Langkah-langkah Penyusunan Laporan Keuangan Lingkup Kementerian Kehutanan Tahun 2014

Dalam rangka meningkatkan kualitas laporan keuangan Kementerian Kehutanan Tahun 2014.

Selengkapanya dapat unduh ditautan berikut ini :
SE Nomor : SE.14/II-KEU/2014

Share Button

Langkah-Langkah Likuidasi Satuan Kerja Dana Dekonsentrasi Tahun 2015

Surat Edaran
Nomor : SE.13/II-KEU/2014

Sehubungan dengan pelaksanaan penggabungan Satuan Kerja (Satker) Dana Dekonsentrasi Tahun 2015 yang diintegrasikan dalam 1 (satu) DIPA dan perubahan kode Satker Badan/Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan/Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan menjadi dibawah koordinasi Eselon I Sekretariat Jenderal,maka untuk memastikan pelaksanaan likuidasi dilaksanakan secara tertib dan akuntabel guna menghasilkan Laporan Keuangan Likuidasi yang sesuai Standar Akuntasi Pemerintahan dan untuk pengamanan aset milik pemerintahan.

Selengkapnya dapat unduh ditautan berikut ini :
SE.13/II-KEU/2014

Share Button

Bird Tourism, Mendulang Uang sambil Melestarikan Alam

“Psstt, itu dia!” bisik Khaleb Yordan, seorang bird guide yang memimpin serombongan orang di tengah lebatnya hutan Taman Wisata Alam Carita, Banten. “Javan Banded Pitta!” ujarnya sambil menunjuk seekor burung berwarna-warni yang sedang asyik berburu cacing di tanah.

Rombongan kecil di belakangnya—turis-turis asing berteropong—sibuk mengarahkan kamera masing-masing. Suara jepretan kamera lansung memenuhi suasana hutan yang tadinya sunyi. Decak kagum pun mengalir dari mulut mereka saat berhasil mengambil gambar si Paok Pancawarna Jawa (Pitta guajana), burung endemik Jawa yang menjadi salah satu ‘buruan’ mereka hari itu.

Aktivitas seperti ini tidaklah asing bagi Khaleb. Sebagai seorang bird guide profesional, memang sudah tugasnya memandu para birdwatcher asing untuk mencari burung-burung cantik, langka, dan endemik yang ada di spot-spot pengamatan di Jakarta dan sekitarnya. Sudah hampir 4 tahun Khaleb menjalani profesi ini, dengan beberapa pelanggan tetap dari seluruh dunia.

Pekerjaan birding guide atau pemandu pengamatan burung memang bukanlah hal yang umum bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat belum terbiasa dengan kegiatan blusukan di hutan hanya untuk mencari beberapa jenis burung yang sulit dilihat. Pertanyaan lugu seperti “memangnya ada yang mau bayar?” pun sering didengar. Namun ternyata, bisnis bird tourism atau “pariwisata burung” merupakan bisnis yang menjanjikan di Indonesia—bahkan bisa menjadi penghubung yang kuat antara sisi ‘ekologi’ dan ‘ekonomi’ yang selalu berseteru satu sama lain!

Ya, polemik antara konservasi alam dan kepentingan ekonomi selalu menjadi pertarungan tanpa akhir. Sebagian masyarakat merasa kepentingan ekonomi jauh lebih penting ketimbang mengurusi hal-hal yang inprofitable, sehingga tidak jarang terjadi konflik antara konservasionis dengan pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi sumber daya demi keuntungan instan.

Ekoturisme sudah lama digadang-gadang menjadi jembatan antara dua kepentingan ini, menawarkan solusi berprofit tinggi tanpa harus merusak lingkungan. Namun kurang handalnya pihak terkait dalam mengemasnya membuat bisnis ini kurang dilirik. Bird tourism pun muncul sebagai solusi dari masalah tersebut.

Bird tourism merupakan produk dari budaya pengamatan burung (birdwatching) yang populer di negara maju. Bermula dari hobi nyeleneh di abad ke-18, kegiatan ini bertransformasi menjadi budaya yang umum di kalangan masyarakat modern. Budaya ini pun semakin berkembang ketika istilah twitcher mulai berkembang, merujuk pada pengamat burung yang terobsesi untuk melihat seluruh jenis burung di dunia. Hal ini membuat kegiatan yang semula bersifat estetik menjadi lebih kompetitif, memancing orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk berlomba-lomba mencari lebih banyak burung untuk dilihat.

Dengan 1.702 spesies burung dan 446 spesies endemik, Indonesia seperti surga bagi para twitcher (Data: Avibase 2014). Tidak heran ada banyak twitcher asing yang rela merogoh kantong mereka hanya untuk melihat burung-burung di Indonesia. Karena perbedaan lokasi, mereka membutuhkan pemandu profesional untuk menemukan burung-burung tersebut dalam waktu yang minim. Hal ini menjadi generator bagi para birdwatcher lokal untuk mencari nafkah dari hobi yang mereka jalani.

Khaleb merupakan contoh nyata dari fenomena ini. Bersama kakaknya, Boas Emmanuel, mereka merintis layanan birding guide atas nama Jakarta Birder. Berawal dari hobi mengamati burung, mereka mulai mendapat permintaan dari rekan-rekan birder dari seluruh dunia untuk mendampingi mereka. Empat tahun kemudian, nama Jakarta Birder menjadi cukup terkenal sebagai birding guide di Indonesia, melayani para pengamat burung dari Singapura, Malaysia, India dan negara lain. Hasilnya menggiurkan—seorang pemandu profesional bisa memasang tarif hingga ratusan ribu rupiah per hari, atau bahkan per jam!

m-7218-enz.www_.teara_.govt_.nz_

Aspek Ekonomi Birding Guide dan Tantangan Pengembangannya

Secara ekonomis, perputaran uang di industri ini juga bisa membuat kita terpana. Pada tahun 2012, CMS (Conservation of Migratory Species and Wild Animals) mencatat industri ini menghasilkan uang sebesar US $ 32 milyar setiap tahun di Amerika Serikat (sekitar 27% dari GDP di Indonesia!). Uang sebesar ini dihasilkan dari pajak, pembelian alat, jasa bird guiding, dan lain-lain. Perlu diingat bahwa angka ini berlaku di Amerika Serikat, negara beriklim sedang dengan jumlah spesies burung yang minim—bayangkan apa yang terjadi bila bisnis ini berkembang di Indonesia!

Tentu saja, bisnis ini bukan berarti bebas dari masalah. “Sering diribetin, dibilang mau penelitian, mentang-mentang bawa bule, bawa kamera dll. BKSDA juga suka nggak ngasih SIMAKSI padahal udah ngikutin prosedur. Pernah juga diminta surat ijin kamera, mentang-mentang gue bawa kamera gede, padahal bukan reporter atau apa. Nggak komersial!” keluh Khaleb. “Banyak orang-orang tersebut yang mikirnya langsung duit.”

Harga tiket taman nasional yang terlampau tinggi juga menjadi keluhan besar bagi pemandu pengamat burung. Sejak diberlakukannya PP no 12 tahun 2014, tiket masuk taman nasional di seluruh Indonesia melonjak hingga hingga 8 kali lipat. Misalnya saja di Taman Nasional Gunung Gede Pangrangro, salah satu lokasi birdwatching favorit bagi turis asing, harga tiket yang semula hanya Rp.20.000 melonjak hingga Rp.200.000/hari! Kenaikan harga ini dinilai tidak masuk akal, apalagi jika dibandingkan dengan minimnya fasilitas yang disediakan oleh pihak taman nasional.

Hal ini tentu menurunkan potensi Indonesia sebagai sentra bird tourism di dunia. Dengan tingkat endemisitas yang tinggi, Indonesia tidak akan kalah dengan negara lain yang sudah lebih dulu merintis industri ini, seperti Thailand, Singapura dan India. Tentu saja peran pemerintah dibutuhkan untuk mengembangkan industri ramah-lingkungan ini, khususnya di bidang peraturan tentang kawasan konservasi.

Di sisi lain, industri bird tourism juga bisa mendukung upaya pelestarian alam dan menguntungkan masyarakat yang terlibat. Dengan ramainya kunjungan wisata ke wilayah terpencil, masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dengan menyediakan fasilitas bagi para turis, seperti penginapan, restoran, atau bahkan menjadi bird guide itu sendiri. Ketika masyarakat merasa diuntungkan, secara otomatis mereka akan berusaha melindungi lingkungan tempat tinggal tersebut.

Burung yang menjadi sumber penghidupan mereka akan tetap dijaga agar tetap lestari. Secara tidak lansung, masyarakat juga akan berusaha menjaga habitat burung tersebut, sehingga menguntungkan kedua pihak (hutan dan masyarakat) secara bersamaan. Hal ini telah diterapkan oleh Papua Bird Club, pengusaha bird tourism dari Papua yang melibatkan warga lokal dalam usaha mereka mendapatkan profit sekaligus melindungi burung di habitatnya.

Jika semua pihak mau mengerti satu sama lain, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi negara yang maju dan hijau sekaligus. Dengan menggunakan kekayaan alamnya secara bijak, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan ekonomis tanpa harus mengorbankan masa depan. Tentu saja, bird tourism akan menjadi jembatan yang kokoh antara dua kepentingan ini, menyatukan sisi ekologis dan sisi ekonomis secara aman dan berkelanjutan.

sumber : klik disini

Share Button

Peneliti UGM : Pembukaan Hutan Untuk Lahan Sawit Harus Dihentikan

Pakar lingkungan dan juga pengajar di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Dr. Tjut Sugandawaty Djohan mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan pembukaan hutan untuk lahan industri perkebunan kelapa sawit dengan memperpanjang kebijakan moratorium izin kehutanan.

Menurutnya, hal itu dilakukan untuk melindungi keberadaan hutan hujan tropis yang tersisa hanya sekitar 33 persen atau 43 juta ha dari luas hutan yang mencapai 130 juta ha.

“Di Sumatera hutan hanya tinggal 30 persen. Itu pun hutan yang paling banyak berada di Aceh. Di Jawa, hutan sudah tinggal 3 persen. Kerusakan hutan ini akibat pembukaan lahan untuk kelapa sawit,” kata Tjut Sugandawaty yang ditemuidi Fakultas Biologi UGM, pada pertengahan Desember 2014.

Menurut Tjut Suganda, kerusakan hutan Indonesia sudah sangat massif dalam tiga puluh tahun terakhir. Salah satu sebabnya, makin banyaknya daerah yang membuka izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Bahkan termasuk kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak luput dari dampak izin pembukaan lahan kelapa sawit tersebut.

“Hutan taman nasional Tesso Nilo di Riau saja sekitar 60 persen luas hutannya sudah jadi kebun sawit. Ini sangat memperihatinkan, sampai-sampai Harrison Ford saja marah saat bertemu dengan Menteri Kehutanan (Zulkifli Hasan) waktu itu,” tambahnya.

Peneliti ekologi dan konservasi dari Fakultas Biologi UGM ini menegaskan tidak mudah mengembalikan lahan perkebunan kelapa sawit untuk menjadi kawasan hutan kembali. Satu-satunya jalan adalah menutup peluang penambahan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru. Menurutnya ini membutuhkan tindakan tegas menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya.

Dia mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengambil langkah tegas menyelamatkan sumber daya laut dengan melarang kapal-kapal asing mengambil ikan secara ilegal. Oleh karena itu, Menteri KLHK meniru langkah serupa dibidang kehutanan.

“Saya belum melihat ke arah itu, gebrakan Ibu Susi jelas dalam pengelolaan laut, tapi kebijakan di darat (hutan) belum ada. Sementara kerusakan hutan kita sangat luar biasa,” tukasnya.

Pada kesempatan yang sama, Prof Noel Holmgren, pengajar Theoritical Ecology dari Universitas Skovde Swedia, mengatakan pendekatan ecology modelling bisa digunakan untuk memprediksi fenomena yang terjadi di alam. Bahkan teknik modeling ini bisa untuk memperkirakan dampak ekologi di kemudian hari dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia maupun hewan.

“Pendekatan ini bisa digunakan untuk memprediksi laju kerusakan alam sehingga bisa membantu pengambilan sebuah kebijakan,” kata Noel Holmgren.

Konversi Lahan dan Kedaulatan Pangan

Bondan Andriyanu, Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch dalam rilisnya mengatakan bahwa rata-rata setiap tahunnya 500 ribu ha lahir kebun sawit baru di Indonesia, dari konversi lahan pangan. ‎ Menurut riset Sawit Watch pada 2012 perubahan penggunaan tanah hutan menjadi perkebunan sawit seluas 276.248 Ha. Dalam data resmi juga menyebutkan bahwa dalam satu menit, satu keluarga petani pangan menghilang.

Hari Octavian, Direktur Eksekutif Scale Up menjelaskan ekspansi perkebunan sawit di Indonesia mulai terasa dampaknya di Provinsi Riau. Data Scale Up mencatat ada 39 konflik lahan yang terjadi selama 2013. Hal ini terjadi karena masyarakat selalu kalah berkompetisi dengan perusahaan besar dalam penguasaan lahan perkebuan.

FAO menyebutkan bahwa keluarga petani (pertanian, kehutanan, perikanan tangkap dan budidaya, peternakan) merupakan penghasil pangan dunia. Dari 570 juta hektar lahan pertanian, 500 juta dimiliki oleh keluarga petani di seluruh dunia. Mereka menghasilkan lebih dari 57 persen produksi pangan di dunia. Data Sawit Watch, petani Indonesia dalam kurun 2003-2013 menghilang 5,07 juta rumah tangga, artinya dalam setiap menit 1 keluarga petani menghilang di Indonesia.

“Kebijkakan didalam pemerintahan Jokowi-JK hendak mencapai kedaulatan pangan lewat swasembada beras‎, gula dan lain-lain dalam waktu 3 hingga 4 tahun dirasa sangat pesimis dapat tercapai, bila konversi lahan pangan menjadi kebun kelapa sawit tidak dapat dihentikan,” kata Bondan Andriyanu.

Ia menambahkan, untuk menghindari tergerusnya lahan pangan akibat ekspansi perkebunan sawit maka salah satu cara dengan melindungi lahan-lahan pangan tersebut dengan menjadikannya lahan pertanian pangan berkelanjutan. Didalam UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, pemerintah dapat memberikan perlindungan lahan tersebut yang diiringi dengan pemberian insentif sehingga lahan pangan tersebut tidak terkonversi menjadi perkebunan sawit.

Riau menjadi propinsi yang memiliki luasan perkebunan sawit terbesar di Indonesia. ‎Luasan perkebunan sawit di Indonesia adalah 13.5 juta ha, dimana 2,9 juta ha ada di Riau (Sawit Watch, 2013). Luas ini akan terus bertambah sesuai dengan rencana pemerintah untuk memperluas hingga 28 juta pada tahun 2020, akibat dari permintaan pasar dunia yang semakin tinggi akan konsumsi minyak sawit (CPO) untuk digunakan dalam berbagai produk turunannya.

Bondan menambahkan, ironis sekali luasan perkebunan sawit terus bertambah dan industri olahannya tak berkembang, kemudian Indonesia mengimpor pangan dan berbagai jenis olahan berbasis sawit untuk konsumsi sehari-hari. Indonesia adalah negeri agraris dan kaya akan ragam pangan lokal, mengapa hanya fokus mengembangkan pada satu produk saja dan secara monokultur.

“Di tengah sibuknya pemerintahan Jokowi melakukan blusukan, maka perlu bersama-sama kita menitipkan kepada beliau dan timnya untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan melindungi lahan pangan dari ekspansi perkebunan sawit,” tambah Bondan.

Sumber : klik di sini

Share Button