Tiga hari sebelum pemerintahannya berakhir, Susilo Bambang Yudhoyono meletakkan ”bom waktu” yang secara pasti dan legal akan merusak bahkan akan menghabiskan kawasan hutan Indonesia.
Seluruh fungsi kawasan hutan yang telah dikukuhkan ataupun sedang dalam proses pengukuhan dapat dilegalkan untuk diberikan hak, atau diikutkan dalam program pemberdayaan masyarakat, kepada orang-orang atau masyarakat yang mendudukinya. Hutan segera hancur, seluruh fungsi hutan akan musnah atas nama program prorakyat.
Terbitnya Peraturan Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 79/2014, No PB.3/Menhut-II/2014; No 17/PRT/M/2014; dan No 8/SKB/X/2014 tanggal 17 Oktober 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan dengan jelas menetapkan tata cara pemberian hak atas tanah bagi orang-orang atau kelompok masyarakat yang berada dan menguasai ataupun menggunakan tanah kawasan hutan tanpa batasan-batasan konservasif sekalipun. Satu hal yang menarik, KPK ikut mendorong dalam proses terbitnya Perber 17 Oktober 2014 tanpa menyadari masalah besar yang akan atau sudah ditimbulkannya.
Sekilas, perber di atas menampakkan empati normatif, yakni memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat atas tanah, khususnya di dalam kawasan hutan, dan dimaksudkan agar dapat dilakukan penanganan yang cepat secara terpadu. Bagi orang awam, terkesan merupakan good will pemerintah yang prorakyat dan semestinya wajib didukung masyarakat luas.
Perber yang merupakan hasil perjuangan kelompok masyarakat, terutama lembaga swadaya masyarakat Aliansi Masyarakat Adat Nasional, yang sebelumnya gagal mendorong pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat hingga berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, akhirnya membuahkan terbitnya Perber 17 Oktober 2014, di saat injury time, sebelum presiden baru dilantik. Meski sekilas merupakan perjuangan tenurial yang jadi hak kerakyatan, ternyata perber ini melanggar hal-hal sangat prinsip, bahkan berpotensi pelanggaran pidana.
Sebagai gambaran, semua penguasaan lahan kawasan hutan di semua fungsi hutan, termasuk hutan lindung dan konservasi, akan diakomodasi dalam bentuk penegasan hak dan pengakuan hak atas tanah, ataupun pemberian program pemberdayaan masyarakat di dalam/di sekitar kawasan hutan (Bab III Pasal 8) dengan syarat relatif ringan. Prosedur pelepasan kawasan hutan maupun alih fungsi yang mestinya melibatkan DPR diabaikan.
Hal utama lain, perber ini melihat obyek hukum ”hutan” yang dianggap sama saja dengan tanah lainnya, bukan ”hutan” yang memiliki fungsi khusus, apalagi yang telah dikukuhkan.
Titik rawan
Perber 17 Oktober 2014 pada Bab II mengatur pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah yang berada di kawasan hutan tersebut dimulai dengan membentuk Tim IP4T (inventarisasi, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah). Tim dipimpin kepala BPN setempat yang selama ini diketahui sebagai pihak yang selalu ”berseteru” dengan pihak kehutanan.
Dalam pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah yang berada di kawasan hutan secara terpadu tersebut, pihak kehutanan (Dirjen Planologi Kehutanan) tampak berada pada posisi yang ”kalah” dan ”wajib” menerima hasil Tim IP4T. Juga ”harus” memerintahkan pelaksanaan tata batas kawasan hutan di lapangan dalam waktu 14 hari (Bab IV Pasal 12), sebagai dasar penerbitan SK Perubahan Batas Kawasan Hutan. SK ini digunakan sebagai landasan untuk diterbitkannya sertifikat hak atas tanah bagi masyarakat terkait.
Titik-titik rawan dalam proses penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan tersebut dapat dirasakan pada Bab III Pasal 8 Ayat (1) dan (2), bahwa seluruh tanah kawasan hutan yang ”dikuasai dan dimanfaatkan” oleh masyarakat selama 20 tahun secara berturut-turut atau lebih (di dalam peraturan BPN sendiri disebutkan 30 tahun), dan bahkan apabila kurang dari 20 tahun dalam rangka reforma agraria, dapat dilepaskan dari kawasan hutan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak sulit.
Dalam hal bidang tanah yang dikuasai tak memenuhi syarat/ kriteria di atas pun tetap diberi hak kelola melalui program/kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam/di sekitar kawasan hutan. Artinya, seluruh masyarakat yang telah melakukan aktivitas ”ilegal” sekalipun akan diakomodasi untuk tetap berada di dalam dan menguasai/menggunakan kawasan hutan. Proses yang diatur dalam Perber 17 Oktober tersebut juga memberikan peluang yang—setelah penguasaan dan penggunaan lahan hutan mencapai lebih dari 20 tahun atau kurang (melalui program reforma agraria)—otomatis dapat diajukan proses pelepasan dan perolehan hak atas tanahnya.
Perber tersebut akan mengundang euforia perambahan baru kawasan hutan, sebab pada saatnya nanti, sesuai Bab II Pasal 4, bisa diajukan permohonan melalui IP4T untuk disahkan. Sebuah fenomena kebijakan politik yang secara pasti mengancam rusaknya sumber daya hutan, mengundang bencana alam, menghambat kemajuan ekonomi bangsa.
Praktik di lapangan
Di saat masyarakat masih terperangah oleh huru-hara politik kenegaraan kini, dengan cepat Petunjuk Pelaksanaan IP4T sudah diterbitkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN (ditandatangani Januari 2015). Namun, sampai tiga hari menjelang sosialisasi Juklak IP4T, 9 Februari 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkesan belum tahu. Bahkan ada informasi bahwa BPN telah menerbitkan 167 sertifikat tanah komunal, yang diduga terkait Perber 17 Oktober 2014.
Sebagai gambaran, khusus di Kalimantan Tengah saja sedang terjadi dorongan kepada masyarakat untuk mengukur tanah hutan masing-masing 5 hektar dalam proses pelaksanaan perber tersebut. Kepala demang yang merupakan kepala adat tingkat kecamatan malah menyatakan akan menerbitkan surat keterangan tanah adat bagi masyarakat.
Pemerintahan Joko Widodo harus segera mengambil langkah pengamanan hutan dengan memperbaiki Perber 17 Oktober 2014 dengan mencantumkan pembatasan yang tak mengabaikan fungsi pokok hutan dan kehutanan. Penyelesaian masalah tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat sosial lainnya yang berhak hutan patut tetap dijamin serta dilancarkan.
Masalah pembatasan proses pemberian hak atas tanah bagi masyarakat dalam fungsi-fungsi hutan tertentu juga harus jelas mengatur perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dan konservasi, yang berfungsi mengendalikan kerusakan alam, bencana lingkungan, perlindungan tata air, pengendali erosi, banjir, dan kekeringan, konservasi biodiversitas, perlindungan plasma nutfah serta pengendalian pemanasan global dan perubahan iklim. Demikian pula terhadap lahan kawasan hutan yang memiliki ciri khas tertentu, misalnya cagar budaya, cagar alam, suaka margasatwa, dan fungsi konservasi lainnya yang seharusnya dilindungi sebagai kawasan hutan tetap.
Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta DPR layak cemas dengan terbitnya Perber 17 Oktober 2014 tersebut. KPK juga memiliki beban moril untuk bersama-sama ikut mendorong penyelamatan fungsi hutan sebagai inti lingkungan hidup dengan mendorong merevisi perber tersebut.
Terkait penghargaan terhadap hak masyarakat atas kehidupannya dari tanah hutan, bukankah pemerintah dalam pelaksanaan tata batas untuk pengukuhan kawasan hutan selalu diikuti dengan menetapkan adanya enklave lahan/permukiman masyarakat, yang sebelumnya telah diidentifikasi menggunakan dasar Peraturan Menhut No P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
Di sisi lain, pemerintah juga telah berjanji akan memberikan lahan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar kepada rakyat, di samping ketentuan kepada pemegang hak izin usaha kehutanan untuk memberikan minimal 20 persen lahan usaha bagi kepentingan usaha rakyat, juga kegiatan hutan kemasyarakatan yang kini baru terealisasi sekitar 600.000 hektar.
Sumber : Klik di sini