang tindih izin antara kuasa pertambangan dengan pemilik hak guna usaha (HGU), antara PKP2P dengan kehutanan, dan industri dengan usaha pertambangan masyarakat.

Menurut dia, beberapa kepala daerah sudah sadar. Pengusaha ada yang mengembalikan izin, karena tumpang tindih.“Ada juga bupati tegas mencabut IUP.”

“Semua pelan-pelan kita tangani. Iumpang tindih izin tambang sudah lebih 15 tahun. Ini harus dibereskan. Siapa yang bertanggungjawab akan menanggung apa yang dilakukan. Satu persatu kita kuliti dan teliti.”

Ratusan izin tambang bermasalah

KPK juga sedang fokus memonitoring dan evaluasi gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam Indonesia. Data KPK, di Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), empat provinsi izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah alias non clean and clear (CNC), yaitu Sumatera Barat, Aceh, Riau, dan Sumut. Di empat provinsi itu, ada 706 IUP status CNC, dan 695 IUP non CNC.

Dari 113 IUP di Aceh, ada 94 IUP kurang bayar, senilai Rp22,6 miliar untuk iuran tetap, dan Rp59,2 juta royalti. Di Riau, ada 71 dari 90 IUP kurang bayar, iuran tetap senilai Rp17,1 miliar, dan royalti Rp3,6 miliar.

Sedangkan di Sumbar, dari 212 IUP, 159 kurang bayar, iuran tetap Rp12,9 miliar, dan royalti Rp2 miliar. Di Sumut, dari 32 IUP, 28 kurang bayar senilai Rp 8,1 miliar untuk iuran tetap.

Ruki, menyatakan,  dari tata kelola, ada persoalan piutang negara dari pemegang IUP mineral dan batubara. Terdapat 352 IUP kurang bayar di empat provinsi itu, katanya, lebih Rp66,5 miliar. Iuran tetap Rp60,7 miliar, dan royalti Rp5,7 miliar.

“Ini terjadi dalam 2011-2013. Hasil kajian KPK sektor mineral dan batubara, juga menemukan 2014 tidak semua eksportir batubara, melaporkan hasil pada pemerintah. Ini berpotensi kerugian negara.”

Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut dan tiga perwakilan gubernur yang hadir mengatakan dengan UU Nomor 23 tahun 2014, perizinan ditangani provinsi. Jadi, jika izin keluar oleh kabupaten/kota menjadi tanggung jawab provinsi mengevaluasi.

Dia menyatakan, akan ada pembahasan serius dan evaluasi detail. Jika ada potensi perusakan alam, bahkan tumpang tindih, maka provinsi akan mencabut izin.

Sumber : klik disini

Share Button

Moratorium Izin Hutan, Berikut Catatan buat Pemerintah

Kebijakan penghentian sementara (moratorium) izin di hutan dan lahan gambut segera berakhir Mei 2015. Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memberikan kepastian kebijakan ini berlanjut tetapi tampaknya asal copy paste dari kebijakan lama, alias tak ada penguatan. Koalisi masyarakat sipil menilai, kondisi itu berbahaya bagi hutan alam negeri ini. Merekapun mendesak pemerintah melanjutkan moratorium dengan beberapa catatan perbaikan.

Teguh Surya dari Greenpeace Indonesia mengatakan, sampai revisi terakhir peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) November 2014, hutan dan lahan di Indonesia masuk kawasan moratorium sekitar 63,8 juta hektar. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hutan tak terlindungi seluas 42,8 juta hektar.

“Ini sisa hutan dan lahan gambut yang lupa diselamatkan. Total cukup besar. Komitmen Jokowi itu harus jadi ruh bagi perpanjangan moratorium. Kalau hanya copy paste dan hanya teruskan warisan SBY tanpa nilai tambah, ruh komitmen itu hilang,” katanya di Jakarta, Kamis (26/3/15).

Dari hasil analisis Greenpeace, kala moratorium diperpanjang tanpa penguatan, maka bersiap-siap 5,7 juta hektar hutan berpotensi hilang. Kawasan seluas ini, katanya, merupakan wilayah-wilayah hutan yang terbebani izin empat konsesi dan tumpang tindih serta masuk moratorium. “Kalau hanya perpanjangan komitmen, review perizinan tak ada, kawasan itu akan hilang. Ini konsekuensi pertama, 5,7 juta hektar hutan alam dipertaruhkan.”

Greenpeace juga membuat skenario kedua, kalau-kalau moratorium tak diperpanjang atau terlambat perpanjangan, selain 5,7 juta hektar,  kata Teguh, maka tambah lagi kawasan alokasi penggunaan lain dan hutan produksi konversi dalam moratorium seluas 4,3 juta hektar akan lenyap.

Dia yakin, saat ini sudah banyak pemerintah daerah yang bersiap-siap menandatangani izin andai moratorium ada jeda waktu sedikit saja. “Gubernur-gubernur nakal itu sekarang menunggu. Kalau 13 Mei tak ada tanda-tanda perpanjangan, mereka akan tanda tangan izin,” ujar dia.

Sisilia Nurmala Dewi, dari Devisi Advokasi dan Kampanye HuMA mengatakan, niat awal ada moratorium untuk memperbaiki tata kelola hutan primer dan lahan gambut. Jadi, tolak ukur, moratorium selesai jika ada perbaikan tata kelola. Namun, katanya, sampai saat ini dia tak paham, sejauh mana tata kelola itu berjalan.

Padahal, katanya, seharusnya, ada laporan kepada publik mengenai apa saja yang sudah dilakukan terkait upaya penyempurnaan tata kelola ini, misal soal satu peta (one map). “Hingga,  kami masyarakat sipil bisa memantau. Seharusnya, ada jelas, perbaikan tata kelola itu sampai tahap mana? Perpanjangan berapa lama? Perlu berapa? Harus ada bayangan, harus ada perencanaan baik.”

Dia menilai,   penting bagi Jokowi menetapkan satu organisasi tertentu tak harus di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai vocal point pertanggungjawaban moratorium ini.

Koalisi, katanya,  melihat dasar hukum moratorium lewat instruksi presiden (inpres) tak terlalu kuat untuk nilai kebijakan yang begitu penting. “Sekarang itu inpres bersifat peraturan individual yang kongkrit. Tapi call tujuan ini besar. Maka, buat perkuat itu penting misal dengan perpres hingga mengikat atau peraturan pemerintah karena mencakup banyak sektor,” ujar Sisilia.

Koalisi juga menyoroti pasal pengecualian dalam inpres moratorium agar dihapus. Yakni, mengecualikan izin-izin yang sudah keluar sebelum kebijakan moratorium ada, dan wilayah buat ‘kepentingan nasional’.  Alhasil, yang terjadi tiap enam bulan revisi PIPIB kawasan hutan masuk moratorium berkurang.

Soal penyempurnaan tata kelola, katanya, pemerintah diminta segera kaji ulang (review) izin-izin konsesi di kawasan hutan. Namun, katanya, jangan hanya berhenti pada review perizinan, penting juga, pemerintah membuat sistem agar berbagai masalah, seperti tumpang tindih, konflik dan lain-lain tak terjadi lagi.

Mereka juga mengusulkan agar perlindungan, pengakuan dan penguatan hak dan ruang kelola masyarakat adat/ lokal. Yakni, memperjelas tatacara pengakuan hak dan membangun mekanisme resolusi konflik sumberdaya alam.

Koalisi juga mendesak, agar pemerintah mengawali pembaharuan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam khusus kehutanan, untuk mendukung perbaikan tatakelola selama periode moratorium. Termasuk, katanya, aturan-aturan terkait lingkungan hidup diselesaikan, misal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). “Ini penting buat agenda penyempurnaan tata kelola.”

Begitu juga soal resolusi konflik. Menurut dia, tak ada sama sekali instruksi atau mandat soal resolusi konflik dalam inpres. “Bicara penyempurnaan tata kelola hutan tak lepas dari penyelesaian konflik.”

Untuk itu, mereka berharap, moratorium tak hanya diperpanjang tetapi diperkuat dengan memasukkan resolusi konflik. “Mungkin ini peluang lebih besar karena ada penggabungan kementerian dan ada Menteri Agraria. Kami ingin inpres SBY itu dilihat kembali. Kelemahan-kelemahan itu diperbaiki,” ucap Sisilia.

Tak jauh beda dikatakan M Kosar dari Forest Watch Indonesia. Dia menyoroti selama masa moratorium, revisi PIPIB seolah-olah hanya buat pemanfaatan bukan perlindungan hutan. “Dari analisis kami kehilangan hutan alam, sudah capai 4,6 juta hektar dan 1,1 juta hektar di wilayah PIPIB. Ini yang tantangan besar buat Jokowi,” katanya.

Dia juga mempertanyakan capain perbaikan tata kelola dalam masa moratorium. “Capaian gak jelas. Siapa lakukan apa,  itu gak jelas. Ini yang harus segera dilakukan Jokowi, perjelas semua.”

Masalah penting lagi, kata Kosar, hutan alam di luar PIPIB sangat luas dan harus diselamatkan. FWI menilai, banyak hutan alam yang secara ekologis sangat penting, terutama di pulau-pulau kecil tetapi tak masuk moratorium. “Seperti hutan alam di Aru, tak masuk moratorium padahal secara ekologis miliki peranan penting.”

Tak pelak, di penghujung 2014, sebelum lengser, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, masih sempat mengeluarkan peta indikatif arahan buat pemanfaatan hutan di Kepulauan Aru.

“Ini yang semestinya jadi perhatian bagi pemerintah saat ini buat tunjukkan keseriusan dalam melindungi hutan.”

Dia juga melihat, kebijakan saat ini, masih melihat ekosistem hutan alam secara integral, hanya hutan primer alam, hutan sekunder diabaikan. “Padahal, ini penting jadi hal yang perlu diselamatkan,” katanya.

Tak jauh beda dengan Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional. Dia mengatakan, hutan negeri ini sudah mengalami eksploitasi selama empat dekade dari 1970 an sampai 2015,  maka perlu istirahat buat pemulihan.

Kebijakan moratorium, katanya, semestinya bisa menjadi obat jika jeda sementara ini benar-benar menjadi momentum pemulihan lingkungan hutan bukan hanya istirahat.

Sayangnya, kata Zenzi, moratorium belum berjalan efektif dalam menyelamatkan hutan Indonesia. Karena,  selama empat tahun kurun dalam waktu moratorium, masih terjadi proses penerbitan izin buat hutan tanaman industri seluas 1,1 juta hektar.

Dari 2011-2014, ada proses pelepasan kawasan hutan seluas 7,8 juta hektar, di tujuh provinsi. “Setelah dicek di lapangan, kebanyakan kalau tidak konsesi buat kebun ya tambang. Artinya, moratorium izin tak terjadi dalam empat tahun terakhir. Karena masih ada proses penerbitan izin.”

Padahal, katanya, kebijakan moratorium SBY ini merupakan inisiatif baik. Namun, tak berjalan efektif karena masih berbasis waktu dan wilayah tertentu. “Moratorium itu akan efektif kalau dalam masa itu ada target akan dicapai, misal di satu provinsi target tutupan hutan sekian, maka izin di provinsi itu harus berhenti. Kalau kawasan hutan berkurang maka ada review. Jadi, ada langkah-langkah jelas.”

Menurut dia, moratorium efektif jika wilayah target tak hanya hutan alam dan kawasan gambut. Lalu, moratorium efektif bila ada sanksi tegas terhadap pelanggaran inpres itu. “Kita lihat dalam kawasan moratorium terbit izin oleh pemda, seperti di Kalimantan Tengah dan Indragiri Hilir,  Riau. Tak ada sanksi apa-apa,” ujar dia. Untuk itu, makna moratorium harus diperkuat dan inpres mempunyai kekuatan hukum bagi pelanggar.

Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Dessy Eko Prayitno, menggarisbawahi soal pilkada serentak pada Oktober 2015. Jika sampai, perpanjangan moratorium lengah, akan dimanfaatkan oleh kepala-kepala daerah buat segera menerbitkan izin bekal dana kampanye. Pijakan moratorium, katanya.  juga semestinya lebih tinggi dari inpres.

Menurut dia, ICEL juga mencermati masalah kehutanan ini masih tak ada transparansi pemerintah. “Misal,  soal capaian moratorium itu macam apa sih? Kita tak ada gambaran sama sekali. Juga soal peta-peta konsesi,  itu seperti apa sih? Mana peta valid dan mana tidak. Ini harus jadi hal yang diperhatikan pemerintah.”

Beri masukan
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ketika dikonfirmasi soal penguatan dan capaian moratorium, mengatakan, senang mendapatkan masukan. “Kalau ada evaluasi seperti itu, kasih tahu saya saja, pasti saya pelajari. Akan kita perbaiki,” katanya di Jakarta, Jumat (27/3/15). Menurut dia, saat ini penting political will dari pemerintah. “Itu yang saya minta ketegasan ke kantor Menko Ekuin.”

sumber : klik disini

Share Button

Soal Moratorium Izin Hutan, Ini Masukan NGO dan Jurnalis Kalimantan Barat

Moratorium izin di hutan alam dan lahan gambut akan segera berakhir pada 13 Mei 2015 mendatang. Sederet catatan mengiringi perjalanan kebijakan itu. Namun, muaranya tetap satu. Yakni, moratorium penting dilanjutkan. Hanya saja, kebijakan yang sudah berjalan patut dievaluasi guna perbaikan moratorium selanjutnya.

Hal ini terungkap dalam diskusi antara lembaga swadaya masyarakat (NGO) dengan kalangan jurnalis di Pontianak. “Moratorium izin penting dilanjutkan, tapi dengan sejumlah catatan. Evaluasi kebijakan itu agar tepat sasaran,” kata Nikodemus Ale dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat, Jumat (27/3/2015).

Menurut Niko, semangat moratorium untuk menghentikan kerusakan hutan tentu sangat baik. Hanya saja lokasi penunjukan kawasannya yang tidak baik. Sesuai peta moratorium di Kalbar, posisinya ada di luar areal penggunaan lain (APL). Padahal, di lokasi itulah masalah kerapkali terjadi.

“Prinsipnya kita setuju melanjutkan moratorium. Tapi, kawasan yang dimoratorium diperlebar lagi. Jadi bukan hanya di kawasan lindung saja, tapi masuk ke kawasan APL,” ucap Niko.

Sementara Arif Munandar, peneliti Swandiri Institute mengatakan, kebijakan moratorium di Kalbar belum berjalan maksimal. Hal ini bisa dilihat dari kawasan yang didorong dalam moratorium seperti kawasan lindung dan konservasi. Status kedua kawasan tersebut sudah jelas dilindungi.

“Kita juga bisa lihat di wilayah-wilayah gambut yang sudah ada izin sawitnya. Ternyata di situ tidak dievaluasi oleh pemerintah. Malah terakhir lebih ekstrem lagi. Sawit yang ada di kawasan hutan, lalu sawit yang ada di kawasan gambut, juga dikeluarkan dari peta moratorium,” ungkap Arif.

Padahal, urai Arif, sebagian besar APL di Kalbar sudah dikuasai perkebunan sawit. Bahkan di kawasan hutan pun sawit bisa masuk. “Sepertinya ada agenda pemutihan yang sistemik dari sisi kebijakan. Ini bisa dilihat dari PP 60 dan 61 tahun 2012.”

Itu yang membuat blunder semua gerakan civil seciety di Kalbar. Terutama ketika hendak melakukan advokasi tata ruang, ternyata hal ini diperbolehkan adanya ketelanjuran izin. Perusahaan bisa terus melaju, lantaran sudah telanjur dapat izin sebelum Undang-Undang Tata Ruang dikeluarkan.

Jadi, lanjut Arif, sebagian besar sawit yang ada di kawasan hutan di Kalbar saat ini, tidak ada masalah. “Menurut aturan, hal itu diperbolehkan selagi pemerintah bisa mencari lahan pengganti. Dan, kebijakan tersebut menjadi bagian dari upaya melegalkan praktik ilegal,” tegasnya.

Terkait pemutihan kawasan hutan, Arif mencontohkan bagaimana wajah RTRW Kalbar. Ada sekitar 800 ribu hektar izin sawit dalam kawasan hutan yang dijadikan APL. “Sebenarnya ini sudah kita laporkan. Tapi selalu terganjal di PP 60 dan 61. Jadi, aspek penting yang perlu dievaluasi adalah moratorium harus pada konteks masalah. Itu saran untuk moratorium ke depan,” ucapnya.

Rentetan persoalan di atas tak cukup sampai di situ. Mursyid Hidayat dari Lembaga Gemawan membeberkan contoh lain. Dalam pandangannya, moratorium belum berjalan sebagaimana diharapkan banyak pihak.

Buktinya, kata Hidayat, masih ada perpanjangan izin hutan tanaman industri (HTI) oleh pemerintah pusat di Kabupaten Kapuas Hulu pada 2013. “Padahal, masyarakat adat Kayaan Mendalam sudah menolak perusahaan ini,” katanya.

Agustinus dari Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) membeberkan contoh lain. Menurutnya, moratorium sudah berlangsung selama lima periode. Tapi implikasinya di lapangan masih lemah.

Di Kabupaten Melawi saja, proses penebangan dan land clearing oleh perusahaan besar seperti sawit masih terus berlangsung. Kawasan hutan primer juga digarap. “Inpres No 6 tahun 2013 ini belum efektif. Pemerintah daerah belum memiliki langkah konkret, termasuk mengevaluasi izin-izin perkebunan dan pertambangan,” ucapnya.

Sudut pandang jurnalis

Lebih jauh, persoalan moratorium juga datang dari perspektif jurnalis. Adalah Teguh Imam Wibowo dari Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang menyebut persoalan gambut di Kalbar cenderung terabaikan. “Gampangnya, kalau melihat dari udara, sawit sudah dominan menguasai kawasan gambut Kubu Raya,” katanya.

Kemudian, lanjut Teguh, sekarang ada aturan baru dari Kementerian ESDM soal penggunaan biofuel. “Mulai 1 April solar harus dicampur 15 persen biofuel. Saya kira kita perlu perhatikan soal ini, karena bahan bakunya berasal dari sawit. Artinya, sudah bisa dibayangkan, ekspansi perkebunan kelapa sawit ke depan akan sangat massif dan tidak terkendali,” ucapnya.

Lain hal dengan Muhammad Aswandi dari Metro TV. Menurutnya, hingga saat ini penebangan kayu secara ilegal masih terus terjadi. Kasus terakhir, Reserse Kriminal Khusus Polda Kalbar menangkap enam truk fuso dari Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang. Truk bermuatan kayu jenis bengkirai itu masuk melalui jalur Ambawang, dan katanya mau ke Jakarta.

Selain itu, Aswandi juga meng-update kunjungan Jokowi ke Kecamatan Rasau Jaya, Kubu Raya. Di situ presiden dengan tegas mengatakan tak mau lagi melihat ada kebakaran lahan pada 2015. Sanksinya, menteri dicopot. “Saya setuju melanjutkan moratorium, tapi tetap dikritisi, dievaluasi sehingga berdampak besar bagi perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Kalbar,” pintanya.

Sementara Agus Wahyuni dari Suara Pemred lebih menyoroti ancaman kabut asap. “Di Kalbar, seminggu saja tak hujan kabut asap sudah ada. Anehnya, tidak satu pun mengetahui perusahaan mana yang membakar lahan. Justru petani kecil yang ditangkap. Saya berharap ada keterbukaan akses antara NGO dengan jurnalis,” ucapnya.

Ketua AJI Kota Pontianak, Heriyanto Sagiya menilai isu lingkungan sudah dapat perhatian jurnalis. “Pada konteks moratorium, saya sepakat diteruskan. NGO yang lebih tahu kondisi di lapangan soal kebijakan ini. Tapi, informasi itu harus disuarakan. Jika teman-teman NGO kuat menyuarakannya, maka media pun siap mempublikasikan,” pungkasnya.

Sumber : klik disini

Share Button

Moratorium Hutan, Jangan Sekadar Dilanjutkan

Moratorium hutan dan lahan gambut tidak cukup hanya dilanjutkan namun perlu penguatan. Hal itu mengemuka dalam diskusi media dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat yang digelar di Jakarta, Rabu (26/3/2015).

“Presiden harus mengambil tindakan tegas memperkuat moratorium untuk menjamin perlindungan terhadap hutan hujan di Indonesia dan gambut yang tersisa,” kata Teguh Surya, Jurukampanye Hutan Greenpeace.

Moratorium Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam dimulai pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat Instruksi Presiden No 10 tahun 2011.

Tahun 2013, moratorium tersebut diperpanjang. Sejumlah pihak mendesak penguatan saat perpanjangan periode itu. Namun yang terjadi, moratorium hanya dinyatakan berlanjut tanpa penguatan apapaun hingga Mei 2015.

Hari ini 47 hari menjelang berakhirnya moratorium periode kedua. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, mengatakan bahwa moratorium sudah dipastikan berlanjut.

“Pada rapat Menko Perekonomian diputuskan akan melanjutkan moratorium izin baru di kawasan hutan alam dan lahan gambut,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, di Jakarta, seperti diberitakan Kompas, Selasa (24/3/2015).

Namun, Siti mengungkapkan bahwa moratorium kembali hanya akan berlangsung seperti biasa, seperti yang dijelaskan dalam inpres sebelumnya. “Inpres itu kita teruskan,” katanya.

Pengkampanye Forest Watch Indonesia, Muhammad Kosar, mengatakan bahwa moratorium dalam dua periode sebelumnya belum cukup efektif melindungu hutan. “Tahun 2013, Indonesia malah kehilangan hutan 4,6 juta hektar,” katanya.

Kosar juga mengungkapkan bahwa moratorium lalu belum melindungi hutan di pulau-pulau kecil, misalnya di Kepulauan Aru. Padahal, katanya, hutan di pulau-pulau kecil memiliki peran penting.

Zenzi Suhadi, pengkampanye hutan Walhi mengungkapkan, “Secara umum di Indonesia moratorium belum efektif melindungi hutan sebab pada waktu yang sama terjadi penerbitan izin untuk industri.”

Menurut catatannya, dalam kurun waktu tahun 2011 – 2015, terjadi pelepasan kawasan hutan sebanyak 7,8 hektar. Dengan demikian, Zenzi mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak ada moratorium.

Menurut Zenzi, agar efektif, moratorium harus punya target pencapaian. Selama ini, moratorium hanya punya target waktu dan wilayah yang masuk kawasan. ‘Padahal waktu 2 tahun itu dasarnya apa,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, “Dalam masa moratorium harus ada pemulihan terhadap lingkungan. Moratorium bukan waktu istirahat melainkan untuk pemulihan.”

Teguh mengungkapkan, agar efektif, moratorium perlu dikuatkan dengan meninjau kembali izin konsesi, menyelesaikan segera kebijakan satu peta, melindungi hak masyarakat adat, menghapuskan pengecualian dalam moratorium, serta adanya penegakan hukum yang jelas.

Kelanjutan dan penguatan moratorium penting. Nasib sekitar 42,8 juta hektar atau tiga kali pulau Jawa dipertaruhkan.

Sumber : klik di sini

Share Button