Ecositrop Jajaki Kerjasama IOCMP

SAMBOJA – Ecositrop (Ecology and Conservation Center For Tropical Studies) menjajaki kerjasama konservasi orangutan dengan Balitek KSDA. Program penyelamatan orangutan yang digagas Ecositrop bertajuk Integrated Orangutan Conservation Management Plan (IOCMP). Rencana kerjasama tersebut merupakan pengembangan kerjasama penanganan konflik orangutan dan manusia yang sudah terjalin sebelumnya antara Ecositrop dengan peneliti Balitek KSDA.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Yaya Rayadin, Scientific Coordinator Ecositrop dalam diskusi yang digelar di ruang rapat Balitek KSDA, Kamis (11/12). Penanganan konflik orangutan dengan manusia umumnya terjadi di kawasan non hutan, seperti daerah tambang, perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan pemukiman.
IMG_9543Lebih Jauh, Yaya Rayadin mengungkapkan bahwa konflik orangutan dengan manusia pada masing-masing kawasan memerlukan penanganan yang berbeda, sehingga perlu disusun SOP (Standar Operational Procedure) dan CMP (Conservation Management Plan) masing-masing. Kerjasama dengan Balitek KSDA diharapkan mampu mengawal IOCMP yang berbasis pada penelitian dan pengalaman lapangan sampai menjadi produk kebijakan.
Ahmad Gadang Pamungkas, S. Hut., M.Si, Kepala Balitek KSDA, menyambut baik usulan kerjasama dengan Ecositrop. Kolaborasi dengan mitra diharapkan dapat mendorong kemajuan hasil-hasil penelitian yang aplikatif dan dibutuhkan oleh pengguna. Dengan demikian Balitek KSDA dapat menghasilkan inovasi teknologi konservasi yang benar-benar dimanfaatkan di lapangan.
Kerjasama yang dilakukan juga dapat melengkapi kepakaran antara dua lembaga serta mengisi gap budgeting sehingga dapat menghasilkan penelitian terintegrasi. Sebagai tindak lanjut, Balitek KSDA akan mendiskusikan substansi kerjasama serta kesesuaian dengan tugas pokok dan fungsi dalam lingkup internal. ***Emilf_.edt

Share Button

Pasca-Korsup Minerba KPK, 124 Pertambangan Masih Beroperasi di Kawasan Konservasi Kalimantan

Hampir setahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) di bidang mineral dan batubara (Minerba) di Kalimantan. Apa hasilnya?

Dari data Dirjen Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Korsup KPK hingga Mei 2014, ternyata ada 124 pemegang izin pertambangan di lima provinsi di Kalimantan yang masih beroperasi di kawasan konservasi.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Borneo (KMSB) fakta tersebut membuktikan pemerintah daerah di Kalimantan tidak bekerja sungguh-sungguh dalam menata persoalan minerba. KMSB adalah koalisi NGO di Kalimantan yang melakukan pengawasan atau pemantauan terkait aspek ketaatan izin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan lingkungan, dari aktivitas perusahaan izin minerba.

Ivan G Ageung, dari Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan Barat, anggota KMSB, mengatakan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan memang diperbolehkan berdasarkan aturan yang ada. “Namun, penggunaan kawasan konservasi untuk kegiatan non-kehutanan jelas melanggar aturan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati,” katanya, di Sekretariat SAMPAN di Pontianak, Senin (08/12/2014) lalu.

Lanjut Ivan, kegiatan penggunaan kawasan hutan di kawasan lindung hanya diperbolehkan dalam bentuk pertambangan bawah tanah (underground mining). Tapi faktanya, sampai saat ini tidak ada satu pun pemegang izin yang sanggup melaksanakan praktik penambangan tersebut.

“Intinya, hingga saat ini semua pemerintah daerah di Pulau Kalimantan belum melakukan tindakan penegakan hukum terhadap pemegang izin penggunaan kawasan hutan di wilayah konservasi dan lindung,” katanya.

Pada kertas posisi KMSB, disebutkan di Kalimantan Barat terdapat 13 pemegang izin yang menggunakan kawasan konservasi untuk kegiatan non-kehutanan dan 125 pemegang izin di kawasan lindung. Sementara di Kalimantan Timur terdapat 62 pemegang izin di kawasan konservasi, di Kalimantan Selatan sekitar 30 pemegang izin, dan di Kalimanyan Tengah terdapat 19 pemegang izin.

Dari Data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara pada April 2014, dari semua izin tersebut, hampir 50 persen IUP Minerba belum clear and clean (CnC). Tepatnya, pemerintah daerah di Kalimantan dihadapkan dengan status non-clear and clear-nya IUP pertambangan sebanyak 1.518 IUP dari total 3.836 IUP. Status non-clear and clean terbanyak di Kalimantan Timur.

Meskipun KPK memberikan batas waktu selama enam bulan kepada pemerintah daerah untuk memaksa pemegang IUP agar mengurus status IUP, ternyata respons pemerintah daerah di Kalimantan sangat lamban.

Indikasinya, hingga Oktober 2014 di Kalimantan Barat hanya 21 IUP yang berstatus CnC dari 195 IUP yang diusulkan. Sementara di keempat provinsi lainnya data tidak tersedia.

Selain itu, sebanyak 44 persen IUP yang non CnC di Kalimantan bermasalah secara administratif. Masih data Dirjen Minerba Kementerian ESDM mengemukakan sekitar 1.078 pemegang izin di Kalimantan belum menyelesaikan administrasi sebagai persyaratan untuk memperoleh IUP, antara lain kepemilikan NPWP dan kelengkapan dokumen perusahaan.

KMSB juga mendapati sebanyak 95 persen pemegang izin pertambangan di Pulau Kalimantan belum memiliki jaminan reklamasi. Serta, 99 persen di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur belum memiliki jaminan pasca-tambang.

Berdasarkan data jaminan reklamasi di Kalimantan, dari jumlah total 3.836 izin pertambangan hanya 210 IUP yang menyetorkan dana jaminan reklamasi.

“Sisanya belum memenuhi kewajibannya untuk menempatkan jaminan reklamasi. Dari jumlah tersebut, hanya 0,7 persen atau 16 izin pertambangan yang baru memiliki dokumen pascapertambangan,” kata Ivan.

Negara rugi ratusan miliar

KMSB melakukan perhitungan potensi kerugian negara dari land rent yang mengacu pada PP Nomor 9/2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak. Dari perhitungan yang ada diperoleh selisih yang signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasinya. “Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan potensinya kami sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential lost),” kata Ivan.

Hasil perhitungan KMSB menunjukkan, sejak tahun 2009-2013 diperkirakan potensi kerugian penerimaan mencapai Rp 218,302 miliar di Kalimantan Timur; Rp 177,442 miliar di Kalimantan Barat; Rp 34,067 miliar di Kalimantan Selatan dan Rp 145,136 miliar di Kalimantan Tengah. Dengan demikian total potensi kerugian penerimaan di lima provinsi tersebut adalah sebesar Rp 574,94 miliar lebih.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio
Sumber : Klik di sini

Potential-Lost-Kalimantan-1

Share Button

Opini: Antara Proper dan Instrumen Penataan

Pada 2 Desember 2014, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan program penilaian peringkat kinerja perusahaan (Proper) periode 2013-2014. Dalam masa ini, 1.908 perusahaan mengikuti mekanisme penaatan berbasis sukarela. Capaiannya, predikat hitam ada 21 perusahaan, merah (516), biru (1.224), hijau (121) dan emas (9).

Di tengah pemberian Proper kepada perusahaan ini, tidak sedikit isu berkembang. Ada yang menyatakan, Proper melenceng dari penaatan dan tidak lagi obyektif sebagai instrumen penilaian dalam skema penegakan hukum lingkungan.

Instrumen penaatan

Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian sangat penting dalam menciptakan penaatan (compliance) hukum lingkungan. Namun, penciptaan penaatan melalui penegakan hukum, atau sering disebut pendekatan command and control (CAC—atur dan awasi), seringkali dikritik karena berbagai alasan. Pertama, CAC dianggap mendasarkan diri pada pandangan, perilaku anti-lingkungan dapat dilawan dengan peraturan perundang-undangan. Pandangan ini bertentangan dengan sifat egoisme manusia yang selalu mencari tindakan menguntungkan diri. Hingga ketika dihadapkan peraturan perundang-undangan manusia seringkali diam-diam melakukan pelanggaran.

Kedua, CAC dianggap bersifat top-down dan instruktif, yang memposisikan masyarakat melaksanakan yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan menurut interpretasi dari pemerintah an sich. Karena itulah, dalam CAC masyarakat dan industri tidak didorong atau diberikan insentif berperilaku ramah lingkungan. Ketiga, CAC bersifat kaku dan birokratis dalam bentuk aturan dibuat secara rinci dan detail, dimulai dari UU sampai pada tingkat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Kekakuan ini, misal, berakibat pada teknologi dan sistem pengelolaan lingkungan tak berkembang.

Sisi lain, kekakuan CAC juga mengakibatkan pendekatan ini sangat birokratis, hingga pejabat seringkali bertindak lebih demi kepentingan birokrasi ketimbang demi perbaikan kondisi lingkungan. Demi mengatasi persoalan dalam pendekatan CAC, para ahli memikirkan untuk mengembangkan pendekatan alternatif yang mampu memberikan insentif dan disinsentif bagi masyarakat. Artinya, hukum memberikan insentif bagi penaatan, dan disinsentif bagi ketidaktaatan. Sebenarnya, bisa lewat Proper, sebagai instrumen penaatan.

Dalam praktik, Proper malah berfungsi sebagai instrumen penaatan sukarela perusahaan dan memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup. Pada momentum ini, Proper sebagai instrumen alternatif perusahaan saat akan menunjukkan ketaatan lingkungan. Kala perusahaan tidak ramah lingkungan, akan menghindari instrumen ini. Suatu kondisi sangat bertentangan dengan semangat awal Proper yang diharapkan bisa menjadi instrumen pemicu ketaatan dalam mewujudkan pengelolaan perusahaan ramah lingkungan.

Regenerasi instrumen ekonomi

Berbeda dari pendekatan atur dan awasi, dengan penggunaan instrumen pendekatan ekonomi, penaatan sukarela bisa dianggap sebagai upaya penerapan hukum refleksif ke kebijakan lingkungan. Perspektif ini terlihat, hukum refleksif merupakan upaya membuat hukum menjadi lembaga yang mampu mendorong proses evaluasi diri dalam penurunan dampak lingkungan. Dalam konteks ini, penaatan sukarela– merupakan penerapan hukum refleksif –diharapkan mampu mendorong setiap orang mengevaluasi, menguji, dan mengkaji ulang perilaku selama ini. Apakah memberikan manfaat bagi lingkungan hidup, atau menimbulkan kerusakan.

Dalam diskursus penegakan hukum administrasi, penerapan hukum refleksif ini momentum menandai awal pola kebijakan lingkungan generasi ketiga. Ini tahapan lanjutan dari kebijakan lingkungan generasi pertama yang ditandai pemberlakuan instrumen CAC secara ekstensif. Sedang kebijakan generasi kedua ditandai pemberlakuan instrumen ekonomi, semacam pajak lingkungan. Pada generasi ketiga, kebijakan lingkungan refleksif ditandai, pemberlakuan kebijakan sukarela terkait informasi, audit lingkungan, dan sistem pengelolaan lingkungan.

Eksistensi Proper sebagai sebuah instrumen berbasis generasi ketiga seharusnya diikuti dengan insentif yang diberikan kepada perusahaan peringkat emas, hijau dan biru. Misal, berupa kemudahan izin dan pengurangan pajak. Keadaan ini memicu peningkatan keikutsertaan peserta Proper dengan asumsi semua rangkaian kegiatan transparan dan obyektif.

Penegakan hukum versus Proper

Selain permasalahan obyektivitas dari Proper itu, tindaklanjut perusahaan yang masuk kategori merah dan hitam menjadi bertentangan dengan norma wajib dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam konsep Proper, kategori merah terjadi saat pengelolaan lingkungan belum sesuai persyaratan. Sedangkan hitam, paling rendah, terjadi pada saat usaha atau kegiatan sengaja atau lalai hingga mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran aturan.

Secara konseptual, kedua definisi ini bentuk pelanggaran hukum yang dilegalkan. Ini secara jelas memberikan insentif bagi perusahaan yang tak taat pada penerapan aturan dan penegakan hukum lingkungan. Nyata terlihat, sanksi hanya sebatas tak ikut serta pada Proper tahun depa. Ini menjadi alas bagi penegakan hukum.

Eksistensi Proper hendaknya campuran antara program sukarela dan penaatan wajib. Sukarela Proper dalam konteks terlihat dari proses penetapan peserta, yang saat ini lebih banyak pada iimbauan agar value added. Penaatan wajib Proper ditempatkan pada konteks setiap orang/pelaku usaha wajib menaati peraturan lingkungan hidup. Dalam arti, peserta yang terbukti scientific evidence berperingkat merah atau hitam, maka pemerintah sebenarnya telah menemukan pelanggaran hukum. Hingga pemerintah bisa langsung menggunakan instrumen Proper sebagai alas penegakan hukum administrasi secara langsung.

* Penulis adalah Doktor Hukum Lingkungan Universitas Indonesia dan pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumangara
Sumber : Klik di sini

Share Button