PENJAJAKAN KERJASAMA ANTARA ELTI-YALE UNIVERSITY & BALITEK KSDA SAMBOJA

Senin, 17 November 2014, Balitek KSDA menerima kunjungan dari Environmental Leadership & Training Initiative (ELTI), Yale University, Visayas State University of Philippines, Arnold Arboretum-Harvard University dan National University of Singapore, dalam rangka penjajakan lanjutan kerjasama antara Balitek KSDA dan ELTI-Yale University. Rombongan yang terdiri dari Dr. David Neidel (Kordinator ELTI Program Asia), Prof. Mark Ashton ELTI-Principal Investigator (Yale University) dan Dr. Eva Garen ELTI Director (Yale University), Pangestuti Asti (ELTI Program Asia), Dr. Amity Doolittle (Yale University), Dr. Marlito Bande (Visayas State University Philippines), Dr. Champbell Webb (Arnold Arboretum-Harvard University) Dr. Michiel van Breugel (Yale-NUS College Singapura), Jacob Slusser dan Saskia Santa-Maria (ELTI Neotropic Panama) dengan didampingi oleh Dr. Ishak Yassir diterima secara langsung di ruang pertemuan Balitek KSDA oleh Kepala Balai Ahmad Gadang Pamungkas, M.Si didampingi staf kerjasama program dan peneliti Balitek KSDA.
Dalam kesempatan ini, Kepala Balitek KSDA mempresentasikan tugas dan fungsi Balitek KSDA serta memperkenalkan beberapa program penelitian Integratif Unggulan baik yang sudah, sedang dan akan dikerjakan. Tak lupa Kepala Balitek KSDA memperkenalkan para peneliti dan fasilitas pendukung penelitian yang dimiliki oleh Balitek KSDA Samboja. Kepala Balitek KSDA juga menyampaikan, beliau menyambut baik dan sangat mendukung rencana kerjasama dengan ELTI-Yale University baik dibidang penelitian maupun pelatihan. Namun demikian, Kepala Balitek KSDA menekankah bahwa hendaknya kerjasama yang akan dibangun harus menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu, Kepala Balai Balitek KSDA juga mengharapkan agar kedepannya jika kerjasama ini telah berjalan, terbuka kesempatan terutama bagi para peneliti untuk dapat melanjutkan studi baik di tingkat master dan doktor.
Dr. David Neidel dari Kordinator ELTI Program Asia, Prof. Mark Ashton ELTI-Principal Investigator (Yale University) dan Dr. Eva Garen ELTI Director (Yale University) dalam sambutannya menyampaikan bahwa ELTI-Yale University sangat tertarik untuk bekerjasama dengan Balitek KSDA tidak hanya dibidang pelatihan saja, namun juga penelitian yang diharapkan dapat terealisasi secepatnya melalaui MOU kerjasama yang akan dibangun kedua belah pihak. Prof. Mark Ashton juga menyampaikan bahwa beliau sangat setuju dengan pernyataan Kepala Balitek KSDA bahwa kerjasama yang dibangun memang sepantasnya harus memberikan keuntungan kedua belah pihak. Terkait dengan peluang-peluang beasiswa bagi para peneliti untuk tingkat master dan doktor, menurut Prof. Mark Ashton peluang itu sangat terbuka, namun untuk mendapatkannya tentu sangat kompetitif.
Salah satu peluang kerjasama khusus mengenai manajemen data base Herbarium Wanariset Samboja ditawarkan oleh Dr. Champbell Webb. Beliau bersama Institut Pertanian Bogor telah membangun perangkat lunak untuk pengelolaan data base herbarium dan dapat diaplikasikan di Herbarium Wanariset Samboja. Diakhir diskusi, Kepala Balitek KSDA menyampaikan bahwa inisiatif kerjasama akan segera disampaikan kepada Kepala Badan Litbang Kementerian Kehutanan termasuk draft rencana kerjasama antara ELTI-Yale University dengan Balitek KSDA.
eltiSetelah pertemuan dan diskusi, rombongan diundang Kepala Balai untuk melihat fasilitas pendukung penelitian yang dimiliki oleh Balitek KSDA yaitu Herbarium, Persemaian dan Rintis Wartono Kadri di Km 4,5 dan Stasiun Penelitian Km 7 di KHDTK Hutan Penelitian Samboja serta plot penelitian pengembangan konsep bersenergi dengan alam untuk merehabilitasi lahan bekas tambang batubara di PT Singlurus Pratama. **_.edt

Share Button

Tiap Menit, Indonesia Kehilangan Hutan Seluas Tiga Kali Lapangan Bola

Hutan Indonesia berkurang secara drastis. Dalam kurun waktu 2009-2013, Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6 juta hektar atau seluas Provinsi Sumatera Barat, tujuh kali luas Provinsi DKI Jakarta.

Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap fakta mencengangkan tersebut dalam buku Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013 yang diluncurkan pada Kamis (11/12/2014) di Jakarta.

EG Togu Manurung, Ketua Perkumpulan FWI, mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu itu, kecepatan hilangnya hutan mengejutkan. “Setiap menit, hutan seluas tiga lapangan bola hilang,” katanya.

Hutan Indonesia yang tersisa kini 82 juta hektar. Masing-masing 19,4 juta hektar di Papua, 26,6 juta hektar di Kalimantan, 11,4 juta hektar di Sumatera, 8,9 juta hektar di Sulawesi, 4,3 juta hektar di Maluku, serta 1,1 juta hektar di Bali dan Nusa Tenggara.

Bila praktik tata kelola lahan hutan tak berubah dan pembukaan hutan terus dibiarkan, jumlah hutan akan terus menyusut. “Kami memprediksi 10 tahun ke depan hutan di Riau akan hilang diikuti dengan Kalimantan Tengah dan Jambi,” kata Christian Purba, Direktur FWI.

Togu menerangkan, kondisi perusakan hutan terparah terdapat di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Perkebunan kepala sawit serta sektor tambang berkontribusi besar pada kerusakan tersebut.

Meski demikian, hutan di wilayah lain pun mengalami ancaman. Beberapa hutan di wilayah Papua sudah mengalami kerusakan. “Ini harus dicegah supaya pola yang terjadi di Indonesia barat tidak terjadi lagi di timur. Papua benteng terakhir hutan Indonesia,” ungkap Togu.

Sementara itu, hutan-hutan di pulau-pulau kecil juga harus terus dijaga dari kerusakan. Meskipun ditinjau dari luas tak seberapa, hutan di pulau kecil berperan mempertahankan ketersediaan air tawar dan benteng dari dampak perubahan iklim.

Untuk mempertahankan hutan Indonesia, Christian menuturkan, yang diperlukan adalah perbaikan tata kelola, perbaikan izin kehutanan, dan pengawasan. Selain itu, juga leadership dari pemerintah.

Masalah kehutanan tak bisa dilepaskan dari soal korupsi lingkungan. Pihak berwenang menerima uang untuk memudahkan perizinan. Korupsi memicu masalah tumpang tindih perizinan dan pembukaan hutan untuk kepentingan komersial.

Senada dengan Christian, ahli kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariardi Kartodihardjo, juga menekankan pentingnya perbaikan tata kelola. Undang-undang serta sejumlah rencana dari moratorium hingga program REDD+ sudah cukup baik. Namun, masalahnya adalah pada tata kelola di lapangan.

Ia menilai, selama ini, karena kemampuan tata kelola pemerintah yang buruk, program seperti moratorium tak berhasil melindungi hutan Indonesia. Data justru menunjukkan, kerusakan terbesar justru terjadi di area yang dilindungi.

“Luas hutan yang rusak dalam area yang dimoratorium 500.000 hektar per tahun, hutan alam 200.000 hektar, hutan tanaman 400.000 hektar. Dari angka itu saja secara kasar bisa dilihat bahwa kerusakan di wilayah yang dimoratorium justru lebih tinggi,” katanya.

Sumber : klik di sini

Share Button