Melestarikan Jasa Lingkungan Mangrove

Pantai Mertasari, Sanur Kauh, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, hari Jum’at (13/2) riuh. Pada tanah timbul yang dibelah Sungai Loloan, para pegiat mangrove, tua-muda, putera-puteri, menyeberangi sungai, dan menanam bibit mangrove.

Sebagian pohon mangrove pantai Mertasari telah meranggas mati, lantaran tak tersentuh air laut. Sedimentasi yang membentuk tanah timbul menghalangi air laut menyentuh sebagian hutan mangrove.

Berbagai macam sampah terkumpul di pantai, menutupi akar-akar pohon, makin mempercepat kematian pohon mangrove. Penanaman para pegiat mangrove itu bakal memperkaya dan menumbuhkan kembali mangrove di pantai Mertasari.

“Mangrove mempunyai peran spesifik lokal yang tidak bisa digantikan oleh hutan lain,” tutur Cecep Kusmana, pakar silvikultur Institut Pertanian Bogor dalam forum ‘Mangrove for Nation: Mangrove untuk Pembangunan Berkelanjutan’. Cecep menuturkan mangrove hanya bisa tumbuh di daerah pasang surut. “Di luar itu tidak bisa.”

Selain berperan secara ekologis, mangrove bermanfaat dalam pembangunan sebagai sumber pangan, papan, obat-obatan dan energi. Fungsi jasa lingkungan mangrove mencapai 95 persen. Namun, tanpa ada nilai 5 persen yang berupa kayu, jasa lingkungan 95 persen itu tidak akan ada.

“Mangrove berperan sebagai penyangga kehidupan untuk air, tanah dan udara. Di samping itu juga berfungsi sebagai penyerap karbon, tempat hidup ikan dan burung,” papar Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Menurut hasil penelitian, hutan mangrove selebar 200 meter, dengan kerapatan pohon 3.000 per hektare, dengan diameter rata-rata 15 cm bisa meredam tinggi gelombang hingga 50-60 persen, dan kecepatannya ombak 40-60 persen,” imbuh Cecep Kusmana. “Jadi, pohon-pohon mangrove memecah gelombang.”

Untuk itulah, papar Hilman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menginisiasi peta Mangrove Nasional. “Dimulai dari Pulau Jawa dan Sumatra. Pada 2012-2013, telah dilakukan rehabilitasi sekitar 31.675 hektare hutan mangrove di 423 kabupaten/kota,” ungkap Hilman.

Pada forum yang diselenggarakan oleh Kompas dan Pertamina itu, Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengutarakan upaya pemerintah kota dalam melestarikan hutan mangrove. Ia memaparkan bahwa Rencana Tata Ruang Kota Surabaya terus berubah dari 1978 hingga 2008. Padahal, dia menegaskan, perlindungan hutan mangrove sangat tergantung pada rencana tata ruang.

Dia memaparkan bahwa pemerintah kota telah menyelamatkan 2.500 hektare, dari 3.600 hektare mangrove, yang belum dibebani izin. “Tapi, ya, dengan penyesuaian, pelan-pelan. Seiring waktu, memang hutan mangrove telah banyak berubah, banyakmizin sudah dikeluarkan. Hutan yang diselamatkan itu dikembalikan menjadi kawasan konservasi mangrove pantai timur Surabaya (Pamurbaya).” Upaya pelestarian mangrove di Surabaya juga mengajak masyarakat terlibat.

“Siapa saja, siswa-siswi, pelajar, TNI-Polri dan seluruh LSM.” Namun, Tri Rismaharini menuturkan, tetap saja ada pihak yang ingin mendapatkan izin untuk melepas kawasan mangrove yang telah dilestarikan itu. “Mungkin ngetes saya…. Tapi tidak saya lepaskan kawasan itu. Sampai kapan pun tidak akan saya lepas.”

Forum Mangrove for Nation adalah untuk mempertemukan para pihak dalam melestarikan hutan mangrove. “Intinya, bumi itu hijau. Faktanya, ada masalah abrasi dan sebagainya, sehingga daratan menjadi berkurang. Maka, gerakan yang makin intensif adalah rehabilitasi mangrove, di samping menghijaukan bumi, juga menahan adanya abrasi,” papar Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto.

Tidak hanya di pantai Mertasari, upaya Pertamina merehabilitasi lahan-lahan pesisir yang kritis juga dilakukan di semua wilayah operasi Pertamina. “Yang paling dekat, nanti kita lakukan upaya yang sama di Semarang, Jawa Tengah.”

Dia menambahkan pelestarian lingkungan melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan terangkum dalam ‘Menabung 100 Juta Pohon’. “Ini sebagai kontribusi bagi bumi, serta bagi nusa dan bangsa.”

sumber: klik di sini

Share Button

AMAN: Segera Bentuk Satgas Khusus Masyarakat Adat

Hampir 70 tahun Indonesia merdeka. Namun, kemerdekaan itu tampaknya belum dirasakan masyarakat adat yang hidup dalam ketidakpastian, karena hak-hak mereka belum terpenuhi, termasuk soal wilayah adat. AMAN mendesak, pemerintah segera merealisasikan satgas khusus masyarakat adat.

“Hingga saat ini pemerintah tidak mempunyai data tentang masyarakat adat dan wilayahnya,” kata Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di Jakarta, Senin (16/2/15).

Padahal, katanya,  keberadaan data memudahkan pemerintah dalam kebijakan seperti satu peta, putusan MK 35, dan UU Desa. Hal ini,  sejalan dengan komitmen presiden guna menghadirkan lembaga permanen bagi masyarakat adat.

“Ini juga mudah-mudahan tidak dilupakan. Sebenarnya, beberapa bulan belakangan kami bekerja sekretaris kabinet menyiapkan satu keputusan presiden tentang pembentukan satuan tugas presiden untuk masyarakat adat.”

Draf pembentukan satgas dan jadwal rapat ini, katanya, sebenarnya sudah siap. Namun, tersandung konstalasi politik yang memanas terkait konflik KPK vs Polri.

“Sekarang presiden sibuk mengurus urusan KPK dan Polri. Mudah-mudahan setelah gonjang-ganjing selesai pembuatan satgas berjalan,” ujar dia.

Tugas satgas, antara lain, menyiapkan kerangka pasti terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Termasuk pendaftaran dan pengakuan hukum wilayah.  ”Tidak ada sistem administrasi terhadap masyarakat dan wilayah adat. Ini tantangan besar.”

Hampir 75%, wilayah adat terbebani izin, baik HPH, tambang, HGU dan lain-lain. Pemberian izin, merupakan perampasan wilayah adat. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan dan pencemaran terjadi. Celakanya,  kalau masyarakat protes, justru seringkali mengalami kriminalisasi.

“Bukan perusahaan yang kena. Baru-baru ini kami menyerahkan 166 nama dipenjara dan masih buronan kepada presiden lewat seskab.  Kami rekomendasikan mendapatkan grasi, abolisi, dan amnesti presiden. Ini tugas satgas yang nanti dibentuk.”

Menurut dia, mekanisme permanen dan UU perlindungan masyarakat adat belum ada, maka kebijakan transisi seperti pembentukan satgas menjadi penting.

“Ini kebijakan transisi supaya masyarakat adat tidak makin tertindas. Kebijakan transisi mungkin belum bisa memulihkan situasi, minimal tidak menambah masalah dan tidak membuat pelanggaran HAM masyarakat adat makin banyak,” ucap Abdon.

Tugas satgas, katanya, memastikan pengesahan RUU masyarakat adat  dengan peran serta pemerintah dan mempersiapkan lembaga permanen.

“Lembaga ini bisa karena dimandatkan RUU yang akan disahkan, atau juga langsung di bawah presiden. Seperti Badan Pengembangan Ekonomi Kreatif sekarang dibentuk, langsung di bawah presiden. Hingga jadi pekerjaan rutin pemerintahan.”

Satgas juga mendata dan menginventarisir korban-korban kriminalisasi dan memberikan rekomendasi kepada presiden.  “Mana yang dapat grasi, amnesti, abolisi maupun rehabilitasi.”

Maksud satgas ini, kata Abdon, memulai proses rekonsiliasi antara negara dengan masyarakat adat. “Ketika rekonsiliasi berjalan lanjutkan  dengan badan tetap.”

Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan, pendaftaran wilayah adat langkah awal menuju pengakuan masyarakat adat.

“Kejelasan data peta wilayah dan informasi sosial masyarakat adat dapat menggambarkan sejarah keberadaan, serta hubungan masyarakat dengan tanah, air dan ruang hidup.”

Sayangnya, hingga kini belum ada lembaga pemerintah resmi sebagai tempat pendaftaran wilayah adat di Indonesia. Padahal, pemetaan partisipatif oleh masyarakat adat sudah sejak 20 tahun lalu.  “Sudah banyak peta adat dihasilkan.”

Akhir 2014, BRWA bersama AMAN dan JKPP telah menyampaikan 517 peta adat seluas 4,8 juta hektar kepada BP REDD+ dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

RUU Masyarakat Hukum Adat tak masuk Prolegnas

Sementara itu, RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat  yang dibahas DPR periode lalu ternyata tak masuk prioritas prolegnas DPR 2015.

“Walaupun masuk ke kerangka kerja prolegnas lima tahun ke depan. Ini satu tantangan lagi,” kata Kasmita.

Abdon sangat kecewa karena tdak sesuai janji Presiden Joko Widodo saat kampanye.”Ketika Pak Jokowi calon presiden dan bertemu AMAN, memberikan komitmen menindaklanjuti berbagai usulan yang AMAN. Kita juga bisa lihat dokumen nawacita. Dia akan mengawal percepatan RUU masyarakat adat.”

“RUU itu sudah ada di DPR. Mungkin kurang koordinasi antarkabinet. Kami menemukan di dalam usulan pemerintah ke DPR baru-baru ini, RUU tidak masuk prioritas 2015. Sangat mengecewakan.”

Belajar dari Filipina

Kondisi di Indonesia,  sebenarnya berbanding terbalik dengan Filipina. Negara ini, masyarakat adat baru masuk konstitusi pada 1987 dan tindak lanjut cepat. Sedangkan, Indonesia, masyarakat adat masuk konstitusi sejak 1906 tetapi tak ada tindaklanjut.

Dalam kesempatan sama direktur National Commission of Indigenous People (NCIP) Marlea Munez menceritakan, hak masyarakat adat Filipina masuk konstitusi 1987. Hanya tempo 10 tahun ditindaklanjuti mengeluarkan UU tentang hak-hak masyarakat adat (Indigenous Peoples Right Act-IPRA).

Melalui IPRA, pemerintah membentuk NCIP khusus menangani masyarakat adat. Lembaga ini,  bertugas melayani kepentingan masyarakat adat. Termasuk pendaftaran wilayah adat.

NCIP bertugas mengeluarkan sertifikat hak wilayah adat dan sertifikat tanah leluhur. Ketika ada konflik tenurial masyarakat adat di Filipina, NCIP mendampingi hingga konflik selesai.

Meski begitu ada hal-hal yang membuat NICP tidak efektif. Bagi Abdon, hal itu sebagai pembelajaran agar lembaga di Indonesia, lebih baik dari Filipina.

“Salah satu yang membuat tidak efektif karena budget dan organisasi kecil. Budget kecil itu banyak untuk biaya operasional rutin seperti gaji pegawai. Kapasistas keseluruhan lemah. Ke depan lembaga ini tidak ingin seperti itu. Harus lebih kuat.” Hal ini penting mengingat masyarakat adat di Indonesia lebih besar dan wilayah lebih luas dari Filipina.

 

sumber : klik disini

Share Button

Menjaga Mangrove di Tengah Keterancaman

Azhar Kasim, berkata lantang. Dia meminta pemerintah menindak tegas preman pengusaha sawit yang menekan kelompok pemulihan mangrove di Desa Lubuk Kertang, Langkat, Sumatera Utara.

“Preman-preman kebun sawit itu mengancam saya dengan senjata. Penegakan hukum pelaku perusakan hutan mangrove harus tegas,” katanya. Ucapan itu ditujukan kepada Hilman Nugroho, Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada lokakarya pelestarian mangrove di Bali, pekan lalu.

Azhar mengatakan, ada kelompok warga mau merehabilitasi 1.200 hektar mangrove yang jadi kebun sawit.  Sejak 2009, katanya, bersama Kelompok Tani Mangrove Keluarga Bahari mencoba mengembalikan mangrove dengan menjebol beberapa tembok yang dibangun perusahaan sawit.

Setelah tembok jebol, aliran air laut bisa kembali masuk dan merusak kebun sawit. Sebelumnya, perusahaan sawit mematikan mangrove di sana.

Azhar menyebut baru 275 hektar dari 1.200an hektar lahan kembali jadi hutan mangrove. “Hasil melaut berkurang karena mangrove hilang. Saya besar dari penghasilan nelayan tradisional ini,” katanya.

Nelayan tradisional di areal mangrove ini disebut ambai. Mereka biasa membuat semacam perangkap, ketika air laut surut mendapat ikan– mayoritas udang yang banyak di ekosistem mangrove.

“Sebelum diubah jadi kebun sawit sebulan penghasilan bisa Rp2-3 juta, turun jadi Rp200.000-300.000 setelah mangrove mati,” kata Azhar.

Kelompok tani ini, merancang program ekowisata mangrove untuk menambah penghasilan nelayan setelah tanaman itu dihidupkan kembali dan berusia empat tahun.

Rehabilitasi mengutamakan akses nelayan lokal ini juga dilakukan Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Dia hadir di antara kelompok warga pelestari mangrove di Indonesia.

Menurut dia, tak mudah melawan praktik pemberian izin alih fungsi mangrove. Pada 1980, kawasan timur Surabaya nyaris habis. Pernah ada yang mencoba mengembalikan hutan mangrove lalu rusak lagi. Kala jadi walikota 2010,  dia mengeluarkan peraturan daerah menghentikan izin alih fungsi ini. Dari 3.600 hektar, bisa selamat 2.500 hektar menjadi ruang terbuka hijau kawasan konservasi.

“Kita akan bebaskan terus. Kawasan timur Surabaya lebih banyak terancam karena langsung berbatasan lautan lepas.”

Untuk menarik warga terlibat upaya konservasi, Risma membuat program pemberdayaan UKM lewat usaha pengolahan hasil bakau seperti tempe dan kerupuk mangrove.

Pemerintah kota juga mendorong spesialisasi tangkapan nelayan di pesisir utara. Tiap kampong punya spesifikasi hasil laut, seperti bandeng, kepiting, ikan. Risma melarang, akses air bersih dan listrik ke kawasan konservasi agar tak menarik alih fungsi lahan.

Di Bali, kondisi kebalikan. Kepala Dinas Kehutanan I Gusti Ngurah Wiranatha menyebut banyak proyek besar di kawasan hutan mangrove Ngurah Rai, misal jalan tol di perairan Teluk Benoa dan pelabuhan.

Pengelolaan hutan mangrove juga diberikan kepada investor, dan bermasalah karena dinilai sepihak dan tak trasparan dalam pemberian izin. Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali 2013, menggugat Gubernur Bali ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar karena mengeluarkan surat keputusan (SK) izin pemanfaatan Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai  122,22 hektar ke PT. Tirta Rahmat Bahari (TRB). Investor membuat hiburan dan akomodasi dalam hutan mangrove ini.

Dia mengatakan, pemerintah merencanakan revitaliasi 100 hektar pendangkalan dan diklaim tak bisa ditanami mangrove. Karena itu, harus buat alur memudahkan aliran air laut. “Belum ada reklamasi. Masih pengkajian.”

Izin reklamasi untuk PT. TWBI yang ditentang sejumlah warga antara lain, ForBali yang menganggap revitalisasi dengan cara reklamasi bukan jalan keluar. Sebab, merusak lingkungan. Pemberian izinpun dinilai tak transparan.

Tahura Ngurah Rai luas.300an hektar. Memiliki 55 jenis mangrove, dikelompokkan dalam blok perlindungan 610 hektar, pemanfaatan 350 hektar, blok lain seperti pemulihan, khusus, dan religi 413 hektar.

Hilman Nugroho membaca sambutan Menteri Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, sekitar 29% atau lebih dari 1 juta hektar hutan mangrove di Indonesia, rusak.

Dari lebih 3 juta hektar, dalam kondisi baik dan sedang sekitar dua juta. Kerusakan mangrove karena alih fungsi, tambak, pemukiman, industri, infrastruktur, pencemaran limbah, dan lain-lain.

Prof Cecep Kusmana,  Guru Besar Kehutanan IPB meyakinkan mangrove meningkatkan kesuburan tanah. “Juga di pasir seperti Kepulauan Seribu. Harus dilindungi dan dikonservasi.”

Mangrove Cilacap, bisa mengurangi pencemaran dengan menyerap logam berat, intrusi air laut bisa dikurangi, di Pantai Jakarta dari satu km menjadi empat km setelah ada mangrove.

Semua bagian pohon seperti biji dan batang bermanfaat karena mengandung anti oksidan. Teknik rehabilitasi juga berkembang seperti Guludan, breakwater dan menanam di tambak.

Prof Tridoyo Kusumastanto dari IPB mengkritik kebijakan pemerintah dalam rehabilitasi mangrove. Pertama, salah menangkap isu. “Seperti kata Bu Risma, satu manusia berharga. Kalau konsep itu hilang, proses pengambilan kebijakan salah.”

Kedua, implementasi salah walau isu benar. “Implikasi luas kalau ada reklamasi, fungsi terganggu maka sulit mempertahankan keberlanjutan.”

Dwi Wahyu Daryoto, Direktur SDM dan Umum Pertamina memberikan bantuan dana sosial ke komunitas mangrove karena ingin berkontribusi ke masalah global lingkungan dan ketersediaan energi. Secara global, usaha kini harus berorientasi profit, people, dan planet.

Ratna dari Mangrove Action Project Makassar mengkritisi kebijakan pemerintah penganggaran dalam pembibitan. Anggaran, bisa hemat jika penanaman mangrove tepat. “Dari data,  keberhasilan penanaman  rendah. Berjuta mangrove ditanam, seringkali di tempat sama tapi gagal.” Menurut dia, acuan penanaman harus dievaluasi  hingga kegagalan tak berulang.

sumber:klik disini:

Share Button

Kerjasama Perdagangan Karbon Jepang-Indonesia Potensial Turunkan 200.000 Ton Karbon Per Tahun

Sejak tahun 2013, pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat melakukan kerja sama di bidang perdagangan karbon dengan skema Joint Crediting Mechanism  (JCM)  atau  Mekanisme  Kredit  Bersama (MKB), dimana institusi  Jepang  dan Indonesia untuk berinvestasi dalam kegiatan pembangunan rendah karbon di Indonesia melalui  insentif  dari  Pemerintah  Jepang.

Selama dua tahun berlangsungya kerja sama, telah ada 96 proyek kegiatan yang telah dilakukan studi kelayakan (feasibility study / FS) di Indonesia. Dari jumlah tersebut, ada 12 proyek yang telah disetujui untuk dilaksanakan, yaitu tiga proyek ujicoba, 8 proyek model dan satu proyek yang telah didaftarkan ke sekretariat JCM internasional.

“Ada 75 studi kelayakan yang telah kami lakukan. Dalam pertemuan ini, akan dilaporkan 21 FS yang nantinya akan diseleksi untuk diimplementasikan. Sehingga total per Februari 2015, Indonesia sudah melakukan 96 FS. Sebanyak  75 FS sudah diseleksi mana yang layak untuk diimplementasikan,” kata Dicky Edwin Hindarto, dari Sekretariat JCM Indonesia dalam acara pertemuan pelaporan studi kelayakan proyek JCM Indonesia – Jepang, di Jakarta pada minggu kemarin.

Dari 75 FS pada kurun 2013-2014, telah diseleksi 13 proyek yang dilaksanakan. Dari 13 proyek tersebut, diproyeksikan ada lebih dari 200.000 ton ton CO2/tahun atau tepatnya 188.932 ton CO2/tahun, yang terdiri dari tiga proyek demonstrasi sebesar 62.833 ton CO2/tahun, 125.992 ton CO2 per tahun dari 8 proyek model, dan 107 ton ton CO2 per tahun dari satu proyek yang telah diregistrasi. Dari 8 proyek model, masih ada dua proyek yang dilakukan penghitungan ulang ekspektasi penurunan emisi karena mengalami desain ulang.

“Ada 13 proyek yang sudah diimplementasikan sampai dengan Februari 2015. Ada 3 dari 13 proyek yang sudah selesai dan beroperasi dengan bagus.  Proyek tersebut mulai dari efisiensi energi, energi terbarukan REDD+, transportasi,” jelas Dicky.

Selain  itu,  telah  dilakukan  ground  breaking  proyek  pembangkitan  listrik  dari  panas  buang  industri (Waste  Heat  Recovery  Utilization)  yang  dilakukan  di  PT  Semen  Indonesia  Tuban.  Proyek  ini merupakan  proyek terbesar di JCM saat ini dengan  nilai investasi mencapai  52 juta USD dan  akan menghasilkan  listrik  sebesar  30,4  MW  dengan  penurunan  emisi  diperkirakan  sebesar  122.000  ton CO2/tahun.

“Ada 2 subsektor proyek yang telah diimplementasikan yaitu efisiensi energi dan energi terbarukan.  Satu yang paling besar adalah kerjasama PT Semen Indonesia, dengan GFE Engineering Jepang, berlokasi di Tuban. Total nilai investasi 51juta USD, dimana 17 persennya atau setara 11 juta USD dibiayai dari proyek JCM. Proyek akan diselesaikan 2017,” katanya.

Sedangkan proyek Energy saving for air-conditioning and process cooling at textile factory  dari  Konsorsium Ebara Refrigeration Equipment & Systems, Nippon Koei, dan PT Primatexco) menjadi proyek JCM pertama yang didaftarkan di dunia. Dan bakal menjadi proyek pertama mendapatkan kredit pengurangan emisi (issued emission reduction credit).

Penurunan  emisi  yang dihasilkan   oleh   proyek   rendah   karbon   dari   proyek   JCM   akan   diukur   menggunakan   metode Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (Measurement, Reporting, and Verification/MRV) berstandar  internasional yang disetujui kedua negara. Besar penurunan emisi  (kredit karbon) akan dicatat dan dapat digunakan untuk memenuhi target penurunan emisi Indonesia dan Jepang sesuai pembagian yang disepakati.

Pada kesempatan yang sama,  Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Affandi Lukman, mengatakan kerja sama JCM Indonesia – Jepang merupakan bagian dari komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi GRK.

“Program JCM masih relevan bagi pemerintah saat ini.  Dengan kerjasama ini, Indonesia akan diuntungkan dengan lingkungan yang bersih, teknologi pabrik yang diperkenalkan dari Jepang dengan emisi yang lebih kecil,” kata Rizal.

Dia menjelaskan meskipun tidak dijelaskan secara gamblang tentang perubahan iklim dan perdagangan karbon dalam Nawacita,  dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) saat ini, disebutkan dalam rangka untuk menuju pertumbuhan ekonomi perlu keberlanjutan, perlu ditunjang dengan proteksi lingkungan hidup, untuk menjaga ketahanan pangan dan ketahanan energi dan kualitas lingkungan hidup.

“Dalam program JCM ini, tidak membebankan biaya kepada pemerintah Indonesia, misalnya untuk peremajaan teknologi dari Jepang di pabrik yang lebih ramah lingkungan dan emisi karbon yang lebih rendah,” katanya.

Keuntungan bagi Jepang dalam skema JCM ini, upaya yang mereka lakukan dengan memberikan bantuan keuangan bagi pihak swasta (melalui skema JCM) dengan terlibat penggantian penerapan teknologi, akan dicatat Jepang sebagai upaya menurukan emisi GRK mereka.

Sedangkan Takaaki Ito dari Kementerian Lingkungan Hidup Jepang mengatakan Indonesia merupakan satu dari 12 negara yang  telah menandatangani  perjanjian  kerja  sama  skema  JCM  dengan  Jepang. Sebelah negara lainnya yaitu Vietnam, Mongolia, Palau, Meksiko, Maladewa, Ethiopia, Kosta Rika, Laos, Kamboja, Kenya, dan Bangladesh.

Ito mengatakan sudah ada sembilan proyek di 12 negara yang disetujui untuk dilaksanakan, dan empat diantaranya berada di Indonesia.

sumber: klik disini:

 

Share Button

Burung di Indonesia, Bagaimana Kondisinya?

Potensi Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman jenis burung liarnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Penemuan jenis baru atau jenis yang sebelumnya pernah tercatat menunjukkan bahwa alam Indonesia masih menyimpan “tabir” yang belum sepenuhnya tergali.

“Sebagai contoh, penemuan kembali dara-laut cina di Indonesia setelah lebih dari 100 tahun tidak terlihat merupakan hasil temuan para pengamat burung,” tutur Agus Budi Utomo, Direktur Eksekutif Burung Indonesia, pada acara Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung, di Kampus Dramaga Institut Pertanian Bogor, Sabtu (14/02/2015).

Dara-laut cina (Thalasseus bernsteini) merupakan jenis burung migran dari Tiongkok dan Jepang yang berdasarkan IUCN statusnya Kritis (Critically Endangered). Burung berukuran  sekitar 40 cm ini mengembara dengan menggunakan koridor daratan timur sebagai rute perjalanannya. Wilayah pengembaraannya pernah tercatat hingga ke perairan di sekitar Manila, Serawak, dan Halmahera. Secara global, jumlahnya kurang dari 50 individu dewasa.

Untuk Indonesia, burung yang menyukai laut terbuka ini pernah diketahui berada di wilayah Maluku Utara melalui spesimen tunggal yang ada di daerah Kao, Halmahera, pada 22 November 1861. Sejak saat itu, laporan mengenai terlihatnya jenis ini di Indonesia jarang sekali.

Begitu juga dengan serak seram (Tyto almae), salah satu jenis burung baru yang ditemukan pada 2013. Jenis ini ditemukan para peneliti di tempat yang jarang ditelaah yaitu di kawasan Taman Nasional Manusela, Pulau Seram, Maluku.

Menurut Agus, selain pemisahan jenis, temuan jenis dan catatan baru tersebut turut berkontribusi menambah kekayaan jenis burung di nusantara. Berdasarkan hasil studi literatur Burung Indonesia terhitung Januari—Oktober 2014, Indonesia saat ini memiliki 1.666 jenis burung atau bertambah 61 jenis dibanding tahun sebelumnya.

Dari 61 jenis tersebut, tiga di antaranya merupakan jenis baru dan sembilan jenis merupakan catatan baru untuk Indonesia. Jumlah jenis ini belum termasuk jenis-jenis burung pengicau (Passerine) yang saat ini masih dalam proses analisa.

“Dengan penambahan jenis baru ini, Indonesia berada di posisi keempat dunia dalam hal kekayaan total jenis burung. Sementara, dalam hal endemisitas, Indonesia tetap paling unggul dari negara-negara lainnya,” jelas Agus.

Agus melanjutkan, sebanyak 75% jenis baru yang diakui pada 2014 ini merupakan jenis endemis. “Kondisi ini makin memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara dengan jenis burung endemis terbanyak di dunia yaitu 426 jenis atau bertambah 46 jenis dari tahun lalu.”

Ani Mardiastuti, Guru Besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor (IPB) menuturkan, keragaman jenis burung di Indonesia ini memang sudah sepatutnya digali karena potensi tersebut memang ada. Terlebih di wilayah Wallacea yang hingga kini masih terus dilakukan penelitian.

Terkait bertambahnya jumlah jenis burung di Indonesia baik dalam hal pemisahan jenis maupun temuan jenis baru, Ani menuturkan, yang jelas dari dulu hingga sekarang keragaman burung yang ada kemungkinan besar yang telah teridentifikasi sebelumnya. Hanya saja, adanya perbedaan sistem taksonomi, terutama morfologi, maka yang tadinya subspecies menjadi fullspecies.

Kondisi ini juga sebetulnya menimbulkan hal yang bertolak belakang. Maksudnya adalah para ornitologi (ahli perburungan) akan senang bila menemukan jenis burung baru. Walaupun tidak diberi nama atas nama mereka, namun penemuan tersebut akan membuat mereka “gembira” karena temuan jenis baru itu.

Sementara, untuk konservasi, dengan ditemukannya spesies baru maka akan ada permasalahan baru yang harus ditangani. Spesies baru yang ditemukan ini sudah dipastikan jumlahnya sedikit dan ditemukan di pulau-pulau yang terpencil. Atau juga, di tempat-tempat terisolir karena sistem evolusi yang mendukung spesies baru tersebut hidup.

“Nah, jenis baru yang berada di wilayah terpencil, endemis atau sebarannya terbatas, dan jumlahnya sedikit, tidak hanya burung tetapi juga primata, dipastikan berdasarkan IUCN akan dimasukkan dalam kategori Kritis,” jelas Ani.

Ani melanjutkan, bagi sebuah negara yang berdasarkan IUCN memiliki daftar spesies yang Kritis maka akan terus diawasi. Apakah sudah bagus atau nilai “raport” nya merah. “Nah, akan menjadi aib bagi Indonesia di mata internasional bila ada spesies yang Kritis itu dinyatakan punah.”

Inilah kontradiksi antara pertambahan jumlah jenis burung di Indonesia dengan perlindungannya. “Namun secara umum, kita harus bangga karena Indonesia kaya, tanpa harus melupakan menjaga kelestariannya,” terang Ani.

Komite

Dewi M. Prawiradilaga, dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, menyatakan bahwa upaya untuk melindungi satwa khususnya burung liar di Indonesia telah ada sejak 1931 oleh Pemerintah Belanda yang tercantum dalam Dierenbeschermings Ordonantie atau Perlindungan Binatang Liar. Dalam peraturan tersebut terlindungi sekitar 248 jenis dari 15 suku.

Meski awalnya peraturan tersebut digunakan Pemerintah Indonesia di tahun 1970, namun penyempurnaan dilakukan dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam pelaksanaannya, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa termasuk burung liar diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 sedangkan pemanfaatannya diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999.

Menurut Dewi, berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999, saat ini telah ada 419 jenis burung dari 41 suku yang dilindungi. “Kriteria perlindungan tersebut adalah endemis, bermigrasi, populasinya sedikit, habitat spesifik, ancaman tinggi, peranannya di ekosistem.”

Meski begitu, menurut Dewi, dalam skup internasional, peraturan pemerintah ini belum secara menyeluruh dapat melindungi berbagai jenis burung yang oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) dinyatakan Kritis. Atau juga jenis burung yang berdasarkan CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dilindungi dalam hal konvesndi perdagangan.

“LIPI berfungsi sebagai lembaga otoritas ilmiah, sedangkan yang mengeksekusi perlindungan berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami hanya bisa mengusulkan jenis apa saja yang harus mendapatkan perlindungan berdasarkan data dan hasil penelitian yang lengkap dan shahih,” ujar Dewi.

Mengenai jumlah jenis burung di Indonesia yang terus bertambah, Prof. (Emeritus) S. Somadikarta, memberikan masukan agar kedepannya dibentuk sebuah komite di Indonesia yang khusus menangani pendataan jenis burung di Indonesia.

Menurut Soma, hal ini penting sebagai acuan, sehingga kita dapat dengan yakin menggunakan data yang dikeluarkan komite tersebut. Jadi, tidak sekadar berdasarkan publikasi semata. Harus hati-hati. Harus ada penelitian mendalam. “Komite ini sudah ada di Inggris, Amerika, maupun Belanda. Bagaimana bentuk komitenya dan siapa yang terlibat harus segera dibahas. Yang jelas, di komite tersebut seluruh ahli burung liar di Indonesia dikumpulkan,” ujarnya.

Dalam konferensi yang berlangsung dua hari itu (13-14 Februari 2015), para peneliti dan pemerhati burung sepakat menobatkan S. Somadikarta sebagai Bapak Ornitologi Indonesia.

Sumber : klik di sini

 

Share Button

Riau Kembali Membara, Perusahaan Diminta Tutup Kanal Besar

Sejak Januari 2015, titik api mulai menghampiri Riau. Hingga kini kebakaran melalap tak kurang 105 hektar hutan dan lahan di provinsi itu, terutama Bengkalis. Tim gabungan baru berhasil memadamkan sekitar 32 hektar di Pulau Rupat, Bengkalis. Sedangkan, upaya pencegahan kebakaran, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menginstruksikan perusahaan menutup atau menyekat kanal-kanal besar.

“Prinsipnya setiap ada titik api harus ditangani dan dimatikan. Beberapa hotspot terjadi, harus segera kendalikan. Di Riau, dari 105 hektar terbakar, 32 hektar sudah dipadamkan,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Minggu (15/2/15) di Jakarta.

Untuk memonitoring perkembangan kebakaran ini, Senin (16/2/15), dia bersama-sama beberapa unit di pusat bertolak ke Riau. Siti juga meminta Menteri Pertanian mewaspadai perkebunan-perkebunan di luar kawasan hutan.

“Karena sudah Lingkungan Hidup dan Kehutanan jadi tanggung jawab saya buat lihat di luar kawasan hutan. Karena beberapa aturan masih kaitkan Mentan, saya sudah minta Mentan agar Dirjen Perkebunan bekerja keras bersama-sama kami,” katanya.

Untuk kebakaran hutan dan lahan ini, katanya, ada empat provinsi yang menjadi prioritas penanganan, yakni, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Namun, kata Siti, kondisi Riau, memang paling parah. “Mengapa?  Riau, lahan gambut dan di lapangan beberapa hal terjadi.”

Di Riau, ucap Siti, sumber-sumber air gambut sudah tertoreh, masuk drainase dan gambut kering. Keadaan ini, jika tak hujan gambut menjadi sensitif. Kondisi tambah parah, kala di lapangan tercampur dengan area terbuka.

Ketika area terbuka, katanya, individual  bisa masuk,  seperti masyarakat denganbacking cukong dan menanam sawit.

Seperti kali ini, tim gabungan sudah mengamankan dua orang tengah menggali parit (kanal) di kawasan yang berdampingan dengan Suaka Masrgasatwa Giam Siak kecil. “Ada temukan eksavator, dua oknum tertangkap dan sudah dikasih ke polda.”

Siti meminta, Polda Riau, mengusut tuntas masalah ini tak berhenti hanya di dua orang yang tertangkap tetapi mengejar otak di balik mereka. “Memang tak mudah di lapangan. Semua pihak harus terlibat. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI, Polri juga swasta,” ujar dia.

Libatkan dunia usaha

Realita di lapangan, katanya, penguasaan lahan terbagi-bagi, ada oleh masyarakat, pemerintah dan swasta. Untuk itu, dalam menangani kebakaran ini, kementerian juga melibatkan dunia usaha.

Kementerian, katanya, menginstruksikan dunia usaha melakukan beberapa hal, antara lain, pertama, membuat sekat dan menutup kanal-kanal lebar sampai 16 meter. Kedua, meminta dunia usaha yang memiliki daerah konflik dengan masyarakat harus diwaspadai dan diawasi terus menerus. Ketiga, meminta dunia usaha lakukan patroli, bisa bersama-sama brigade Manggala Agni, atau mereka sendiri.

Bambang Hendroyono, Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian LHK, mengatakan, penutupan atau penyekatan kanal ini, terutama perusahaan-perusahaan yang  beroperasi di lahan gambut dan rawan kebakaran. Di Riau, katanya, sudah ada hotspot dan ada kebakaran di luar areal perusahaan hingga mereka harus terlibat.

Perusahaan-perusahaan itu, kata Bambang, seperti di Bengkalis termasuk Pulau Rupat, Kabupaten Meranti, Palalawan dan kabupaten-kabupaten lain.

“Di Meranti ada sekitar delapan perusahaan, tiga perusahaan di Bengkalis.  Itu yang paling utama,  perusahaan-perusahaan mesti melakukan upaya.  Penyekatan atau penutupan kanal dan terpenting pemadaman kebakaran di titik-titik api itu.”

Mengenai proses penyekatan kanal, Kementerian LHK masih menyiapkan pedoman teknis dan segera selesai tahun ini. “Ini penanganan dalam jangka pendek agar air tertahan dan membasahi gambuit.”

Saat ini, kata Bambang, kementerian juga bekerja bersama   para pakar teknis untuk membuat konsep tata kelola gambut dalam satu kesatuan hidrologis.

Sumber : klik di sini

Share Button