TNBBBR, Rumah Nyaman Bagi Orangutan Kalimantan

Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) yang lokasinya berada di kabupaten Sintang dan Melawi (Kalimantan Barat), serta Katingan (Kalimantan Tengah) kini akan menjadi rumah yang nyaman bagi orangutan kalimantan. Sejumlah orangutan yang telah direhabilitasi, akan dilepasliarkan di kawasan konservasi seluas 181.090 hektar ini.

Penandatanganan kerja sama antara TNBBBR dengan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), penanggung jawab terhadap pelepasliaran tersebut, dilakukan di Kantor Balai TNBBBR di Nanga Pinoh, Melawi, yang disaksikan langsung Wakil Bupati Melawi, Panji, pertengahan Maret lalu.

Kepala Balai TNBBBR, Bambang Sukendro, mengungkapkan kerja sama ini merupakan tindak lanjut dari kesepahaman antara Kementerian Kehutanan sebelumnya dengan YIARI.

“Dalam pelestarian orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), ada tiga langkah yang harus dilakukan yaitu penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasan ke alam liar. Pihak TNBBBR memfasilitasi pelepasan orangutan di taman nasional ini,” ujarnya.

Bambang mengungkapkan, ada beberapa hal yang ingin dicapai dari kerja sama ini. Diantaranya adalah pendayagunaan TNBBBR sebagai lokasi pelepasan orangutan kalimantan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan penyelamatan, perlindungan dan konservasi satwa liar, serta edukasi pada masyarakat pentingnya melestarikan orangutan di taman nasional.

“Kerja sama ini diawali dengan kajian kelayakan habitat, survei sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat, serta survei masyarakat yang berada di sekitar taman nasional,” tuturnya.

Bambang mengatakan dukungan Pemerintah Kabupaten Melawi sangat dibutuhkan pada program yang berlangsung hingga lima tahun ini. Bila program berhasil, pelepasliaran akan berlanjut hingga orangutan kalimantan benar-benar nyaman di TNBBBR.

Ketua YIARI, Tantiyo Bangun, menuturkan pemilihan TNBBBR sebagai lokasi pelepasliaran orangutan kalimantan karena wilayah berhutan di taman nasional ini masih baik. “Aksesnya mudah dan potensi pengembangan ekowisatanya menjanjikan. Kami akan memulainya dari Melawi,” ujarnya.

Tantiyo menjelaskan, tahun pertama ini, jumlah orangutan yang akan dilepasliarkan sebanyak lima individu. Diikuti dengan jumlah yang sama di tahun berikutnya. “Orangutan tersebut telah menjalani rehabilitasi di Ketapang yang dulunya pernah dipelihara atau juga yang berhasil diselamatkan dari perkebunan. “Diperkirakan, total orangutan kalimantan saat ini sekitar 42 ribu individu yang habitatnya terus terancam akibat pembukaan hutan untuk perkebunan atau juga karena kebakaran.”

 

Peta Distribusi Orangutan di Indonesia. Sumber: www.forina.or.id

Wakil Bupati Melawi, Panji, menegaskan komitmen Pemerintah Kabupaten Melawi dalam mendukung konservasi orangutan ini. “Sudah seharusnya banyak pihak yang peduli terhadap persoalan ini. Karena pada prinsipnya, lingkungan hidup adalah bagian dari hidup kita yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.

Panji juga menegaskan dirinya sangat membenci orang yang membunuh orangutan, baik karena alasan ekonomi maupun karena keserakahan. “Kita juga berharap konservasi orangutan bisa dilakukan di wilayah lain, seperti Bukit Saran, yang dulunya banyak orangutan namun kini berkurang akibat diburu.”

Sukartaji, Direktur Suar Institute, lembaga lokal di Melawi yang fokus terhadap isu-isu lingkungan mengungkapkan, lembaganya pernah melakukan survei orangutan di sejumlah desa dan kecamatan di Melawi melalui metode wawancara. “Dari wawancara itu diketahui, keberadaan orangutan masih ada di sejumlah kawasan hutan. Keberadaan orangutan tersebut, jauh dari pemukiman warga,” jelasnya.

Tahun 2013 juga, Suar menemukan sarang orangutan saat melakukan survei nilai konservasi tinggi (NKT) hutan di wilayah Desa Senempak dan Poring, Kecamatan Pinoh Selatan. Hutan Poring dinilai memiliki NKT lengkap karena sejumlah satwa dilindungi masih berada di wilayah tersebut.

Sumber : klik di sini

 

Share Button

Cara Unik dalam Upaya Konservasi Elang

Satu kelompok konservasi menawarkan apa yang bisa dilihat dari seekor burung itu hari Sabtu (14/3) dengan memasang kamera video kecil di belakang Darshan, elang yang terbang dari atas menara tertinggi di dunia.

Inilah pemandangan yang sebenarnya dari seekor burung. Satu kelompok konservasi menawarkan apa yang bisa dilihat dari seekor burung itu hari Sabtu dengan memasang kamera video kecil di belakang Darshan, elang yang terbang dari atas Burj Khalifa di Dubai, menara tertinggi di dunia.

Darshan terbang sekitar 830 meter, menawarkan pemandangan menakjubkan ibukota perdagangan Uni Emirat Arab. Apa yang dilihat elang tersebut, terbang di sekitar Burj Khalifa, disaksikan langsung oleh orang-orang di darat, termasuk gerakannya berputar-putar mengitari lengan seorang laki-laki di darat.

Pertunjukan itu disebut Freedom Conservation. Kelompok tersebut mengatakan apa yang mereka lakukan itu guna menarik lebih banyak perhatian terhadap konservasi elang.

Sumber : klik di sini

Share Button

Menyelamatkan Hutan TN Meru Betiri Dengan Memakmurkan Masyarakat. Kok Bisa?

Meski berstatus taman nasional, kawasan Meru Betiri memiliki ribuan hektar lahan kritis hutan. Berbagai cara dilakukan untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut, salah satunya adalah dengan cara memberdayakan masyarakat.

Pihak Taman Nasional (TN) Meru Betiri berhasil merehabilitasi lahan kritis dengan cara dengan menggandeng masyarakat sekitar untuk bekerjasama mengelola lahan seluas 7 hektar, sekaligus mencegah upaya pembalakan kayu hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Keterlibatan masyarakat menjadi penting ditengah minimnya upaya pemerintah serta aparatur terkait dalam menjaga kelestarian hutan. Program rehabilitasi bersama masyarakat saat ini telah dilakukan pada lahan seluas 4.023 hektar, dilakukan dengan menanam tanaman ekonomis berdimensi konservasi.

Menurut Nurhadi selaku Direktur Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), LSM yang didirikan dari dan oleh masyarakat setempat, kegiatan rehabilitasi lahan merupakan cara yang efektif untuk menjaga serta melestarikan hutan, karena didalamnya juga berlangsung proses penguatan ekonomi masyarakat, melalui pemanfaatan lahan serta tanaman hutan tanpa harus menebang pohon.

“Masyarakat dapat menghasilkan tanaman tumpangsari disamping tanaman pokok hutan yang ditanam. Ini agar masyarakat aktif melakukan kegiatan rehabilitasi hutan di lahan rehabilitasi, serta mengelola dan mendapatkan hasilnya untuk meningkatkan ekonomi keluarga,” ujar Nurhadi.

Dalam program rehabilitasi itu, masyarakat mendapat izin menanam dan mengelola tanamam pokok dan tanaman tumpangsari pada lahan yang masih gundul, tetapi lahan tetap milik TN Meru Betiri. Sekarang lahan menjadi hjau dan rimbun.

“Setelah lahan digarap masyarakat, masyarakat menerima manfaar dari tanaman tumpang sari, sedangkan Taman Nasional menerima manfaat dari tanaman pokoknya, artinya pohonnya ada lagi,” tutur Abdul Halim Fanani, warga Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jatim yang berharap sinergi semacam ini dapat terus terbina.

Abdul mengatakan legalitas hak pengelolaan pada lahan kritis kepada masyarakat menjadi penting ada kawasan konservasi seperti di TN Meru Betiri, agar tidak bermasalah dengan hukum.

“Legalitas, dimana masyarakat diberikan hak resmi tertulis untuk mengelola hutan. Kalau bicara konservasi itu sangat kaku, tapi pertanyaannya mampukah pemerintah kita melakukan itu. Maka alternatifnya adalah keterlibatan masyarakat dalam membantu konservasi,” kata Abdul Halim yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Urusan Keamanan Desa.

Tingkat pendidikan masyarakat desa yang masih tergolong rendah, bukanlah halangan untuk peduli konservasi hutan pasca terjadinya penjarahan kayu di hutan.

Kepedulian konservasi masyarakat, kata Abdul, berawal dari perkenalan dengan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) yang memberikan pemahaman tentang lingkungan di kawasan hutan TN Meru Betiri.

“Masyarakat tidak serta merta mau ikut apalagi ini terkait dengan lingkungan, yang harus memberi pemahaman mengenai dampak ketika hutan terbakar atau gundul, maka masyarakat yang tinggal dekat dengan hutan adalah kuncinya,” katanya.

Untuk menampung dan mengelola hasil panen tumpangsari dari program rehabilitasi itu, didirikan koperasi bernama Multi Usaha Lestari.

“Saat ini petani sudah bisa mengelola hasil dari lahan rehabilitasi berupa keripik nangka. Kalau buah nangka dulunya dijual seperti biasa itu kurang menguntungkan, dengan dijadikan keripik nangka bisa mendatangkan nilai lebih,” papar Nurhadi.

Selain keripik nangka juga ada hasil buah-buahan lainnya serta buah hasil pohon hutan seperti kemiri, kedawung, dan pakem. Ibu-ibu rumah tangga juga turut memanfaatkan tanaman hasil hutan rehabilitasi seluas 7 hektar, dalam bentuk pengolahan dan pembuatan jamu tradisional dari tanaman obat.

“Dari pekarangan dan di lahan rehabilitasi serta di dalam hutan kami memperoleh kapulogo, kemukus, cabe jawa, ada juga kayu rapat. Kami bersyukur karena orang yang sakit dan tidak dapat sembuh secara medis, dapat diobati dan sembuh dengan ramuan Toga (tanaman obat keluarga),” ujar Katemi, Ketua Kelompok Toga Sumber Waras, Desa Andongrejo.

Ada sekitar 70 jenis dari 300-350 bibit tanaman obat dari hutan yang berhasil dibudidayakan di pekarangan warga dan diolah untuk dijual menjadi jamu tradisional yang meningkatkan perekonomian warga.

“Manfaat obat dari Taman Nasional Meru Betiri cukup membantu, baik untuk menyembuhkan penyakit maupun menambah pendapatan dari menjual jamu,” tambah Katemi yang mengaku telah menerima pesanan jamu tradisional dari berbagai daerah dan luar pulau Jawa.

Sedangkan Kepala Resort Andongrejo, TN Meru Betiri, Heman Sutresna mengatakan, kerjasama pengelolaan hutan di lahan rehabilitasi telah banyak membantu Taman Nasional menghijaukan kembali kawasan yang kritis.

“Pasca reformasi terjadi penjarahan kayu secara besar-besaran di Meru Betiri, dengan merintis kegiatan rehabilitasi kawasan hutan yang kritis bersama masyarakat, tugas kami dalam menjaga hutan menjadi terbantu,” kata Heman.

Terdapat 4 desa yang berbatasan langsung dengan TN Meru Betiri, yaitu Desa Curahnongko, Andongrejo, Sanenrojo, dan Wonoasri, dimana terdapat 24 kelompok petani hutan di Desa Curahnongko dan 18 kelompok petani hutan di Desa Andongrejo, yang diajak bekerjasama mengembalikan fungsi hutan.

Pada seluruh kawasan Taman nasional Meru Betiri yang masih perlu direhabilitasi, tercatat seluas 2.773 hektar berdasarkan review zonasi yang dilakukan pada tahun 2011.

“Dari semua upaya yang telah kita lakukan, masih ada 60 persen lahan kritis yang belum direhabilitasi, peran masyarakat sangat penting bagi kami karena mereka sangat membantu menghijaukan kembali lahan yang kritis,” ujarnya.

Heman mengungkapkan, kendala yang dihadapi hingga kini adalah pemahaman masyarakat yang masih suka menanam tanaman pertanian, yang mendatangkan keuntungan untuk jangka pendek. Sedangkan tanaman hutan justru dapat mendatangkan nilai ekonomis yang lebih tinggi, dengan memanen buah tanaman pokok tanpa biaya perawatan.

“Belum semua masyarakat menyadari pentingnya melestarikan hutan, banyak juga yang kurang peduli, diberi bibit gratis tapi tidak mau menanam. Kami memberikan pemahaman bahwa menanam untuk masa depan, tidak hari ini tapi paling tidak 5 tahun baru bisa dinikmati hasilnya,” tutur Heman.

Selain minimnya sumber daya yang dimiliki TN, Heman menambahkan bahwa belum semua masyarakat peduli terhadap pelestarian dan rehabilitasi hutan. Persoalan pendidikan masyarakat yang masih rendah serta alasan ekonomi menjadikan upaya rehabilitasi hutan berjalan lambat.

Namun demikian, kelompok masyarakat petani hutan seperti di Curahnongko dan Andongrejo menjadi contoh yang baik dalam rangka menyadarkan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat, mengenai konservasi yang mendatangkan keuntungan bagi perekonomian masyarakat.

“Masyarakat sekitar hutan adalah yang paling terdampak bila hutan gundul dan rawan bencana. Kami berharap banyak masyarakat di sekitar kawasan hutan lainnya, ikut terlibat dalam upaya pelestarian serta rehabilitasi hutan dan tetap memperoleh keuntungan,” tandasnya.

Fasilitator dari LATIN, Kaswinto menambahkan, model pengelolaan lahan kritis melalui program rehabilitasi 7 hektar di Curahnongko dan Andongrejo, dapat dijadikan contoh pemanfaatan lahan kritis lainnya di hutan. Model pelibatan masyarakat untuk menanami lahan kritis, juga menjadi cara efektif bagi pemerintah untuk menjaga hutan dari penebangan liar seperti sebelumnya.

“Buktinya saat yang lain ditebangi, tidak ada satu pun pohon yang ditebang di lahan 7 hektar yang dikelola petani. Ini bukti masyarakat sebenarnya mampu ikut menjaga hutan, asalkan masyarakat juga diperkenankan mengambil manfaat dari hutan,” pungkas Kaswinto.

Sumber : klik di sini

Share Button

Menteri Siti Geram Bupati dan Gubernur “Main Hajar” Keluarkan Izin Pertambangan

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar menyesalkan para pemimpin di daerah yang dengan mudahnya memberikan izin pertambangan, bahkan hingga merangsek ke wilayah hutan lindung dan konservasi.

“Kalau lihat angkanya seram. Izin pertambangan di kawasan hutan ada 25,983485 juta hektar. Di hutan produksi 19,674 juta hektar, sisanya hutan konservasi dan hutan lindung,” kata Siti dalam diskusi Minggu (22/3/2015).

Banyaknya wilayah hutan yang alihfungsi menjadi area pertambangan, sebut Siti, lantaran izin pertambangan dikeluarkan oleh Bupati dan Gubernur, dan bukannya dari Kementerian ESDM dan atau dari Ditjen Minerba.

“Saya nanya, seharusnya Menteri ESDM. Tapi ternyata dari Bupati dan Gubernur. Jadi dia main hajar saja. Hutan konservasi masuk, hutan lindung masuk. Ini sedang kita rapikan,” lanjut Siti.

Selain itu, sebut Siti,  banyak izin yang ternyata tidak mengikuti kaidah tata kelola baik. Saat ini ada sekitar 10.648 izin pertambangan, dan IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang dikeluarkan Bupati dan Gubernur sebanyak 7.519 izin.

“Dan celakanya, ini data dari KPK dan pajak, 16 persen (dari 7.519 IUP) tidak ada NPWP-nya. Ini memang menjadi perhatian,” kata Siti.

Menurut Siti, Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam perlu dilanjutkan. Memang ada beberapa masalah yang melatarbelakangi gerakan tersebut, seperti lemahnya informasi, longgarnya regulasi, masalah negoisasi kontrak dan tata kelola yang belum benar.

“Dan yang terpenting bagi lingkungan adalah kewajiban reklamasi tambang. Ini juga hampir tidak dilakukan. Ini semua menjadi catatan kita,” kata Siti.

Sumber : klik di sini

Share Button

Menhut Akui Penyusunan Peta Tunggal Bisa Lama

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya pesimis peta tunggal yang disusun pemerintah dan kementerian terkait saat ini bisa diselesaikan dalam tempo kurang dari setahun.

“Tahun ini kalau untuk mengawalinya, bisa. Tapi kalau selesainya, cukup panjang (jalannya),” kata Siti kepada wartawan usai rapat koordinasi One Map Policy, Kamis (19/3/2015).

Di samping banyaknya peta tematik dari berbagai instansi yang perlu disatukan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang belum selesai juga berpeluang menghambat penyusunan peta tunggal. Siti menuturkan, saat ini belum seluruh provinsi menyelesaikan RTRW.

Berdasarkan data yang terekam pada Badan Informasi Geospasial (BIG) sudah ada 26 provinsi yang menyelesaikan RTRW. Namun, di catatan KLH sendiri masih ada 9 provinsi yang bermasalah, utamanya perihal kesepakatan luas lahan kehutanan.

“Kita masih berebutan (Kementerian KLH dan Pemprov). Saya bilang di KLH luas hutannya sekian, tapi Provinsi mintanya lebih sedikit. Yang kayak gitu-gitu yang belum ketemu,” lanjut Siti.

Kendati belum seluruhnya rampung, Siti mengatakan sebenarnya proses penyusunan RTRW bisa dilakukan paralel dengan penyusunan peta tunggal.

Sekadar informasi, wacana menyusun peta dasar sudah digagas sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kepala Bappenas kala itu, Armida Alisjahbana memandang munculnya sengketa peruntukan lahan disebabkan adanya perbedaan peta. (baca:Perbedaan Peta Bisa Berujung Sengketa).

Diakui pula oleh Armida sembilan provinsi yang belum merampungkan Perda RTRW menghambat penyusunan peta dasar. (baca: 9 Provinsi Ini Belum Selesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah).

Presiden Joko Widodo sendiri sudah menaruh perhatian pada pentingnya peta tunggal. Bahkan sejak Debat Capres-Cawapres kelima yang mengusung tema ‘Pangan, Energi, dan Lingkungan’ Jokowi menyadari banyaknya kasus tumpang tindih lahan disebabkan tidak adanya peta tunggal.

“Saya berikan contoh di sebuah provinsi ada 753 kasus di 1 provinsi, peruntukkan lahan tumpang tindih, untuk tambang, untuk perkebunan, padalah untuk hutan lindung. Kalau tidak diselesaikan, hutan kita mulai akan digerus untuk kepentingan lain. Tidak ada peta yang jelas,” kata lulusan Fakultas Kehutanan UGM itu, Sabtu (5/7/2014).

Sumber : klik di sini

Share Button

Dari Rakernas AMAN: Mendagri Bicara Soal Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat

Pagi itu, ratusan masyarakat adat dari berbagai penjuru nusantara, berpakaian adat bersiap memasuki Lapangan Waronai, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Itulah tempat pembukaan rapat kerja nasional (rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara IV. Sebelum masuk, di pintu gerbang ada ritual penyambutan. Para pemimpin adat berada di jajaran depan. Antara lain tampak Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat dan Ketua Dewan AMAN Nasional, Hein Namotemo, juga Bupati Halmahera Utara.

Tali penutup jalan digunting, penanda pemilik wilayah adat di Sorong,  menerima para tamu dari berbagai daerah itu masuk. Beberapa pejabat juga baru tiba. Ada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Gubernur Papua Barat  Abraham Octavianus Atururi, dan jajaran pimpinan daerah Papua Barat, yang lain. Tak lama, Tjahjo Kumolo Menteri Dalam Negeri, juga datang. Dia disambut tarian selamat datang.

Pada 17 Maret itu, AMAN tak hanya rakernas. Itu juga hari ulang tahun ke-16 organisasi ini, sekaligus memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat  Adat. Tjahjo Kumolo dan Siti Nurbaya, hadir mewakili Presiden Joko Widodo.

“Kami menyampaikan sambutan atas nama pemerintah. Moga rakernas dan Hut ke-16 moga bisa lahirkan pikiran buat menata kekuatan masyarakat adat sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan negara Indonesia,” kata Tjahjo.

Sebelum Indonesia, berdiri, katanya, masyarakat adat sudah ada lebih dulu. “Jadi masyarakat adat nusantara, harus mampu jadi perekat kebhinekaan, dan kekuatan bangsa yang besar.”

Untuk itu, dia atas nama pemerintah dan Mendagri, meminta seluruh bupati dan walikota serius memberikan perhatian kepada desa dan wilayah adat di daerah masing-masing. “Lakukan pendataan, penataan, hingga jelas mana hak-hak adat., yang merupakan daerah yang harus dihargai,” ujar dia.

Sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, menjadi angin segar perjuangan masyarakat adat Indonesia. Masyarakat adat, kata Tjahjo,  memiliki hak, kewenangan kongkrit untuk  mengelola adat, sosial, kultural, sampai ekonomi. “Ini bagian di mana ada hak tradisional tersimpan yang melekat pada masyarakat hukum adat.”

Dia menyadari, pengabaian pengakuan hak-hak kepada masyarakat adat selama ini menciptakan ketidakpercayaan kepada pemerintah dan benturan-benturan di lapangan. “Ke depan harus dihilangkan.”

Guna membangun struktur sosial, ekonomi, dan politik dalam mendukung pemberdayaan,  katanya, masyarakat adat harus diberi ruang untuk mengembangkan kearifan lokal dalam proses pembangunan daerah. Pemerintah, katanya, seperti janji presiden, akan mengupayakan pengakuan dan perlindungan masyarakat  hukum adat, baik secara ekonomi, sosial, dan budaya.

“Kami sebagai pembantu presiden akan mengeluarkan instruksi kembali untuk meminta pada seluruh kepala daerah memetakan, memberdayakan, agar nilai-nilai budaya, adat yang tersebar di seluruh wilayah bisa terjaga baik dan terhormat.”

Dia mengatakan, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat  merupakan tugas besar bersama. “Terutama masyarakat adat nusantara dan pemerintah serta elemen bangsa. Kita percepat pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat adat. Ini penting.”

Jadi, komitmen-komitmen presiden yang tertuang dalam Nawacita, ucap Tjahjo, merupakan kampanye politik yang harus dilaksanakan. “Saya Siti, akan menjadi bagian dari komitmen dan janji politik yang telah disusun dalam program jangka pendek, menengah dan panjang dan dijabarkan dalam RPJM. Tentu,  ini proses menuju pembangunan dengan lebih baik.”

Abdon Nababan, Sekjen AMAN mengatakan, awalnya berharap kehadiran kedua menteri yang mewakili presiden ini membawa kabar kongkret bagi masyarakat adat ternyata belum. Meskipun, kedua menteri mempertegas komitmen pemerintah akan memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat. “Kita pikir, misal,  ada kejelasan soal kapan pasti Satgas Masyarakat Adat terbentuk. Rupanya belum.”

Wali data peta adat

Meskipun Tjahjo berulangkali menegaskan soal percepatan pengakuan dan perlindungan hak-hak adat, namun kementerian ini belum menyiapkan infrastuktur buat menjadi walidata peta-peta wilayah adat. “Saat ini belum, kita masih siapkan infrastruktur. Nanti daerah yang pemetaan, saya sudah minta kepala daerah perhatikan,” kata Tjahjo usai acara.

Akhir, tahun lalu, Kepala BP REDD+, Heru Prasetyo mengatakan, Kemendagri siap menjadi wali data tetapi masih membangun infrastruktur, berupa kebijakan yang mengatur itu. Karena itulah, maka BP REDD+–yang kini lebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—bersedia menjadi wali data sementara.

Abdon mengatakan, akhir tahun lalu, AMAN sudah menyerahkan 4,8 juta hektar peta wilayah adat kepada BP REDD+ dan KLHK. “Sampai sekarang belum ada perkembangan.” Sampai saat ini, katanya, belum ada satupun lembaga pemerintah yang siap menjadi wali data peta-peta itu.

Komunitas adat di AMAN

Sementara itu, dalam usia 16 tahun ini, AMAN sudah mempunyai 21 pengurus wilayah, 107 pengurus daerah, tiga organisasi sayap, tiga badan otonom, dan 2.244 komunitas adat. “AMAN mengurus langsung, hampir 17 juta warga adat di seluruh nusantara,” kata Abdon.

Dalam rakernas AMAN yang berlangsung 16-19 Maret 2015 ini AMAN menerima 128 komunitas sebagai anggota baru, 64 dengan syarat dan mengeluarkan satu anggota. Kini, anggota AMAN menjadi 2.349 komunitas.

Dalam pernyataan resmi lewat website AMAN, menyebutkan, masyarakat adat di Aceh, menyatakan kembali bergabung dengan AMAN. Hein Namotemo, Ketua Dewan AMAN Nasional senang masyarakat adat Aceh ingin kembali bergabung. Aceh menyatakan keluar dari keanggotaan AMAN saat Kongres AMAN III 2007 di Pontianak.

Sumber : klik di sini

Share Button