Aparat Sita 14 Jenis Satwa Dilindungi Dari Penggerebegan Pedagang Ini

Tim dari Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse dan Kriminal (Tipiter Bareskrim) Markas Besar Polri dibantu Centre for Orangutan Protection (COP) dan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) menggrebek pedagang satwa liar dilindungi di Garut, Jawa Barat, pada Sabtu siang (21/02/2015).

Dalam operasi tersebut tim berhasil mengamankan barang bukti 14 jenis satwa dilindungi yang berjumlah 34 ekor. Adapun daftar jenis satwa yang diamankan dari tangan pedagang yakni kuskus papua (1 ekor), kasturi (1 ekor), kakatua maluku (1 ekor), nuri kepala hitam (1 ekor), beruang madu (1 ekor), kucing hutan (1 ekor), orangutan (1 individu), tarsius (2 ekor), kakatua jambul putih (2 ekor), macaca heki (3 ekor), nuri bayan (3 ekor), kakatua raja (3 ekor), kakatua jambul kuning ( 5 ekor) dan rangkong (8 ekor).

Hery Susanto, kordinator Animal Rescue COP mengatakan, pedagang merupakan pemain lama yang sudah terpantau oleh tim karena aktivitasnya memperjualbelikan satwa lewat jejaring sosial. Pedagang itu memiliki jaringan cukup luas, karena satwa yang diperjualbelikan banyak satwa endemik dari luar Jawa. Namun pedagang ini bisa mendapatkanya, menjual dan jumlahnya  sangat banyak.  Dia menampung satwa dirumah tinggalnya di Kampung Balong Kadungora, Garut.

“Pedagang memilki jaringan cukup besar karena bisa mendatangkan satwa berasal dari Sumatera, Sulawesi, Papua dan pulau lainnya dari Indonesia Timur. Satwa yang menjadi barang daganganya juga tergolong mahal karena masuk kategori satwa yang sangat langka,” kata Hery.

Ia menambahkan, kejahatan ini akan terus terjadi manakala masih banyak permintaan dari pembeli. Dampaknya adalah banyak satwa diperjualbelikan untuk memenuhi permintaan dari para pembeli yang juga penghobi pemelihara satwa liar. Untuk memenuhi kebutuhan para penghobi,  pedagang bahkan mendatangkan satwa dari luar Jawa seperti orangutan dari Sumatera, kasturi, kuskus beruang, kakatua raja dari Papua bahkan primata terkecil di dunia yang sangat langka tarsius dari Sulawesi juga menjadi komoditas perdagangan ilegal ini.

“Saatnya peran serta masyarakat di mulai dengan tidak membeli satwa liar yang tentunya akan memotong mata rantai kejahatan ini dari diri sendiri,” katanya.

Selain itu, Heri mengatakan perkiraan jumlah satwa yang diselamatkan ini bernilai lebih dari Rp250.000.000. Angka ini tentunya akan lebih besar jika merunut banyaknya  satwa yang telah diperdagangkan oleh tersangka. Dan saat ini tersangka sudah diamankan oleh pihak Direktorat Bareskrim Mabes Polri. Sedangkan satwa barang bukti dititipkan di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga sambil menunggu proses hukum berjalan.

“Kita berharap pembongkaran kasus pedagang satwa di Garut ini menjadi momentum perlawanan kejahatan perdagangan satwa liar. Dan hukuman tegas akan didapatkan oleh tersangka dengan hukuman kurungan maksimal agar efek jera dan penerapan hukum terhadap kejahatan satwa liar tegas ditegakkan,“ kata Hery.

Sementara itu, AKBP. Sugeng selaku Kanit Reskrim Tipiter yang juga komandan lapangan penggerebekan dihubungi Mongabay mengatakan, penggerebekan ini awalnya berdasarkan laporan masyarakat yang memberitahukan adanya perdagangan online lewat media sosial facebook, berkisar dua minggu lalu.

Tim kemudian mengembangkan informasi itu, dengan masuk dan dan berkenalan dengan akun tersebut dan berkomunikasi dengan pelaku, lalu bertemu pelaku di lokasi penggerebekan pada Jumat (20/02/2015).  “Kami melihat benar ada satwa liar dlilindungi diperjual belikan, baru lakukan penindakan,” kata Sugeng.

Ia menambahkan, Jumat pagi setelah petugas/informan kami melihat di TKP, Sabtu siang penindakan. Pelaku tertangkap di rumahnya dan barang bukti satwa liar dilindungi. Pelaku dikenakan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, junto pasal pasal 40 ayat 2 menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

“Tersangka terancam hukuman penjara lima tahun dan denda 100 juta. Statusnya dalam penahanan penyidik untuk 20 hari kedepan,” tambah Sugeng.

Hery menambahkan penggerebekan ini merupakan kasus kedua pada tahun 2015. “Sebelumnya bulan Januari, Polri menggagalkan pengiriman kura-kura moncong babi yang merupakan endemik Papua,” kata Hery.

Pengiriman dilakukan melalui argo udara dan diklaim sebagai pengiriman hasil laut berupa kepiting yang akan dikirim ke China menggunakan pesawat Singapure Airline. Ketika dicek ditemukan kura-kura moncong.

Heru mencatat aparat penegak hukum makin giat melakukan penindakan. Para pedagang semakin mencari celah-celah untuk melakukan modus perdagangannya dengan segala cara, baik bersifat konvensional maupun menggunakan perangkat internet. Terjadi juga cara berkamuflase, seperti mendirikan komunitas penyayang/pecinta satwa, namun di dalamnya ada kegiatan jual beli satwa yang dilindungi.

Sumber : klik di sini

 

Share Button

1 Juta Hektar Lahan Pangan, Prioritaskan Warga dan Perhatikan Lingkungan

Bulan lalu, Menteri Pertanian meminta lahan satu juta hektar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pengembangan pangan, berupa palawija (pagi, kedelai dan jagung) dan tebu. Namun, ada indikasi pemerintah akan memberikan pengelolaan lahan itu kepada investor ataupun BUMN. Sikap ini mendapat tanggapan dari berbagai kalangan.

Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera mengatakan, pengelolaan lahan pangan mesti mengutamakan buat warga. “Jangan pernah menyerahkan kepada swasta,” katanya, baru-baru ini di Jakarta. Sebab, katanya, tidak ada hubungan antara kedaulatan pangan Indonesia dengan swasta.

Sifat swasta, yang ingin mendapatkan profit, kata Tejo, tidak pernah memikirkan kebutuhan pangan warga, kecuali harga pangan lebih tinggi dari luar negeri.

Indonesia, katanya, punya PP 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman sebagai turunan UU Sistem Budidaya Tanaman.  Dalam pasal-pasal di sana, tidak ada kewajiban investor memasarkan produksi ke dalam negeri. “Atau dengan kata lain tidak ada hubungan antara kebutuhan dalam negeri dan kewajiban memasok bagi pengusaha. Kewajiban hanya saat ada bencana alam atau kegagalan panen luar biasa.”

Meskipun begitu, katanya, permintaan satu juta hektar untuk 10 pabrik tebu dan kebun serta lahan padi dan palawija pada dasarnya wajar-wajar saja. Sebab, Indonesia memang memerlukan lahan untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Namun, kata Tejo, ada beberapa hal perlu dicermati. Pertama, harus dipastikan tidak ada tumpang tindih kepemilikan, terutama dengan masyarakat adat dan tempatan.Kedua, menjadi tidak wajar apabila pembukaan hutan begitu luas terlebih dalam satu hamparan. “Ini akan membuat goncangan lingkungan. Jadi harus benar-benar diperhitungkan daya dukung dan tampung lingkungan suatu kawasan.”

Ketiga, proporsi harus jelas berapa persen untuk pabrik gula, berapa persen kebun dan padi atau palawija. Menurut dia, Indonesia,  lebih memerlukan lahan untuk menyediakan pangan rakyat. Keempat, prioritas pengelolaan harus untuk masyarakat adat dan lokal.

Beralih ke sawit

Kussaritano, Direktur Eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah, merasa heran pemerintah berdalih sibuk mengembangan lahan buat tanaman pangan. Padahal, lahan pangan yang sudah ada tak terjaga hingga banyak beralih fungsi menjadi kebun sawit dan lain-lain.

Dia mencontohkan di Kalteng,  Desa Anjir Mambulau, Kabupaten Kapuas,  banyak memproduksi produk-produk pertanian, dari padi, sayur mayur sampai buah-buahan. Sayangnya, kawasan ini terancam ekspansi perkebunan sawit. “Harusnya pemerintah bisa menjaga lahan-lahan tani produktif itu agar tak berubah jadi fungsi lain,” ujar pria yang bisa dipanggil Itan ini.

Redistribusi tanah buat petani

Sedangkan, Rudi Cas Rudi, Ketua Rukun Tani Indonesia dan Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sampai saat ini, Mentan belum melakukan gebrakan menangani masalah pangan di negeri ini.

Data BPS, pada April-Agustus 2014,  Indonesia impor beras 676.227 ton dengan biaya ratusan miliar. Angka impor ini tidak wajar karena Indonesia negara agraris dengan kesuburan tanah cukup bagus. Sepanjang 2014, impor beras dari lima negara, yaitu Vietnam, Thailand, Myanmar, India dan Pakistan.

Sebenarnya, kata Rudi, tak sulit menanggulangi impor beras. Pemerintah perlu mencetak sawah 150.272,6 hektar. Hasil panen petani dari satu hektar sawah sebanyak 4,5 ton dengan setahun tiga kali panen. “Ini total produksi beras selama satu tahun 2.030.853,6 ton. Dalam setahun sudah surplus beras.”

Menurut dia, beberapa faktor penyebab Indonesia menjadi pengimpor beras. Pertama, alih fungsi lahan pertanian berbasiskan tanaman pangan menjadi antara lain, perumahan, infrastruktur dan pabrik. Tidak terjamin ekonomi rumah tangga petani skala kecil, khusus di desa-desa membuat petani menjual tanah dan mencari pekerjaan lain untuk bertahan hidup.

Kedua, pembukaan lahan-lahan baru untuk pertanian tak untuk pengembangan pangan industri pangan, tetapi perkebunan komersil seperti sawit, dan karet.

Untuk itu, Rukun Tani Indonesia pun menyerukan kepada pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla melakukan beberapa hal. Pertama, memerintahkan Kementerian Agraria, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan kementerian lain meredistribusi tanah guna mencetak sawah.

Kedua, menjamin pasar produksi pertanian sehat dengan mengurangi impor dan meningkatkan produksi pertanian. Hingga kebutuhan beras tercukupi, bahkan memungkinkan swasembada pangan.

Ketiga, mengembangkan teknologi pertanian organik dalam pengolahan pertanian. “Khusus pertanian padi agar petani-petani tidak tergantung pupuk kimia.”

Sumber : klik di sini

Share Button