Ecositrop Jajaki Kerjasama IOCMP

SAMBOJA – Ecositrop (Ecology and Conservation Center For Tropical Studies) menjajaki kerjasama konservasi orangutan dengan Balitek KSDA. Program penyelamatan orangutan yang digagas Ecositrop bertajuk Integrated Orangutan Conservation Management Plan (IOCMP). Rencana kerjasama tersebut merupakan pengembangan kerjasama penanganan konflik orangutan dan manusia yang sudah terjalin sebelumnya antara Ecositrop dengan peneliti Balitek KSDA.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Yaya Rayadin, Scientific Coordinator Ecositrop dalam diskusi yang digelar di ruang rapat Balitek KSDA, Kamis (11/12). Penanganan konflik orangutan dengan manusia umumnya terjadi di kawasan non hutan, seperti daerah tambang, perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan pemukiman.
IMG_9543Lebih Jauh, Yaya Rayadin mengungkapkan bahwa konflik orangutan dengan manusia pada masing-masing kawasan memerlukan penanganan yang berbeda, sehingga perlu disusun SOP (Standar Operational Procedure) dan CMP (Conservation Management Plan) masing-masing. Kerjasama dengan Balitek KSDA diharapkan mampu mengawal IOCMP yang berbasis pada penelitian dan pengalaman lapangan sampai menjadi produk kebijakan.
Ahmad Gadang Pamungkas, S. Hut., M.Si, Kepala Balitek KSDA, menyambut baik usulan kerjasama dengan Ecositrop. Kolaborasi dengan mitra diharapkan dapat mendorong kemajuan hasil-hasil penelitian yang aplikatif dan dibutuhkan oleh pengguna. Dengan demikian Balitek KSDA dapat menghasilkan inovasi teknologi konservasi yang benar-benar dimanfaatkan di lapangan.
Kerjasama yang dilakukan juga dapat melengkapi kepakaran antara dua lembaga serta mengisi gap budgeting sehingga dapat menghasilkan penelitian terintegrasi. Sebagai tindak lanjut, Balitek KSDA akan mendiskusikan substansi kerjasama serta kesesuaian dengan tugas pokok dan fungsi dalam lingkup internal. ***Emilf_.edt

Share Button

Pasca-Korsup Minerba KPK, 124 Pertambangan Masih Beroperasi di Kawasan Konservasi Kalimantan

Hampir setahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) di bidang mineral dan batubara (Minerba) di Kalimantan. Apa hasilnya?

Dari data Dirjen Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Korsup KPK hingga Mei 2014, ternyata ada 124 pemegang izin pertambangan di lima provinsi di Kalimantan yang masih beroperasi di kawasan konservasi.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Borneo (KMSB) fakta tersebut membuktikan pemerintah daerah di Kalimantan tidak bekerja sungguh-sungguh dalam menata persoalan minerba. KMSB adalah koalisi NGO di Kalimantan yang melakukan pengawasan atau pemantauan terkait aspek ketaatan izin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan lingkungan, dari aktivitas perusahaan izin minerba.

Ivan G Ageung, dari Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan Barat, anggota KMSB, mengatakan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan memang diperbolehkan berdasarkan aturan yang ada. “Namun, penggunaan kawasan konservasi untuk kegiatan non-kehutanan jelas melanggar aturan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati,” katanya, di Sekretariat SAMPAN di Pontianak, Senin (08/12/2014) lalu.

Lanjut Ivan, kegiatan penggunaan kawasan hutan di kawasan lindung hanya diperbolehkan dalam bentuk pertambangan bawah tanah (underground mining). Tapi faktanya, sampai saat ini tidak ada satu pun pemegang izin yang sanggup melaksanakan praktik penambangan tersebut.

“Intinya, hingga saat ini semua pemerintah daerah di Pulau Kalimantan belum melakukan tindakan penegakan hukum terhadap pemegang izin penggunaan kawasan hutan di wilayah konservasi dan lindung,” katanya.

Pada kertas posisi KMSB, disebutkan di Kalimantan Barat terdapat 13 pemegang izin yang menggunakan kawasan konservasi untuk kegiatan non-kehutanan dan 125 pemegang izin di kawasan lindung. Sementara di Kalimantan Timur terdapat 62 pemegang izin di kawasan konservasi, di Kalimantan Selatan sekitar 30 pemegang izin, dan di Kalimanyan Tengah terdapat 19 pemegang izin.

Dari Data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara pada April 2014, dari semua izin tersebut, hampir 50 persen IUP Minerba belum clear and clean (CnC). Tepatnya, pemerintah daerah di Kalimantan dihadapkan dengan status non-clear and clear-nya IUP pertambangan sebanyak 1.518 IUP dari total 3.836 IUP. Status non-clear and clean terbanyak di Kalimantan Timur.

Meskipun KPK memberikan batas waktu selama enam bulan kepada pemerintah daerah untuk memaksa pemegang IUP agar mengurus status IUP, ternyata respons pemerintah daerah di Kalimantan sangat lamban.

Indikasinya, hingga Oktober 2014 di Kalimantan Barat hanya 21 IUP yang berstatus CnC dari 195 IUP yang diusulkan. Sementara di keempat provinsi lainnya data tidak tersedia.

Selain itu, sebanyak 44 persen IUP yang non CnC di Kalimantan bermasalah secara administratif. Masih data Dirjen Minerba Kementerian ESDM mengemukakan sekitar 1.078 pemegang izin di Kalimantan belum menyelesaikan administrasi sebagai persyaratan untuk memperoleh IUP, antara lain kepemilikan NPWP dan kelengkapan dokumen perusahaan.

KMSB juga mendapati sebanyak 95 persen pemegang izin pertambangan di Pulau Kalimantan belum memiliki jaminan reklamasi. Serta, 99 persen di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur belum memiliki jaminan pasca-tambang.

Berdasarkan data jaminan reklamasi di Kalimantan, dari jumlah total 3.836 izin pertambangan hanya 210 IUP yang menyetorkan dana jaminan reklamasi.

“Sisanya belum memenuhi kewajibannya untuk menempatkan jaminan reklamasi. Dari jumlah tersebut, hanya 0,7 persen atau 16 izin pertambangan yang baru memiliki dokumen pascapertambangan,” kata Ivan.

Negara rugi ratusan miliar

KMSB melakukan perhitungan potensi kerugian negara dari land rent yang mengacu pada PP Nomor 9/2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak. Dari perhitungan yang ada diperoleh selisih yang signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasinya. “Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan potensinya kami sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential lost),” kata Ivan.

Hasil perhitungan KMSB menunjukkan, sejak tahun 2009-2013 diperkirakan potensi kerugian penerimaan mencapai Rp 218,302 miliar di Kalimantan Timur; Rp 177,442 miliar di Kalimantan Barat; Rp 34,067 miliar di Kalimantan Selatan dan Rp 145,136 miliar di Kalimantan Tengah. Dengan demikian total potensi kerugian penerimaan di lima provinsi tersebut adalah sebesar Rp 574,94 miliar lebih.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio
Sumber : Klik di sini

Potential-Lost-Kalimantan-1

Share Button

Opini: Antara Proper dan Instrumen Penataan

Pada 2 Desember 2014, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan program penilaian peringkat kinerja perusahaan (Proper) periode 2013-2014. Dalam masa ini, 1.908 perusahaan mengikuti mekanisme penaatan berbasis sukarela. Capaiannya, predikat hitam ada 21 perusahaan, merah (516), biru (1.224), hijau (121) dan emas (9).

Di tengah pemberian Proper kepada perusahaan ini, tidak sedikit isu berkembang. Ada yang menyatakan, Proper melenceng dari penaatan dan tidak lagi obyektif sebagai instrumen penilaian dalam skema penegakan hukum lingkungan.

Instrumen penaatan

Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian sangat penting dalam menciptakan penaatan (compliance) hukum lingkungan. Namun, penciptaan penaatan melalui penegakan hukum, atau sering disebut pendekatan command and control (CAC—atur dan awasi), seringkali dikritik karena berbagai alasan. Pertama, CAC dianggap mendasarkan diri pada pandangan, perilaku anti-lingkungan dapat dilawan dengan peraturan perundang-undangan. Pandangan ini bertentangan dengan sifat egoisme manusia yang selalu mencari tindakan menguntungkan diri. Hingga ketika dihadapkan peraturan perundang-undangan manusia seringkali diam-diam melakukan pelanggaran.

Kedua, CAC dianggap bersifat top-down dan instruktif, yang memposisikan masyarakat melaksanakan yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan menurut interpretasi dari pemerintah an sich. Karena itulah, dalam CAC masyarakat dan industri tidak didorong atau diberikan insentif berperilaku ramah lingkungan. Ketiga, CAC bersifat kaku dan birokratis dalam bentuk aturan dibuat secara rinci dan detail, dimulai dari UU sampai pada tingkat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Kekakuan ini, misal, berakibat pada teknologi dan sistem pengelolaan lingkungan tak berkembang.

Sisi lain, kekakuan CAC juga mengakibatkan pendekatan ini sangat birokratis, hingga pejabat seringkali bertindak lebih demi kepentingan birokrasi ketimbang demi perbaikan kondisi lingkungan. Demi mengatasi persoalan dalam pendekatan CAC, para ahli memikirkan untuk mengembangkan pendekatan alternatif yang mampu memberikan insentif dan disinsentif bagi masyarakat. Artinya, hukum memberikan insentif bagi penaatan, dan disinsentif bagi ketidaktaatan. Sebenarnya, bisa lewat Proper, sebagai instrumen penaatan.

Dalam praktik, Proper malah berfungsi sebagai instrumen penaatan sukarela perusahaan dan memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup. Pada momentum ini, Proper sebagai instrumen alternatif perusahaan saat akan menunjukkan ketaatan lingkungan. Kala perusahaan tidak ramah lingkungan, akan menghindari instrumen ini. Suatu kondisi sangat bertentangan dengan semangat awal Proper yang diharapkan bisa menjadi instrumen pemicu ketaatan dalam mewujudkan pengelolaan perusahaan ramah lingkungan.

Regenerasi instrumen ekonomi

Berbeda dari pendekatan atur dan awasi, dengan penggunaan instrumen pendekatan ekonomi, penaatan sukarela bisa dianggap sebagai upaya penerapan hukum refleksif ke kebijakan lingkungan. Perspektif ini terlihat, hukum refleksif merupakan upaya membuat hukum menjadi lembaga yang mampu mendorong proses evaluasi diri dalam penurunan dampak lingkungan. Dalam konteks ini, penaatan sukarela– merupakan penerapan hukum refleksif –diharapkan mampu mendorong setiap orang mengevaluasi, menguji, dan mengkaji ulang perilaku selama ini. Apakah memberikan manfaat bagi lingkungan hidup, atau menimbulkan kerusakan.

Dalam diskursus penegakan hukum administrasi, penerapan hukum refleksif ini momentum menandai awal pola kebijakan lingkungan generasi ketiga. Ini tahapan lanjutan dari kebijakan lingkungan generasi pertama yang ditandai pemberlakuan instrumen CAC secara ekstensif. Sedang kebijakan generasi kedua ditandai pemberlakuan instrumen ekonomi, semacam pajak lingkungan. Pada generasi ketiga, kebijakan lingkungan refleksif ditandai, pemberlakuan kebijakan sukarela terkait informasi, audit lingkungan, dan sistem pengelolaan lingkungan.

Eksistensi Proper sebagai sebuah instrumen berbasis generasi ketiga seharusnya diikuti dengan insentif yang diberikan kepada perusahaan peringkat emas, hijau dan biru. Misal, berupa kemudahan izin dan pengurangan pajak. Keadaan ini memicu peningkatan keikutsertaan peserta Proper dengan asumsi semua rangkaian kegiatan transparan dan obyektif.

Penegakan hukum versus Proper

Selain permasalahan obyektivitas dari Proper itu, tindaklanjut perusahaan yang masuk kategori merah dan hitam menjadi bertentangan dengan norma wajib dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam konsep Proper, kategori merah terjadi saat pengelolaan lingkungan belum sesuai persyaratan. Sedangkan hitam, paling rendah, terjadi pada saat usaha atau kegiatan sengaja atau lalai hingga mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran aturan.

Secara konseptual, kedua definisi ini bentuk pelanggaran hukum yang dilegalkan. Ini secara jelas memberikan insentif bagi perusahaan yang tak taat pada penerapan aturan dan penegakan hukum lingkungan. Nyata terlihat, sanksi hanya sebatas tak ikut serta pada Proper tahun depa. Ini menjadi alas bagi penegakan hukum.

Eksistensi Proper hendaknya campuran antara program sukarela dan penaatan wajib. Sukarela Proper dalam konteks terlihat dari proses penetapan peserta, yang saat ini lebih banyak pada iimbauan agar value added. Penaatan wajib Proper ditempatkan pada konteks setiap orang/pelaku usaha wajib menaati peraturan lingkungan hidup. Dalam arti, peserta yang terbukti scientific evidence berperingkat merah atau hitam, maka pemerintah sebenarnya telah menemukan pelanggaran hukum. Hingga pemerintah bisa langsung menggunakan instrumen Proper sebagai alas penegakan hukum administrasi secara langsung.

* Penulis adalah Doktor Hukum Lingkungan Universitas Indonesia dan pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumangara
Sumber : Klik di sini

Share Button

Tiga BUMN Jadi Perusahaan Terbaik Peduli Lingkungan Indeks “SRI-KEHATI”

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) kembali memberikan penghargaan untuk ketiga kalinya kepada 25 perusahaan yang memenuhi prinsip-prinsip sustainable and responsible investment (SRI). Dari 25 perusahaan tersebut, Kehati memilih tiga perusahaan terbaik.

“SRI-KEHATI Award diberikan kepada tiga perusahaan terbaik dari 25 perusahaan tersebut,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, MS Sembiring, dalam acara penganugerahan SRI-KEHATI Award 2014 pada Kamis malam (11/12/2014) di Jakarta.

Tiga perusahaan BUMN berhasil menjadi perusahaan terbaik dari 25 perusahaan yang masuk dalam indeks SRI-KEHATI yaitu PT Bank Negara Indonesia, PT Bank Rakyat Indonesia dan PT Perusahaan Gas Negara.

Sedangkan daftar 25 Perusahaan yang masuk dalam Indeks SRI-KEHATI yaitu PT Astra Agro Lestari Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT Astra International Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT XL Axiata Tbk, PT Garuda Indonesia Tbk, PT Gajah Tunggal Tbk, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Jasa Marga Tbk.

Juga ada PT Kalbe Farma Tbk, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk, PT Semen Indonesia Tbk, PT Timah Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT United Tractors Tbk, PT Unilever Indonesia Tbk, PT Wijaya Karya Tbk.

“Diharapkan perusahaan terbaik itu dapat menjadi role model yang memicu perusahaan lain mengikuti penerapan pegnelolaan perusahaan yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan prinsip sustainable and responsible investment,” kata Sembiring.

Dia mengatakan sebanyak 25 perusahaan yang telah diseleksi secara ketat untuk masuk dalam indeks SRI-KEHATI adalah perusahaan-perusahaan terbaik yang memenuhi 6 aspek fundamental yang merupakan prinsip-prinsip SRI.

Indeks SRI-KEHATI merupakan tolak ukur investasi bagi investor khususnya pada perusahaan publik yang berkinerja baik dalam menjalankan usahanya. Mereka melakukan usahanya sesuai dengan prinsip berkelanjutan yang peduli terhadap lingkungan hidup, pengembangan masyarakat, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, perilaku bisnis dan tata kelola perusahaan yang baik.

MS Sembiring mengatakan perusahaan yang menerapkan SRI menjadi penting, karena data investasi global menyebutkan 94 persen pihak ketiga pengelola aset menginginkan investasi dilakukan pada perusahaan yang menerapkan SRI.

Disebutkan ada pertumbuhan aset global untuk investasi yang dikelola oleh pihak ketiga, dengan memperhatikan prinsip investasi bertanggung jawab, yaitu dari 4 triliun USD pada 2006 menjadi 45 triliun USD pada 2014.

Dewan juri yang dipimpin mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sonny Keraf melakukan seleksi ketat terhadap 25 perusahaan konstituen SRI-KEHATI untuk mendapatkan tiga perusahaan terbaik. Sebanyak 25 perusahaan yang berhaSil masuk dalam indeks SRI-KEHATI adalah perusahaan-perusahaan yang lolos dari tiga tahapan seleksi yaitu seleksi dari aspek bisnis inti, aspek finansial, dan aspek fundamental, dimana seleksi dilakuan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei dan November.

Sony mengatakan penghargaan seperti SRI-KEHATI Award ini sangat penting dilakukan. Karena dapat menjadi kontrol masyarakat terhadap klaim perusahaan yang mengaku sebagai perusahaan hijau.

“Publik bisa melakukan assessment apakah benar mereka adalah perusahaan hijau atau hanya klaim saja,” katanya. Selanjutnya, beliau menambahkan bahwa sekarang adalah saatnya masyarakat dan pihak swasta untuk secara mandiri menjaga lingkungan hidup. “Saatnya untuk go beyond regulation,” tambahnya. Kegiatan menjaga lingkungan hidup tidak perlu harus menunggu regulasi, akan tetapi bisa segera dilakukan.

Indeks yang lahir pada Juni 2009 merupakan indeks yang pertama di ASEAN dan yang kedua di Asia berdasarkan data dari exchange and sustainable investment (www.world-exchanges.org) . Sejak peluncurannya, indeks ini telah teruji memliki performa yang konsisten dengan rata-rata sekitar 10 persen diatas indeks lainnya seperti indeks LQ45 dan JII.

Pada kesempatan tersebut, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida, memberikan apresiasi terhadap adanya indeks SRI-KEHATI. “Perusahaan-perusahaan ini luar biasa, dan perusahaan yang sangat peduli lingkungan, dana akan berkembang,” katanya.

Nurhaida yang juga Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menjelaskan pertumbuhan harga saham dari perusahaan yang masuk SRI-Kehati terbukti lebih tinggi dibandingkan indeks harga saham gabungan (IHSG) dari awal tahun sampai Desember 2014.

Pada rentang awal tahun hingga Desember 2014 pertumbuhan perusahaan di dalam IHSG ada pada angka 20,92 persen. Sedangkan perusahaan dalam indeks SRI-KEHATI pada rentang yang sama angka lebih tinggi di 26,72 persen. “Ini artinya publik menyukai perusahaan-perusahaan dalam indeks SRI-KEHATI,” tambahnya.

Indeks SRI-KEHATI yang merupakan inisiatif Yayasan KEHATI ini adalah sebuah tolak ukur investasi bagi investor khususnya pada perusahaan publik yang berkinerja baik dalam menjalankan usahanya. Mereka melakukan usahanya sesuai dengan prinsip berkelanjutan yang peduli terhadap lingkungan hidup, pengembangan masyarakat, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, perilaku bisnis dan tata kelola perusahaan yang baik.

Dalam acara tersebut, Majalah Swa juga mengumumkan perusahaan yang mendapatkan “Indonesia Green Company Achievement” yaitu PT Garuda Indonesia, PT Gajah Tunggal, PT Nestle Indonesia, PT Indonesia Power dan PT Toyota Motor Manufacture Public.

Sumber : klik di sini

Share Button

Duh, Hutan Indonesia Hilang 1,13 Juta Hektar per Tahun

Lima provinsi mengalami deforestasi parah, tertinggi Riau, disusul Kalteng, Papua, Kaltim dan Kalbar.

Nasib hutan di Indonesia, bak telur di ujung tanduk alias sungguh memprihatinkan. Periode 2009-2013, negeri ini kehilangan tutupan hutan alian mengalami deforestasi sebesar 4,5 juta hektar atau 1,13 juta hektar per tahun. Fakta ini terungkap dalam laporan Forest Watch Indonesia dalam buku berjudul Potret Keadaan Hutan Indonesia periode 2009-2013 yang dirilis Kamis (11/12/14) di Jakarta.

Dalam buku FWI itu menyebutkan, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Papua, mengalami deforestasi terparah. Riau urutan pertama seluas 690 ribu hektar, disusul Kalteng 619 ribu hektar, Papua 490 ribu hektar, Kaltim 448 ribu hektar dan Kalbar 426 ribu hektar. Kalteng, pada akhir 2010, menjadi daerah percontohan REDD+, namun periode itu malah menempati posisi kedua kehilangan hutan alam tertinggi.

Analisis FWI, menemukan, sampai 2013, luas tutupan hutan alam di Indonesia, sekitar 82 juta hektar atau 46% dari luas daratan. Dengan rincian, Papua 29,4 juta hektar, Kalimantan 26,6 juta hektar, Sumatera 11,4 juta hektar, dan Sulawesi 8,9 juta hektar. Lalu, Maluku 4,3 juta hektar, Bali dan Nusa Tenggara 1,1 juta hektar dan Jawa 675 ribu hektar. Berdasarkan provinsi, 25% hutan alam di Indonesia di Papua, Kaltim 15%, Papua Barat 11%, Kalteng 9%, Kalbar 7%, Sulteng 5%, Aceh 4% dan Maluku 3,2%.

Pada tahun sama, sekitar 78 juta hektar (63%) dari seluruh hutan negara masih bertutupan hutan, dengan terluas di hutan lindung seluas 22,9 juta hektar (28%). Pada 2013, sekitar 44 juta hektar (25%) luas daratan Indonesia terbebani izin pengelolaan lahan, berbentuk HPH, HTP, sawit dan tambang.

“Dari luas itu 14,7 juta hektar areal penggunaan lahan tumpang tindih antara HPH dan HTI, sawit dan tambang. Dari situ, 7 juta hektar berada pada tutupan hutan alam,” kata Soelthon Gussetya, Manajer Data FWI, hari itu.

Buku ini juga mengupas dampak deforestasi massif menimbulkan banyak kerugian. Antara lain, pertama, konflik sumber daya alam. Konflik sejak era Orde Baru dan meningkat tajam kala reformasi, kala tambang mulai beroperasi di berbagai wilayah. Periode 1990-2010, dokumen AMAN dan organisasi masyarakat sipil, tercatat 2.858 konflik di 27 provinsi terjadi di sektor kehutanan 1.065 kasus dan perkebunan 563 kasus.

Kedua, kerusakan ekosistem dan kehilangan keragaman hayati. Deforestasi berdampak pada kerusakan ekosistem yang mengancam flora fauna, serta merusak sumber kehidupan masyarakat. Ketiga, gangguan kehilangan hidrologi. Keseimbangan tata air terganggu. Fungsi resapan air dalam silus hidrologis, penyerap dan penyimpan karbon, iklim mikro dan keragaman hayati akan terganggu ketika tutupan hutan rusak.

Keempat, pemiskinan masyarakat sekitar hutan. Kawasan di sekitar dan di dalam hutan penuh dengan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Mereka banyak menggantungkan hidup dari sumber daya hutan.

Christian Purba, Direktur Eksekutif FWI mengatakan, penyebab langsung deforestasi antara lain, HPH, HTI, sawit, penebangan liar, tambang dan pembakaran hutan. Sedangkan penyebab tak langsung, seperti perubahan peruntukan, pemekaran wilayah, korupsi, ekspansi industri dan kebutuhan pasar.

Selama ini, katanya, kebijakan tak menyentuh persoalan dasar, antara lain tak ada kepastian lahan, dan konflik tenurial, didorong tata kelola kehutanan yang lemah. Pemerintah, hanya fokus memberi izin dan urusan administrasi.

Jika kondisi ini terus terjadi, dalam 10 tahun ke depan, diperkirakan hutan alam di Riau akan hilang, lalu Kalteng, dan Jambi.

Dia mengatakan, banyak persoalan harus dibenahi, dari penegakan hukum, data akurat dan kelembagaan di tingkat tapak. “Ini perlu leadership dari pemerintah. Tanpa ada leadership susah karena persoalan sudah kompleks.”

Setidaknya, katanya, ada tiga prioritas utama dalam penyelamatan hutan Indonesia, yakni, penyelesaian klaim dan penetapan kawasan hutan, penguatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara adil, dan perlindungan serta pemulihan potensi sumberdaya hutan.

Tak jauh beda diungkapkan Togu Manurung, Badan Pengurus FWI. Menurut dia, deforestasi di Indonesia sungguh-sungguh tinggi. Per tahun 1,13 juta hektar. Jika dihitung setiap menit ada tiga kali luas lapangan sepak hutan hilang.

“Betapa seriusnya masalah deforestasi ini. Deforestasi tetap tinggi ini dalam keadaan periode waktu di mana Indonesia berusaha tampil di luar negeri, bahwa, Indonesia sedemikain peduli lingkungan hidup. Janji SBY kurangi emisi gas rumah kaca yang tertinggi dari kehutanan,” ujar dia.

Dengan kondisi ini, katanya, secara umum, sebenarnya, Indonesia belum menjalankan praktik hutan lestari dalam arti produksi, lingkungan dan sosial. “Kelestarian produksi, dengan bisa kontinu, volume stabil bahkan meningkat. Kelestarian lingkungan, berarti hutan bisa dimanfaatkan kayu dan non kayu dengan tetap terjaga. Lalu, kelestarian sosial. Ini bagaimana pemanfaatan kekayaan alam berdampak baik bagi masyarakat sekitar.”

Togu mengatakan, fakta deforestasi ini menunjukkan kegagalan pemerintah. “Sumber masalah pemerintah karena melakukan penghancuran sumber daya alam, dengan HPH, HTI dengan konversi hutan alam, perkebunan dari hutan produktif di-landclearing.”

Menurut dia, akar masalah dari segala itu, korupsi. “Tak ada supremasi penegakan hukum. Akhirnya laporan di atas kertas indah, tapi di lapangan hancur. Ini diharapkan ada perbaikan…”

Kehancuran hutan ini, katanya, bisa terlihat dari beragam bencana dengan frekuensi makin sering. “Harga yang harus dibayar sangat mahal. Ini karena kerusakan ekosistem hutan, terus ulang tahun kebakaran hutan dan lahan. Terutama langganan di Kalimantan dan Sumatera. Ini sumber deforestasi dan degradasi hutan.”

Untuk itu, bencana dari banjir, longsor sampai kebakaran hutan dan lahan ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah Joko Widodo terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Gimana tangani kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan banjir terkait tutupan lahan dan hutan di daerah hulu. Ini kita lihat, bisa jadi test case.”

Hariadi Kartodihardjo, Ketua Dewan Kehutanan Nasional mengatakan, dalam mengatasi deforestasi harus membidik operasi ilegal, jangan hanya yang legal. “Termasuk kebakaran, ada beberapa indikasi, oknum polisi dan tentara menjual lahan untuk sawit. Kita harus bidik yang ilegal juga jangan cuma yang legal.”

Menurut dia, saat evaluasi nota kesepakatan bersama kementerian/lembaga dan KPK, ada lima agenda perlu dijalankan, antara lain, review izin, pengendalian korupsi kala pemerintah tetapkan kawasan hutan, dan kepastian buat masyarakat adat/lokal.

Kondisi-Tutupan2-Hutan-Alam-Dalam-Kawasan-Hutan-Negara-dan-APL-Tahun-2013

kondisi-tututan5-Deforestasi-Indonesia-Periode-1990

Kondisi-Tutupan-Hutan-Alam-Indonesia-2009-dan-2013

kondisi-tutupan6-Perbandingan-Luas-Tutupan-Hutan-Alam-Tahun-2009-dengan-Tahun-2013

kondisi-tutupan3-Luas-Lahan-Gambut-dan-Tutupan-Hutan-Alam-1

Sumber : klik di sini

Share Button

Disiapkan, Metode Baku Hitung Populasi

Lembaga-lembaga nonpemerintah pemerhati lingkungan sedang membahas metode baku menghitung populasi harimau sumatera. Hingga kini, pemerintah belum memiliki data sahih populasi satwa yang sangat terancam punah itu. Akibatnya, kebijakan pemerintah dalam konservasi menjadi tidak efektif.

Spesialis Pemantauan Harimau pada WWF Indonesia Sunarto, Kamis (11/12), di Bogor, Jawa Barat, menuturkan itu di sela Konferensi Harimau Indonesia 2014. ”Kami akan mendiskusikan cara melakukan segala sesuatunya dengan lebih terstandar, antara lain pada metode, interpretasi, dan penentuan hasil pemantauan,” katanya.

Konferensi itu kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Forum HarimauKita, Wildlife Conservation Society, Disney Worldwide Conservation Fund, dan Asia Pulp and Paper Group (APP).

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian LH dan Kehutanan Bambang Dahono Adji mengatakan, pemerintah belum bisa menghitung populasi harimau sumatera secara sahih. Data angka saat ini hanya kisaran, yakni 350 ekor.

Data itu total populasi harimau sumatera yang dilaporkan sembilan unit pelaksana teknis (UPT) pengelola kawasan konservasi di Sumatera. ”Namun, laporan dari UPT kami itu belum 100 persen benar,” katanya.

Menurut Sunarto, beberapa lembaga nonpemerintah sudah berupaya secara sahih menghitung populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) itu di sejumlah lokasi pemantauan. Lembaga itu, antara lain, adalah WWF di lokasi-lokasi konservasi di Riau, Fauna and Flora International di Taman Nasional Kerinci Seblat (Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan), Zoological Society of London di Berbak Sembilang (Sumatera Selatan), PT Reki di Hutan Harapan (Jambi), serta Universitas Andalas di Sumatera Barat.

Secara umum, lembaga-lembaga itu menggunakan metode perangkap kamera (camera trap) untuk memantau harimau dan mendata jumlahnya. Namun, upaya itu belum satu koordinasi sehingga total populasi se-Sumatera belum bisa dihitung. ”Kami akan membuat perencanaan metode bersama untuk beberapa tahun ke depan, sekaligus turun lapangan bersama,” katanya.

Data sahih menyeluruh sangat penting bagi pemerintah untuk membuat kebijakan konservasi secara tepat. Jika data dibiarkan tidak sesuai, dampak terkecilnya terjadi pemborosan anggaran akibat program tak efektif. Dampak terbesarnya, kebijakan konservasi malah memicu kepunahan harimau sumatera.

Ketua Forum HarimauKita Dolly Priatna berharap upaya konservasi harimau bisa terlaksana lewat kerja sama multipihak. Pemerintah tidak boleh hanya fokus pada wilayah konservasi negara dengan bergantung pada staf-staf UPT.

”Sebab, 70 persen habitat harimau sumatera berada di luar kawasan konservasi, seperti cagar alam dan suaka margasatwa,” ucap Dolly. (JOG)

Sumber : klik di sini

Share Button