Kebun Benih “Writing Festival”

Senin pagi, Samboja, 20/10/2014,  Rombongan peneliti Balitek KSDA melakukan hunting tulisan mengenai kebun benih Balitek KSDA. “Semangat ke kebun benih, semangat menulis!” seru Dr. Wawan Gunawan penggagas kegiatan sekaligus penanggung jawab kebun benih menyemangati rekan-rekannya dengan antusias. Kegiatan yang diberi tema “Kebun Benih Writing Festival” ini bertujuan mengeksplorasi potensi areal kebun benih dan melatih  sisi kreatif peneliti dalam bentuk tulisan populer ilmiah untuk dimuat di Majalah Swara Samboja. Kegiatan ini diadakan di areal Kebun Benih Balitek KSDA yang terletak di dalam kawasan KHDTK Samboja Km 1 s.d. Km 7 Jl. Semoi dengan didampingi oleh Deni Adiputra dari Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian sebagai fotografer.

Lokasi pertama yang menjadi target Writing Festival adalah Tegakan Benih Terseleksi (TBS) Ulin (Eusideroxylon zwageri) yang terletak di Km 1 dengan luas 30 Ha. “Silakan kepada peneliti yang mendapat tugas untuk tema tulisan pertama ini untuk menanyakan kepada pengelola sumber benih! ujar Wawan. “Bagaimana proses sertifikasi kebun benih Ulin ini?,” tanya Bina Swasta Sitepu. Nanang Riana S.Hut. selaku pelaksana teknis pengelolaan kebun benih menjelaskan dengan detail bagaimana proses sertifikasi tersebut dibantu dengan Tri Atmoko S.Hut., M.Si.

layout foto untuk berita 2 MBSelanjutnya peserta melanjutkan perjalanan ke area kebun benih jenis Damar (Agathis borneensis) dengan luas 5 ha. “Tanaman Agathis boornensis ini diambil dari Gunung Lumut sebanyak 600 bibit, PT ITCI sebanyak 600 bibit, dan dari Malinau sebanyak 800 bibit,” ungkap Tri Atmoko. Sehamparan dengan areal ini adalah  jenis Lai (Durio kutejensis) dengan luas 2,5 Ha dan Gaharu (Aquilaria microcarpa) dengan luas 5 Ha. Peneliti yang bertanggung jawab dalam penulisan di areal ini adalah Septina Asih Widuri, Syamsu Eka Rinaldi dan Antun Puspanti.

“Benih Lai (Durio kutejensis)  seluruhnya berasal dari Kalimantan Timur sebanyak 500 bibit, dengan jarak tanam 5 m x 10 m,” jelas Nanang Riana. Tri Atmoko juga menjelaskan asal benih Gaharu (Aquilaria microcarpa) berasal dari Palembang sebanyak 600 bibit, Jambi sebanyak 600 bibit, Riau sebanyak 400 bibit dan Kalimantan Timur sebanyak 400 bibit.

Kebun benih Keruing (Dipterocarpus humeratus) menjadi lokasi berikutnya yang dikunjungi oleh peserta. Menjadi tema yang akan ditulis oleh Tri Sayektiningsih dan Mukhlisi,  Wawan Gunawan menjelaskan bahwa sumber benih tegakan alam ini memiliki luas 20 Ha dan telah mendapatkan sertifikasi BPTH Kalimantan Timur tahun 2013 sebagai Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT).

Sebagai lokasi terakhir dalam field trip ini, peserta diajak ke Km 7 yang menjadi areal kebun benih jenis Kapur (Dryobalanops lanceolata) yang akan ditulis oleh Noorcahyati dan Ike Mediawati, serta Meranti (Shorea leprosula) yang akan ditulis olah Burhanuddin Adman. “Kedua jenis tanaman ini juga telah mendapatkan sertifikasi Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) oleh BPTH Kalimantan pada tahun 2013” jelas Nanang Riana.

Tak terasa matahari sudah mulai terik dan perjalanan yang diselingi dengan diskusi ini telah menguras tenaga para peserta. Sembari rehat di bawah pohon Lai yang sedang berbunga, peserta yang membawa kamera tak henti-hentinya menekan tombol shooter saat mendapati moment berharga. Mengabadikan bunga tengkawang (Shorea macrophylla) menjadi jamuan akhir peserta sebelum menikmati makan siang dan meninggalkan lokasi ini. Diharapkan acara ini menjadi pendorong bagi peneliti untuk hunting materi dengan cara santai namun tetap berkualitas dan nantinya dapat disajikan di Majalah Swara Samboja. Chayooo!! Tetap semangat menulis! *ADS**

Share Button

Pohon Buah Asli Kalimantan

Paulus Gadis baru saja pulang dari hutan dahas miliknya. Di sana, selain bercocok tanam dan merawat pohon buah, dia juga beternak babi dan ayam. Hampir setiap hari pria 52 tahun ini menghabiskan waktunya di dahas. Jelang petang, dia pun kembali ke kampung di Desa Petebang Jaya, dan bergabung bersama keluarganya.

Kala itu, keranjang rotan masih setia menempel di belakangnya. Terlihat tumpukan buah cempedak. Buah ini masih memasuki musim ranum. “Ayo, nikmati cempedaknya. Rasanya lain kalau matang di pohon,” katanya mengajak bersantap buah bersama.

Cempedak, siapa yang tak kenal dengan buah ini? Bentuknya menyerupai nangka dan banyak dijumpai di pasar-pasar atau pinggiran jalan di kota Pontianak setiap tahunnya. Buah dengan nama latin Arthocarpus champeden ini cukup terkenal lantaran aromanya yang menyengat dan berasa manis.

Tapi tak semua orang tahu, Kalimantan ternyata menyimpan kekayaan buah yang begitu beragam. Ini terungkap dalam sebuah perjalanan ke dahas, salah satu hutan kemasyarakatan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, awal September 2014 lalu.

Nun jauh di Kecamatan Tumbang Titi dan Jelai Hulu, sejumlah desa di arah Timur Kota Ketapang ini menyuguhkan sebuah lansekap yang unik. Dari Desa Tanjung Beulang dan Petebang Jaya di Tumbang Titi, hingga Desa Pasir Mayang dan Rangga Intan di Jelai Hulu, perkampungan itu selaksa surga dengan ragam buah-buahan di dalamnya.

Masyarakat setempat sudah sejak lama membingkai perkampungan mereka dengan pohon-pohon buah hutan khas Kalimantan. Ada kekalik (nama lokal), atau belimbing darah (Baccaurea angulata). Buah berwarna merah menyala ini tumbuh subur di Desa Petebang Jaya. Jika sudah ranum, buahnya berasa asam manis. Kekalik adalah buah endemik di Pulau Kalimantan.

Selain itu, ada pula patikala (Etlingera elatior). Berdasarkan literatur, nama lain dari buah ini adalah kecombrang. Ia sejenis tumbuhan rempah. Batangnya lunak karena tidak membentuk kayu. Ia adalah tumbuhan semusim, dwimusim, ataupun tumbuhan tahunan. Baik bunga, buah, serta bijinya dimanfaatkan warga sebagai bahan sayuran.

Bagaimana dengan kembayau? Nah, ini lebih khas lagi. Unik, lantaran buahnya yang sudah ranum harus direbus dulu sebelum dimakan. Buah dengan nama latin Dacryodes rostrata ini banyak dijumpai di sekitar rumah warga Petebang Jaya. Pohon buah kembayau masih dalam keluarga Burseraceae. Bentuk buahnya lonjong atau bulat telur dengan warna biru kegelapan.
Lain kembayau, lain pula sebangkui. Buah ini masih berkerabat dengan menteng dan rambai, namun ukurannya lebih besar dan kulit lebih tebal. Jika sudah ranum, buah dengan nama latin Baccaurea macrocarpa ini berasa manis asam.

Sedangkan hakam atau asam paya, dengan mudah dapat dijumpai di hutan dahas milik warga di empat desa itu. Bentuk buah dengan nama Latin Eleiodoxa comferta ini menyerupai salak. Kulitnya bersisik dengan warna cokelat kemerahaan. Isinya terbagi dua, dan berasa asam. Biasanya, warga memanfaatkan buah ini untuk dijadikan manisan. Pohon tersebut tumbuh subur serta hidup berkoloni di hutan dahas milik warga.

Apalagi kapul, tak semua orang pernah mendengar sebutan itu. Tapi umumnya warga Ketapang, kapul bukan hal asing lagi. Buah dengan nama latin Baccaurea bracteata ini bentuknya mirip buah sebangkui. Kapul juga masuk dalam kelompok rambai. Buahnya berjuntaian padat di batang dan tangkai. Rasanya manis asam.

Untuk melihat foto dan sumber berita : Klik di sini

Share Button

Disiplin dan Aktifitas Kreatif Pegawai

Samboja, 8 Oktober 2014. Pembinaan pegawai Balitek KSDA dilakukan di Aula Balitek KSDA Samboja pada pukul 13.00 WITA. Pembinaan ini dipimpin oleh Kepala Balai, Ahmad Gadang Pamungkas, S.Hut, M.Si. dengan agenda utama peningkatan disiplin pegawai. Pembinaan yang dihadiri hampir seluruh pegawai kecuali yang sedang dinas luar ini berlangsung dengan santai dan kekeluargaan.

Agenda pertama pembinaan ini adalah tentang kehadiran pegawai di kantor pada jam kerja. Pada pengamatan kepala balai, masih harus dilakukan peningkatkan disiplin dan aktivitas yang lebih kreatif pada jam kerja. Tanggungjawab terhadap pekerjaan dan output yang lebih bagus, sehingga tanggungjawab moral terhadap kinerja pegawai tetap berada pada pegawai yang bersangkutan. “Sehingga apa yang telah kita setujui pada saat menjadi PNS dapat benar-benar terpenuhi dengan baik”, ujar Kepala balai.

Agenda kedua adalah pemeliharaan kebersihan kantor, lingkungan kantor maupun komplek Balitek KSDA. Penanganan sampah akan diperbaiki dengan cara pemilahan sampah organik dan non-organik mulai dari pembuangan sampah. Selain itu penggunaan air secara lebih hemat sangat diperlukan berhubung kemarau panjang karena air di sekitar kantor juga terbatas jumlahnya. Direncanakan akan dibuat bio pori atau sumur resapan untuk  menjaga cadangan air tanah tetap tersedia pada saat musim kemarau dan mengurangi limpasan air langsung di permukaan tanah.

Pada kesempatan ini juga, Kepala Seksi Program, Evaluasi dan Kerjasama mengingatkan agar pelaksana kegiatan bisa mempercepat pencapaian anggaran, mengingat masa kerja tahun 2014 ini tinggal 2 bulan lagi. Realisasi kegiatan dan pencapaian anggaran diharpaakan dapat selesai sebelum akhir Desember 2014.

Nanang Riana, S.Hut. sebagai pengelola KHDTK juga mengingatkan kepada seluruh pegawai untuk mewaspadai kebakaran sebagai dampak dari musim kemarau yang panjang pada tahun ini. Nanang juga mengharapkan peran serta dan bantuan dari seluruh pegawai jika terjadi kebakaran di areal KHDTK samboja. *ADS**

 IMG_5630 IMG_5620

Share Button

Soft Launching Portal Publikasi Badan Litbang Kehutanan

FORDA (Bogor, 09/10/2014)_Dalam rangka mengimplementasikan Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Perka LIPI) No. 3 Tahun 2014, Badan Litbang kehutanan meluncurkan website Portal Publikasi Badan Litbang Kehutanan pada saat acara Pembahasan Publikasi Badan Litbang Kehutanan di Hotel Permata, Bogor (Kamis, 9/10)

Portal web adalah suatu situs web yang menyediakan informasi yang spesifik sesuai dengan keinginan pengguna. Dalam portal publikasi Badan Litbang Kehutanan, informasi yang dipublish adalah elektronik jurnal atau e-jurnal.

“Portal publikasi Badan Litbang dikelola oleh Sekretariat Badan Litbang.  Di satu portal itu, kita tautkan 13 website jurnal ilmiah berkala, terbitan berkala ilmiah/TBI yang dikelola oleh masing-masing satker,” kata Retisa Mutiaradevi, MCA, Kepala Sub Bagian Diseminasi, Publikasi dan Perpustakaan.

Lebih lanjut, Retisa menyatakan bahwa e-jurnal berbeda dengan jurnal online. Perbedaan utamanya terletak pada proses mengunggah jurnal tersebut di website. Pada Jurnal online, artikel yang diunggah di website adalah sudah jadi. Sedangkan e-jurnal, artikel yang diunggah secara bertahap dari proses awal sampai akhir. Namun demikian, pengguna hanya bisa mengakses artikel yang sudah jadi. Sedangkan proses pengajuan maupun editing artikel hanya bisa dilihat oleh orang-orang terkait.

Portal Publikasi Badan Litbang Kehutanan mulai dicantumkan website www.forda-mof.org sejak bulan mei 2014. Portal ini dapat diakses di ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang. Salah satu jurnal yang ada di portal tersebut dan dikelola oleh sekretariat Badan Litbang kehutanan adalahIndonesian Journal of Forestry Research(IJFR).

“Saat ini pengunjung dalam IJFR mencapai 44. Berdasarkan penilaian dalam Perka LIPI No. 3 Tahun 2014 mendapatkan nilai 2. Selain itu telah disitasi lebih dari 62 atau masuk kriteria besar (nilai 4), “ kata Retisa.

Ke depan, Retisa berharap perlu dilakukan proses sosialisasi Portal Publikasi Badan Litbang Kehutanan di masing–masing satker Badan Litbang Kehutanan, baik lingkup manajemen, dewan redaksi maupun pengelola jurnal. Hal ini bertujuan tidak terjadinya salah pengertian, dimana masing-masing satker harus mengelola website jurnalnya masing-masing.

Disisi lain, Ir. Tri Joko Mulyono, MM, Sekretaris Badan menyatakan bahwa proses migrasi dari jurnal cetak ke elektronik tidak bisa dilaksanakan secara serempak tetapi harus bertahap.

“Tentunya dengan adanya portal publikasi Badan litbang kehutanan diharapkan publikasi dan hasil penelitian akan lebih ilmiah dan akan banyak disitasi secara langsung juga akan meningkatkan nilai scholar dalam kaitannya dengan pemeringkatan lembaga riset webometrics, sehingga peringkat Badan Litbang kehutanan juga akan naik“ kata Sekbadan.

Selain itu, Sekbadan berharap bahwa Semua pihak terkait bisa mengefektifkan portal publikasi Badan Litbang Kehutanan dan terus bisa mengupayakan peningkatan indeksasi publikasi lingkup Badan Litbang Kehutanan oleh lembaga pengindeks nasional/internasional. **THS

Sumber Berita & Materi terkait :

Soft-launch_Portal Publikasi Badan Litbang Kehutanan-2

forda-mof.org

Share Button

Kerjasama Untuk Peduli Lingkungan, BCA Rangkul WWF Lindungi Penyu dan Hutan

Jakarta – NEWtrees merupakan sebuah inisiatif program restorasi hutan WWF-Indonesia pada kawasan-kawasan yang dilindungi. NEWtrees memberikan wacana baru bagi masyarakat luas guna membantu proses reforestasi dan melindungi kawasan lindung/kawasan hutan serta mengawasi pertumbuhan pohon melalui geotags. Publik dapat memonitor secara online dengan mengunjungi www.wwf.or.id/newtrees atau http://map.newtrees.org/map/view. Program ini juga mengundang pihak korporasi dan individual untuk berperan serta dalam merehabilitasi hutan Indonesia.

Program ini dikembangkan dengan tujuan untuk membantu memulihkan kondisi ekosistem setempat, antara lain perbaikan daerah tangkapan air, pencegahan terhadap erosi tanah terutama pada kawasan-kawasan perbukitan dan pegunungan, pencegahan terhadap abrasi pada daerah pesisir pantai, serta mengurangi dampak banjir.

Dalam pelaksanaannya, Program NEWtrees selalu bekerja sama dengan masyarakat setempat. Mereka berperan dalam pelaksanaan pembibitan, penanaman, perawatan, pemantauan dan pengamanan kawasan. Sehingga kegiatan ini menjadi salah satu pendapatan alternatif bagi masyarakat. Di sisi lingkungan, nilai bagi masyarakat adalah perbaikan kondisi lingkungan setempat untuk menunjang kehidupan sehari-hari dan adanya kesempatan untuk berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan. Secara ekonomi dalam jangka panjang masyarakat dapat menanfaatkan hasil hutan non-kayu dari kegiatan reforestasi ini.

Dukungan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dalam kegiatan pelestarian lingkungan dilaksanakan secara berkelanjutan. Masih melalui program Bakti BCA, upaya pelestarian hutan di Sukabumi, Jawa Barat, yang sekaligus sebagai hutan pelestarian penyu pun mendapatkan dukungan penuh.

Melalui Solusi Sinergi Bakti BCA, kembali dilakukan donasi senilai Rp200 juta kepada World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia. Selanjutnya, donasi tersebut akan dimanfaatkan oleh WWF-Indonesia untuk mendukung pelaksanaan program rehabilitasi hutan Pusat Konservasi Penyu di Pangumbahan, Sukabumi, Jawa Barat.

Dalam acara simbolis yang digelar di Jakarta, beberapa waktu lalu, Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja menyerahkan donasi tersebut kepada CEO WWF-Indonesia Efransjah. Disaksikan oleh Sekretaris Perusahaan BCA Inge Setiawati, Head of CSR BCA Sapto Rachmadi dan Direktur Marketing WWF-Indonesia Devy Suradji.

Dalam sambutannya, Jahja menyampaikan, perbaikan serta peningkatan kualitas lingkungan hidup, sangatlah penting. Tidak salah apabila BCA menyokong penuh kegiatan ini. ‘’Program Bakti BCA bidang lingkungan dalam bentuk donasi senilai Rp200 juta ini dilakukan sebagai dukungan BCA terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup dan upaya rehabilitasi hutan,’’ paparnya.

Jahja berharap, bantuan dana yang diberikan dapat digunakan untuk penanaman 2.000 pohon di kawasan hutan seluas 5 hektar. Dimana, hutan tersebut menjadi pusat konservasi penyu. ‘’Kerjasama BCA bersama WWF-Indonesia ini, bertujuan untuk merehabilitasi hutan.Selain juga meningkatkan kondisi habitat penyu yang semakin menurun kualitasnya,’’ tutur Jahja.

Dengan membaiknya kondisi hutan tersebut, lanjut Jahja, bisa berdampak positif bagi habitat penyu. Memberikan tempat yang aman dan nyaman bagi pengembangbiakan penyu. ‘’Apabila hutan yang semula terdegradasi bisa direhabilitasi kembali. Maka bisa bermanfaat sekali. Menjadi tempat yang ideal bagi penyu untuk bertelur dan berkembang biak. Sehingga bisa terjamin populasinya,’’ kata Jahja.

Tentunya, apabila rehabilitasi hutan melalui kegiatan menanam kembali (reboisasi) berhasil dikembangkan, diharapkan dapat memberikan manfaat positif. Misalnya, mengurangi efek rumah kaca di Indonesia, memperbaiki ekosistem, serta beberapa manfaat lainnya.

Dalam rangka mengurangi efek rumah kaca ini, pemerintah menggagas gerakan “Penanaman Satu Miliar Pohon” sejak 2010. Kegiatan ini, melibatkan seluruh komponen bangsa. Sangat positif dalam upaya menghijaukan kembali hutan yang telah rusak.

Sejatinya, dukungan dan kerjasama BCA dengan WWF Indonesia telah beberapa kali dilaksanakan. Pada 2013, BCA mendukung program NEWtrees WWF-Indonesia, melalui penanaman 2.400 pohon untuk mendukung perbaikan lahan di daerah sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung Hulu. Sebelumnya, pada 2012, melului program yang sama, BCA telah melakukan penanaman 2.750 bibit pohon pala di daerah penyangga (buffer zone) Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang, Banten, dan pada 2011, menyumbang 2.000 pohon untuk Taman Nasional Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat.

‘’Melalui program Bakti BCA, kami memberikan perhatian besar terhadap lingkungan. Dan, kami selalu berupaya untuk senantiasa berperan aktif, berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan. Melalui kegiatan tanggung jawab sosial masyarakat dalam bidang lingkungan, salah satunya yang dilakukan pada saat ini,’’ terang Jahja.

Selanjutnya, peraih “Most Impressive Executive 2014” versi majalah Asiamoney ini, berharap agar kegiatan pelestarian lingkungan semakin gencar dilaksanakan. Seluruh pihak diharapkan memberikan dukungan penuh. Karena, manfaat dari kegiatan ini bisa dipetik dalam jangka panjang. ‘’Agar anak cucu kita nanti tetap dapat melihat indah dan kayanya alam Indonesia,’’ tutupnya.

Sumber : klik di sini

Share Button

12 juta dolar AS untuk perlindungan satwa di Sumatera

KEHATI-TFCA, Jakarta. Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia sepakat menyediakan dana sebesar 12 juta dolar AS khususnya untuk program perlindungan harimau dan badak Sumatera termasuk pelestarian habitatnya.  Dana tersebut didapat dari kesepakatan  pengalihan dana pembayaran utang Pemerintah Indonesia pada Pemerintah AS yang akan jatuh tempo.  Sejumlah dana yang seharusnya dikembalikan kepada Pemerintah Amerika tersebut ditambahkan pada program Tropical Forest Conservation Action for Sumatra (TFCA-Sumatera) yang saat ini sedang berjalan di Sumatera  dengan skema pendanaan yang sama.

Pada acara peluncuran yang dilangsungkan di @america tadi malam (1/10), Kristen Bauer, Deputy Chief of Mission Kedubes AS menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama menaruh perhatian besar pada perlindungan spesies terancam punah di Indonesia terutama Badak dan Harimau.   “Alasan kita berfokus pada harimau adalah karena harimau menderita akibat strategi program pembangunan yang tak terencana dan akibat perdagangan ilegal.  Perdagangan liar tidak hanya berdampak pada punahnya beraneka jenis hewan namun mengancam keamanan perbatasan, pembangunan ekonomi dan kesehatan publik” demikian ungkap Kristen Buer.

Raffles B. Panjaitan yang mewakii Sekjen Kemenhut pada acara ini menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah menjalankan serangkaian respons untuk perlindungan harimau Sumatera.  Sebanyak 5 proyek dengan berbagai donor  termasuk dengan negara-negara ASEAN dan Amerika Serikat telah dijalankan berupa konservasi harimau dan habitatnya baik melalui konservasi in situ maupun eks situ.

Penandatanganan komitmen konservasi satwa sebesar 12 juta dolar AS ini merupakan bagian dari paket kerjasama dari tiga perjanjian yang ditandatangani di kantor Kemenhut pada tanggal 29 September 2014 yaitu: (1) Forest Conservation Agreement (FCA) antara tiga pihak yaitu Kementerian Kehutanan yang diwakili oleh Sekditjen PHKA Novianto Bambang Wawandono, dua lembaga swap partner yaitu Conservation International Foundation yang diwakili oleh Vice President Ketut Sarjana Putra dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang diwakili oleh M.S Sembiring selaku Direktur Eksekutif.  (2) Debt-for-Nature-Swap Agreement (DSA) ditandatangani oleh dua pihak yaitu Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Dirjen Pengelolaan Utang, Robert Pakpahan dan Pemerintah AS yang diwakili oleh Duta Besar Robert Blake. (3) Swap Fee Agreement, ditandatangani oleh wakil dari Conservation International Foundation Ketut Sarjana Putra dan wakil Pemerintah Amerika Serikat, Duta Besar Robert Blake.

Tambahan dana tersebut akan disalurkan melalui hibah kepada LSM lokal. Kesepakatan ini memungkinkan kedua negara bekerja bersama melindungi, termasuk penegakan hukum bagi kejahatan terhadap satwa kunci seperti Harimau, Badak, Orangutan dan Gajah melalui intervensi kegiatan di tingkat kebijakan, tingkat bentang alam dan sosial ekonomi masyarakat.  Selain itu, sebagaimana telah dituangkan di dalam kebijakan dan prosedur penyaluran dana hibah TFCA-Sumatera, fokus kegiatan memberikan dorongan terhadap kerjasama antara masyarakat, LSM, Pemerintah dan swasta dalam pengelolaan hutan beserta keanekaragaman hayati di dalamnya.

Mengomentari FCA yang merupakan dasar pelaksanaan kegiatan di lapangan, Ketut Sarjana Putra dari Conservation International menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat berkontribusi secara signifikan dalam penyelamatan spesies.  “Meneruskan kerjasama dengan KEHATI dalam konservasi hutan di tingkat lansekap, penambahan dana ini mendorong kita untuk melangkah lebih maju lagi dalam upaya penyelamatan spesies”, ujarnya.

Menurut Samedi, Direktur Program TFCA-Sumatera, salah satu upaya nyata bagi perlindungan spesies kunci di Sumatera adalah dengan mempertahankan dan membuka ruang koridor antar kawasan konservasi untuk menjamin ketersambungan antar habitat sehingga satwa dapat saling berhubungan dan terjadi transfer materi genetik serta menurunkan intensitas konflik antara satwa dan manusia.  “Luas tutupan hutan harus ditambah atau setidaknya dipertahankan untuk tidak dikonversi, penindakan terhadap perdagangan ilegal dan perburuan liar pun harus lebih efektif dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yang lebih memadai seperti forensik” ujar Samedi menambahkan.

Ancaman seperti perburuan, fragmentasi habitat, penurunan populasi mangsa, perdagangan ilegal dan konflik dengan manusia juga  makin mengurangi jumlah harimau di alam.  Menurut Daftar Merah IUCN tahun 2008, sebanyak 51 ekor harimau Sumatera terbunuh setiap tahunnya yang mana 76% merupakan akibat perdagangan gelap. Kondisi ini diperparah dengan kebakaran hutan yang mulai marak pada bulan Agustus-September 2014, dimana sebaran 42% hotspot di Riau berada di hutan alam habitat harimau.

Keberadaan badak di Sumatera kini pun tak kalah memprihatinkan. Delapan dari 12 kantung badak yang sebelumnya teridentifikasi di Sumatera diduga kini sudah tidak ada lagi, hanya tinggal sedikit di Sumatera bagian utara dan sedikit di Sumatera bagian selatan, dan populasinya selama 21 tahun turun 82 persen, ujar Samedi yang mengutip data dari WWF Indonesia.

“Penurunan populasi badak ini sangat memprihatinkan.  Reproduksi badak di alam cukup sulit, sehingga ancaman penurunan populasi dari tekanan akibat pembukaan hutan, kebakaran hutan, perburuan liar makin memperburuk viabilitas badak di hutan”, ungkap MS. Sembiring, Direktur Eksekutif KEHATI yang dipercaya sebagai Administrator program TFCA di Indonesia ini.

Oleh karena itu dukungan dari masyarakat luas perlu terus digalang.  Penambahan dana sebesar 12 juta dollar diharapkan dapat digunakan untuk melestarikan, melindungi dan mengelola habitat yang diperlukan untuk rumah bagi satwa serta dapat digunakan untuk penyelamatan, restorasi dan peningkatan populasi dan habitat satwa liar di alam.

Sumber : klik di sini

Share Button