Sumpah Pemuda ke-86 : Pemuda harus Solid dan Maju

FORDA (Jakarta, 28/10/2014)_Pemuda Indonesia diharapkan berkarakter, berkapasitas, mampu berdaya saing secara sportif dan dapat memainkan peranannya secara optimal sebagai perekat persatuan bangsa dalam pembangunan nasional. Hal ini di sampaikan oleh  Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc, Kepala Badan (Kabadan) Litbang Kehutanan selaku Inspektur Upacara pada Hari Sumpah Pemuda ke-86 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta (selasa, 28/10).

“Soliditas pemuda sangat penting artinya untuk mencapai kemajuan pemuda sebagai syarat utama kemajuan suatu bangsa. Jika pemuda solid maka bangsa kita akan semakin maju, kuat dan bersatu, sehingga pembangunan dapat kita laksanakan secara lancar dan berkelanjutan,” kata Kabadan saat membacakan sambutan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Republik Indonesia.

Hal ini relevan dengan semangat para pemuda dahulu yang telah merumuskan sumpah pemuda. Semangat saling bersatu padu, membulatkan tekad  mengangkat harkat dan martabat Bangsa Indonesia dalam wujud satu bangsa, satu tanah air dan menjunjung bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Keberhasilan generasi dahulu ini, haruslah tetap diteruskan untuk mencapai masa depan bangsa yang cemerlang.

“Mentalitas bangsa, khususnya para pemuda harus terus dibangun agar menjadi pemuda-pemuda yang unggul, berkarakter, berkapasitas dan berdaya saing sehingga dapat berkompetisi dalam persaingan global yang semakin hari semakin kompetitif, “ kata Kabadan mengutip sambutan Menpora.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pembangunan kepemudaan secara berkelanjutan harus tetap dilaksanakan melalui proses penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan untuk menciptakan pemuda yang maju. Yaitu pemuda yang mampu berfikir positif dan berorientasi pada kejayaan bangsanya demi keunggulan dan kegemilangan masa depan, tidak mudah menyerah bertanggung jawab dan senantiasa melakukan yang terbaik untuk dirinya, masyarakatnya dan untuk bangsanya.

Selain itu, revolusi mental yang dicanangkan oleh Bapak Presiden Ir. Joko Widodo, harus menjadi alat pemicu untuk untuk mempercepat terwujudnya pemuda yang maju. Oleh karena itu, Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-86 tahun ini mengangkat tema “Bangsa Solidaritas pemuda Maju dan Berkelanjutan”.

Pada peringatan sumpah pemuda tahun ini, Badan Litbang Kehutaan didaulat menjadi petugas upacara. Selain Kabadan sebagai Inspektur Upacara, petugas upacara lainnya adalah Johny H. Panjaitan selaku komandan upacara, Tri Novia Kurniasari selaku pembaca UUD 45, Undang Rahmat Fauzi selaku pembaca do’a, Yani Septiyani selaku MC, Iksan Harahap selaku pembacaSumpah Pemuda serta pengibar bendera adalah M. Hamdani, Arie Prasetyowati, dan Tedi Gunawan. **THS

Sumber : http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/1891

Share Button

Diskusi Ilmiah Putaran IV: Ajang Pertemuan Peneliti, Penyuluh dan Widyaiswara dalam Suasana Ilmiah

FORDA (Bogor, 21/10/2014)_Badan Litbang Kehutanan kembali menggelar Diskusi Ilmiah, kali ini merupakan putaran yang keempat. Dalam kegiatan tersebut hadir para peneliti, penyuluh dan widyaiswara.

“Pertemuan kali ini untuk mengumpulkan teman-teman peneliti, widyaiswara dan penyuluh dan membina suasana ilmiah,” demikian diutarakan Sekretaris Badan Litbang Kehutanan, Ir. Tri Joko Mulyono, MM dalam sambutannya saat membuka Diskusi Ilmiah Putaran IV di Ruang R. Soediarto, Badan Litbang Kehutanan, Bogor, Selasa (21/10).

“Hari ini lebih difokuskan pada swasana ilimiah sebagai sarana diseminasi hasil penelitian, juga menampung imputan penelitian yg mampu mengakomodir banyak pihak serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan’’ urai Tri Joko. Lebih lanjut Tri Joko mengatakan  kegiatan diseminasi kepada widyaiswara menghasilkan output  bahan ajar sedangkan bagi  penyuluh menjadi bahan penyuluhan. Sedangkan peneliti mempunyai gambaran kebutuhan para pihak.

Diskusi ilmiah kali ini menampilkan pemaparan peneliti dari Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang. Tri Joko mengungkapkan BPK Palembang diundang pertama karena pertimbangan kesiapan materi.

BPK Palembang telah mengembangkan perangkat permodelan silvikultur dalam rangka menjawab kebutuhan pengelolaan kawasan hutan dengan konsep multisistem/KPHP. Fungsi dan kegunaan perangkat ini adalah sebagai alat bantu pengambilan keputusan dalam pengelolaan kawasan (hutan dan kebun) dalam satu atau lebih penggunaan sistem silvikultur dan pertanaman tanaman. Selain itu juga telah dikembangkan program Simulasi Perencanaan Usaha KPH. Kedua perangkat permodelan tersebut dipaparkan oleh peneliti dari BPK Palembang, Agus Sumadi dan Suryanto.

Prof. Dr. Nina Mindawati, moderator dalam acara tersebut mengatakan bahwa permodelan tersebut sudah pernah dipresentasikan di depan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (BUK) namun belum matang dalam penerapannya.

“Dalam tahapan ini masih ada yang kurang yaitu implementasi model, untuk itu perlu koordinasi dengan BUK untuk menunjuk KPH yang bisa menggunakan model ini” demikian pesan Nina kepada Sekretaris Badan Litbang Kehutanan. Nina  juga menyampaikan bahwa ada beberapa peneliti lain yang telah membuat program untuk itu perlu dibuat tim kecil, sehingga semua aspek bisa dimasukkan.***(TS).

Sumber : http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/1887

Share Button

Taman Kota Terbukti Efektif Serap Gas Rumah Kaca

FORDA (Makasar, 30/10/2014)_Taman Kota yang selama ini hanya dipandang sebagai aksesoris untuk mempercantik sebuah kota ternyata mempunyai  manfaat besar bagi penurunan emisi gas rumah kaca. Penelitian yang dilakukan oleh Ismayadi Samsoedin dan Ari Wibowo membuktikan bahwa keberadaan taman kota selain mempunyai fungsi estetika juga memiliki fungsi ekologi yang sangat penting bagi kehidupan.

Pada penelitian yang dimuat dalam Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan Volume 9 Nomor 1, Tahun 2012, pohon-pohon yang ditanam di Taman Monumen Nasional (Monas) Jakarta  memiliki kandungan rata-rata 0,33 ton karbon per pohon. Kandungan tersebut sama dengan potensi karbon 19,8 ton per hektare atau 36,9 ton biomassa per hektare.

“Penelitian yang mengambil studi kasus taman kota di Monas  Jakarta ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer berupa tinggi pohon, diameter batang, bentuk tajuk pohon serta identifikasi jenis pohon,” kata Ismayadi Samsoedin di Bogor, Rabu (5/11/2014).

Dengan luas 30 ha area yang ditanami dari luas total 80  ha, Taman Monas tercatat memiliki 1806 batang pohon yang terbagi kedalam 64 jenis berbeda. Terdapat empat pohon terbanyak yang ditemukan tumbuh di taman tersebut yaitu Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.), Kupu-kupu (Bauhinia purpurea L.), mahoni (Swietenia macrophylla King)dan trembesi (Samanea saman Merr.)

Dengan usia rata-rata pohon di Taman Monas yang masih cukup muda (5 tahun), maka potensi kemampuan pohon untuk menyerap emisi gas rumah kaca akan semakin meningkat pada masa mendatang. “Kandungan karbon pada sebuah pohon sangat bergantung dari diameter, tinggi pohon dan berat jenis kayu. Hasil penelitian ini mencatat pohon trembesi menghasilkan karbon sebesar 280,64 ton dengan jumah pohon 205 pohon,” paparnya.

Taman kota Monumen Nasional dipilih karena telah ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sehingga diperkirakan jenis koleksi pohon di Taman Monas akan terjamin keberadaannya. Adapun jenis tumbuhan yang ditanam di taman Monas meliputi tumbuhan jenis lokal dan jenis pendatang atau kerap disebut tumbuhan eksotik. Pengelolaan dan pemeliharaan Taman Monas dianggap telah menerapkan konsep konservasi ex- situ sehingga dapat menjadi  model bagi pengembangan taman kota di daerah yang lain.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemicu agar setiap pemerintah daerah dapat membangun taman kota. Pembangunan taman kota diharapkan dapat mendukung tercapainya target pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesaer 26 % pada tahun 2020.

Efektivitas taman kota sebagai penyerap gas rumah kaca telah menambah daftar manfaat pohon di perkotaan selain sebagai penyejuk tata ruang, penghasil oksigen, habitat satwa, dan daerah resapan air seperti pada hasil penelitian Miller tahun 1988 yang dikutip Ismayadi Samsoedin dan Ari Wibowo dalam penelitian mereka. (MCT)***

Sumber : http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/1897

Share Button

Siti Nurbaya Dituntut Berani

KOMPAS.com — Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar diharapkan memiliki cukup keberanian dalam menangani dan menyelesaikan berbagai kasus lingkungan dan kehutanan. Penggerusan sumber daya alam yang marak telanjur meluas, berlindung di balik kebutuhan ekonomi.

”Dari sisi ilmu dan pengalaman, Siti Nurbaya sangat baik. Yang perlu dicermati keberanian. Di (kehutanan) yang dihadapi tembok-tembok besar, seperti tambang, kebun, dan perambahan,” kata Darori Wonodirpuro, anggota DPR dari Fraksi Gerakan Indonesia Raya, yang juga mantan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, di Jakarta, Selasa (28/10/2014).

Ia ditemui seusai serah terima jabatan Menteri Kehutanan dari Pelaksana Tugas Chairul Tanjung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang disaksikan Zulkifli Hasan (Ketua MPR, Menteri Kehutanan 2009-2014) dan MS Kaban (Menhut 2004-2009).

Menurut Darori, pengelolaan hutan harus dikembalikan pada basis daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan DAS membawa bencana hidrologis seperti banjir dan longsor.

Selain itu, pengelolaan kawasan hutan produksi, kata dia, juga harus diarahkan memenuhi rasa keadilan masyarakat. ”Masa ada investor sampai punya konsesi jutaan hektar, sedangkan rakyat tak seberapa,” katanya.

Ketidakmerataan hak kelola itu membuat sekitar 30.000 komunitas masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan berada di garis kemiskinan. Kondisi itu dinilai ironis.

Terkait penggabungan institusi KLH dan Kemenhut, ia tegas tak setuju. ”Isu di kehutanan itu sangat besar dan kompleks. Ini sekarang harus ditambah masalah lingkungan hidup yang juga luas. Beban kerja akan sangat tinggi dan berat,” kata Darori.

Sementara itu, saat memberikan sambutan, Siti Nurbaya mewanti-wanti jajaran Kemenhut agar tak mendikotomikan LH dan Kehutanan. ”Saya minta birokrat jangan permasalahkan atau dikotomikan,” katanya.

Seusai menerima paparan eselon I dari Kemenhut dan KLH, ia berkesimpulan terdapat filosofi sama di antara kedua institusi. ”Di jajaran LH itu filosofi akar kehidupan, sedangkan di kehutanan filosofi pohon kehidupan. Di lingkungan, ditanamkan dengan baik, lingkungan lestari. Kalau pohon kehidupan, pengembangan kesejahteraan keadilan,” katanya.

Secara terpisah, Martua Sirait, anggota Dewan Kehutanan Nasional, mengatakan, penggabungan kedua institusi akan menghadapi permasalahan dalam mengintegrasikan perspektif lingkungan hidup dalam berbagai program kementerian. Itu karena perspektif kehutanan masih terkurung dalam teritori di dalam kawasan hutan, sedangkan isu lingkungan jauh lebih luas.

Namun, sisi positif penggabungan itu, menteri baru bisa mengevaluasi penerbitan izin hutan tanaman industri dan kebun di lahan gambut serta izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan. Sebab, dilakukan tanpa didasari kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).

Daya dukung

Peneliti senior Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Arief Purwanto, menyatakan, pemerintahan baru hendaknya tak melupakan kerentanan daya dukung lingkungan dalam pengelolaan sumber daya untuk pembangunan. Kekhawatiran itu mengemuka karena susunan menteri pada kabinet baru cenderung berlatar belakang pengusaha, tidak ada yang berlatar belakang perlindungan lingkungan.

”Aspek perlindungan dan perhatian pada daya dukung lingkungan harus melekat pada pemanfaatan sumber daya alam. Itu tidak bisa dipisahkan jika tidak ingin berpotensi membawa masalah,” kata Arief.

Dicontohkannya, penunjukan Susi Pudjiastuti, yang berlatar belakang pengusaha perikanan, sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Ia menilai itu untuk mendorong optimalisasi pengelolaan sumber daya perikanan. Selama ini, potensi sumber daya laut Indonesia memang belum dikelola optimal.

Data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari segi potensi sumber daya, kekayaan laut Indonesia sangat tinggi. Namun, ekspor sektor perikanan Indonesia pada 2011 hanya 3,34 miliar dollar AS, jauh di bawah Vietnam yang pada 2011 nilai ekspor perikanannya 25 miliar dollar AS. Padahal, lautan Indonesia jauh lebih luas.

Buruknya perlindungan terhadap kekayaan laut menjadi salah satu penyebab. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melaporkan, Indonesia kehilangan sekitar Rp 30 triliun per tahun akibat pencurian ikan.

Namun, menurut Arief, persoalan kelautan bukan hanya soal komoditas perikanan. ”Harus ada pengelolaan kelautan dan kawasan pesisir terpadu dengan konservasi. Masalahnya, Kementerian LH justru digabung dengan Kemenhut.”

Sumber : http://sains.kompas.com/read/2014/10/29/19151021/Siti.Nurbaya.Dituntut.Berani

Share Button