Kalau Ada Pegawai Coba-Coba Korupsi, Saya Langsung Copot

Kinerja sektor kehutanan mengalami perbaikan sejak Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) memplototi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyambut baik keterlibatan KPK mengawal sektor kehutanan. Hasilnya sudah kelihatan.

Mata Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) tengah pelototi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Dua pekan lalu, tim penyelidik KPK menggeledah kantor Kementerian tersebut selama 10 jam.

Juru bicara KPK Johan Budi menerangkan, pengeledahan tersebut terkait dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi tukar menukar kawasan hutan di Kabupaten Bogor. Dalam kasus ini, mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin telah dijatuhi hukuman 5,6 tahun. Penyuapnya, karyawan PT Bukit Jonggol Asri, FX Yonan Yap dihukum 1,6 tahun.

KPK juga tengah mengembangkan kasus tersebut, guna menyelidiki kemungkinan keterlibatan pejabat lain. Sejumlah pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Perhutani, BUMN sektor kehutanan pernah, diperiksa KPK.

Pada pekan lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya juga dipanggil KPK. Usai pertemuan, Siti tidak bicara banyak. Dia hanya bilang, pertemuan membahas soal Perhutani dan pencegahan karupsi di sektor kehutanan.

Siti Nurbaya, menjelaskan lebih jauh pertemuannya dengan KPK kepada Rakyat Merdeka, saat ditemui di kediamannya di Jalan Denpasar, Jakarta, Jumat (26/12) sore. Sambil menikmati nasi bungkus, Siti yang mengenakan baju kemeja kotak-kotak dipadu celana jeans menyatakan, mendukung upaya KPK mencegah korupsi di sektor kehutanan.

KPK belakangan ini gencar menyoroti kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bagaimana Anda melihat itu?

KPK masuk ke (Kementerian) Kehutanan sejak tahun 2013. Saya kira, ada bagusnya sumber daya alam ini di-guide oleh KPK. Mereka masuk melakukan investigasi, sambil meriset juga. Ketika dapat temuan, KPK membuat agenda kerja. Misalnya, kajian soal pengukuhan batas-batas hutan. Serhula itu hanya 11 persen kejelasan batas-batas hutan. Setelah digenjot sama KPK, sekarang sudah mencapai 68 persen.

Jadi apa kaitannya dengan Perhutani?

Perhutani saat ini sedang didampingi KPK. Empat hari sebelum saya diundang KPK, saya meminta pihak Perhutani melakukan pemaparan. Saya tanya ke berapa GCG (Good Corporate Governance)-nya? Mereka bilang, kalau nggak salah 77. Waduh, saya bilang itu terlalu kecil, seharusnya 94. Saya saja dahulu waktu di Pusri sudah 95. Saya kira Perhutani butuh pedoman operasional yang baku, kornitmen direksinya dan manajemennya.

Menurut Anda apa penyebab GCG Perhutani masih minim?

Memang tidak mudah mengurus hutan di seluruh Pulau Jawa. Hutan itu bermacam-macam, ada hutan lindung, produksi dan lain-lain. Perhutani pada tahun lalu juga mendapatkan tugas dari sejumlah BUMN mengelola gerakan peningkatan produksi pangan berbasis korporat.

Selain soal Perhutani, apakah ada hal lain yang dibicarakan dengan KPK?

Nggak ada, cuma masalah Perhutani aja. Itu saya diundang KPK yang ketiga kalinya. Kalau saat diundahg pertama, ya banyak yang dibahas seperti masalah ketaatan dan kepatuhan. Misalnya siapa saja pemberi izin pengelolaan kehutanan dan apa saja syarat-syaratnya. Karena, banyak juga izin-izin yang keluar dari bupati dan gubernur. KPK juga turun ke lapangan.

Beberapa tahun terakhir, Aparatur Kementerian Ke-1 hutanan kerap diduga terlibat sejumlah kasus korupsi. Apa langkah Anda melakukan pencegahan?

Saya sudah bilang ke mereka. Kalau ada yang coba-coba (korupsi) di zaman saya, saya langsung copot.

Kabarnya masalah perizinan pengelolaan hutan kerap bermasalah karena peta hutan konservasi antara milik pusat dan daerah berbeda. Apa benar?

Masalah itu selalu terjadi dispute (perselisihan). Karena tata ruangnya belum selesai. Jalan keluarnya memang, pusat dan daerah harus diskusi.

Daerah mana saja yang sudah diajak diskusi soal ini?

Kami sudah ketemu dengan gubernur Kepulauan Riau (Kepri), gubernur Kalimatan Tengah, dan gubernur Kalimantan Selatan. Kalau ada dispute, saya bilang harus didiskusikan.

Daerah mana yang memiliki pandangan berbeda mengenai pemanfaatan hutan?

Kepri (Kepulauan Riau). Daerah maunya hutan lindungnya hanya 48 persen, padahal hitung-hitungan Tim Padu Serasi (tim lintas kementerian) menilai hutan lindung seharusnya mencapai 61 persen. Daerah nggak mau hutan lindung ditetapkan sebesar 61 persen, saya tanya kepada mereka kenapa nggak mau? Mereka beralasan sedang membangun.

Akhirnya kita bedah satu-satu, apa Pulau Natuna mau dibangun? Apakah Anabas mau dibangun? Mereka bilang akan bangun ke Bintan. Karena kosenterasi di Pulau Bintan, saya bilang kalau akan ada perubahan (pembangunan) di Natuna, tarik saja ke Bintan. Setelah diskusi, kemauan gubernur merasa terakomodir. Mengatasi persoalan kehutanan pusat dengan daerah memang harus kasus per kasus, nggak bisa sekaligus.

Berarti untuk menyelesaikan masalah kehutanan butuh waktu lama?

Nggak juga. Kan, sudah ada datanya. Tinggal rajin aja diskusinya.

Kapan target masalah perbedaan peta hutan selesai?

Seharusnya Januari sudah ada gambarannya. Untuk membahas ini, kami kan harus ketemu DPR juga. Kenapa Januari, karena RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) kan Januari.
SAR

Sumber : klik di sini

Share Button

Pemerintah Tetapkan Aturan Baru Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan

Menyongsong pemberlakuan penuh Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di seluruh Indonesia mulai 1 Januari 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) secara bersama-sama menyusun 2 peraturan baru yang bersinergi, saling mendukung, serta sejalan dengan semangat peningkatan ekspor produk kayu yaitu dengan penyederhanaan persyaratan SVLK bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM).
Peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.95/Menhut-II/2014 tanggal 22 Desember 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak dan Permendag SVLK tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Peluncuran PermenLHK dan Permendag ini diselenggarakan pada Hari Senin, 29 Desember 2014 Pukul 12.00 WIB di Auditorium Kementerian Perdagangan, Jl. M.I. Ridwan Rais no 5, Jakarta.
Melalui kedua regulasi dimaksud, ekspor produk industri kehutanan hanya dapat dilakukan oleh industri/Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) yang sudah memegang sertifikat legalitas kayu (SVLK). Namun demikian, persyaratan SVLK bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) produsen mebel pemilik ETPIK mebel pun disederhanakan agar tidak terlalu memberatkan atau membebani sehingga mendukung kelancaran ekspor produk kayu khususnya mebel kayu yang memenuhi SVLK. Dengan ditetapkannya Permendag dan PermenLHK yang baru ini, Pemerintah berharap ekspor produk industri kehutanan khususnya mebel dan kerajinan dari kayu akan mengalami peningkatan.
Beberapa persyaratan yang disederhanakan dalam PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 tanggal 22 Desember 2014 adalah tentang: penyesuaian verifier proses Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) bagi IKM; pemegang IUI, TDI, dan Industri Rumah Tangga/Pengrajin dapat mengajukan Sertifikasi Legalitas Kayu secara berkelompok; pembiayaan sertifikasi secara kelompok dan penilikan periode pertama dapat dibiayai oleh pemerintah atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat; ekspor bagi IKM pemilik ETPIK yang belum atau sudah memiliki S-LK yang bahan baku produk olahannya belum memiliki S-LK atau Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP) dapat menggunakan Deklarasi Ekspor sampai dengan 31 Desember 2015.

Jakarta, 29 Desember 2014
Kepala Pusat Hubungan Masyarakat,
Ttd
Eka W. Soegiri
NIP. 19571009 198203 1 001

Share Button

Indonesia, Negara Megabiodiversity Yang Rentan Kehilangan Satwa Dilindungi

Pantaslah Indonesia menyandang sebagai tanah surga karena kekayaan alamnya. Bahkan, Koes Plus pernah mengibaratkan dengan tanah di mana tongkat dan batu jadi tanaman. Pujian terhadap kesuburan tanah Indonesia bukanlah kalimat kosong, mengingat Indonesia telah dinobatkan sebagai negara megabiodiversity, dan merupakan negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, melampaui Brazil dan Kongo.

Kekayaan hayati Indonesia telah kembali dirangkum oleh para peneliti dan praktisi konservasi spesies dalam buku “Status Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia” di awal tahun 2014 ini. Terdata setidaknya 720 spesies mamalia, 1599 spesies burung, 385 spesies amfibi, 723 spesies reptil dan berbagai jenis lainnya. Indonesia patut berbangga karena masih saja muncul catatan-catatan penemuan spesies baru dari berbagai kelompok hewan.

Namun, dibalik status negara dengan kekayaan spesies tertinggi tersebut, Indonesia juga memiliki daftar panjang spesies terancam punah. Daftar tersebut meliputi 147 spesies mamalia, 114 spesies burung, 28 spesies reptil, 91 spesies ikan dan 28 spesies invertebrata. Spesies yang digolongkan terancam punah merupakan spesies yang beresiko tinggi punah di alam liar pada masa yang akan datang. Status keterancaman tersebut dirilis dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature) Redlist of Threatened Species, berdasarkan hasil penilaian yang melibatkan berbagai peneliti.

Tumpang tindih tata guna lahan dan pembukaan perkebunan di lokasi yang tidak semestinya menjadi penyebab hilangnya habitat gajah Sumatera. Foto: FZS
Tumpang tindih tata guna lahan dan pembukaan perkebunan di lokasi yang tidak semestinya menjadi penyebab hilangnya habitat gajah Sumatera. Foto: FZS

Kerentanan spesies ditandai dengan banyaknya kasus kematian satwa terancam punah yang terjadi di tahun 2014 ini. Forum Komunikasi Gajah Indonesia (FKGI) melaporkan setidaknya 45 ekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) terbunuh akibat konflik dan perburuan. Selain itu, Forum HarimauKita mencatat setidaknya 5 ekor harimau mati karena konflik sepanjang tahun 2014 ini.

Sonny Partono, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam sambutan yang dibacakan oleh Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) pada acara Indonesian Tiger Conference di Bogor (11/12/2014) lalu, menyampaikan bahwa PHKA telah mentargetkan peningkatan populasi 3 persen untuk 14 spesies prioritas pada periode 2010-2014. Dari hasil monitoring yang dilakukan pada tahun 2013, capaian kinerja sebagian besar menunjukkan kenaikan. Namun, pemerintah masih mencatat banyak hal yang perlu diperbaiki seperti metodologi, peningkatan anggaran monitoring serta intervensi manajemen.

“Evaluasi terus kita lakukan baik ditingkat UPT maupun di pusat. Data-data yang telah terkumpul didokumentasikan dengan baik mengingat akan terus digunakan untuk memantau dinamika populasi spesies dan juga untuk menentukan strategi selanjutnya, ” paparnya.

Meskipun begitu, permasalahan seperti perburuan, konflik dengan manusia, berkurangnya habitat karena deforestasi masih menjadi pekerjaan yang harus dituntaskan. Disampaikan bahwa ekspansi industri besar-besaran dalam tiga dasawarsa terakhir, serta tingginya laju peningkatan populasi manusia, memberikan andil yang sangat signifikan terhadap penurunan kualitas hutan. Hal ini sangat berpengaruh terutama terhadap satwa-satwa besar seperti harimau, gajah dan yang lainnya.

Deforestasi Masih Menempati Urutan Pertama

Jurnal Ilmiah Nature Climate Change pada pertengahan tahun 2014 ini menerbitkan sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa laju kehilangan hutan primer di Indonesia merupakan tercepat di dunia. Dalam periode 2000-2012, Indonesia telah kehilangan 6,02 juta hektar dengan rata-rata pertambahan kehilangan 47,6 ribu hektar pertahun. Bahkan, pada tahun 2012 saja, Indonesia diperkirakan telah kehilangan sekitar 840 ribu hektar hutan primer. Angka tersebut setara dengan dua kali laju kehilangan yang terjadi di Brazil dalam periode yang sama.

Perubahan habitat juga menjadi salah satu masalah yang digarisbawahi sebagai penyebab kehilangan keanekaragaman hayati di dalam buku “Status Kekinian Keanekaragaman Hayati”. Dari data yang dihimpun oleh Puslit Biologi LIPI tahun 2014 ini, setidaknya hutan lahan ketring primer mengalami penurunan hingga menjadi 32 juta hektar pada tahun 2009, dari angka 42,2 juta hektar pada tahun 2000. Perubahan tersebut diikuti oleh naiknya luasan hutan lahan kering sekunder dari 38,2 juta hektar menjadi 44,6 juta hektar di periode yang sama. Dari data yang ada, terjadi peningkatan luas perkebunan.

Sebagaimana diketahui, hutan merupakan habitat penting bagi berbagai jenis satwaliar. Rusaknya habitat akan berakibat pada hilangnya biota di kawasan tersebut.

Konflik Manusia Satwaliar

Penyebab laju kepunahan spesies di Indonesia yang cukup penting adalah konflik antara manusia dan satwaliar. Konflik terjadi akibat habitat satwa liar tumpang tindih dengan areal pemukiman, perkebunan dan pertanian. Selain itu, daya dukung kawasan terhadap kebutuhan satwaliar sudah tidak lagi memadai sehingga banyak satwaliar mendekat ke area yang digunakan manusia untuk beraktifitas. Biasanya konflik terjadi antara manusia dengan mamalia besar seperti gajah, harimau dan macan.

Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati melaporkan setidaknya terjadi 395 kasus konflik antara manusia dengan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Dari angka tersebut, Provinsi Aceh menempati urutan pertama dengan 106 kasus, diikuti oleh Bengkulu dengan 82 kasus, Jambi 70 kasus, Riau 26 kasus, Lampung 47 kasus, Sumatera Barat 36 kasus, Sumatera Utara 15 kasus dan Sumatera Selatan 2 kasus.

Nasib yang tak kalah menyedihkan juga menghantui gajah Sumatera. Kasus kematian gajah akhir-akhir ini disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu perburuan dan konflik dengan manusia. Orang memburu gajah untuk diambil gadingnya yang nilainya cukup tinggi di pasar gelap. Informasi tersebut dipaparkan oleh Krismanko Padang, Ketua Forum Komunikasi Gajah Indonesia (FKGI). “Angka tersebut merupakan angka yang tercatat oleh para praktisi dan pemerhati konservasi gajah di Indonesia. Bisa jadi angka sebenarnya lebih dari yang kami ketahui,”jelas Krismanko.

Kematian gajah yang terakhir terjadi adalah di Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh, pada Selasa (18/11/2014), seekor gajah betina yang diperkirakan berumur 12 tahun diketemukan mati. Sehari sebelumnya, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi mendapat laporan dari warga Desa Tanjung, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi mengenai temuan bangkai 2 ekor gajah Sumatera di kebun sawit plasma PT. Sumbar Andalas Kencana (SAK), perkebunan sawit milik grup Incasi Raya, perusahaan perkebunan sawit dan produsen CPO yang berkantor pusat di Sumatera Barat.

Konflik gajah sumatera dengan manusia mengalami peningkatan yang cukup signifikan akhir-akhir ini. Deforestasi menjadi sebab utama timbulnya konflik karena kawasan yang tadinya menjadi habitat gajah telah berubah menjadi kawasan produksi ataupun pemukiman. Tak ayal, peluang bertemunya gajah dengan manusia semakin tinggi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh FKGI, hanya 15 persen habitat gajah yang berstatus kawasan konservasi. 85 persen merupakan kawasan yang berupa hutan lindung, hutan tanaman, perkebunan sawit dan kawasan produksi lainnya.

Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11). Gajah jantan ini diduga kuat korban dari perburuan liar untuk mengambil gadingnya. Pemburu liar kerap beraksi di areal perkebunan yang terjadi konflik. Foto: Andreas Sarwono/FKGI
Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala
terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan
VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11). Gajah jantan ini diduga
kuat korban dari perburuan liar untuk mengambil gadingnya. Pemburu
liar kerap beraksi di areal perkebunan yang terjadi konflik. Foto: Andreas Sarwono/FKGI

Kondisi ini menyebabkan kantong-kantong habitat gajah semakin menghilang dari hari ke hari. Lebih lanjut, Krismanko menyampaikan bahwa 13 dan 56 kantong habitat gajah diketahui telah hilang. Dari 43 yang tersisa, 11 di antaranya diketahui dalam kondisi kritis dan 2 kantong habitat dinyatakan berada di ambang kritis

Internet Pemicu Maraknya Perburuan dan Perdagangan Ilegal

Dekade ini merupakan era di mana internet memegang kendali berbagai sendi kehidupan manusia. Internet telah menyumbang revolusi yang cukup penting dalam dunia perburuan dan perdagangan satwaliar. Jika dahulu jaringan perdagangan dilakukan secara tatap muka, saat ini penjual dan pembeli cukup melakukan transaksi secara online. Transaksi ini cukup merepotkan bagi para penegak hukum di Indonesia.

International Fund for Animal Welfare (IFAW) melaporkan sebanyak 33.006 transaksi berbasis internet yang memperdagangkan satwaliar di tahun 2014 ini. Angka tersebut diperoleh dari investigasi di 16 negara, termasuk Indonesia. Dari angka tersebut, 9.482 di antaranya memperdagangkan satwa yang dikategorikan sebagai appendix I dan II oleh Convention on International Trade in Endangered Species (CITES).

Giyanto dari Wildlife Crimes Unit (WCU) mengungkapkan bahwa selama periode 2011-2014, total sebanyak 30 kasus perdagangan online berhasil diungkap. Dari 30 kasus tersebut, 18 di antaranya memperjualbelikan bagian-bagian tubuh harimau sumatera. Upaya penegakan hukum ini merupakan kerjasama lintas sektoral yang terdiri atas Bareskrim Mabes POLRI, BBKSDA Sumatera Utara, BBKSDA Jawa Barat, BKSDA Lampung, Polda Metro Jaya, BKSDA Jawa Tengah dan BKSDA Bali.

“Barang bukti yang disita dari penangkapan kasus-kasus di atas cukup mencengangkan. Tak kurang dari 22 offset harimau Sumatera berhasil diamankan. Selain itu, disita juga 3 kulit utuh, 274 lembar potongan kulit, 41 buah kumis harimau dan 4 kilogram tulang,” ungkapnya.

Kesenjangan Hukuman Bagi Pelaku Perdagangan Satwaliar

Sayangnya, upaya penangkapan para pelaku tindak kriminal terhadap satwaliar tersebut tidak diikuti oleh vonis yang membuat jera. Hukuman menurut UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati adalah kurungan maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta. Rata-rata pelaku perdagangan harimau yang tertangkap divonis penjara antara 3 bulan hingga 1,2 tahun.

Irma Hermawati, Policy and Legal Advisor WCU memaparkan bahwa pihaknya telah mengevaluasi konsistensi upaya penegakan hukum terhadap para pemelihara harimau Sumatera hidup, penyimpan offset, dan pedagang bagian tubuh harimau yang dilakukan secara illegal sejak tahun 2007 – 2014. Tujuannya adalah mengidentifikasi kesenjangan proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap para pelaku. Sampel diambil dari 42 kasus yang ditangani WCU di Aceh, Sumatera Utara, Lampung, dan Jawa.

Dari 5 kasus pemeliharaan harimau hidup, 1 pelaku telah divonis, 2 pelaku diberi surat penyerahan sukarela, serta 2 pelaku dilakukan pendampingan proses perizinan sebagai Lembaga Konservasi. Dari 32 kasus perdagangan bagian tubuh harimau; 19 pelaku telah divonis, 6 pelaku dalam proses penyidikan, 6 kasus ditunda, 1 pelaku melarikan diri. Dari 5 kasus kepemilikan offset harimau; 5 pelaku diberi surat penyerahan sukarela.

“Hanya 20 persen kasus pemeliharaan harimau hidup divonis di pengadilan, 78 persen kasus perdagangan bagian tubuh harimau divonis atau masih dalam proses peradilan, dan tidak ada proses hukum (nol persen) bagi penyimpan offset harimau,” jelasnya.

Lebih lanjut, Irma menjelaskan bahwa kesenjangan proses hukum yang signifikan antara pelaku perdagangan bagian tubuh harimau dibandingkan dengan pemelihara harimau hidup dan penyimpan offset harimau menciptakan ketidakpastian hukum terhadap para pelaku, yang pada akhirnya tidak menimbulkan efek jera bagi pemelihara dan penyimpan offset harimau yang tertangkap maupun yang belum tertangkap. Di dalam memberantas kejahatan terorganisir, mengurangi permintaan (pasar atau konsumen) adalah kunci utama keberhasilan upaya penegakan hukum di samping melakukan upaya proteksi satwaliar di habitat alaminya.

Tak hanya dari segi hukum saja, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengambil sikap dalam upaya mencegah satwa langka dari kepunahan. Pada awal tahun 2014 yang lalu, MUI mengeluarkan fatwa nomor 4 tahun 2014 tentang pelestarian satwa langka. Fatwa ini berbunyi haram hukumnya membunuh, menyakiti, menganiaya dan memburu atau mengancam kepunahan satwa langka.

Fatwa ini dipandang sangat efektif untuk mendorong perubahan perilaku di masyarakat yang masih cenderung tidak peduli dengan kelestarian berbagai satwaliar di habitatnya. Bahkan, MUI telah berencana untuk membentuk dai (penceramah-red) konservasi untuk mensosialisasikan perlindungan satwa langka melalui masjid dan pusat kegiatan keagamaan lainnya.

Semoga fatwa MUI ini bisa melengkapi semangat konservasi ditengah usaha penyelamatan spesies dilindungi, seperti penegakan hukum yang mengalami pasang surut di negara megabiodiversity ini.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Tidak Seperti 26 Desember, 2 Januari Masuk Hari Kerja Biasa

Ini informasi penting bagi Anda yang mengambil atau berniat mengambil cuti di akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015. Jika sebelumnya ada hari kejepit Jumat, 26 Desember 2014 yang dinyatakan sebagai cuti bersama, maka hari kejepit di awal tahun, yaitu Jumat, 2 Januari 2015, merupakan hari kerja biasa.

Sesuai Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tertanggal 7 Mei 2014, ada 2 (dua) hari libur di bulan Januari 2015, yaitu Kamis (1 Januari) yang merupakan Tahun Baru 2015, dan Sabtu (3 Januari) yaitu Hari Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Pada tahun 2015, juga ada hari kejepit, tepat hari Jumat (15 Mei), karena hari Kamis (14 Mei) menjadi hari libur peringatan Kenaikan Yesus Kristus, dan Sabtu (16 Mei) yang merupakan peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. Namun Jumat (15 Mei) itu tidak dinyatakan sebagai hari libut atau cuti bersama.

Total hari libur dan cuti bersama sepanjang tahun 2015 ada 15 hari, yang terdiri atas 15 hari libur, dan 4 hari cuti bersama.

Curi bersama Tahun 2015 itu ada pada 16, 20, dan 21 Juli, terkait Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 17-18 Juli 2015. Sementara cuti bersama Natal, jatuh pada hari Kamis 24 Desember 2015, atau sehari sebelum perayaan Hari Natal, Jumat (25 Desember).

sumber : di sini

Share Button

Ini Daftar Peneliti Paling Luar Biasa Indonesia

Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi memberikan penghargaan kepada 15 orang peneliti yang berhasil menciptakan inovasi serta memberikan dampak ekonomi yang besar bagi kesejahteraan rakyat.

“Ini sebagai apresiasi atas invensi dan kreasi dosen, peneliti dan masyarakat yang terus berkarya walau dengan segala keterbatasan yang ada,” kata Menteri Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi, M Nasir di kantor Direktorat Pendidikan Tinggi, Jakarta, Selasa 16 Desember 2014. (Ini Penyebab Papua Barat Kaya dengan Fauna Unik)

Lima belas peneliti ini masing-masing mendapat penghargaan piagam dan uang tunai sebesar Rp 250 juta rupiah. Nasir mengatakan pihaknya berharap akan semakin banyak yang peneliti yang mengikuti ajang ini agar dipersembahkan ilmunya kepada seluruh masyarakat.

Dalam kompetisi meraih anugerah ini, menurut Sekjen Kemdikbud Ainun Naim yang juga pelaksana tugas Dirjen Pendidikan Tinggi, pihaknya menerima 145 proposal penelitian dari berbabagi kategori. Jumlah penelitian itu disaring hingga mendapatkan 15 pemenang penelitian yang dibagi menjadi 4 kategori, yaitu Paten, Hak Cipta Bidang Ilmu Pengetahuan, Perlindungan Varietas Tanaman, dan Desain Industri, Hak Cipta Karya Seni Rupa, Seni Pertunjukan dan Permainan Interaktif. (Lengguru, Ekspedisi Ilmiah Terbesar Indonesia)

Ada 5 pemenang penelitian ini kategori Paten. Pertama adalah Anang Lastriyano dari Universitas Brawijaya, dengan penelitian karya berjudul “Mesin Penggorengan Vakum Tipe Horisontal yang Menggunakan Pompa Vakum Sistem Jet Air.

Lalu ada Sri Widowati dari Kementerian Pertanian yang melakukan invensi berjudul “Teknologi Penurunan Indeks Glikemik Beras untuk Diet Bagi Penderita Diabetes Melitus”. Selanjutnya ada Ika Dewi Ana dari Universitas Gajah Mada dengan penelitian “Metode Sintesis Graft Tulang Gama-CHA dalam sistem Gelatin Tertaut Silang”.

Ada pula Dewa Ngurah Suprapta dari Universitas Udayana dengan penelitian “Komposisi Muniman Brem dari Ubi Jalar Ungu yang mengandung Antosianin”. Yang terakhir adalah M. Nurhalim Shahib dari Universitas Padjajaran yang dengan penelitian berjudul “Komposisi Ekstrak Kering Phyllantus Niruni Linn, Curcuma Xanthoriza Roxb dan Carica Papaya Linn untuk Anti Demam Berdarah”.

Kategori Hak Cipta Bidang Ilmu Pengetahuan memiliki dua pemenang. Mereka adalah Ferry Iskandar dari Institut Teknologi Bandung, dan Abdul Rohman dari Universitas Gadjah Mada.

Pada kategori ketiga, Perlindungan Varietas Tanaman, terdapat 5 pemenang. Pertama adalah Muhammad Azrai dari Balai Penelitian Tanaman Serelia yang meneliti tentang pemulia tanaman serelia. Kemudian ada Sudarmadi Purnomo dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur dengan pemulia tanaman buah.

Selanjutnya ada Sobir dari Pusat Kajian Tropika Institut Pertanian Bogor dengan pemulai klaster tanaman buah. Lalu ada Hajrial Aswidinnoor dari Institut Pertanian Bogor dengan pemulia tanaman padi (padi Sawah dan padi Gogo). Yang kelima adalah Astanto Kasno dari Balai Penelitian Tanaman Kacang yang dengan penelitiannya pemulia tanaman kacang kacangan.

Ada 3 orang pemenang untuk kategori terakhir, yaitu kategori Desain Industri, Hak Cipta Karya Seni Rpa, Seni Pertunjukan dan Permainan Interaktif. Pemenang pertama adalah Andar Bagus Sriwarno dari Institut Teknologi Bandung dengan karya Pengembangan Set Alat Musik Bebahan Bambu.

Lalu ada pula Trina Sanjaya dari Institut Teknologi Bandung dengan karya Imah Budaya Cigondewah. Terakhir ada Rahayu Supanggah dari Institut Seni Indonesia Surakarta dengan Karya I La Galigo.

Sumber : klik di sini

Share Button

Pengajar Biologi UGM Mengolah Mikroalga Menjadi Bioenergi

Pengajar Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada (UGM) berhasil menjadikan bioenergi dari mikroalga strain-strain lokal. Ia adalah Eko Agus Suyono, M.App.Sc yang juga resmi menyandang doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya pada ujian terbuka promosi doktor di program pascasarjana Fakultas Biologi UGM, Sabtu (13/12).

Eko Agus Suyono selama ini sudah dikenal sebagai pengembang kultur dan rekayasa alga dari strain-strain lokal. Penelitian tentang petroalganya dimulai sejak menyelesaikan studi masternya dari James Cook University, Australia pada tahun 2004 karena perhatiannya atas menipisnya cadangan minyak bumi di Indonesia, sementara kebutuhan energi nasional yang akan terus meningkat.

Dalam rilis humas UGM disampaikan, pengolahan mikroalga untuk diolah menjadi biotanol diakui Eko bisa dijadikan salah satu upaya untuk mengelola kekayaan sumber daya laut yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal keberadaan mikroalga diperkirakan cukup berlimpah, soalnya 2/3 wilayah Indonesia merupakan laut.

“Biodiversitas mikroalga yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi bioenergi, salah satuya adalah Tetraselmis sp,” kata Eko.

Berdasarkan hasil penelitian Eko, Bioetanol potensial bisa diproduksi dari hidrolisis biomassa Tetraselmis sp. strain Ancol dan fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae (strain Etanol Red) sebesar 0,36 g etanol/g biomassa setelah inkubasi 48 jam. Hasil ini setara dengan hasil bioetanol tertinggi yang pernah dilaporkan dalam publikasi, yaitu pada penelitian yang dilakukan di Korea.

“Tetraselmis sp strain Ancol merupakan sumber karbohidrat yang potensial untuk produksi bioetanol,” kata Eko.

Selain itu, dari hasil penelitian Eko sampai saat ini setidaknya terdapat 6 spesies Tetraselmis sp yang sudah berhasil diisolasi dari perairan di Indonesia. Semua spesies tersebut masih belum di analisis potensinya sebagai penghasil bioetanol. Sehingga diperlukan penelitian untuk dikembangkan sebagai sumber bioetanol. Sementara dari hasil analisis filogenetik, didapatkan dua clades dari strain-strain Tetraselmis yang diisolasi dari Indonesia dan luar Indonesia, clade pertama terdiri dari strain Ancol, Cilegon, Manado, Vancouver Island (Canada), dan Northumberland (UK) dan clade kedua terdiri dari strain California (USA).

Kandungan karbohidrat dalam biomassa Tetraselmis sp strain Ancol dapat ditingkatkan dengan mengatur rasio Nitrogen:Fosfor sebesar 37: 1 di bawah penyinaran 12 jam terang dan 12 jam gelap dengan kandungan karbohidrat per liter dan karbohidrat per sel tertinggi pada Tetraselmis sp. strain Ancol masing-masing sebesar 0,33 g/L dan 158 pg/sel.

“Organisme ini mempunyai efisiensi fotosintesis yang tinggi dan mempunyai pertumbuhan yang lebih singkat dari tanaman pangan lainnya,” kata Eko.

Ia menambahkan, mikroalga merupakan organisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati. Penggunaan mikroalga sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati relatif tidak bersaing dengan tanaman produktif penghasil pangan dan hampir tidak mengurangi luas lahan untuk tanaman pangan.

sumber : klik di sini

Share Button