Minim Pemahaman Penyebab Penghalauan Gajah Memakan Korban Manusia

Minimnya pemahaman membuat upaya penghalauan gajah kerap memakan korban. Januari 2015 lalu, seorang warga dusun Lubukcengkeh, Musarapakat, Aceh, tewas dalam upaya penghalauan.

“Pengusiran kita lakukan malam. Waktu itu gajahnya kita kepung,” ungkap Suheri, Kepala Yayasan Penyelamatan Satwa Bener Meriah yang terlibat upaya penghalauan kepada Kompas.com di sela pelatihan penghalauan gajah Sumatera yang diselenggarakan WWF Indonesia di Takengon, Aceh, Selasa (17/2/2015).

Heri bercerita, gajah yang dikepung akhirnya bingung dan tidak menemukan jalan keluar. Ketika gajah akhirnya tidak berhasil dihalau, salah seorang anggota tim yang terlibat pengusiran justru mendekati gajah. Akhirnya, anggota tim tersebut justru menjadi korban amukan gajah dan tewas diserang.

Mengidentifikasi kesalahan dalam kasus tersebut, Heri mengatakan, “Kita tidak kompak.” Anggota tim yang mendekati gajah adalah tetua desa dan terkenal memiliki keberanian. Dari kasus tersebut, Heri sadar bahwa keberanian saja tidak cukup.

Syamsuardi, Koordinator Mitigasi Konflik Gajah-Harimau, mengungkapkan bahwa penghalauan gajah untuk mencegah konflik dengan warga dan perusakan lahan tidak cukup dengan kekuatan dan keberanian.

“Prinsip pengusiran tidak ada unsur pemaksaan. Kita tidak ingin bertengkar dengan gajah tetapi ingin dia menjauhi kita. Dalam mengusir gajah, tidak boleh ada korban, baik gajah ataupun manusia,” ungkap Syamsuardi.

Dari kasus pengusiran yang dilakukan tim Heri, pelajaran yang penting adalah memberikan pilihan bagi gajah untuk bergerak dalam upaya penghalauan, bukan mengepungnya. “Kita harus tahu ke mana gajah akan dihalau dan memberikan jalan ke sana,” jelasnya.

Syamsuardi menambahkan, dalam pengahalauan gajah, kuncinya adanya pemimpin, sikap tenang, memastikan gajah mengetahui keberadaan manusia, serta kekompakan. “Masing-masing menggadaikan nyawa,” jelasnya.

Ada pula beberapa pantangan seperti tidak mengusir gajah pada malam hari, tidak menghalau gajah yang sedang birahi, tidak mengusir gajah dengan cara yang mengagetkan, serta selalu berada di tempat yang lebih tinggi saat berhadapan.

Syamsuardi mengatakan, keahlian dalam menghalau gajah saat ini penting. Di Aceh, konflik dengan satwa liar semakin tinggi seiring semakin banyaknya pembukaan lahan untul kebun. Keahlian menghalau gajah akan meminimalkan kerugian dan konflik dengan satwa yang kian terancam tersebut.

Sumber : klik di sini

Share Button

Tanpa BP REDD+, Kalimantan Timur Tetap Jalankan Agenda Perubahan Iklim

Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, menyatakan bahwa Kalimantan Timur tetap akan menjalankan agenda perubahan iklim. Pernyataan tersebut disampaikan Awang terkait Peraturan Presiden No.16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang telah melikuidasi BP REDD+, pada pertemuan yang diselenggarakan oleh Dewan Daerah Perubahan Ikllim di Samarinda, (Rabu/18/2/2014).

Awang menyatakan, Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) akan tetap dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan dasar hukumnya. “DDPI merupakan salah satu best practice dari Kalimantan Timur, jadi harus dipertahankan dan kalau perlu landasan hukumnya bukan lagi SK Gubernur melainkan peraturan daerah,” ujar Awang.

Lebih lanjut, Awang meminta Ketua Harian DDPI Kalimantan Timur (Kaltim) untuk mempersiapkan pertemuan dengar pendapat dengan DPRD Provinsi Kaltim agar mendapatkan dukungan dan posisinya lebih kuat. “DDPI itu bukan gubernur, tapi kita semua termasuk LSM yang peduli dan punya komitmen terhadap perubahan iklim. DDPI adalah payung” tegas Awang.

Awang juga meminta LSM agar tidak apriori terhadap pemerintah provinsi. Menurutnya, Pemerintah Kaltim terbuka dan menghargai sikap kritis LSM. “Saya terbuka untuk berdiskusi dan mari kita selamatkan kekayaan sumber daya hayati Kalimantan Timur ,” himbaunya.

Pemerintah provinsi serius dalam menahan laju kerusakah hutan dan lahan di Kalimantan Timur. “Surat edaran  moratorium perizinan untuk tambang batubara, pembukaan lahan perkebunan, dan hak pengusahaan hutan akan saya tingkatkan menjadi peraturan gubernur,” pungkasnya.

Daddy Ruhiyat, Ketua Harian DDPI Kaltim, menegaskan bahwa DDPI memfokuskan kegiatan pada upaya koordinasi, pemantauan, dan evaluasi program yang berkaitan dengan perubahan iklim dengan mendorong implementasinya. “Kegiatan DDPI Kaltim dilaksanakan oleh tiga kelompok kerja (pokja), yaitu Pokja REDD+/LULUCF, Pokja Green Growth, dan Pokja MRV,” terangnya.

Wiwin Efendi, Koordinator WWF Indonesia-Kalimantan Timur, mendukung niat Gubernur Kaltim untuk mempertahankan DDPI. “DDPI telah dikenal di tingkat nasional dan internasional. Kami sepakat untuk tidak dibubarkan namun perlu direformulasi terkait dengan peraturan presiden yang telah diterbitkan presiden,” kata Wiwin.

Dukungan serupa disampaikan Deddy Hadriyanto, Direktur Pusat Kajian Iklim Universitas Mulawarman. Mengacu pada peraturan presiden dimana ada Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Deddy bahkan mengusulkan agar DDPI menjadi unit pelaksana teknis (UPT). “Dengan menjadi UPT yang berada langsung di bawah gubernur, kinerja DDPI akan lebih efektif dan mampu mengontrol seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang ada di Kaltim,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Sumber : klik di sini

Share Button

Nanik, Gajah Sumatera di SM Padang Sugihan Sebokor, Melahirkan Anak Pertamanya

Jumat (30/01/2015) pagi, Nanik (45) “menjerit” kesakitan di bawah sebuah pohon gelam. Cairan terus membasahi kedua pahanya. Rahmad hanya memperhatikan sembari bersiaga. Sekitar pukul 08.05 WIB, akhirnya Nanik berhasil melahirkan anaknya. Seekor gajah jantan.

Nanik merupakan gajah betina keempat, dalam tiga tahun terakhir, yang melahirkan di Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan Sebokor, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Sebelum Nanik, ada Adelia, Yeyen, dan Susi yang melahirkan di sana.

“Ini merupakan anak pertama Nanik. Anak ini hasil perkawinannya dengan Tulus (30),” kata Rahmad, pawang gajah yang merawat Nanik, saat mengajak Mongabay Indonesia melihat Nanik dan anaknya di padang rumput yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Kantor Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan, Banyuasin, Kamis (19/02/2015) siang. Gajah yang dilatih di Padang Sugihan ini ada sekitar 29 ekor.

Menurut Rahmad, saat ini ada empat anak gajah yang usianya dua tahun. “Kesehatannya belum stabil. Kalau sudah berusia tiga tahun, akan diberikan nama. Tapi yang memberikan orang kantor (BKSDA Sumsel),” kata Rahmad.

Rahmad mengaku sangat bahagia melihat Nanik melahirkan anak pertamanya, setelah hamil hampir dua tahun. Selama kehamilannya, Rahmad mengaku sangat cemas. Apalagi Nanik mengandung anak pertamanya.

“Saat anaknya dilahirkan dengan kondisi sehat, rasanya lega dan bahagia,” kata Rahmad.

Selama ini, banyak gajah hamil dari Air Sugihan dibawa ke daerah lainnya, termasuk ke Jawa dan Bali. “Saat mendengar mereka melahirkan dari pemberitaan, rasanya hati miris, sebab sejak kecil hingga hamil kami yang merawatnya. Jadi, ketika gajah yang kami rawat melahirkan di sini, rasanya bahagia sekali. Semua pawang di sini merasa bahagia,” ujarnya. Ada 30-an pawang yang bekerja di Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan.

Objek wisata

Baru dalam setahun terakhir, keberadaan Pusat Latihan Gajah Padang Sugihan di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor ini diketahui sebagian besar masyarakat Sumatera Selatan. Ini pun terungkap setelah adanya kunjungan sejumlah pejabat BP REDD+ (sebelum dibubarkan) ke lokasi tersebut. Padahal, pesisir timur Sumatera Selatan sejak dahulu dikenal sebagai wilayah gajah sumatera.

“Terus-terang keberadaan gajah di sini sebelumnya luput dari pantauan. Setelah diketahui, jelas ini merupakan potensi wisata yang cukup besar. Rencananya, ke depan lokasi ini akan dijadikan objek wisata lingkungan,” kata M. Ali Akbar, Staf Ahli Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Bidang Infrastruktur, saat mengunjungi Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, Kamis (19/02/2015).

Objek wisata lingkungan berbasis sungai ini akan dijalankan sebelum penyelenggaraan Asian Games 2018 nanti. Ada pun rutenya, dimulai dari Plasa Benteng Kuto Besak. Dari sini wisatawan diajak mengunjungi Taman Purbakala Sriwijaya di Karanganyar, Gandus, Palembang.

“Di sini, para wisatawan akan melihat taman buah. Di sini juga para wisatawan diperbolehkan menanam pohon buah. Jadi, kondisinya seperti taman buah di masa Kerajaan Sriwijaya dulu,” kata Ali.

Selanjutnya, wisatawan diajak menuju Bagus Kuning yang berada di Plaju Palembang. Wisatawan akan menyaksikan ratusan monyet ekor panjang yang memiliki legenda yang cukup dikenal di Indonesia. Para wisatawan dapat memberikan makanan kepada ratusan monyet ekor panjang itu.

Perjalanan diteruskan menuju Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor. Di sini, para wisatawan dapat melihat langsung gajah sumatera yang tengah dilatih. Di lokasi ini wisatawan juga diperbolehkan melakukan penanaman.

Berikutnya, pulang ke arah Palembang menuju Pulau Kemarau. Di pulau ini selain berwisata reliji dan kuliner, para wisatawan juga dapat melakukan penanaman pohon di pulau yang terletak di tengah Sungai Musi itu.

Terakhir, wisatawan diajak ke Jakabaring, melihat taman, hutan wisata, dan berperahu di kanal, di lokasi yang dijadikan tempat penyelenggaraan Asian Games 2018 nanti.

“Guna menunjang kegiatan wisata tersebut, akan dilakukan pembangunan dan peneydiaan infrastruktur seperti dermaga, kapal cepat, pusat kuliner dan kerajinan. Intinya menyenangkan, hijau, dan mensejahterahkan masyarakat,” kata Ali.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, menjelaskan konsep wisata tersebut merupakan hasil pemikiran para staf ahli dari bidang lingkungan hidup, pariwisata dan kebudayaan, dan infrastruktur.

“Ini sesuai keinginan Gubernur Sumsel Alex Noerdin, agar ke depan Sumsel harus hijau, indah, dikunjungi wisatawan sehingga ekonomi rakyat meningkat, serta bebas kebakaran. Potensi Sumsel, khususnya Palembang, jika dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, Vietnam, jauh lebih baik dan banyak. Semua ada di sini, dari wisata air, sejarah, hingga keindahan wilayah pegunungan,” ujarnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

Melestarikan Jasa Lingkungan Mangrove

Pantai Mertasari, Sanur Kauh, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, hari Jum’at (13/2) riuh. Pada tanah timbul yang dibelah Sungai Loloan, para pegiat mangrove, tua-muda, putera-puteri, menyeberangi sungai, dan menanam bibit mangrove.

Sebagian pohon mangrove pantai Mertasari telah meranggas mati, lantaran tak tersentuh air laut. Sedimentasi yang membentuk tanah timbul menghalangi air laut menyentuh sebagian hutan mangrove.

Berbagai macam sampah terkumpul di pantai, menutupi akar-akar pohon, makin mempercepat kematian pohon mangrove. Penanaman para pegiat mangrove itu bakal memperkaya dan menumbuhkan kembali mangrove di pantai Mertasari.

“Mangrove mempunyai peran spesifik lokal yang tidak bisa digantikan oleh hutan lain,” tutur Cecep Kusmana, pakar silvikultur Institut Pertanian Bogor dalam forum ‘Mangrove for Nation: Mangrove untuk Pembangunan Berkelanjutan’. Cecep menuturkan mangrove hanya bisa tumbuh di daerah pasang surut. “Di luar itu tidak bisa.”

Selain berperan secara ekologis, mangrove bermanfaat dalam pembangunan sebagai sumber pangan, papan, obat-obatan dan energi. Fungsi jasa lingkungan mangrove mencapai 95 persen. Namun, tanpa ada nilai 5 persen yang berupa kayu, jasa lingkungan 95 persen itu tidak akan ada.

“Mangrove berperan sebagai penyangga kehidupan untuk air, tanah dan udara. Di samping itu juga berfungsi sebagai penyerap karbon, tempat hidup ikan dan burung,” papar Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Menurut hasil penelitian, hutan mangrove selebar 200 meter, dengan kerapatan pohon 3.000 per hektare, dengan diameter rata-rata 15 cm bisa meredam tinggi gelombang hingga 50-60 persen, dan kecepatannya ombak 40-60 persen,” imbuh Cecep Kusmana. “Jadi, pohon-pohon mangrove memecah gelombang.”

Untuk itulah, papar Hilman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menginisiasi peta Mangrove Nasional. “Dimulai dari Pulau Jawa dan Sumatra. Pada 2012-2013, telah dilakukan rehabilitasi sekitar 31.675 hektare hutan mangrove di 423 kabupaten/kota,” ungkap Hilman.

Pada forum yang diselenggarakan oleh Kompas dan Pertamina itu, Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengutarakan upaya pemerintah kota dalam melestarikan hutan mangrove. Ia memaparkan bahwa Rencana Tata Ruang Kota Surabaya terus berubah dari 1978 hingga 2008. Padahal, dia menegaskan, perlindungan hutan mangrove sangat tergantung pada rencana tata ruang.

Dia memaparkan bahwa pemerintah kota telah menyelamatkan 2.500 hektare, dari 3.600 hektare mangrove, yang belum dibebani izin. “Tapi, ya, dengan penyesuaian, pelan-pelan. Seiring waktu, memang hutan mangrove telah banyak berubah, banyakmizin sudah dikeluarkan. Hutan yang diselamatkan itu dikembalikan menjadi kawasan konservasi mangrove pantai timur Surabaya (Pamurbaya).” Upaya pelestarian mangrove di Surabaya juga mengajak masyarakat terlibat.

“Siapa saja, siswa-siswi, pelajar, TNI-Polri dan seluruh LSM.” Namun, Tri Rismaharini menuturkan, tetap saja ada pihak yang ingin mendapatkan izin untuk melepas kawasan mangrove yang telah dilestarikan itu. “Mungkin ngetes saya…. Tapi tidak saya lepaskan kawasan itu. Sampai kapan pun tidak akan saya lepas.”

Forum Mangrove for Nation adalah untuk mempertemukan para pihak dalam melestarikan hutan mangrove. “Intinya, bumi itu hijau. Faktanya, ada masalah abrasi dan sebagainya, sehingga daratan menjadi berkurang. Maka, gerakan yang makin intensif adalah rehabilitasi mangrove, di samping menghijaukan bumi, juga menahan adanya abrasi,” papar Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto.

Tidak hanya di pantai Mertasari, upaya Pertamina merehabilitasi lahan-lahan pesisir yang kritis juga dilakukan di semua wilayah operasi Pertamina. “Yang paling dekat, nanti kita lakukan upaya yang sama di Semarang, Jawa Tengah.”

Dia menambahkan pelestarian lingkungan melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan terangkum dalam ‘Menabung 100 Juta Pohon’. “Ini sebagai kontribusi bagi bumi, serta bagi nusa dan bangsa.”

sumber: klik di sini

Share Button

AMAN: Segera Bentuk Satgas Khusus Masyarakat Adat

Hampir 70 tahun Indonesia merdeka. Namun, kemerdekaan itu tampaknya belum dirasakan masyarakat adat yang hidup dalam ketidakpastian, karena hak-hak mereka belum terpenuhi, termasuk soal wilayah adat. AMAN mendesak, pemerintah segera merealisasikan satgas khusus masyarakat adat.

“Hingga saat ini pemerintah tidak mempunyai data tentang masyarakat adat dan wilayahnya,” kata Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di Jakarta, Senin (16/2/15).

Padahal, katanya,  keberadaan data memudahkan pemerintah dalam kebijakan seperti satu peta, putusan MK 35, dan UU Desa. Hal ini,  sejalan dengan komitmen presiden guna menghadirkan lembaga permanen bagi masyarakat adat.

“Ini juga mudah-mudahan tidak dilupakan. Sebenarnya, beberapa bulan belakangan kami bekerja sekretaris kabinet menyiapkan satu keputusan presiden tentang pembentukan satuan tugas presiden untuk masyarakat adat.”

Draf pembentukan satgas dan jadwal rapat ini, katanya, sebenarnya sudah siap. Namun, tersandung konstalasi politik yang memanas terkait konflik KPK vs Polri.

“Sekarang presiden sibuk mengurus urusan KPK dan Polri. Mudah-mudahan setelah gonjang-ganjing selesai pembuatan satgas berjalan,” ujar dia.

Tugas satgas, antara lain, menyiapkan kerangka pasti terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Termasuk pendaftaran dan pengakuan hukum wilayah.  ”Tidak ada sistem administrasi terhadap masyarakat dan wilayah adat. Ini tantangan besar.”

Hampir 75%, wilayah adat terbebani izin, baik HPH, tambang, HGU dan lain-lain. Pemberian izin, merupakan perampasan wilayah adat. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan dan pencemaran terjadi. Celakanya,  kalau masyarakat protes, justru seringkali mengalami kriminalisasi.

“Bukan perusahaan yang kena. Baru-baru ini kami menyerahkan 166 nama dipenjara dan masih buronan kepada presiden lewat seskab.  Kami rekomendasikan mendapatkan grasi, abolisi, dan amnesti presiden. Ini tugas satgas yang nanti dibentuk.”

Menurut dia, mekanisme permanen dan UU perlindungan masyarakat adat belum ada, maka kebijakan transisi seperti pembentukan satgas menjadi penting.

“Ini kebijakan transisi supaya masyarakat adat tidak makin tertindas. Kebijakan transisi mungkin belum bisa memulihkan situasi, minimal tidak menambah masalah dan tidak membuat pelanggaran HAM masyarakat adat makin banyak,” ucap Abdon.

Tugas satgas, katanya, memastikan pengesahan RUU masyarakat adat  dengan peran serta pemerintah dan mempersiapkan lembaga permanen.

“Lembaga ini bisa karena dimandatkan RUU yang akan disahkan, atau juga langsung di bawah presiden. Seperti Badan Pengembangan Ekonomi Kreatif sekarang dibentuk, langsung di bawah presiden. Hingga jadi pekerjaan rutin pemerintahan.”

Satgas juga mendata dan menginventarisir korban-korban kriminalisasi dan memberikan rekomendasi kepada presiden.  “Mana yang dapat grasi, amnesti, abolisi maupun rehabilitasi.”

Maksud satgas ini, kata Abdon, memulai proses rekonsiliasi antara negara dengan masyarakat adat. “Ketika rekonsiliasi berjalan lanjutkan  dengan badan tetap.”

Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan, pendaftaran wilayah adat langkah awal menuju pengakuan masyarakat adat.

“Kejelasan data peta wilayah dan informasi sosial masyarakat adat dapat menggambarkan sejarah keberadaan, serta hubungan masyarakat dengan tanah, air dan ruang hidup.”

Sayangnya, hingga kini belum ada lembaga pemerintah resmi sebagai tempat pendaftaran wilayah adat di Indonesia. Padahal, pemetaan partisipatif oleh masyarakat adat sudah sejak 20 tahun lalu.  “Sudah banyak peta adat dihasilkan.”

Akhir 2014, BRWA bersama AMAN dan JKPP telah menyampaikan 517 peta adat seluas 4,8 juta hektar kepada BP REDD+ dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

RUU Masyarakat Hukum Adat tak masuk Prolegnas

Sementara itu, RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat  yang dibahas DPR periode lalu ternyata tak masuk prioritas prolegnas DPR 2015.

“Walaupun masuk ke kerangka kerja prolegnas lima tahun ke depan. Ini satu tantangan lagi,” kata Kasmita.

Abdon sangat kecewa karena tdak sesuai janji Presiden Joko Widodo saat kampanye.”Ketika Pak Jokowi calon presiden dan bertemu AMAN, memberikan komitmen menindaklanjuti berbagai usulan yang AMAN. Kita juga bisa lihat dokumen nawacita. Dia akan mengawal percepatan RUU masyarakat adat.”

“RUU itu sudah ada di DPR. Mungkin kurang koordinasi antarkabinet. Kami menemukan di dalam usulan pemerintah ke DPR baru-baru ini, RUU tidak masuk prioritas 2015. Sangat mengecewakan.”

Belajar dari Filipina

Kondisi di Indonesia,  sebenarnya berbanding terbalik dengan Filipina. Negara ini, masyarakat adat baru masuk konstitusi pada 1987 dan tindak lanjut cepat. Sedangkan, Indonesia, masyarakat adat masuk konstitusi sejak 1906 tetapi tak ada tindaklanjut.

Dalam kesempatan sama direktur National Commission of Indigenous People (NCIP) Marlea Munez menceritakan, hak masyarakat adat Filipina masuk konstitusi 1987. Hanya tempo 10 tahun ditindaklanjuti mengeluarkan UU tentang hak-hak masyarakat adat (Indigenous Peoples Right Act-IPRA).

Melalui IPRA, pemerintah membentuk NCIP khusus menangani masyarakat adat. Lembaga ini,  bertugas melayani kepentingan masyarakat adat. Termasuk pendaftaran wilayah adat.

NCIP bertugas mengeluarkan sertifikat hak wilayah adat dan sertifikat tanah leluhur. Ketika ada konflik tenurial masyarakat adat di Filipina, NCIP mendampingi hingga konflik selesai.

Meski begitu ada hal-hal yang membuat NICP tidak efektif. Bagi Abdon, hal itu sebagai pembelajaran agar lembaga di Indonesia, lebih baik dari Filipina.

“Salah satu yang membuat tidak efektif karena budget dan organisasi kecil. Budget kecil itu banyak untuk biaya operasional rutin seperti gaji pegawai. Kapasistas keseluruhan lemah. Ke depan lembaga ini tidak ingin seperti itu. Harus lebih kuat.” Hal ini penting mengingat masyarakat adat di Indonesia lebih besar dan wilayah lebih luas dari Filipina.

 

sumber : klik disini

Share Button

Menjaga Mangrove di Tengah Keterancaman

Azhar Kasim, berkata lantang. Dia meminta pemerintah menindak tegas preman pengusaha sawit yang menekan kelompok pemulihan mangrove di Desa Lubuk Kertang, Langkat, Sumatera Utara.

“Preman-preman kebun sawit itu mengancam saya dengan senjata. Penegakan hukum pelaku perusakan hutan mangrove harus tegas,” katanya. Ucapan itu ditujukan kepada Hilman Nugroho, Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada lokakarya pelestarian mangrove di Bali, pekan lalu.

Azhar mengatakan, ada kelompok warga mau merehabilitasi 1.200 hektar mangrove yang jadi kebun sawit.  Sejak 2009, katanya, bersama Kelompok Tani Mangrove Keluarga Bahari mencoba mengembalikan mangrove dengan menjebol beberapa tembok yang dibangun perusahaan sawit.

Setelah tembok jebol, aliran air laut bisa kembali masuk dan merusak kebun sawit. Sebelumnya, perusahaan sawit mematikan mangrove di sana.

Azhar menyebut baru 275 hektar dari 1.200an hektar lahan kembali jadi hutan mangrove. “Hasil melaut berkurang karena mangrove hilang. Saya besar dari penghasilan nelayan tradisional ini,” katanya.

Nelayan tradisional di areal mangrove ini disebut ambai. Mereka biasa membuat semacam perangkap, ketika air laut surut mendapat ikan– mayoritas udang yang banyak di ekosistem mangrove.

“Sebelum diubah jadi kebun sawit sebulan penghasilan bisa Rp2-3 juta, turun jadi Rp200.000-300.000 setelah mangrove mati,” kata Azhar.

Kelompok tani ini, merancang program ekowisata mangrove untuk menambah penghasilan nelayan setelah tanaman itu dihidupkan kembali dan berusia empat tahun.

Rehabilitasi mengutamakan akses nelayan lokal ini juga dilakukan Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Dia hadir di antara kelompok warga pelestari mangrove di Indonesia.

Menurut dia, tak mudah melawan praktik pemberian izin alih fungsi mangrove. Pada 1980, kawasan timur Surabaya nyaris habis. Pernah ada yang mencoba mengembalikan hutan mangrove lalu rusak lagi. Kala jadi walikota 2010,  dia mengeluarkan peraturan daerah menghentikan izin alih fungsi ini. Dari 3.600 hektar, bisa selamat 2.500 hektar menjadi ruang terbuka hijau kawasan konservasi.

“Kita akan bebaskan terus. Kawasan timur Surabaya lebih banyak terancam karena langsung berbatasan lautan lepas.”

Untuk menarik warga terlibat upaya konservasi, Risma membuat program pemberdayaan UKM lewat usaha pengolahan hasil bakau seperti tempe dan kerupuk mangrove.

Pemerintah kota juga mendorong spesialisasi tangkapan nelayan di pesisir utara. Tiap kampong punya spesifikasi hasil laut, seperti bandeng, kepiting, ikan. Risma melarang, akses air bersih dan listrik ke kawasan konservasi agar tak menarik alih fungsi lahan.

Di Bali, kondisi kebalikan. Kepala Dinas Kehutanan I Gusti Ngurah Wiranatha menyebut banyak proyek besar di kawasan hutan mangrove Ngurah Rai, misal jalan tol di perairan Teluk Benoa dan pelabuhan.

Pengelolaan hutan mangrove juga diberikan kepada investor, dan bermasalah karena dinilai sepihak dan tak trasparan dalam pemberian izin. Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali 2013, menggugat Gubernur Bali ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar karena mengeluarkan surat keputusan (SK) izin pemanfaatan Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai  122,22 hektar ke PT. Tirta Rahmat Bahari (TRB). Investor membuat hiburan dan akomodasi dalam hutan mangrove ini.

Dia mengatakan, pemerintah merencanakan revitaliasi 100 hektar pendangkalan dan diklaim tak bisa ditanami mangrove. Karena itu, harus buat alur memudahkan aliran air laut. “Belum ada reklamasi. Masih pengkajian.”

Izin reklamasi untuk PT. TWBI yang ditentang sejumlah warga antara lain, ForBali yang menganggap revitalisasi dengan cara reklamasi bukan jalan keluar. Sebab, merusak lingkungan. Pemberian izinpun dinilai tak transparan.

Tahura Ngurah Rai luas.300an hektar. Memiliki 55 jenis mangrove, dikelompokkan dalam blok perlindungan 610 hektar, pemanfaatan 350 hektar, blok lain seperti pemulihan, khusus, dan religi 413 hektar.

Hilman Nugroho membaca sambutan Menteri Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, sekitar 29% atau lebih dari 1 juta hektar hutan mangrove di Indonesia, rusak.

Dari lebih 3 juta hektar, dalam kondisi baik dan sedang sekitar dua juta. Kerusakan mangrove karena alih fungsi, tambak, pemukiman, industri, infrastruktur, pencemaran limbah, dan lain-lain.

Prof Cecep Kusmana,  Guru Besar Kehutanan IPB meyakinkan mangrove meningkatkan kesuburan tanah. “Juga di pasir seperti Kepulauan Seribu. Harus dilindungi dan dikonservasi.”

Mangrove Cilacap, bisa mengurangi pencemaran dengan menyerap logam berat, intrusi air laut bisa dikurangi, di Pantai Jakarta dari satu km menjadi empat km setelah ada mangrove.

Semua bagian pohon seperti biji dan batang bermanfaat karena mengandung anti oksidan. Teknik rehabilitasi juga berkembang seperti Guludan, breakwater dan menanam di tambak.

Prof Tridoyo Kusumastanto dari IPB mengkritik kebijakan pemerintah dalam rehabilitasi mangrove. Pertama, salah menangkap isu. “Seperti kata Bu Risma, satu manusia berharga. Kalau konsep itu hilang, proses pengambilan kebijakan salah.”

Kedua, implementasi salah walau isu benar. “Implikasi luas kalau ada reklamasi, fungsi terganggu maka sulit mempertahankan keberlanjutan.”

Dwi Wahyu Daryoto, Direktur SDM dan Umum Pertamina memberikan bantuan dana sosial ke komunitas mangrove karena ingin berkontribusi ke masalah global lingkungan dan ketersediaan energi. Secara global, usaha kini harus berorientasi profit, people, dan planet.

Ratna dari Mangrove Action Project Makassar mengkritisi kebijakan pemerintah penganggaran dalam pembibitan. Anggaran, bisa hemat jika penanaman mangrove tepat. “Dari data,  keberhasilan penanaman  rendah. Berjuta mangrove ditanam, seringkali di tempat sama tapi gagal.” Menurut dia, acuan penanaman harus dievaluasi  hingga kegagalan tak berulang.

sumber:klik disini:

Share Button