Pelimpahan perizinan sektor kehutanan dari 35 bidang ditarik sebagian menjadi 17 saja yang diserahkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Alasannya, karena beberapa kewenangan perizinan sudah di pemerintah daerah.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, yang ditarik itu perizinan yang sudah ditangani kabupaten atau provinsi. “Kalau ditarik lagi ke Jakartakan lucu. Contoh perizinan menarik orangutan, dari Taman Safari ke Lampung. Masa’BKPM ngurus begituan?” katanya, awal pekan lalu di Jakarta.
BKPM, katanya, hanya memproses administasi dan tata usaha, teknis tetap KLHK. Kedua lembaga, katanya, terus berkoordinasi untuk menyederhanakan perizinan dan waktu. “Saran BKPM proses dokumen KLHK hanya 45 hari. Kita mau nawar dan sedang dalami urusan teknis.”
KLHK, membutuhkan waktu cukup banyak untuk mengurus hal-hal teknis dalan proses perizinan. “Misal, dokumen, penilaian dan penelaahan itu berbeda. Proses normal 110 hari. Kita minta 60 hari. BKPM minta 45 hari. Sekarang sedang nego. Kita lihat uraian prosedur mana yang bisa dikurangi,” katanya.
Hal lain yang dibicarakan, katanya, soal administrasi perizinan. Ketika perizinan sudah ke BKPM, maka yang menandatangani bukan lagi menteri tetapi Kepala BKPM.
“Lalu nanti kop surat, penomoran dan lain-lain bagaimana? Jadi hal-hal teknis seperti itu yang kita rundingkan.”
Nanti, kata Siti, BKPM tiap enam bulan harus membuat laporan kepada KLHK. “Rata-rata izin prinsip ke definitif membutuhkan waktu dua tahun. Jadi BKPM minimal harus laporan empat kali.”
Kemudian, dokumen-dokumen lama masuk tetapi belum selesai. Contoh, tukar menukar kawasan hutan, itu dokumen lama ada sudah izin prinsip 63 total 231. “Ada syarat tidak lengkap. Terus bagaimana mau diolah kalau tidak lengkap? Ini masih dibahas. Penting untuk kepastian.”
Siti menyangkal anggapan pelimpahan izin kehutanan pada BKPM, berisiko besar terhadap hutan Indonesia. Sebab, meskipun izin di BKPM, proses teknis masih ditangani KLHK.
“BKPM hanya administrasi. Ada empat orang petugas kami di BKPM. Mereka tahu detail. Kepada dirjen mana proses perizinan harus dibawa dan dikoordinasikan.”
Karena itu, katanya, bukan masalah kalau di BKPM ada tenaga ahli lingkungan atau tidak. Karena KLHK terlibat dalam proses perizinan. “Kalau terjadi apa-apa secara hukum, baik KLHK maupun BKPM menjadi tergugat. Juga menteri sektor bisa tergugat.”
Begitu juga dengan proses Amdal, di KLHK paling lama 105 hari tetapi BKPM minta jadi 45 hari. “Yang bikin lama sebenarnya dari pemrakarsa proyek. Konsultan kadang-kadang susah. Prosedur diringkas. Dari aspek esensial seperti pengamatan, laboratorium dan lain-lain sebenarnya bisa 45 hari.” Bagi dia, proses Amdal, singkat sekaligus mendidik yang punya proyek ketat. “Kalau soal kualitas analisis tidak berpengaruh.”
Franky Sibarani, Kepala BKPM mengatakan, intentitas masuk perizinan di KLHK cukup tinggi. “Kita harus terus berkoordinasi dan membahas ini untuk didahukukan. Tentu tidak sederhana,” katanya.
Setelah 26 Januari lalu BKPM berhasil mengumpulkan semua perizinan dari 22 kementerian dalam sistem perizinan terpadu satu pintu (PTSP). BKPM duduk bersama dan berkoordinasi lintas kementerian guna menyepakati hal-hal teknis dalam perizinan. Terutama soal menyederhanakan administrasi dan mempercepat waktu.”Administasi harus sederhanakan. Prinsip hanya soal waktu.”
Franky mengatakan, prioritas utama percepatan perizinan untuk proyek pembangkit listrik, migas dan jalan.”Listrik sangat mendesak. Presiden memberikan waktu tiga bulan. Jadi kita dahulukan.”
Riskan
Forest Watch Indonesia (FWI) khawatir pelimpahan perizinan di KLHK membahayakan hutan Indonesia. Ketua board perkumpulan FWI Togu Manurung baru-baru ini mengatakan, jika fokus perizinan hanya dipercepat tetapi tidak memperhatikan aspek teknis akan makin membuat hutan babak belur.
“Perizinan itu harusnya instrumen pengendali. Supaya secara teknis siapa berinvestasi dan mendapatkan manfaat keuntungan dari hutan dengan baik dan benar. Tentu mengacu pada ilmu pengetahuan soal kehutanan. Bagaimana mengelola sumber daya hutan berkesinambungan dan lestari.”
Proses perizinan tetap harus tidak memperhatikan aspek teknis dengan kehati-hatian agar tidak menimbulkan dampak lingkungan kemudian hari. “Ujungnya makin menghancurkan sumber daya hutan.”
Dalam SK KLHK soal pelimpahan perizinan ke BKPM, memang tertulis kementerian terkait tetap melakukan kegiatan teknis. Namun, tidak bisa menjamin pengawasan berjalan baik.
“Selama ini pengawasan kementerian hanya formalitas. Fakta, bisnis konsesi HPH sedemikian hancur lebur. Pengawasan hingga kunjungan ke lapangan bisa ratusan kali. Tetapi pengawas diberi angpau,” katanya. Kondisi ini, membuat laporan atas kertas tertulis sudah benar padahal tak sesuai fakta.
Sumber : klik di sini