Merawat Mangrove Segara Anakan, Menuai Rezeki Perikanan

Sebagai warga Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng), Slamet (54) merasakan betul dampak perubahan lingkungan di kawasan Segara Anakan itu. Karena di tengah Segara Anakan itulah Kecamatan Kampung Laut berada, dengan hanya terdiri dari empat desa yakni Klaces, Panikel, Ujung Alang dan Ujung Gagak berada. Kawasan Segara Anakan yang berhadapan langsung dengan Pulau Nusakambangan itu, harus dicapai dari Cilacap dengan menggunakan perahu compreng dengan waktu 2-3 jam.

Setiap tahun perubahan terjadi, karena kawasan yang berada di sekitar hutan mangrove dan laguna Segara Anakan menerima sedimen dari dua sungai besar yang bermuara di tempat itu, yakni Sungai Citanduy dan Cimeneng. Data dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Cilacap menyebutkan, setiap tahunnya ada 1 juta meter kubik lumpur yang masuk dari Sungai Citanduy dan Cimeneng. Dampaknya, muncullah tanah-tanah timbul di areal Segara Anakan.

“Kalau dulu, Segara Anakan masih luas membentang. Lama kelamaan, ternyata muncul tanah timbul. Bahkan, saat ini di sekitar Plawangan atau Kampung Laut yang berbatasan dengan laut lepas sudah mulai tampak daratan, terutama ketika surut. Banyak perahu yang kandas di wilayah setempat. Itu yang warga rasakan,”ujar Slamet.

Slamet dan warga lainnya merasakan betul, sedimentasi telah mengubah lingkungan di Kawasan Segara Anakan. Data Dinas Kelautan, Perikanan dan Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Cilacap juga menyebutkan kalau sedimentasi telah membuat semakin sempitnya laguna.

Jika tahun 1903 silam, luas Segara Anakan masih mencapai 6.450 hektare. Pada 1984 tinggal 2.906 ha, dan luasnya menjadi 1.200 ha pada tahun 2000. Dan saat sekarang, luasannya tinggal 400 ha. Perubahan lingkungan itu juga dibarengi dengan kian menyempitnya luasan hutan mangrove. Tahun 1970, luas hutan mengrove tercatat masih 17 ribu ha. Namun, setelah 35 tahun kemudian, luasannya tinggal tersisa 6-7 ribu ha.

“Dengan perubahan lingkungan semacam itu, ternyata berdampak pada turunnya hasil tangkapan. Saya orang awam yang tidak tahu apakah perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi hasil tangkapan. Namun, yang kami rasakan adalah, semakin ke sini, hasil tangkapan kian sulit. Sekitar tahun 1990-an, untuk mendapatkan udang dan ikan sebanyak 20 kg per hari, tidak terlalu sulit. Tetapi kini, kian susah. Kadang malah tidak dapat. Maksimal hanya 5 kg saja,”ujarnya.

Ternyata benar, bahwa kondisi lingkungan mangrove dan Segara Anakan yang berubah sangat mempengaruhi perkembangbiakan biota laut. Hasil riset yang dilakukan Ristek dan Science for Protection of Indonesian Coastal Ecosystems(SPICE) menyatakan jika hutan mangrove erat kaitannya dengan potensi perikanan. Sebab, dalam riset tersebut disebutkan kalau potensi perikanan mencapai Rp17 juta dalam setiap hektar hutan mangrove. Sehingga kalau kini hutan mangrove di Cilacap telah menyusut 10 ribu ha, maka sudah ada potensi perikanan senilai Rp170 miliar yang hilang.

Dari berbagai penelitian mengungkapkan jika hutan mengrove merupakan kawasan asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, juga tempat mencari makan (feeding ground). Sebab, mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar serasah dari daun dan dahan pohon mangrove sebagai makanan bagi biota di kawasan itu. Kawasan mangrove itu juga sebagai tempat pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Mangrove juga menjadi pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya.

Apalagi, dari hasil riiset yang dilakukan Ocean and Coastal Policy Program Duke University menyebutkan kalau serapan 1 ha hutan mangrove sama dengan penyerapan 3-5 hektar hutan tropis. Hutan mangrove yang dikategorikan ekosistem lahan basah mampu menyimpan 800-1.200 ton CO2 ekuivalen per hektar.

Camat Kampung Laut Ahmad Nurlaeli membenarkan bagaimana penduduk di kecamatan itu harus menyesuaikan dengan lingkungan tempat mereka hidup. “Sewaktu Segara Anakan dan hutan mangrove masih luas, maka penduduk dengan gampang mendapatkan ikan, udang dan kepiting. Mereka merasa beruntung bekerja sebagai nelayan. Namun, lambat laun, hasil tangkapan menurun. Hal itu seiring dengan sedimentasi yang semakin banyak masuk Segara Anakan dan menyusutnya luasan hutan mangrove,”katanya.

Di sisi lain, dengan semakin banyaknya “tanah timbul” akibat sedimentasi, warga setempat mulai belajar bertani. “Hal itu sesungguhnya bukanlah profesi mereka sejak awal. Sebab, selama puluhan bahkan ratusan tahun, mereka hidup sebagai nelayan. Tetapi, ada sebagian yang kini mulai menggarap lahan persawahan terutama yang berbatasan langsung dengan Pulau Nusakambangan,”katanya.

Data dari Kecamatan Kampung Laut menyebutkan, kini ada areal persawahan di kecamatan setempat seluas 2.500 ha. Namun demikian, kata Camat, hasilnya tetap masih jauh di bawah hasil sawah daratan. “Meski demikian, mereka tetap menangkap ikan dan udang. Karena kalau hanya dari hasil sawah, jelas tidak mampu mencukupi kebutuhan. Makanya, profesi nelayan tetap dipertahankan, meski hasilnya juga kurang maksimal,”tambah Camat.

 

Gerakan Lingkungan

Di tengah kegalauan penduduk Kampung Laut, ternyata ada warga yang mencoba bergerak untuk keluar dari kesulitan yang terjadi. Dialah Thomas Heri Wahyono. Warga asal Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang yang akrab dipanggil Wahyono itu memulai aksi “hijau” sejak tahun 2001 silam.

Hutan bakau untuk budidaya bandeng. Ternyata, usaha itu hanya beberapa tahun, karena setelah krisis tahun 1998, semuanya gulung tikar. Lokasi ditinggalkan begitu saja dan menyisakan lingkungan mangrove yang rusak parah,”katanya.

Kondisi itulah yang mengundang keprihatinan Wahyono. Ia mengajak keluarganya untuk menghijaukan mangrove kembali. “Ketika awal memulai, tujuan saya hanya menghijaukan saja. Sebab, kawasan yang dulunya hijau, kini menjadi panas akibat terbukanya hutan mangrove. Waktu itu, banyak juga yang mencibir. Ada yang mengatakan kalau saya kurang kerjaan, sehingga mau menghijaukan Segara Anakan. Tetapi, justru cibiran mereka membuat saya semakin kukuh untuk terus bekerja bersama keluarga,”ujar Wahyono.

Dalam perjalanannya, ia membuat kelompok Krida Wana Lestari karena ternyata gerakan itu mendapat respons dari masyarakat. “Sebab, dari mereka melihat, setelah mangrove mulai hidup, saya bisa membudidayakan kepiting dan bandeng. Sehingga mereka mulai sadar kalau ada manfaatnya ketika menghijaukan mangrove,”jelasnya.

Setelah hampir 8 tahun menghijaukan kawasan yang luasannya telah mencapai belasan hektare (ha), Wahyono seperti mendapat durian runtuh. Sebab, Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap melirik aksinya itu dan menjadikan kelompoknya sebagai mitra binaan. “Saya juga kaget, ternyata ada yang tertarik memberikan bantuan. Kelompok berubah nama menjadi Patra Krida Lestari. Terus terang, dengan adanya pembinaan, maka aksi penghijauan semakin luas dan kini telah mencapai 30 ha,” ujar Wahyono yang menjadi ketua kelompok tersebut.

 

Thomas Heri Wahyono, perintis gerakan penghijauan mangrove di Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan

Ia mengungkapkan berdasarkan pengalamannya, ternyata membudidayakan kepiting dan ikan di lingkungan yang telah ditumbuhi mangrove lebih bagus. “Saya telah mencoba budidaya bandeng dan kepiting. Hasilnya sangat bagus. Untuk lahan 0,5 hektar, misalnya, mampu menghasilkan 3 kuintal ikan bandeng. Kalau dijual menghasilkan Rp4,8 juta. Padahal modalnya hanya kisaran Rp600 ribu. Demikian juga dengan kepiting, hasilnya lumayan dapat mencapai Rp3,5 juta. Kalau lingkungannya tidak dihijaukan dengan mangrove, mustahil bisa mendapatkan hasil seperti itu,”kata Wahyono yang mendapatkan penghargaan Perintis Lingkungan Hidup Jawa Tengah 2010dan Penyelamat Pesisir oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 lalu.

Kini, Wahyono tidak hanya mengajak masyarakat untuk budidaya di kawasan mangrove, tetapi ia berusaha menangkarkan seluruh jenis tanaman mangrove. Berdasarkan buku yang dibacanya, setidaknya ada 35 jenis spesies tanaman mangrove. Kini, ia telah mampu membuat bibit sebanyak 20 jenis mangrove. “Beruntung juga, pada pertengahan September silam, Pertamina RU IV Cilacap membangun Pusat Konservasi Mangrove dan Studi Plasma Nutfah Indonesia di desa ini, Ujung Alang dan diresmikan oleh Menteri Lingkungan Hidup waktu itu,”katanya.

Menurut Wahyono, tidak hanya kelompok Patra Krida Lestari saja yang berperan di situ, karena banyak ahli mangrove yang didatangkan baik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dan Institut Pertanian Bogor (IPB). “Pusat konservasi ini saya harapkan akan semakin baik dampaknya, sehingga masyarakat di sekitar Ujung Alang dan Kampung Laut bakal menjaga kelestarian mangrove. Sebab, dengan mangrove yang lestari, ternyata mendatangkan rezeki. Karena kondisi lingkungan baik dapat menjadi tempat budidaya yang menghasilkan,”tambah Wahyono.

Camat Kampung Laut Ahmad Nurlaeli berharap dengan gerakan lingkungan di Kampung Laut, penduduk setempat juga akan meningkatkan derajat ekonominya. “Bukan dengan membabat mangrove untuk dijual, tetapi sebaliknya menghijaukan mangrove agar dapat digunakan untuk tempat budidaya. Selain itu, ke depannya, dengan adanya pusat studi mangrove, kami berharap akan menjadi pusat penelitian dan lokasi wisata pengetahuan,”tandasnya.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Presiden Jokowi Bubarkan BP-REDD dan DNPI

Presiden Joko Widodo membubarkan dua lembaga Negara, Badan Pengelola Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (BP-REDD+) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).

Kedua badan yang dibentuk pada rezim Presiden Yudhoyono ini dibubarkan melalui Perpres 16 tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 21 Januari 2015. Selanjutnya, tugas dan fungsi BP-REDD+ dan DNPI diberikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Setiap tugas dan fungsi BP-REDD+ dan DNPI kami sebar di beberapa dirjen terkait. Dengan demikian, isu ini semakin diperkuat karena memiliki “pasukan” kami hingga di daerah-daerah,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (28/1/2015) di Jakarta.

Ia memberi penjelasan kepada media terkait Perpres 16 tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perpres ini juga berisi uraian kelembagaan KLHK.

Penyerahan tugas dan fungsi BP-REDD+ dan DNPI terdapat pada pasal 59. Selanjutnya pada Bab VIII Ketentuan Penutup, pasal 63 ayat c dan d, Presiden mencabut Perpes nomor 62/2013 tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut dan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim. Kedua perpres ini dinyatakan tak berlaku.

Kemudian, Perpres 16/2015 pada pasal 64 mempertegas Peraturan Presiden mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Perpes ini diundangkan pada 23 Januari 2015 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.

Akibatnya, berbagai kegiatan BP-REDD+ pun dibatalkan. Seperti kegiatan evaluasi moratorium kehutanan yang sedianya berlangsung Kamis, 29 Januari 2015 dan undangan telah dikirim ke berbagai instansi, akhirnya dibatalkan.

“Rekan jurnalis yang baik, mohon maaf sebesarnya, terkait dengan terbitnya Perpres 16/2015, maka acara besok, diskusi dan analisa dan tindaklanjut moratorium pasca Mei 2015 tidak jadi diadakan. Mohon maklum. Salam,” demikian pemberitahuan dari pihak BP-REDD+.

 

Sumber : klik di sini

Share Button

Enam Pahlawan Lingkungan Indonesia

Di tengah bencana kebakaran hutan, alih fungsi lahan untuk sawit dan tambang, dan masalah polusi perkotaan, Indonesia ternyata tetap punya pahlawan-pahlawan penjaga lingkungan yang tanpa pamrih berjuang mempertahankan, bahkan memperbaiki, alam sekitarnya dari kerusakan.

Enam orang dari sekian banyak pahlawan lingkungan itu hadir di Jakarta pada Selasa (28/1/2015). Mereka menerima penghargaan Kehati Awards sekaligus sedikit bertutur tentang keberhasilan dan manfaat yang didapatkan dengan menjaga lingkungan.

Kehati Awards adalah penghargaan yang diberikan Yayasan Keanekaragaman Hayati kepada publik yang menginisasi pelestarian dan pemanfaatkan keanekaragaman hayati. Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, MS Sembiring, mengungkapkan, tujuan Kehati Awards tak semata memberikan penghargaan, “tetapi juga mengajak orang untuk mereplikasi langkah mereka.”

Aziil Anwar dari Desa Binanga, Majene, Sulawesi Barat, menerima penghargaan kategori Prakarsa Letasri Kehati. Dengan kegigihan, dia berhasil menyulap karang-karang mati dan pesisir bekas tempat praktik pengeboman ikan berlangsung menjadi lahan tumbuh mangrove.

Dia menuturkan, upayanya mendatangkan manfaat bagi warga. Wilayah dekat pantai kini lebih tahan dari abrasi. Adanya ekosistem mangrove juga memberi manfaat. “Warga mendapatkan sumber protein dari kerang-kerangan dan hewan yang hidup di mangrove,” ungkapnya.

Januminro, Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Kota menerima penghargaan kategori Pendorong Lestari Kehati. Dia menyulap lahan gambut bekas kebakaran hutan menjadi lahan subur tempat beragam tanaman ekosistem itu bisa tumbuh.

Tak cuma itu. Januminro juga mengajak warga sekitar hutan gambut hak milik Jumpun Pambelon, demikian dinamakan, aktif membibitkan pohon-pohon langka yang memberi manfaat ekonomi seperti pasak bumi (Eurycoma longifolia) dan Ramin (Gonystylus bancanus). Bibit akhirnya bisa dijual dan mendatangkan uang.

Menerima Tunas Lestari Kehati, Dinuarca Endra Wasistha dari Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (Kasemat) menjadi cerminan generasi muda yang peduli keanekaragaman hayati. Ia menginisiasi penanaman dan pembibitan mangrove, sekaligus edukasi warga.

Sejumlah spesies yang hidup di ekosistem mangrove akhirnya bisa dimanfaatkan, seperti untuk pewarna. Dinuarca menganggap kelestarian ekosistem mangriove sebagai cita-cita utamanya saat ini. “Kuliah cuma sampingan,” kata mahasiswa dari Universitas Diponegoro, Semarang ini.

Dari sub-urban Jakarta, Ambarwati Esti, seorang ibu rumah tangga, meraih penghargaan Peduli Lestari Kehati. Ia prihatin dengan jajanan anak-anak masa kini yang tak menyehatkan. Dengan telaten, Ambar belajar mengolah umbi-umbian. Kini, ia berhasil mendirikan CV Arum Ayu yang mengolah umbi menjadi kue yang sehat.

Sementara dari ujung Jawa Timur, Achmad Subagio, berhasil memanfaatkan lahan kritis untuk menanam singkong dan meraih Cipta Lestari Kehati. Profesor di Universitas Jember itu juga sukses mengolah singkong menjadi tepung yang tak bercitarasa singkong, dinamai MOCAF (Modiefied Cassava Flour).

Berbeda dengan peneliti umumnya yang hanya puas meriset, Achmad juga berpikir aplikasi hasil risetnya. Ia melatih warga mengolah tepung singkong menjadi sejumlah produk dan berhasil. MOCAF sendiri kini diekspor ke Jepang. Sekali lagi, kreativitas membuat keanekaragaman hayati menjadi uang.

Agustinus Sasundu dari Sangihe, Sulawesi Utara, yang menerima penghargaan Citra Lestari Kehati adalah yang terunik. Dia menyulap bambu menjadi beragam alat musik, seperti klarinet, korno, seruling, dan trombon. Tak cuma itu, ia membuat “orkestra” musik bambu dan mementaskan karyanya.

Ketua Dewan Juri Kehati Awards dan peneliti etnobotani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Eko Bariti Waluyo, mengungkapkan, karya-karya pemenang Kehati Awards sangat bagus dan menginspirasi.

Yono Reksoprojo dari Kamar Dagang dan Industri yang juga menjadi dewan juri mengungkapkan bahwa ekonomi saat ini adalah ekonomi jasa dan ekonomi kreatif. Kegiatan ekonomi tersebut tidak hanya mengandalkan sumber daya alam, tetapi juga kreativitas untuk memberikan nilai tambah. Sejumlah karya pemenang Kehati Awards menunjukkan kreativitas itu.

Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, mengungkapkan, kreativitas untuk menjaga dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sangat menentukan masa depan umat manusia.

“Tahun 2030 populasi manusia diprediksi 9 miliar. Kita diperkirakan butuh 2 Bumi. Maka manusia silakan berpikir. Bagaimana mengelola lingkungan dan keanekaragaman hayati sehingga Bumi bisa tetap mendukung,” katanya.

Kehati Awards telah diberikan sejak tahun 2000. Penyelanggaraan tahun ini merupakan yang kedelapan. Hingga kini, telah ada 37 orang yang menerima penghargaan tersebut.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Gemuk

Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan itu menghasilkan 18 pejabat struktural eselon I dengan 9 formasi direktorat jenderal.

“Perpres ditandatangani Presiden tanggal 21 Januari 2015 kemarin,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (28/1/2015) di Jakarta, usai menerima anggota Komite II DPD-RI yang dipimpin Parlindungan Purba.

Dalam Perpres tercantum struktur KLHK menjadi Setjen, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ditjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem, Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim, Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Inspektur Jenderal, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, dan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi.

Menteri LHK juga diperkuat dengan Staf Ahli Bidang Hubungan Antarlembaga Pusat dan Daerah, Staf Ahli bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Staf Ahli Bidang Energi, Staf Ahli bidang Ekonomi Sumberdaya Alam, dan Staf Ahli Bidang Pangan.

Siti Nurbaya mengaku susunan ini sesuai yang diusulkannya kepada Presiden. Mantan Sekjen Dewab Perwakilan Daerah (DPD)  ini pun mengakui üsulan ini sempat “dikritik” Presiden karena terlalu banyak lembaga. Namun ia berdalih pihaknya menggunakan pendekatan kebutuhan dan beban kinerja.

Ia menggambarkan penggabungan KLH dan Kemhut membuat KLHK memiliki 26 pejabat eselon I. Namun ditekankan Siti Nurbaya, 30 persen jabatan akan dibuka bagi orang di luar KLHK yang kompeten dan 30 persen memberi kesempatan promosi bagi eselon II yang berkapasitas untuk naik jabatan. Sisanya mutasi/perpindahan di antara dirjen/deputi.

Sumber : klik di sini

Share Button

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2015 Tentang Kementerian L H K

Presiden Sahkan Kelembagaan Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia  Nomor 16 Tahun 2015 Tentang Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan

Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan terdiri dari Setjen, Itjen, 9 Direktorat Teknis, 2 Badan dan 5 Staf Ahli

Unduh File: perpres 16 tahun 2015

sumber : Klik di sini

Share Button

Jenis-Jenis Tumbuhan dari Proses Regenerasi Alami di Lahan Bekas Tambang

Secara alami, proses suksesi mengembalikan ekosistem yang rusak, lahan bekas tambang misalnya, pada kondisi normal. Munculnya jenis-jenis perintis pada lahan bekas tambang menunjukkan ada keberhasilan proses reklamasi dan dapat dipercepat dengan kegiatan rehabilitasi.

Dengan pertimbangan adaptasi dan kesesuaian dengan ekosistem semula, pemilihan jenis-jenis perintis lokal sebagai tanaman utama kegiatan rehabilitasi menjadi poin penting dalam keberhasilan suksesi di lahan bekas tambang. Dengan memilih jenis perintis lokal yang cepat tumbuh dan pemilihan teknik pemeliharaan yang tepat, suksesi akan berlangsung dengan alami dan minim campurtangan manusia.

Sebagai pemandu pengenalan jenis perintis dilahan tambang, Balitek KSDA menerbitkan buku dengan judul Jenis-Jenis Tumbuhan dari Proses Regenerasi Alami di Lahan Bekas Tambang Batubara.“Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian Balai Penetian Teknologi KSDA (Balitek) Samboja dan dari hasil pengamatan langsung selama kunjungan lapangan di beberapa perusahaan pertambangan batubara khususnya di wilayah Kalimantan Timur”, kata Dr. Ishak Yassir, penulis buku ini.

“Buku ini menyajikan informasi tentang jenis-jenis tumbuhan pionir pada areal bekas tambang. Tumbuh bersama jenis-jenis cepat tumbuh yang menjadi tanaman utama, tak jarang mereka dianggap sebagai gulma pengganggu. Padahal, mereka adalah jenis-jenis utama yang telah semestinya hadir untuk membentuk ekosistem rusak kembali normal. Filosofi ini yang kemudian diserap sebagai bagian dari konsep Bersinergi dengan Alam“, imbuhnya.

Pengenalan yang tepat terhadap jenis tumbuhan pionir akan memberikan pemahaman yang berbeda dalam teknik pemeliharaan tanaman utama untuk membantu percepatan suksesi. Alih-alih penyiangan (weeding) disekitar tanaman utama, para praktisi diharapkan membiarkan jenis pionir lokal untuk tetap tumbuh dan mewarnai ekosistem yang menuju klimaks.

“Buku ini dilengkapi foto-foto dan deskripsi jenis yang praktis, diharapkan buku ini bermanfaat bagi para praktisi di lapangan”, ujar Bina Swasta Sitepu, S.hut penulis kedua buku ini. Menurut Bina, pengenalan jenis yang tepat, akan membantu pelaksana kegiatan rehabilitasi dalam melaksanakan dan mendukung keberhasilan proses rehabilitasi itu sendiri.

Penerbitan buku ini adalah salah satu upaya Balitek KSDA dalam menyebarluaskan hasil penelitian sebagai ilmu pengetahuan dan informasi teknik rehabilitasi lahan bekas tambang batubara. Buku yang terbit Desember 2014 ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi, akademisi, serta berbagai pihak yang membutuhkan. Selamat membaca!!

 

Share Button