Siti Nurbaya Dituntut Berani
KOMPAS.com — Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar diharapkan memiliki cukup keberanian dalam menangani dan menyelesaikan berbagai kasus lingkungan dan kehutanan. Penggerusan sumber daya alam yang marak telanjur meluas, berlindung di balik kebutuhan ekonomi.
”Dari sisi ilmu dan pengalaman, Siti Nurbaya sangat baik. Yang perlu dicermati keberanian. Di (kehutanan) yang dihadapi tembok-tembok besar, seperti tambang, kebun, dan perambahan,” kata Darori Wonodirpuro, anggota DPR dari Fraksi Gerakan Indonesia Raya, yang juga mantan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, di Jakarta, Selasa (28/10/2014).
Ia ditemui seusai serah terima jabatan Menteri Kehutanan dari Pelaksana Tugas Chairul Tanjung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang disaksikan Zulkifli Hasan (Ketua MPR, Menteri Kehutanan 2009-2014) dan MS Kaban (Menhut 2004-2009).
Menurut Darori, pengelolaan hutan harus dikembalikan pada basis daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan DAS membawa bencana hidrologis seperti banjir dan longsor.
Selain itu, pengelolaan kawasan hutan produksi, kata dia, juga harus diarahkan memenuhi rasa keadilan masyarakat. ”Masa ada investor sampai punya konsesi jutaan hektar, sedangkan rakyat tak seberapa,” katanya.
Ketidakmerataan hak kelola itu membuat sekitar 30.000 komunitas masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan berada di garis kemiskinan. Kondisi itu dinilai ironis.
Terkait penggabungan institusi KLH dan Kemenhut, ia tegas tak setuju. ”Isu di kehutanan itu sangat besar dan kompleks. Ini sekarang harus ditambah masalah lingkungan hidup yang juga luas. Beban kerja akan sangat tinggi dan berat,” kata Darori.
Sementara itu, saat memberikan sambutan, Siti Nurbaya mewanti-wanti jajaran Kemenhut agar tak mendikotomikan LH dan Kehutanan. ”Saya minta birokrat jangan permasalahkan atau dikotomikan,” katanya.
Seusai menerima paparan eselon I dari Kemenhut dan KLH, ia berkesimpulan terdapat filosofi sama di antara kedua institusi. ”Di jajaran LH itu filosofi akar kehidupan, sedangkan di kehutanan filosofi pohon kehidupan. Di lingkungan, ditanamkan dengan baik, lingkungan lestari. Kalau pohon kehidupan, pengembangan kesejahteraan keadilan,” katanya.
Secara terpisah, Martua Sirait, anggota Dewan Kehutanan Nasional, mengatakan, penggabungan kedua institusi akan menghadapi permasalahan dalam mengintegrasikan perspektif lingkungan hidup dalam berbagai program kementerian. Itu karena perspektif kehutanan masih terkurung dalam teritori di dalam kawasan hutan, sedangkan isu lingkungan jauh lebih luas.
Namun, sisi positif penggabungan itu, menteri baru bisa mengevaluasi penerbitan izin hutan tanaman industri dan kebun di lahan gambut serta izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan. Sebab, dilakukan tanpa didasari kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Daya dukung
Peneliti senior Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Arief Purwanto, menyatakan, pemerintahan baru hendaknya tak melupakan kerentanan daya dukung lingkungan dalam pengelolaan sumber daya untuk pembangunan. Kekhawatiran itu mengemuka karena susunan menteri pada kabinet baru cenderung berlatar belakang pengusaha, tidak ada yang berlatar belakang perlindungan lingkungan.
”Aspek perlindungan dan perhatian pada daya dukung lingkungan harus melekat pada pemanfaatan sumber daya alam. Itu tidak bisa dipisahkan jika tidak ingin berpotensi membawa masalah,” kata Arief.
Dicontohkannya, penunjukan Susi Pudjiastuti, yang berlatar belakang pengusaha perikanan, sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Ia menilai itu untuk mendorong optimalisasi pengelolaan sumber daya perikanan. Selama ini, potensi sumber daya laut Indonesia memang belum dikelola optimal.
Data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari segi potensi sumber daya, kekayaan laut Indonesia sangat tinggi. Namun, ekspor sektor perikanan Indonesia pada 2011 hanya 3,34 miliar dollar AS, jauh di bawah Vietnam yang pada 2011 nilai ekspor perikanannya 25 miliar dollar AS. Padahal, lautan Indonesia jauh lebih luas.
Buruknya perlindungan terhadap kekayaan laut menjadi salah satu penyebab. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melaporkan, Indonesia kehilangan sekitar Rp 30 triliun per tahun akibat pencurian ikan.
Namun, menurut Arief, persoalan kelautan bukan hanya soal komoditas perikanan. ”Harus ada pengelolaan kelautan dan kawasan pesisir terpadu dengan konservasi. Masalahnya, Kementerian LH justru digabung dengan Kemenhut.”
Sumber : http://sains.kompas.com/read/2014/10/29/19151021/Siti.Nurbaya.Dituntut.Berani