Hutan Indonesia berkurang secara drastis. Dalam kurun waktu 2009-2013, Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6 juta hektar atau seluas Provinsi Sumatera Barat, tujuh kali luas Provinsi DKI Jakarta.
Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap fakta mencengangkan tersebut dalam buku Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013 yang diluncurkan pada Kamis (11/12/2014) di Jakarta.
EG Togu Manurung, Ketua Perkumpulan FWI, mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu itu, kecepatan hilangnya hutan mengejutkan. “Setiap menit, hutan seluas tiga lapangan bola hilang,” katanya.
Hutan Indonesia yang tersisa kini 82 juta hektar. Masing-masing 19,4 juta hektar di Papua, 26,6 juta hektar di Kalimantan, 11,4 juta hektar di Sumatera, 8,9 juta hektar di Sulawesi, 4,3 juta hektar di Maluku, serta 1,1 juta hektar di Bali dan Nusa Tenggara.
Bila praktik tata kelola lahan hutan tak berubah dan pembukaan hutan terus dibiarkan, jumlah hutan akan terus menyusut. “Kami memprediksi 10 tahun ke depan hutan di Riau akan hilang diikuti dengan Kalimantan Tengah dan Jambi,” kata Christian Purba, Direktur FWI.
Togu menerangkan, kondisi perusakan hutan terparah terdapat di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Perkebunan kepala sawit serta sektor tambang berkontribusi besar pada kerusakan tersebut.
Meski demikian, hutan di wilayah lain pun mengalami ancaman. Beberapa hutan di wilayah Papua sudah mengalami kerusakan. “Ini harus dicegah supaya pola yang terjadi di Indonesia barat tidak terjadi lagi di timur. Papua benteng terakhir hutan Indonesia,” ungkap Togu.
Sementara itu, hutan-hutan di pulau-pulau kecil juga harus terus dijaga dari kerusakan. Meskipun ditinjau dari luas tak seberapa, hutan di pulau kecil berperan mempertahankan ketersediaan air tawar dan benteng dari dampak perubahan iklim.
Untuk mempertahankan hutan Indonesia, Christian menuturkan, yang diperlukan adalah perbaikan tata kelola, perbaikan izin kehutanan, dan pengawasan. Selain itu, juga leadership dari pemerintah.
Masalah kehutanan tak bisa dilepaskan dari soal korupsi lingkungan. Pihak berwenang menerima uang untuk memudahkan perizinan. Korupsi memicu masalah tumpang tindih perizinan dan pembukaan hutan untuk kepentingan komersial.
Senada dengan Christian, ahli kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariardi Kartodihardjo, juga menekankan pentingnya perbaikan tata kelola. Undang-undang serta sejumlah rencana dari moratorium hingga program REDD+ sudah cukup baik. Namun, masalahnya adalah pada tata kelola di lapangan.
Ia menilai, selama ini, karena kemampuan tata kelola pemerintah yang buruk, program seperti moratorium tak berhasil melindungi hutan Indonesia. Data justru menunjukkan, kerusakan terbesar justru terjadi di area yang dilindungi.
“Luas hutan yang rusak dalam area yang dimoratorium 500.000 hektar per tahun, hutan alam 200.000 hektar, hutan tanaman 400.000 hektar. Dari angka itu saja secara kasar bisa dilihat bahwa kerusakan di wilayah yang dimoratorium justru lebih tinggi,” katanya.
Sumber : klik di sini