Soal MoU Penyelamatan Sumber Daya Alam, Apa Kata Mereka?

Pada Kamis (19/3/15), KPK bersama 29 kementerian dan lembaga negara, serta 12 pemerintah provinsi menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) di Istana Negara. MoU ini mencakup penyelamatan SDA secara luas, dari sektor kehutanan, perkebunan dan kelautan sampai pertambangan.

Kala itu, Presiden Joko Widodo mengatakan, nota kesepahaman jangan sampai hanya ditandatangani tanpa tindak lanjut jelas. “Jangan semua tanda tangan, teken, teken, tapi tidak ada tindak lanjut. Saya ingat, dulu semua tanda tangan pakta integritas, semua teken, tapi indeks persepsi korupsi masih jauh sekali dengan negara tetangga, 34 angka, urutan 107,” katanya seperti dikutip dari Detik.com.

Berbagai kalangan, seperti Walhi dan DKN, menanggapi soal nota kesepahaman ini. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, nota kesepahaman penyelamatan SDA ini harus membuat negara mampu mengembalikan fungsi lingkungan guna menekan kerugian. Ia juga semestinya mampu membaca dan mengendalikan skenario-skenario legitimasi perampokan SDA Indonesia.

Dia memberikan, beberapa contoh,  yakni, PP 06 tahun 2007 yang menjadi payung hukum perusahaan HTI membabat hutan alam, dan alih fungsi serta peruntukan kawasan hutan melalui review untuk tata ruang.

Hasil dari kebijakan itu, periode 2008-2014, pelepasan kawasan hutan mencapai 7,8 juta hektar. Praktik ini, katanya,  tak hanya melegitimasi penebangan hutan alam, juga merugikan negara. “Karena membebaskan perusahaan tambang dari kewajiban izin pinjam pakai kawasan hutan,” katanya di Jakarta, Senin (23/3/15).

Contoh lain, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan yang menjadi pintu masuk pengusaha membabat hutan hingga enam juta hektar, bahkan, menyelamatkan perusahaan perkebunan dari jeratan UU Kehutanan.

Dengan kesepahaman ini, kata Abetnego,  seharusnya bisa membuat Bappenas, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Dalam Negeri serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengkaji ulang mekanisme pelepasan kawasan hutan. “Atau membatalkan surat keputusan soal perubahan status kawasan hutan yang banyak dipakai pengusaha dan kepala daerah untuk menguasai SDA.”

Menurut Abetnego, penyelamatan SDA dari kejahatan korporasi harus dilihat dari tiga dimensi faktual merugikan negara. Pertama, kejahatan merugikan negara atas SDA yang menjadi kekayaan negara. Praktik ini, katanya,  bisa diatasi bila ada proses kontrol negara, kendali dan penegakan hukum terhadap perampasan, pengerukan dan penyelundupan SDA Indonesia oleh korporasi.

Penanggulangan kerugian negara, katanya,  harus dilakukan pada mata rantai arus uang dan distribusi SDA. Baik dari lokasi penebangan kayu dan pengerukan SDA marak tak terkendali, serta jalur transportasi pengangkutan dan pelabuhan yang berpotensi memanipulasi nilai ekspor. Juga pelabuhan tempat tujuan ekspor yang memungkinkan penekanan nilai pajak melalui praktik transfer pricing.

Kedua, kejahatan yang merugikan perekonomian negara. Kejahatan ini, ucap Abetnego, dizinkan melalui kebijakan dan izin pemerintah hingga mengakibatkan SDA terkuras, dan sistem perekonomian pedesaaan hancur. “Ini dapat dikendalikan bila ada langkah serius dan terintegrasi antar pemerintah dan kementerian untukreview perizinan,” katanya di Jakarta, Senin (23/3/15).

Ketiga, kejahatan lingkungan menimbulkan beban ekonomi begara. Penerbitan izin massif tidak diimbangi peningkatan kapasitas negara dalam mengontrol dan mengendalikan praktik produksi dan dampak, katanya,  mengakibatkan kerugian negara. “Bentuknya dalam penanggulangan dampak bencana ekologis banjir, longsor, kebakaran, asap dan kemiskinan serta lain-lain.”

Sedang Andiko Sutan Mancahyo, Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional (DKN) juga pengacara senior di ASM Law Office tak terlalu optimistis dengan nota kesepakatan ini.  “Saya ragu, sebelum KPK kuat lagi. Kabinet ini seperti tak solid,” katanya.

Untuk itu, katanya, perlu ada tim pendukung yang kuat dan bisa menjembatani komunikasi antar kementerian.

Menurut dia, pengalaman lalu, tim nota kesepahaman bersama (NKB) bisa berjalan karena orang pada takut KPK. Kini, kondisi agak berbeda.  Saat ini, katanya, rasa takut itu berkurang dan harus diganti dengan kerjasama kuat antarkementerian.

Martua Sirait dari DKN ikut pada acara nota kesepakatan GN-PSDA itu. Dia melihat antusiasme kementerian dan lembaga yang terlibat. “Karena banyak kemiripan dengan Nawa Cita, hingga prosesnya saya rasa lancar selama ini.”

Tak hanya itu, GN-PSDA sangat detail dan lebih luas. Pada NKB 2013,  terdiri dari 12 kementerian dan lembaga. Kini, diperluas dengan melibatkan pemerintah provinsi juga organisasi masyarakat sipil. Ia juga dilengkapi keterbukaan informasi yang diposting di website KPK. “Sampai form-form monitoring setiap aspek ada.”

Sumber : klik disini

Share Button

Peluang dan Tantangan Peleburan BP REDD+ dan DNPI

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan BP REDD+ sudah lebur ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sejak keluar peraturan Presiden 21 Januari 2015. Sebagian kalangan mengapresiasi, ada juga menyayangkan.  Mereka menilai, peleburan memiliki hal positif, tetapi juga tantangan besar.

Heru Prasetyo, mantan Kepala BP REDD + mengatakan, risiko peleburan kemungkinan ada kegiatan BP REDD+ tidak berlanjut. Sebab, lembaga baru ini tidak mempunyai tupoksi mencakup hal-hal yang dilakukan BP REDD+.

“Peluangnya, Menteri LHK bisa bekerjasama dengan menteri-menteri lain lebih baik lagi. Namun, mungkin ada pelimpahan kewenangan kepada Menteri Luar Negeri untuk urusan hubungan internasional,” katanya dalam pelatihan REDD+ di Jakarta, awal Maret 2015. Jika itu terjadi, kata Heru, akan kembali ke bisnis seperti biasa. Meskipun struktur baru, tetapi timbul risiko hilang koordinasi.

Dia menilai, kebingungan provinsi dan kabupaten bisa lebih banyak lagi. Selama ini, BP REDD+ biasa mengkomunikasikan lintas kementerian.

Menteri LHK, katanya,  sudah mengajak Menteri Agraria dan Pertanian bekerjasama. Inisiatif berkoordinasi lintas sektoral sudah ada, tinggal menunggu implementasi.

“Posisi dirjen akan dilelang. Ada waktu tiga bulan. Dirjen baru ini bisa mengajukan anggaran dalam empat bulan. Artinya, selama tujuh bulan tidak beraktivitas di KLHK soal REDD+.Tetapi kita berikan semangat mudah-mudahan tahun depan sudah jalan.”

Kesempatan lain, aktivis Debwatch Indonesia Arimbi Heroepoetri menggatakan, peleburan adalah sebuah keniscayaan. “Sebaiknya isu perubahan iklim dikelola lembaga yang tidak sektoral apalagi non departemen. Perasaan kita senang, tapi harap-harap cemas,” katanya dalam diskusi di Jakarta.

Menurut dia, peleburan baik tetapi jika dengan persyaratan ketat, misal perlu pendekatan multisektor. Sebab, isu perubahan iklim tidak hanya soal hutan, juga non hutan.

“Isu maritim belum terjangkau. Harus ada lembaga multisektor. Sistem tata negara perlu dirombak. Ide kita, lembaga itu langsung di bawah presiden. Kita tahu, banyak kementerian dan lembaga tidak efektif. Birokrasi lamban.”

Peleburan lembaga, katanya, juga harus memastikan agenda mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berjalan cepat. “Peleburan baik tetapi orang-orangnya sama. Selama ini, Kementerian Kehutanan diisi orang yang kulturnya menikmati kerajaan bisnis perizinan. Harus diubah.”

Sisilia Nurmala Dewi dari HuMa mengapresiasi keputusan Presiden melebur empat lembaga (Kemenhut, Lingkungan Hidup, BP REDD+ dan DNPI) menjadi satu. Meski ada berbagai tantangan besar.

“Konsekuensi ada ketidakstabilan institusi. Visi misi, orang-orang dan program kerja yang selama ini terpisah sekarang digabung,” katanya.

Dia berharap, peleburan lembaga ini, model pembangunan bisa diperbaiki. KLHK, ujar dia,  harus bisa mengarusutamakan isu perubahan iklim dalam konsep pembangunan. “Dengan digabungkan dalam satu dirjen tentu ada garis pertanggungjawaban jelas. Tetapi ada persoalan menyangkut kinerja. Harus luas. Kerjasama dan koordinasi dengan kementerian lain harus terjalin.”

Muhammad Djauhari dari Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyaratan ikut bersuara. Menurut dia, langkah pemerintah melebur lembaga sudah tepat. “Pembiayaan dan koordinasi lebih mudah. Dulu dengan BP REDD+ dan DNPI, masing-masing sektor harus menyetorkan orang. Kemenhut setor orang ke DNPI dan REDD+ begitupun KLH.”

Yuyun Indardi, dari Greenpeace Indonesia mengatakan, dalam konteks menyederhanakan birokrasi penggabungan lembaga ini berhasil. “Tetapi kalau berbicara soal perubahan iklim, bukan hanya tanggungjawab KLHK. Kementan, ESDM dan kementrian lain yang berhubungan dengan eksploitasi SDA juga punya andil. Itu jadi tantangan lintas sektor.”

Untuk itu, dia pernah mendorong ada Kementerian SDA atau kementerian koordinator yang menangani masalah ini. Hingga, kebijakan di Kementan, ESDM dan kementerian lain bisa sinkron dengan upaya kelestarian lingkungan.

M. Kosar dari Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, dulu BP REDD+ lemah karena tidak bisa mendorong kementerian sektoral bertindak. Setelah lebur, juga masih banyak tantangan. “Tantangan karena orangnya sama. Kita berpikir bagaimana agar antarlembaga bisa saling mempengaruhi.”

Temuan FWI, ada 41 juta hektar kawasan hutan berstatus lindung, produksi dan alokasi penggunaan lain tidak ada pengelola. “Dengan peleburan ini, diharapkan bisa menyelesaikan persoalan hutan yang tidak ada pengelola. Pemerintah harus bisa menyelesaikan semua konflik.”

Sedangkan Raynaldo Sembiring dari Indonesian Center of Environmental Law (ICEL) menyatakan, penggabungan ini harus diikuti upaya pengelolaan lingkungan hidup yang sistematis. Dimulai dari aspek perencanaan sampai penegakan hukum.

“UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan harus menjadi dasar tugas KLHK, terutama untuk mengerem pemberian izin eksploitasi yang masif oleh Kemenhut.”

Menurut dia, paling mendesak adalah penuntasan mandat penyelesaian rencana pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup (RPPLH) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Kedua hal ini demi memberikan arahan jelas tentang pelaksanaan pembangunan berkelanjutan berbagai sektor. “Ketika RPPLH dimuat dalam RPJM, moratorium bisa disitu. Lintas sektor. KLHS jadi instrumen penting.”

Ke depan, katanya, dalam pembuatan RPPLH dan KLHS, KLHK harus berpegang teguh pada UU Lingkungan Hidup. “Penggabungan ini saling melengkapi. Kemenhut kuat di daerah, dan KLH jadi punya power,” katanya.

Di lain kesempatan, Andreas Lagimpu, Anggota Presidium Dewan Kehutanan Nasional utusan Kamar Masyarakat Regio Sulawesi mengatakan, penggabungan kelembagaan di KLHK harus berjalan efektif, tanpa terhambat permasalahan teknis. “Jangan sampai penggabungan justru menghambat kinerja KLHK,” katanya.

Menurut dia, political will KLHK belum berujung aksi nyata. Terlalu banyak peraturan dikeluarkan kementerian ini, namun implementasi belum terlihat.

Andreas menilai, salah satu ukuran implementasi peraturan-peraturan belum terlihat adalah putusan Mahkamah Konstitusi soal masyarakat adat belum berjalan nyata.

Sumber : klik disini

Share Button

Merehabilitasi Hutan Sambil Menjual Karbon. Seperti Apa?

Selain sebagai penjaga ekosistem dan habitat satwa, hutan di kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) di Jember, Jawa Timur, bakal dijadikan kawasan percontohan perdagangan karbon dari aktivitas penanaman pohon di lokasi lahan rehabilitasi hutan dengan menggandeng menggandeng masyarakat desa.

Pihak TN Meru Betiri telah menggandeng masyarakat, untuk ikut merehabilitasi lahan kritis seluas lebih dari 4.000 hektar, dengan memberikan hak pengelolaan lahan kepada masyarakat untuk ditanami tanaman pokok atau pohon tegakan. Program berhasil menghijaukan kembali lahan kritis tersebut.

Keberhasilan program tersebut, bisa dikompensasikan melalui skema perdagangan karbon. Arif Aliadi dari Konsorsium Pengelola Jasa Lingkungan Indonesia, kegiatan masyarakat untuk mencegah deforestasi dan kerusakan hutan perlu mendapatkan apresiasi dalam bentuk uang, dari hasil upaya menanam pohon yang memenuhi syarat untuk penyerapan karbon.

“Masyarakat di sekitar hutan harus difasilitasi agar ikut mempertahankan hutan. Kalau mereka mempertahankan hutan, maka mereka akan memperoleh benefitnya, selain hasil hutan juga uang dari penjualan karbon,” papar Alief.

Alief yang juga fasilitator dari Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) menambahkan Indonesia belum pernah melakukan program perdagangan karbon pasca  Kyoto Protokol (2008-2012).

Hingga saat ini pihaknya masih melakukan sosialisasi dan pengenalan kepada masyarakat, untuk mengetahui mengenai bagaimana dan apa saja keuntungan yang dapat diperoleh dari perdagangan karbon.

“Sampai sekarang di Indonesia belum ada, justru dari program ini kami berharap menjadi yang pertama untuk menarik pembeli,” ujar Alief yang mengaku sedang menjajaki kerjasama dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang peduli lingkungan, untuk bergabung dengan program ini.

LATIN sedang memfasilitasi masyarakat yang bersedia terlibat dalam program rehabilitasi hutan untuk mendapatkan sertifikat perdagangan karbon setelah tahapan MRV (monitoring, reporting and verificating) dilakukan di lokasi.

“Kalau mereka mau mempertahankan hutan maka akan ada benefitnya, ini petingnya kenapa kita dorong untuk mendapat sertifikasi. Karena dengan itu mereka punya komitmen mempertahankan, dan akan ada insentif atau nilai tambah dari karbon itu,” kata Alief.

Sertifikat didapatkan setelah ada kesepakatan kemampuan masyarakat menahan laju deforestasi dalam sekian waktu ke depan, dan akan dihitung emisi karbon yang berhasil ditahan.

“Misal dalam 10 tahun terdapat 400 hektar hutan yang mengalami deforestasi, kalau masyarakat tidak ingin hutannya rusak maka berapa luas hutan yang sanggup ditahan deforestasinya oleh masyarakat. Misalkan 50 persennya bisa ditahan, berarti masyarakat menjanjikan mempertahankan 200 hektar. Maka inilah komitmen masyarakat yang nantinya akan diajukan sertifikatnya yang kemudian dapat dijual, berisi komitmen masyarakat menurunkan emisi,” terang Alief.

Perdagangan karbon dari sektor hutan ini masuk dalam skema REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation). Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk menurunkan 26 persen emisi gas rumah kaca pada 2020.

Setiap tahunnya Bank Dunia menyiapkan dana 2-20 miliar USD, untuk penanganan deforestasi bagi negara berkembang, yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia yang memiliki hutan seluas lebih dari 88 juta hektar.

Alief mengatakan, pada dasarnya semua tanaman yang berkayu dapat menyimpan karbon, karena karbon disimpan di dalam pohon. Kandungan karbon dapat diketahui dengan mengetahui berat jenis pohon. Semakin tinggi berat jenis pohon akan semakin tinggi kandungan kayu, maka nilai karbonnya juga semakin tinggi.

“Secara fisik karbon merupakan arang, dimana dalam konteks penjualan karbon bukan berarti kita tebang pohon dan dijadikan arang lalu kita jual. Tapi yang kita jual adalah bagaimana pohon itu tidak menjadi arang, tidak ditebang, tidak dibakar.Yang akan kita jual adalah usaha kita untuk mempertahankan pohon itu agar tidak menjadi arang,” tuturnya.

Alief menyebutkan beberapa contoh jenis pohon yang mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar, antara lain trembesi, joho lawe, kedawung, dan bintungan, yang memiliki kemampuan tumbuh dengan cepat dan memiliki cabang yang banyak.

“Ketika melakukan rehabilitasi hutan, tentu semakin banyak pohon yang ditanam. Semakin banyak pohon yang tumbuh besar dan rimbun, maka kemampuan menyimpan karbon juga semakin banyak,” imbuhnya.

 

Sementara itu Direktur Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), Nurhadi, mengatakan melalui mekanisme karbon ini masyarakat dapat terbantu untuk membangun sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

“Salah satu skema dari karbon ini adalah kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari, disamping perlu juga untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Carbon trading ini merupakan bentuk apresiasi kepada masyarakat yang telah menanam pohon di hutan yang gundul,” kata Nurhadi yang juga merupakan warga Jember.

TN Meru Betiri seluas 58.000 hektar ini telah menyiapkan 40 Plot Sampel Permanen (PSP), dengan masing-masing berukuran 40 meter x 100 meter. PSP itu nantinya akan ditanami jenis pohon yang dapat dimanfaatkan buahnya, tanpa perlu menebang pohonnya.

Sejauh ini masyarakat di Desa Curahnongko dan Desa Andongrejo kata Nurhadi, sangat antusias terhadap rencana pelaksanaan program perdagangan karbon. Dengan melindungi hutan yang menjadi penghidupan mereka sehari-hari, maka kebutuhan hidup masyarakat dapat lebih terjamin.

“Dana yang nanti kita peroleh akan kita kembalikan lagi untuk merehabilitasi kawasan hutan, tentu nanti akan ada skemanya. Misal kalau 100 persen dari biaya yang didapatkan, maka 60 persen untuk rehabilitasi, 40 persen untuk kegiatan usaha produktif dan penguatan kelembagaan,” sambungnya.

Namun demikian Nurhadi mengakui tidak mudah mengajak seluruh masyarakat merehabilitasi hutan untuk dapat dijual karbonnya kepada negara maju maupun perusahaan. Tantangan terletak pada pemahaman masyarakat yang lebih suka menanam tanaman pertanian, yang mendatangkan keuntungan jangka pendek. Dengan begitu cukup sulit memenuhi target pohon yang harus ditanam, untuk dapat menghasilkan uang dari penjualan karbon.

“Kita sedang cari tanaman yang punya nilai ekonomi lebih tinggi dari tanaman pertanian. Tanaman obat sudah dicoba tapi belum semua masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari itu,” tandasnya.

Perdagangan karbon merupakan skema kompensasi pendanaan yang diberikan oleh negara-negara maju atau pihak swasta yang telah mengemisi gas GRK penyebab perubahan iklim, kepada negara berkembang atau pihak lain yang berhasil menahan emisi gas GRK melalui berbagai program seperti REDD+.

Maka menjadi peluang bagi pemilik hutan seperti Indonesia, Papua Nugini, Afrika dan Amerika Latin memperoleh dana dari perdagangan karbon tersebut.

“Dengan project karbon ini, kita selalu mengkaitkan dengan rehabilitasi hutan, karena itu kegiatan sehari-hari yang dilakukan masyarakat,” tambah Alief.

Sumber : klik disini 

Share Button

Kementerian LHK percepat penetrasi SVLK untuk IKM

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mendorong percepatan pelaksanaan sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi industri di Indonesia. Percepatan SVLK ini bagi industri dalam negeri diharapkan  dapat menjadi langkah strategis merealisasikan target ekspor non migas sebesar 300%  dalam lima tahun mendatang.

Staf ahli Menteri LHK bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional Putera Parthama mengatakan dengan dikantonginya SVLK, maka sejumlah industri kayu asal Indonesia bisa meningkatkan ekspornya ke luar negeri. Dengan begitu, jumlah dan nilai ekspor produk Indonesia otomatis ikut terdongkrat. Itulah sebabnya, pemeirntah mempercepat sertifikasi SVLK bagi kalangan industri kayu.

Salah satu langkah yang ditempuh untuk mempercepat kalangan dunia industri mendapatkan sertifikat SVLK adalah dengan menyerdehanakan proses sertifikasi. Caranya dengan melakukan sertifikasi secara berkelompok bagi industri berkapasitas sampai 6.000 meter kubik per tahun, tempat penampungan kayu, hutan hak, dan industri kecil menengah mebel.

Putera mengakui pemberlakuan SVLK bisa meningkatkan biaya bagi pelaku usaha. Karena itu, selain penyederhanaan proses sertifikasi, pemerintah sudah mengalokasikan dana yang berasal dari APBN dan lembaga donor Multistakeholder Forestry Program (MFP) 3 untuk mendanai sertifikasi SVLK bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM). “Dana yang dianggarkan untuk mempercepat sertifikasi SVLK ini sebesar Rp 33 miliar,” ujar Putera, akhir pekan lalu.

Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian  Kementerian LHK Bambang Hendroyono menambahkan  percepatan sertifikasi SVLK bagi IKM harus dituntaskan agar ekspor tidak terhambat. Untuk itu, perlu ada kerjasama antara daerah dan pusat untuk  memudahkan pengurusan izin. Ia mengungkapkan, saat ini masih ada kemudahan bagi IKM untuk melakukan ekspor. “IKM furnitur  masih bisa menggunakan dokumen deklarasi ekspor (DE) hingga per 1 Januari 2016,” imbuhnya.

Saat ini terdapat 1.500 eksportir terdaftar produk industri kehutanan (ETPIK) untuk furnitur yang teregistrasi di Kementerian Perdagangan (Kemendag). Sebanyak 750 unit di antaranya terdaftar di Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) Kementerian LHK, 375 unit telah memiliki hak akses menggunakan dokumen DE dan aktif melakukan ekspor. Sementara itu, hingga 27 Februari 2015 terdapat 2.668  DE yang digunakan untuk ekspor.

Senior Advisor MFP 3 Jansen Tengketasik mengatakan dukungan sertifikasi yang dilakukan bukan sekadar pembiayaan tapi juga pendampingan. Pihaknya menargetkan sebelum semester I tahun 2015 target itu sudah tercapai. “Karena itu kami akan terus melakukan pendampingan bagi industri,” terang Jansen.

Sumber : klik disini

Share Button

AMKRI: Di hilir tidak perlu ada SVLK

Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) keberatan dengan pemberlakuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). SVLK dianggap tidak cocok bagi industri hilir seperti industri mebel.

Abdul Sobur, Sekretaris Jenderal AMKRI pada hari ini (4/3) mengatakan, proses verifikasi SVLK tidak tepat diberlakukan untuk industri mebel. SVLK lebih cocok diperuntukkan bagi perusahaan sektor hulu yakni industri pengolahan kayu dan industri yang menggunakan kayu dalam skala besar. Yakni, perusahaan pulp dan paper.

“Kalau industri mebel dan kerajinan yang berbasis kayu adalah industri hilir sebagai pengguna dari bahan baku kayu yang disiapkan oleh industri hulu. Artinya, kayu sudah dianggap legal di wilayah hulu. Maka di hilir sebenarnya tidak memerlukan adanya SVLK,” kata Abdul, Rabu (4/3).

Pemberlakuan SVLK bagi pelaku industri mebel dan kerajinan di Indonesia untuk tujuan peningkatan ekspor dinilai tidak relevan. Sebagai perbandingan dengan Vietnam dam Malaysia yang merajai produk mebel di dunia. Nilai ekspornya tumbuh jauh di atas Indonesia padahal kedua negara tidak memberlakukan SVLK.

Sumber : klik disini

Share Button

Enam provinsi dukung percepatan penerapan SVLK

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) optimis sampai akhir tahun seluruh usaha kehutanan skala rakyat telah tersertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK. Saat ini sudah enam provinsi di Indonesia yang secara tegas mendukung deklarasi percepatan SVLK.

Bambang Hendroyono, Dirjen Bina Usaha KLKH mengatakan, Pemerintah Daerah (Pemda) berperan aktif dalam memacu pelaku usaha kehutanan untuk mengikuti sertifikasi SVLK. Sebab, dijamin prosedurnya tidak sulit.

Adapun enam daerah yang telah menandatangani deklarasi percepatan SVLK adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Banten dan Bali.

Dukungan Pemda ini secara otomatis melunturkan kesulitan yang dihadapi pelaku dalam mendapat legalitas seperti: Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Industri (TDI) atau izin gangguan (HO) yang menjadi kewenangan Pemda.

Di Yogyakarta misalnya, saat ini ada empat unit dari 31 unit Izin Usaha Industri Primer Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan kapasitas 6.000 m3 per tahun yang telah memiliki SVLK. Sementara dari 56 industri kecil furnitur yang telah terdaftar sebagai Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) sudah ada 28 unit yang memiliki SVLK.

KLHK membidik sertifikasi SVLK hingga 3.566 unit IUIPHHK dan 743 Industri Kecil Menengah (IKM) Mebel.

Demi mempercepat SVLK, KLHK melakukan pendampingan dan pendanaan untuk biaya sertifikasi dan penilikan. Total anggaran yang disediakan mencapai Rp 33,2 miliar yang berasal dari APBN dan dukungan Multistakeholder Foresty Programme (MPF) yakni kerjasama antara Indonesia dengan Inggris.

Sumber : klik disini

Share Button