Menyelamatkan Lingkungan, Berawal dari Revolusi Mental

Dalam hidupnya, manusia akan selalu berhadapan dengan tantangan dan perubahan. Yang sering terjadi, sebagian besar bukanlah kesulitan itu sendiri, namun reaksi pikiran kita. Bayangkan jika Anda adalah seseorang yang tidak bisa berenang. Suatu hari, tiba-tiba ada rekan mengajak Anda menyelam di kawasan Raja Ampat, Papua Barat yang keindahan bawah lautnya sudah sangat terkenal di dunia.

Jika menyukai tantangan, anda akan berkata, “Oke. Beri saya waktu belajar berenang dan menyelam. Saya pasti bisa, tapi tolong beri waktu.” Kemungkinan kedua, nyali Anda langsung ciut karena sudah berpikir macam-macam: berenang saja tidak bisa, apalagi menyelam. Bisa mati tenggelam aku! Jadi Anda akan menjawab, “Kamu gila ya ngajak saya nyelam? Berenang saja nggak bisa!”

Bukankah ini yang sering kita alami dalam mengarungi tantangan yang datang dalam kehidupan?

Hal yang sama berlaku saat Anda disodori tawaran meminimalisasi pemanasan global. “Kita perlu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Cuaca dan iklim makin tak tentu. Lakukan sesuatu untuk menguranginya. Yuk, naik angkutan umum, hemat energi, jaga hutan, atau apapun…” Bagaimana reaksi Anda jika ada tawaran semacam ini? Tidak peduli atau malah tertawa terbahak-bahak?

Mungkin Anda berpikir bahwa ide mengurangi dampak perubahan iklim adalah ide filosofis yang tak terjangkau. Mungkin pula Anda berpikir tidak mungkin karena dampak perubahan iklim sudah tak dapat dicegah. Kemacetan saja sudah mengesalkan karena pekerjaan terganggu, apalagi harus memikirkan cara mencegah perubahan iklim. Lagipula, belum tentu banjir disebabkan perubahan iklim. Bisa saja karena tingginya curah hujan yang berlangsung berhari-hari tanpa henti.

Manusia memang memiliki pilihan bebas. Yang perlu dicatat, kita tidak perlu berpikirmuluk untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Semua dapat dilakukan sesuai dengan bidang Anda masing-masing.

Jika Anda adalah musisi, buatlah musik-musik yang menginspirasi orang lain untuk peduli pada isu perubahan iklim. Jika Anda adalah pengusaha, jadilah pengusaha yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Jika Anda adalah arsitek, rancanglah desain bangunan yang ramah lingkungan. Jika Anda adalah chef, buatlah masakan sehat yang tidak merusak lingkungan. Jika Anda adalah orang tua, berikan contoh yang baik pada anak-anak bagaimana caranya merawat dan menjaga lingkungan

Percayalah bahwa jika masing-masing pihak menjalankan tugas masing-masing sesuai fungsinya, “harmoni” akan tercipta. Sebuah blender atau juicer dapat menghasilkan jus yang nikmat jika listrik menyala dan setiap fungsi mesin berjalan sempurna. Salah satunya rusak akan menghambat yang lain. Demikian pula dengan perubahan iklim.

Jika hanya ilmuwan atau seniman yang bergerak tanpa dukungan pemerintah, penanganan dampak melambat. Tantangan baru dapat teratasi jika seluruh pihak yang terlibat mau bergerak bersama. Sebelum kerjasama terjadi, perlu keinginan bersama meski bukan merupakan hal mudah.

Berita baiknya, tantangan membuat karakter kita makin teruji.

Jika Jepang tak sering dilanda gempa, kecil kemungkinan daya inovasi mereka dalam merancang struktur bangunan yang kokoh teruji. Kecil kemungkinan mereka menjadi bangsa yang tahan banting. Tsunami hebat yang kerap menerjang Jepang justru melahirkan daya cipta yang hebat. Keamanan nuklir mereka makin teruji. Ego tereduksi, kedisiplinan dan kerja keras pun makin terasah.

Dampak perubahan iklim yang sedang terjadi di negara kita mungkin tak seheboh tsunami Jepang. Para ilmuwan telah sepakat bahwa penyebab perubahan iklim adalah manusia itu sendiri. Artinya, potensi bencana dapat kita minimalisir meski terkadang tak dapat kita hindari.

Barang bukti begitu nyata seperti fenomena cuaca ekstrim yang telah kita alami. Bagi Anda yang tinggal di ibukota, cuaca awal tahun 2015 mungkin menjadi momok mengerikan. Banjir dan kemacetan parah tak terhindarkan bahkan istana presiden ikut terendam air.

Saat bersamaan, banjir juga juga melanda seantero tanah air hingga menyebabkan tanah longsor yang merobohkan sejumlah rumah dan menewaskan warga. Para turis yang sekadar ingin berlibur pun terpaksa harus gigit jari.

Pertanyaannya, apakah aneka tantangan ini menjadikan kita sebagai bangsa dan individu yang makin tangguh seperti Jepang atau malah menciptakan pesimisme? Apakah tantangan merupakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas atau justru membuat nyali ciut dan kemudian menyerah begitu saja sebelum bertanding?

Selama ego belum disingkirkan jauh-jauh, seruan untuk sesegera mungkin mengatasi perubahan iklim hanya menjadi angin lalu.

Itu sebabnya upaya dunia menyatukan suara dalam mengurangi dampak perubahan iklim seringkali menemui jalan buntu, terutama pada level pemerintah. Kepentingan “nasional” masih menjadi alasan utama meski tak ada yang menampik bahwa mencegah dampak buruk perubahan iklim sesungguhnya menjadi kepentingan negara manapun. Bagaimanapun, kita hidup dalam satu bola dunia yang sama.

Lakukanlah apa yang dapat Anda lakukan.

Tulisan dengan contoh kasus perubahan iklim ini tak bertujuan melemparkan kritik pedas dan tajam pada siapapun namun untuk menggerakan kesadaran setiap pembaca: kita semua. Kita tidak dapat memaksa orang lain melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan, namun kita dapat memaksa diri melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

Jika tidak ingin melihat Indonesia terpuruk, jelas bahwa akar pertama yang perlu kita benahi adalah pola pikir seluruh lapisan masyarakat yang kuncinya datang melalui pendidikan dibarengi teladan para pimpinan, pendidik, politikus, anggota dewan perwakilan rakyat, dan seluruh elit yang duduk sebagai pemimpin bangsa ini. Tanpa disertai teladan, apa yang diajarkan hanya menjadi pepesan kosong. Ia tak lebih dari retorika atau perkataan motivasi yang belum tentu berkuasa mengubah keadaan.

Bayangkan jika saat ini pemerintah menggalakkan aktivitas pelestarian lingkungan hidup tapi pada saat bersamaan memberikan ijin bagi pengusaha untuk membuka lahan-lahan baru secara tidak bertanggung jawab. Bayangkan pula jika kita mengaku sebagai aktivis lingkungan hidup yang aktif membuat kegiatan dimana-mana, namun dalam keseharian masih membuang sampah sembarangan tanpa merasa bersalah.

Para pendidik perlu memberi teladan untuk melahirkan generasi muda yang cinta lingkungan. Para pengusaha perlu memberi teladan dengan tidak mengeksploitasi lingkungan demi profit semata. Para aparatur negara perlu memberi teladan sebagai pelayan masyarakat. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat perlu memberi teladan nyata lewat tindakan dan keseharian.

Inilah hakikat ‘Etika Lingkungan‘ dalam spektrum bernegara: sederhana tapi butuh perjuangan kuat dan komitmen terus menerus buat mewujudkannya.

Etika Lingkungan artinya revolusi mental yang datang dari mentalitas diri kita. Artinya, seharusnya datang dari diri sendiri, bukan karena program pemerintah semata. Jika mental kita sudah terevolusi, tugas selanjutnya adalah menjadi inspirasi bagi orang lain agar mereka pun mengalami revolusi serupa. Menginspirasi artinya memberi contoh melalui perbuatan, bukan perkataan semata.

Pilihan untuk mewujudkan Etika Lingkungan kini ada di tangan Anda.

Sumber : klik di sini

Share Button

Masyarakat Desa Bisa Kelola 37,2 Juta Hektar Hutan

Menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) Marwan Jafar menyambut gembira program pemerintah yang akan segera menyerahkan pengelolaan lahan hutan negara seluas 37,2 juta hektar kepada masyarakat sekitar hutan.

Marwan menilai, jika program tersebut terealisasi, akan berdampak positif terhadap pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan. Itu juga sejalan dengan program Nawa Cita.

“Saya akan segera berkordinasi dengan instansi terkait untuk membahas realisasi program strategis ini. Karena bisa kita kembangkan menjadi lahan yang dimanfaatkan masyarakat desa hutan secara produktif untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat,” ujarnya, Kamis (26/2).

Desa yang berada di pinggiran hutan lindung mencapai lima ribu di seluruh Indonesia. Sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup pada sumberdaya lahan yang ada di areal hutan desa. Baik untuk bertani, berkebun, berternak, empang ikan, budidaya madu lebah atau mengambil getah kayu pohon hutan.

“Masyarakat hanya diberi akses mengelola dan mengusahakannya secara produktif sesuai kondisi lahan dan kemampuannya masing-masing. Tapi tetap menjaga kearifan lokal, kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya” tegas Marwan.

Sumber : klik di sini

Share Button

Polhut Bongkar Jaringan Pembalakan Liar di Leuser

Polisi Kehutanan (Polhut) Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat, menangkap dua tersangka diduga jaringan illegal logging di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Dua tersangka, berinisial R (54) dan F (32) dari Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Sapto Aji Prabowo,  Kepala Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III-Balai Besar TNGL, mengatakan, kedua tersangka menguasai kayu, tanpa dokumen sah. Penangkapan di Kecamatan Sawit Sebrang, Langkat, pada Jumat (13/2/15).

Dari tangan tersangka, mengamankan barang bukti 1.050 gagang cangkul berbahan meranti batu, diduga dari TNGL. Polhut juga mengamankan, seperti satu Mitsubishi Pick–Up L300 sebagai pengangkut gagang cangkul.

“Kita juga mengamankan satu lembar foto copy tanda nomor kendaraan bermotor, buku uji kenderaan Nomor: C 345309. Satu lembar surat keterangan ketua koperasi Indonesia Produksi Pipa Makmur dan delapan buah jerigen,” katanya Jumat (20/2/15).

Penangkapan ini saat operasi rutin. Dari keterangan, tersangka telah dilakukan mengirimkan sekitar 10 kali dengan jumlah beragam, ada sampai 2.000 gagang cangkul.

Menurut Sapto, dari barang bukti 1.050 gagang cangkul yang diamankan ini, diperkirakan dari dua pohon besar meranti batu. Artinya, jika pengiriman 10 kali dengan 1.000 gagang, tidak kurang 20 pohon. “Kami masih mengembangkan guna membongkar pelaku lain yang belum tertangkap.”

Andi Basrul, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, ketika dikonfirmasi menyatakan penangkapan 1.050 gagang cangkul ini merupakan penangkapan keempat dalam kurun waktu satu bulan terakhir.

Sebelumnya,  Polhut sudah pernah mengamankan satu truk bermuatan kayu, beserta tiga pelaku di Dusun Pantai Buaya, Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Stabat, Langkat, akhir bulan lalu. Kala itu,  disita satu minibus 48 batang kayu meranti dan damar, beserta pelaku mantan TNI. Penangkapan di Sawit Seberang, Langkat, akhir Januari.

Dari pengembangan kasus ini, Penyidik PNS Balai TNGL, dibantu Petugas POM, Subdenpom Binjai, juga menggeledah kilang kayu milik anggota TNI Koramil 04 Medan. Dari lokasi, menyita barang bukti kayu diduga dari TNGL.

“Kasus ini dilimpahkan kepada Subdenpom Binjai, karena diduga penadah anggota TNI Kodam I/BB. Ada beberapa lagi masih pengembangan. Semua kita sikat.”

Polhut juga mengamankan satu truk bermuatan kayu olahan, berupa kusen dan daun pintu, beserta dua pelaku 10 Februari. “Selain anggota TNI yang ditangani Subdenpom Binjai , semua kasus ditangani Balai TNGL.”

Noviar Andayani, Country Director Wildlife Conservation Society (WCS) Program Indonesia, mengatakan, penangkapan ini upaya strategis menyelamatkan ekosistem Leuser.  “Taman Nasional bekerja sama dan membentuk unit-unit patroli bertugas mengawasi kawasan oleh WCS dan TNGL.”

Munawar Kholis, Manager Program WCS-Indonesia Program lansekap Sumut, menyatakan, hasil patroli bersama TNGL sejak 2011, tim mengidentifikasi lokasi-lokasi rentan perburuan dan pembukaan hutan. “Ini makin tinggi bahkan terus terjadi.”

Sumber : klik di sini

Share Button

Bom Waktu Perusakan Hutan

Tiga hari sebelum pemerintahannya berakhir, Susilo Bambang Yudhoyono meletakkan ”bom waktu” yang secara pasti dan legal akan merusak bahkan akan menghabiskan kawasan hutan Indonesia.

Seluruh fungsi kawasan hutan yang telah dikukuhkan ataupun sedang dalam proses pengukuhan dapat dilegalkan untuk diberikan hak, atau diikutkan dalam program pemberdayaan masyarakat, kepada orang-orang atau masyarakat yang mendudukinya. Hutan segera hancur, seluruh fungsi hutan akan musnah atas nama program prorakyat.

Terbitnya Peraturan Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 79/2014, No PB.3/Menhut-II/2014; No 17/PRT/M/2014; dan No 8/SKB/X/2014 tanggal 17 Oktober 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan dengan jelas menetapkan tata cara pemberian hak atas tanah bagi orang-orang atau kelompok masyarakat yang berada dan menguasai ataupun menggunakan tanah kawasan hutan tanpa batasan-batasan konservasif sekalipun. Satu hal yang menarik, KPK ikut mendorong dalam proses terbitnya Perber 17 Oktober 2014 tanpa menyadari masalah besar yang akan atau sudah ditimbulkannya.

Sekilas, perber di atas menampakkan empati normatif, yakni memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat atas tanah, khususnya di dalam kawasan hutan, dan dimaksudkan agar dapat dilakukan penanganan yang cepat secara terpadu. Bagi orang awam, terkesan merupakan good will pemerintah yang prorakyat dan semestinya wajib didukung masyarakat luas.

Perber yang merupakan hasil perjuangan kelompok masyarakat, terutama lembaga swadaya masyarakat Aliansi Masyarakat Adat Nasional, yang sebelumnya gagal mendorong pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat hingga berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, akhirnya membuahkan terbitnya Perber 17 Oktober 2014, di saat injury time, sebelum presiden baru dilantik. Meski sekilas merupakan perjuangan tenurial yang jadi hak kerakyatan, ternyata perber ini melanggar hal-hal sangat prinsip, bahkan berpotensi pelanggaran pidana.

Sebagai gambaran, semua penguasaan lahan kawasan hutan di semua fungsi hutan, termasuk hutan lindung dan konservasi, akan diakomodasi dalam bentuk penegasan hak dan pengakuan hak atas tanah, ataupun pemberian program pemberdayaan masyarakat di dalam/di sekitar kawasan hutan (Bab III Pasal 8) dengan syarat relatif ringan. Prosedur pelepasan kawasan hutan maupun alih fungsi yang mestinya melibatkan DPR diabaikan.

Hal utama lain, perber ini melihat obyek hukum ”hutan” yang dianggap sama saja dengan tanah lainnya, bukan ”hutan” yang memiliki fungsi khusus, apalagi yang telah dikukuhkan.

Titik rawan

Perber 17 Oktober 2014 pada Bab II mengatur pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah yang berada di kawasan hutan tersebut dimulai dengan membentuk Tim IP4T (inventarisasi, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah). Tim dipimpin kepala BPN setempat yang selama ini diketahui sebagai pihak yang selalu ”berseteru” dengan pihak kehutanan.

Dalam pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah yang berada di kawasan hutan secara terpadu tersebut, pihak kehutanan (Dirjen Planologi Kehutanan) tampak berada pada posisi yang ”kalah” dan ”wajib” menerima hasil Tim IP4T. Juga ”harus” memerintahkan pelaksanaan tata batas kawasan hutan di lapangan dalam waktu 14 hari (Bab IV Pasal 12), sebagai dasar penerbitan SK Perubahan Batas Kawasan Hutan. SK ini digunakan sebagai landasan untuk diterbitkannya sertifikat hak atas tanah bagi masyarakat terkait.

Titik-titik rawan dalam proses penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan tersebut dapat dirasakan pada Bab III Pasal 8 Ayat (1) dan (2), bahwa seluruh tanah kawasan hutan yang ”dikuasai dan dimanfaatkan” oleh masyarakat selama 20 tahun secara berturut-turut atau lebih (di dalam peraturan BPN sendiri disebutkan 30 tahun), dan bahkan apabila kurang dari 20 tahun dalam rangka reforma agraria, dapat dilepaskan dari kawasan hutan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak sulit.

Dalam hal bidang tanah yang dikuasai tak memenuhi syarat/ kriteria di atas pun tetap diberi hak kelola melalui program/kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam/di sekitar kawasan hutan. Artinya, seluruh masyarakat yang telah melakukan aktivitas ”ilegal” sekalipun akan diakomodasi untuk tetap berada di dalam dan menguasai/menggunakan kawasan hutan. Proses yang diatur dalam Perber 17 Oktober tersebut juga memberikan peluang yang—setelah penguasaan dan penggunaan lahan hutan mencapai lebih dari 20 tahun atau kurang (melalui program reforma agraria)—otomatis dapat diajukan proses pelepasan dan perolehan hak atas tanahnya.

Perber tersebut akan mengundang euforia perambahan baru kawasan hutan, sebab pada saatnya nanti, sesuai Bab II Pasal 4, bisa diajukan permohonan melalui IP4T untuk disahkan. Sebuah fenomena kebijakan politik yang secara pasti mengancam rusaknya sumber daya hutan, mengundang bencana alam, menghambat kemajuan ekonomi bangsa.

Praktik di lapangan

Di saat masyarakat masih terperangah oleh huru-hara politik kenegaraan kini, dengan cepat Petunjuk Pelaksanaan IP4T sudah diterbitkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN (ditandatangani Januari 2015). Namun, sampai tiga hari menjelang sosialisasi Juklak IP4T, 9 Februari 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkesan belum tahu. Bahkan ada informasi bahwa BPN telah menerbitkan 167 sertifikat tanah komunal, yang diduga terkait Perber 17 Oktober 2014.

Sebagai gambaran, khusus di Kalimantan Tengah saja sedang terjadi dorongan kepada masyarakat untuk mengukur tanah hutan masing-masing 5 hektar dalam proses pelaksanaan perber tersebut. Kepala demang yang merupakan kepala adat tingkat kecamatan malah menyatakan akan menerbitkan surat keterangan tanah adat bagi masyarakat.

Pemerintahan Joko Widodo harus segera mengambil langkah pengamanan hutan dengan memperbaiki Perber 17 Oktober 2014 dengan mencantumkan pembatasan yang tak mengabaikan fungsi pokok hutan dan kehutanan. Penyelesaian masalah tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat sosial lainnya yang berhak hutan patut tetap dijamin serta dilancarkan.

Masalah pembatasan proses pemberian hak atas tanah bagi masyarakat dalam fungsi-fungsi hutan tertentu juga harus jelas mengatur perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dan konservasi, yang berfungsi mengendalikan kerusakan alam, bencana lingkungan, perlindungan tata air, pengendali erosi, banjir, dan kekeringan, konservasi biodiversitas, perlindungan plasma nutfah serta pengendalian pemanasan global dan perubahan iklim. Demikian pula terhadap lahan kawasan hutan yang memiliki ciri khas tertentu, misalnya cagar budaya, cagar alam, suaka margasatwa, dan fungsi konservasi lainnya yang seharusnya dilindungi sebagai kawasan hutan tetap.

Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta DPR layak cemas dengan terbitnya Perber 17 Oktober 2014 tersebut. KPK juga memiliki beban moril untuk bersama-sama ikut mendorong penyelamatan fungsi hutan sebagai inti lingkungan hidup dengan mendorong merevisi perber tersebut.

Terkait penghargaan terhadap hak masyarakat atas kehidupannya dari tanah hutan, bukankah pemerintah dalam pelaksanaan tata batas untuk pengukuhan kawasan hutan selalu diikuti dengan menetapkan adanya enklave lahan/permukiman masyarakat, yang sebelumnya telah diidentifikasi menggunakan dasar Peraturan Menhut No P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.

Di sisi lain, pemerintah juga telah berjanji akan memberikan lahan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar kepada rakyat, di samping ketentuan kepada pemegang hak izin usaha kehutanan untuk memberikan minimal 20 persen lahan usaha bagi kepentingan usaha rakyat, juga kegiatan hutan kemasyarakatan yang kini baru terealisasi sekitar 600.000 hektar.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Aparat Sita 14 Jenis Satwa Dilindungi Dari Penggerebegan Pedagang Ini

Tim dari Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse dan Kriminal (Tipiter Bareskrim) Markas Besar Polri dibantu Centre for Orangutan Protection (COP) dan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) menggrebek pedagang satwa liar dilindungi di Garut, Jawa Barat, pada Sabtu siang (21/02/2015).

Dalam operasi tersebut tim berhasil mengamankan barang bukti 14 jenis satwa dilindungi yang berjumlah 34 ekor. Adapun daftar jenis satwa yang diamankan dari tangan pedagang yakni kuskus papua (1 ekor), kasturi (1 ekor), kakatua maluku (1 ekor), nuri kepala hitam (1 ekor), beruang madu (1 ekor), kucing hutan (1 ekor), orangutan (1 individu), tarsius (2 ekor), kakatua jambul putih (2 ekor), macaca heki (3 ekor), nuri bayan (3 ekor), kakatua raja (3 ekor), kakatua jambul kuning ( 5 ekor) dan rangkong (8 ekor).

Hery Susanto, kordinator Animal Rescue COP mengatakan, pedagang merupakan pemain lama yang sudah terpantau oleh tim karena aktivitasnya memperjualbelikan satwa lewat jejaring sosial. Pedagang itu memiliki jaringan cukup luas, karena satwa yang diperjualbelikan banyak satwa endemik dari luar Jawa. Namun pedagang ini bisa mendapatkanya, menjual dan jumlahnya  sangat banyak.  Dia menampung satwa dirumah tinggalnya di Kampung Balong Kadungora, Garut.

“Pedagang memilki jaringan cukup besar karena bisa mendatangkan satwa berasal dari Sumatera, Sulawesi, Papua dan pulau lainnya dari Indonesia Timur. Satwa yang menjadi barang daganganya juga tergolong mahal karena masuk kategori satwa yang sangat langka,” kata Hery.

Ia menambahkan, kejahatan ini akan terus terjadi manakala masih banyak permintaan dari pembeli. Dampaknya adalah banyak satwa diperjualbelikan untuk memenuhi permintaan dari para pembeli yang juga penghobi pemelihara satwa liar. Untuk memenuhi kebutuhan para penghobi,  pedagang bahkan mendatangkan satwa dari luar Jawa seperti orangutan dari Sumatera, kasturi, kuskus beruang, kakatua raja dari Papua bahkan primata terkecil di dunia yang sangat langka tarsius dari Sulawesi juga menjadi komoditas perdagangan ilegal ini.

“Saatnya peran serta masyarakat di mulai dengan tidak membeli satwa liar yang tentunya akan memotong mata rantai kejahatan ini dari diri sendiri,” katanya.

Selain itu, Heri mengatakan perkiraan jumlah satwa yang diselamatkan ini bernilai lebih dari Rp250.000.000. Angka ini tentunya akan lebih besar jika merunut banyaknya  satwa yang telah diperdagangkan oleh tersangka. Dan saat ini tersangka sudah diamankan oleh pihak Direktorat Bareskrim Mabes Polri. Sedangkan satwa barang bukti dititipkan di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga sambil menunggu proses hukum berjalan.

“Kita berharap pembongkaran kasus pedagang satwa di Garut ini menjadi momentum perlawanan kejahatan perdagangan satwa liar. Dan hukuman tegas akan didapatkan oleh tersangka dengan hukuman kurungan maksimal agar efek jera dan penerapan hukum terhadap kejahatan satwa liar tegas ditegakkan,“ kata Hery.

Sementara itu, AKBP. Sugeng selaku Kanit Reskrim Tipiter yang juga komandan lapangan penggerebekan dihubungi Mongabay mengatakan, penggerebekan ini awalnya berdasarkan laporan masyarakat yang memberitahukan adanya perdagangan online lewat media sosial facebook, berkisar dua minggu lalu.

Tim kemudian mengembangkan informasi itu, dengan masuk dan dan berkenalan dengan akun tersebut dan berkomunikasi dengan pelaku, lalu bertemu pelaku di lokasi penggerebekan pada Jumat (20/02/2015).  “Kami melihat benar ada satwa liar dlilindungi diperjual belikan, baru lakukan penindakan,” kata Sugeng.

Ia menambahkan, Jumat pagi setelah petugas/informan kami melihat di TKP, Sabtu siang penindakan. Pelaku tertangkap di rumahnya dan barang bukti satwa liar dilindungi. Pelaku dikenakan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, junto pasal pasal 40 ayat 2 menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

“Tersangka terancam hukuman penjara lima tahun dan denda 100 juta. Statusnya dalam penahanan penyidik untuk 20 hari kedepan,” tambah Sugeng.

Hery menambahkan penggerebekan ini merupakan kasus kedua pada tahun 2015. “Sebelumnya bulan Januari, Polri menggagalkan pengiriman kura-kura moncong babi yang merupakan endemik Papua,” kata Hery.

Pengiriman dilakukan melalui argo udara dan diklaim sebagai pengiriman hasil laut berupa kepiting yang akan dikirim ke China menggunakan pesawat Singapure Airline. Ketika dicek ditemukan kura-kura moncong.

Heru mencatat aparat penegak hukum makin giat melakukan penindakan. Para pedagang semakin mencari celah-celah untuk melakukan modus perdagangannya dengan segala cara, baik bersifat konvensional maupun menggunakan perangkat internet. Terjadi juga cara berkamuflase, seperti mendirikan komunitas penyayang/pecinta satwa, namun di dalamnya ada kegiatan jual beli satwa yang dilindungi.

Sumber : klik di sini

 

Share Button

1 Juta Hektar Lahan Pangan, Prioritaskan Warga dan Perhatikan Lingkungan

Bulan lalu, Menteri Pertanian meminta lahan satu juta hektar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pengembangan pangan, berupa palawija (pagi, kedelai dan jagung) dan tebu. Namun, ada indikasi pemerintah akan memberikan pengelolaan lahan itu kepada investor ataupun BUMN. Sikap ini mendapat tanggapan dari berbagai kalangan.

Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera mengatakan, pengelolaan lahan pangan mesti mengutamakan buat warga. “Jangan pernah menyerahkan kepada swasta,” katanya, baru-baru ini di Jakarta. Sebab, katanya, tidak ada hubungan antara kedaulatan pangan Indonesia dengan swasta.

Sifat swasta, yang ingin mendapatkan profit, kata Tejo, tidak pernah memikirkan kebutuhan pangan warga, kecuali harga pangan lebih tinggi dari luar negeri.

Indonesia, katanya, punya PP 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman sebagai turunan UU Sistem Budidaya Tanaman.  Dalam pasal-pasal di sana, tidak ada kewajiban investor memasarkan produksi ke dalam negeri. “Atau dengan kata lain tidak ada hubungan antara kebutuhan dalam negeri dan kewajiban memasok bagi pengusaha. Kewajiban hanya saat ada bencana alam atau kegagalan panen luar biasa.”

Meskipun begitu, katanya, permintaan satu juta hektar untuk 10 pabrik tebu dan kebun serta lahan padi dan palawija pada dasarnya wajar-wajar saja. Sebab, Indonesia memang memerlukan lahan untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Namun, kata Tejo, ada beberapa hal perlu dicermati. Pertama, harus dipastikan tidak ada tumpang tindih kepemilikan, terutama dengan masyarakat adat dan tempatan.Kedua, menjadi tidak wajar apabila pembukaan hutan begitu luas terlebih dalam satu hamparan. “Ini akan membuat goncangan lingkungan. Jadi harus benar-benar diperhitungkan daya dukung dan tampung lingkungan suatu kawasan.”

Ketiga, proporsi harus jelas berapa persen untuk pabrik gula, berapa persen kebun dan padi atau palawija. Menurut dia, Indonesia,  lebih memerlukan lahan untuk menyediakan pangan rakyat. Keempat, prioritas pengelolaan harus untuk masyarakat adat dan lokal.

Beralih ke sawit

Kussaritano, Direktur Eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah, merasa heran pemerintah berdalih sibuk mengembangan lahan buat tanaman pangan. Padahal, lahan pangan yang sudah ada tak terjaga hingga banyak beralih fungsi menjadi kebun sawit dan lain-lain.

Dia mencontohkan di Kalteng,  Desa Anjir Mambulau, Kabupaten Kapuas,  banyak memproduksi produk-produk pertanian, dari padi, sayur mayur sampai buah-buahan. Sayangnya, kawasan ini terancam ekspansi perkebunan sawit. “Harusnya pemerintah bisa menjaga lahan-lahan tani produktif itu agar tak berubah jadi fungsi lain,” ujar pria yang bisa dipanggil Itan ini.

Redistribusi tanah buat petani

Sedangkan, Rudi Cas Rudi, Ketua Rukun Tani Indonesia dan Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sampai saat ini, Mentan belum melakukan gebrakan menangani masalah pangan di negeri ini.

Data BPS, pada April-Agustus 2014,  Indonesia impor beras 676.227 ton dengan biaya ratusan miliar. Angka impor ini tidak wajar karena Indonesia negara agraris dengan kesuburan tanah cukup bagus. Sepanjang 2014, impor beras dari lima negara, yaitu Vietnam, Thailand, Myanmar, India dan Pakistan.

Sebenarnya, kata Rudi, tak sulit menanggulangi impor beras. Pemerintah perlu mencetak sawah 150.272,6 hektar. Hasil panen petani dari satu hektar sawah sebanyak 4,5 ton dengan setahun tiga kali panen. “Ini total produksi beras selama satu tahun 2.030.853,6 ton. Dalam setahun sudah surplus beras.”

Menurut dia, beberapa faktor penyebab Indonesia menjadi pengimpor beras. Pertama, alih fungsi lahan pertanian berbasiskan tanaman pangan menjadi antara lain, perumahan, infrastruktur dan pabrik. Tidak terjamin ekonomi rumah tangga petani skala kecil, khusus di desa-desa membuat petani menjual tanah dan mencari pekerjaan lain untuk bertahan hidup.

Kedua, pembukaan lahan-lahan baru untuk pertanian tak untuk pengembangan pangan industri pangan, tetapi perkebunan komersil seperti sawit, dan karet.

Untuk itu, Rukun Tani Indonesia pun menyerukan kepada pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla melakukan beberapa hal. Pertama, memerintahkan Kementerian Agraria, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan kementerian lain meredistribusi tanah guna mencetak sawah.

Kedua, menjamin pasar produksi pertanian sehat dengan mengurangi impor dan meningkatkan produksi pertanian. Hingga kebutuhan beras tercukupi, bahkan memungkinkan swasembada pangan.

Ketiga, mengembangkan teknologi pertanian organik dalam pengolahan pertanian. “Khusus pertanian padi agar petani-petani tidak tergantung pupuk kimia.”

Sumber : klik di sini

Share Button