Meski berstatus taman nasional, kawasan Meru Betiri memiliki ribuan hektar lahan kritis hutan. Berbagai cara dilakukan untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut, salah satunya adalah dengan cara memberdayakan masyarakat.
Pihak Taman Nasional (TN) Meru Betiri berhasil merehabilitasi lahan kritis dengan cara dengan menggandeng masyarakat sekitar untuk bekerjasama mengelola lahan seluas 7 hektar, sekaligus mencegah upaya pembalakan kayu hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Keterlibatan masyarakat menjadi penting ditengah minimnya upaya pemerintah serta aparatur terkait dalam menjaga kelestarian hutan. Program rehabilitasi bersama masyarakat saat ini telah dilakukan pada lahan seluas 4.023 hektar, dilakukan dengan menanam tanaman ekonomis berdimensi konservasi.
Menurut Nurhadi selaku Direktur Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), LSM yang didirikan dari dan oleh masyarakat setempat, kegiatan rehabilitasi lahan merupakan cara yang efektif untuk menjaga serta melestarikan hutan, karena didalamnya juga berlangsung proses penguatan ekonomi masyarakat, melalui pemanfaatan lahan serta tanaman hutan tanpa harus menebang pohon.
“Masyarakat dapat menghasilkan tanaman tumpangsari disamping tanaman pokok hutan yang ditanam. Ini agar masyarakat aktif melakukan kegiatan rehabilitasi hutan di lahan rehabilitasi, serta mengelola dan mendapatkan hasilnya untuk meningkatkan ekonomi keluarga,” ujar Nurhadi.
Dalam program rehabilitasi itu, masyarakat mendapat izin menanam dan mengelola tanamam pokok dan tanaman tumpangsari pada lahan yang masih gundul, tetapi lahan tetap milik TN Meru Betiri. Sekarang lahan menjadi hjau dan rimbun.
“Setelah lahan digarap masyarakat, masyarakat menerima manfaar dari tanaman tumpang sari, sedangkan Taman Nasional menerima manfaat dari tanaman pokoknya, artinya pohonnya ada lagi,” tutur Abdul Halim Fanani, warga Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jatim yang berharap sinergi semacam ini dapat terus terbina.
Abdul mengatakan legalitas hak pengelolaan pada lahan kritis kepada masyarakat menjadi penting ada kawasan konservasi seperti di TN Meru Betiri, agar tidak bermasalah dengan hukum.
“Legalitas, dimana masyarakat diberikan hak resmi tertulis untuk mengelola hutan. Kalau bicara konservasi itu sangat kaku, tapi pertanyaannya mampukah pemerintah kita melakukan itu. Maka alternatifnya adalah keterlibatan masyarakat dalam membantu konservasi,” kata Abdul Halim yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Urusan Keamanan Desa.
Tingkat pendidikan masyarakat desa yang masih tergolong rendah, bukanlah halangan untuk peduli konservasi hutan pasca terjadinya penjarahan kayu di hutan.
Kepedulian konservasi masyarakat, kata Abdul, berawal dari perkenalan dengan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) yang memberikan pemahaman tentang lingkungan di kawasan hutan TN Meru Betiri.
“Masyarakat tidak serta merta mau ikut apalagi ini terkait dengan lingkungan, yang harus memberi pemahaman mengenai dampak ketika hutan terbakar atau gundul, maka masyarakat yang tinggal dekat dengan hutan adalah kuncinya,” katanya.
Untuk menampung dan mengelola hasil panen tumpangsari dari program rehabilitasi itu, didirikan koperasi bernama Multi Usaha Lestari.
“Saat ini petani sudah bisa mengelola hasil dari lahan rehabilitasi berupa keripik nangka. Kalau buah nangka dulunya dijual seperti biasa itu kurang menguntungkan, dengan dijadikan keripik nangka bisa mendatangkan nilai lebih,” papar Nurhadi.
Selain keripik nangka juga ada hasil buah-buahan lainnya serta buah hasil pohon hutan seperti kemiri, kedawung, dan pakem. Ibu-ibu rumah tangga juga turut memanfaatkan tanaman hasil hutan rehabilitasi seluas 7 hektar, dalam bentuk pengolahan dan pembuatan jamu tradisional dari tanaman obat.
“Dari pekarangan dan di lahan rehabilitasi serta di dalam hutan kami memperoleh kapulogo, kemukus, cabe jawa, ada juga kayu rapat. Kami bersyukur karena orang yang sakit dan tidak dapat sembuh secara medis, dapat diobati dan sembuh dengan ramuan Toga (tanaman obat keluarga),” ujar Katemi, Ketua Kelompok Toga Sumber Waras, Desa Andongrejo.
Ada sekitar 70 jenis dari 300-350 bibit tanaman obat dari hutan yang berhasil dibudidayakan di pekarangan warga dan diolah untuk dijual menjadi jamu tradisional yang meningkatkan perekonomian warga.
“Manfaat obat dari Taman Nasional Meru Betiri cukup membantu, baik untuk menyembuhkan penyakit maupun menambah pendapatan dari menjual jamu,” tambah Katemi yang mengaku telah menerima pesanan jamu tradisional dari berbagai daerah dan luar pulau Jawa.
Sedangkan Kepala Resort Andongrejo, TN Meru Betiri, Heman Sutresna mengatakan, kerjasama pengelolaan hutan di lahan rehabilitasi telah banyak membantu Taman Nasional menghijaukan kembali kawasan yang kritis.
“Pasca reformasi terjadi penjarahan kayu secara besar-besaran di Meru Betiri, dengan merintis kegiatan rehabilitasi kawasan hutan yang kritis bersama masyarakat, tugas kami dalam menjaga hutan menjadi terbantu,” kata Heman.
Terdapat 4 desa yang berbatasan langsung dengan TN Meru Betiri, yaitu Desa Curahnongko, Andongrejo, Sanenrojo, dan Wonoasri, dimana terdapat 24 kelompok petani hutan di Desa Curahnongko dan 18 kelompok petani hutan di Desa Andongrejo, yang diajak bekerjasama mengembalikan fungsi hutan.
Pada seluruh kawasan Taman nasional Meru Betiri yang masih perlu direhabilitasi, tercatat seluas 2.773 hektar berdasarkan review zonasi yang dilakukan pada tahun 2011.
“Dari semua upaya yang telah kita lakukan, masih ada 60 persen lahan kritis yang belum direhabilitasi, peran masyarakat sangat penting bagi kami karena mereka sangat membantu menghijaukan kembali lahan yang kritis,” ujarnya.
Heman mengungkapkan, kendala yang dihadapi hingga kini adalah pemahaman masyarakat yang masih suka menanam tanaman pertanian, yang mendatangkan keuntungan untuk jangka pendek. Sedangkan tanaman hutan justru dapat mendatangkan nilai ekonomis yang lebih tinggi, dengan memanen buah tanaman pokok tanpa biaya perawatan.
“Belum semua masyarakat menyadari pentingnya melestarikan hutan, banyak juga yang kurang peduli, diberi bibit gratis tapi tidak mau menanam. Kami memberikan pemahaman bahwa menanam untuk masa depan, tidak hari ini tapi paling tidak 5 tahun baru bisa dinikmati hasilnya,” tutur Heman.
Selain minimnya sumber daya yang dimiliki TN, Heman menambahkan bahwa belum semua masyarakat peduli terhadap pelestarian dan rehabilitasi hutan. Persoalan pendidikan masyarakat yang masih rendah serta alasan ekonomi menjadikan upaya rehabilitasi hutan berjalan lambat.
Namun demikian, kelompok masyarakat petani hutan seperti di Curahnongko dan Andongrejo menjadi contoh yang baik dalam rangka menyadarkan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat, mengenai konservasi yang mendatangkan keuntungan bagi perekonomian masyarakat.
“Masyarakat sekitar hutan adalah yang paling terdampak bila hutan gundul dan rawan bencana. Kami berharap banyak masyarakat di sekitar kawasan hutan lainnya, ikut terlibat dalam upaya pelestarian serta rehabilitasi hutan dan tetap memperoleh keuntungan,” tandasnya.
Fasilitator dari LATIN, Kaswinto menambahkan, model pengelolaan lahan kritis melalui program rehabilitasi 7 hektar di Curahnongko dan Andongrejo, dapat dijadikan contoh pemanfaatan lahan kritis lainnya di hutan. Model pelibatan masyarakat untuk menanami lahan kritis, juga menjadi cara efektif bagi pemerintah untuk menjaga hutan dari penebangan liar seperti sebelumnya.
“Buktinya saat yang lain ditebangi, tidak ada satu pun pohon yang ditebang di lahan 7 hektar yang dikelola petani. Ini bukti masyarakat sebenarnya mampu ikut menjaga hutan, asalkan masyarakat juga diperkenankan mengambil manfaat dari hutan,” pungkas Kaswinto.
Sumber : klik di sini