Peran Litbang dalam Pengembangan Industri Bahan Bakar Nabati (BBN) dalam rangka Pembangunan Ketahanan Energi Nasional

Konsumsi domestik terhadap bahan bakar minyak (BBM) naik dengan pesat, hal ini terjadi akibat dari terus dipertahankannya subsidi BBM yang pada tahun 2014, diperkirakan sekitar 300triliun rupiah. Di sisi lain, kapasitas kilang domestik yang stagnan selama kurang lebih 20 tahun yang mengakibatkan impor BBM (bensin dan solar) dari tahun ke tahun terus naik.

Melihat kondisi di atas, maka perlu segera dicari sumber energi terbarukan – karena sifatnya yang bersih – untuk dapat mengganti BBM. Dan biomasa adalah satu-satunya sumber energi terbarukan yang dapat menghasilkan, atau mudah dikonversi menjadi bahan bakar cair – bahan bakar nabati (BBN) atau biofuels. Maka pengembangan dan pemanfaatan komersial BBN adalah keharusan dan merupakan pilihan yang paling tepat.

Kemiri sunan adalah salah satu tanaman potensial penghasil bioenergi jenis biodiesel. Kemiri sunan mulai berproduksi pada usia 4tahun, dan pada umur 8tahun dapat menghasilkan 15ton biji ( 6 sd 8 ton biodiese) per hektar/tahun. Kelebihan lain dari kemiri sunan adalah dapat dikembangkan pada lahan sub optimal – misalnya lahan pasca tambang timah. Akan tetapi, yang perlu dipersiapkan pada pengembangan kemiri sunan pada saat ini adalah perlu adanya kepastian harga dan pasar agar kejadian beberapa tahun yang lalu, yang dialami oleh jarak pagar, tidak terulang kembali.

fgd bbn bogor hotel salak

Para Peserta FGD “Perang Litbang dalam Pengembangan Industri Bahan Bakar Nabati dalam rangka Pembangunan Ketahanan Nasional”

Saat ini, Balitbang Kementerian Pertanian telah mengembangkan varietas unggul lokal yaitu kemiri sunan (KS) 1, KS 2, Kermindo 1 dan Kermindo 2, demikian disampaikan Syafaruddin Deden, peneliti dari Puslitbang Perkebunan dalam presentasinya dengan judul “Perkembangan dan Kesiapan Benih Kemiri Sunan (KS 1 dan KS2) dan Komoditas Lainnya untuk Mendukung Litbang Biodiesel” pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Puslitbangtek KEBTKE. Dari ke empat varietas yang diuji, yang paling potensial untuk menghasilkan biodiesel adalah Kermindo 1, dengan kemampuan menghasilkan biodiesel 37,54 kg/pohon/tahun.

Varietas unggul  Kemiri Sunan memiliki FFA dibawah 5 sehingga dapat diproses menjadi biodiesel lebih efisien dan memberikan kualitas yang memenuhi standar SNI. Tetapi, salah satu kelemahannya adalah angka iodium yang masih tinggi, yaitu kisaran 90-95  Angka Iodium yg tinggi dapat diatasi dengan pemilihan katalis. Ikatan rangkap tidak berpengaruh pada proses transesterifikasi maupun esterifikasi. Peneliti dari Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi – BPPT, Imam Paryanto, menjelaskan lebih lanjut. Dalam usaha menurunkan angka Iodium, dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain penggunaan katalis untuk reaksi trans esterifikasi yaitu menggunakan katalis basa.

Hasil inovasi litbang tentunya sangat diperlukan untuk menjadikan kemiri sunan sebagai program biodiesel nasional guna mendukung kebijakan Pemerintah dalam rangka percepatan pengembangan biodiesel dari komoditas non pangan.

Kerjasama antara stakeholder dalam pengembangan kemiri sunan sebagai BBN melalui beberapa institusi kelitbangan, tentunya diharapkan memberikan hasil yang menjanjikan. Oleh karena itu, perlu adanya sinkronisasi program yang sinergis lintas Kementerian terkait, serta dukungan berbagai pihak seperti Perguruan Tinggi, Akademisi, Industri, profesional, praktisi, Pemda dll.  MRM.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Bibit Asli Kian Langka di Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com – Bibit asli tanaman lokal disebut makin langka di Indonesia. Ditengarai, bibit asli lokal semakin sulit ditemui karena maraknya pencurian oleh asing bersamaan dengan kapitalisme di bidang pertanian.

“Saya berkeliling (Indonesia) mulai 2010 hingga kini hanya menemukan 45 bibit lokal asli, dan salah satunya yang sulit saya temui hingga kini adalah tanaman seperti bumbu rempah, yang kalau di Sunda namanya wereng,” kata pemerhati tanaman lokal, Nissa Wargadipura, dalam diskusi pangan di Jakarta, Kamis (23/10/2014).

Padahal, kata Nissa, jumlah tanaman asli Indonesia ada ribuan jenis yang tersebar di pelosok Nusantara. Namun, ujar dia, sebagian besar bibit lokalnya hilang dan hanya meninggalkan bibit hibrida dalam pengembangannya.

Menurut Nissa, konsep pertanian modern yang kini dikembangkan membuat sebagian besar petani di Indonesia mengandalkan bibit hibrida yang dijual atau dikapitalisasi oleh perusahaan. Dia berpendapat, telah terjadi ketergantungan terhadap mekanisme itu.

Padahal, kata Nissa, kualitas bibit lokal sangat bagus, karena punya kemampuan beradaptasi dengan iklim Indonesia, sekaligus punya daya tahan yang bagus terhadap iklim wilayah tropis.

“Secara kualitas bibit hibrida juga bagus tetapi dalam perawatannya memerlukan biaya banyak, sementara bibit lokal sangat adaptif dan memiliki daya tahan kuat yang tak perlu biaya banyak dalam perawatannya,” papar Nissa.

Nissa kini mulai mengembangkan pertanian dengan bibit lokal di wilayah Garut, Jawa Barat. Menurut dia, pengembangan pertanian seharusnya mengedepankan tanaman dan bibit asli.

“Bibit lokal itu bisa dikembangkan dengan konsep yang sederhana, tanpa harus meracik melalui laboratorium, sehingga sangat mudah. Namun, selama ini banyak yang hilang, bisa juga dicuri oleh orang asing dan dikembangkan di sana,” lanjut Nissa.

Nissa menyebutkan, salah satu bibit lokal yang bisa dia temukan dengan susah payah adalah jenis Kacang Tunggang dan Kedelai Ireng. Dia mendapatkan kedua tanaman dari Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Selain itu saya juga menemukan bibit jagung merah dan sudah langka, karena bibit jagung jenis hibrida kebanyakan warnanya kuning,” kata Nissa. Karenanya, Nissa yang aktif dalam Serikat Petani Pasundan itu berharap, pemerintah mengupayakan perlindungan terhadap keberadaan bibit lokal.

sumber : kompas.com

Share Button

Berburu Pohon Penghasil Resin di KHDTK Samboja

BPTKSDA (Samboja, 22/10/2014). Dalam rangka meningkatkan pengetahuan jenis-jenis pohon penghasil resin, peserta diklat WASGANIS JIPOKSIN (Balai Diklat Kehutanan Samarinda) melakukan kunjungan lapangan di KHDTK Samboja pada Rabu, 22/10/2014. Peserta diklat berjumlah 30 orang, terdiri dari perwakilan Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi se-Kalimantan dengan didampingi Staf Dinas Kehutanan Prov. Kaltim serta Balai Diklat Kehutanan Samarinda sebanyak 5 orang dan instruktur dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman yakni Harlinda Kuspradini, Ph.D., Edi Sukaton, M.Sc., Dr. Enih Rosamah, Irawan Wijaya Kusuma, Ph.D., dan Prof. Dr. Enos Tangke Arung, S.Hut. MP. Rombongan peserta disambut oleh Suwarno, SE, M.Si., Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan Ir. IGN. Oka Suparta, Kepala Seksi Data, Informasi dan Penelitian Balitek KSDA.

Sebagai informasi, WASGANIS JIPOKSIN adalah Pengawas Tenaga Teknis dengan Pengujian Kelompok Resin. Pengawas Tenaga Teknis diharapkan memiliki kompetensi dalam kegiatan pengukuran dan pengujian kelompok resin (Kopal, Biga, Damar Mata Kucing, Damar Daging, Damar Rasak, Damar Pilau, Damar Batu, Embalau, Gaharu, Kemedangan, Kapur Barus, Kemeyan, Sheed Lak, Jernang, Gondorukem). Khusus kunjungan lapang ini mereka akan melakukan pengamatan tegakan Agathis, Kapur dan Meranti.

Peserta diklat terlihat sangat antusias dan langsung menuju ke pohon Damar yang terletak di belakang kantor setelah dua jam perjalanan dari Samarinda dengan menggunakan bus milik Pemda Prov. Kalitim. “Ini pohon apa pak?,” tanya salah satu peserta diklat dari kab. Berau. “Damar, dengan nama latin Agathis boornensis,” jawab Enos Tangke Arung. “Ini baru permulaan, masih banyak yang di Km 7 KHDTK nanti, tenang semuanya!” jelas Nanang Riana, S.Hut., sembari tertawa karna melihat peserta diklat yang semuanya menyerbu pohon yang hanya berjumlah tiga tersebut. Terlihat peserta diklat mulai mengukur diameter pohon, mengambil sampel daun, dan mencungkil damar yang keluar dan memasukkannya ke plastik sampel sembari terus berdiskusi dengan instruktur maupun pedamping dari Balitek KSDA.

layout foto untuk beritaSelanjutnya, peserta menuju ke Arboretum Balitek KSDA. Di lokasi ini peserta melakukan pengamatan tegakan Meranti Tembaga (Shorea leprosula).  “Berapa umur pohon ini pak?,” tanya salah satu peserta diklat. “Pohon ini ditanam tahun 1991, berarti sudah berumur 23 tahun,” jelas Yustinus Iriyanto, S.Hut., pembimbing dari Balitek KSDA. Peserta melanjutkan diskusi dan mengukur tegakan sembari bersendau gurau di disekitar arboretum. Beberapa peserta tampak menggali informasi mengenai persemaian kepada Nanang dan Yustinus sembari mengambil foto beberapa jenis tumbuhan yang ada di persemaian.

Setelah rehat sejenak, peserta melanjutkan kunjungan ke Km 7 KHDTK Samboja untuk melakukan pengamatan jenis Kapur (Dryobalaps lanceolata) di area Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT). Kali ini lokasinya lebih menyenangkan bagi peserta diklat untuk berdiskusi sembari melakukan pengamatan karena di area ini masih berupa hutan yang masih bagus dengan hawa yang sejuk. Beberapa pohon Lai dan Tengkawang yang sedang berbunga menjadi tambahan sajian dari hutan bagi peserta untuk diabadikan dengan kamera.  Acara ini diakhiri dengan makan siang dan berfoto bersama di depan kantor KHDTK Samboja. *ADS***

Share Button

“State of The Art” Penulisan Ilmiah

Balitek KSDA, Samboja, 22 Oktober 2014. Sembari tertawa, Dr. Hendra Gunawan menceritakan ikhwal dirinya tersesat ke Samboja Kuala. “Niatnya mau ke Balitek KSDA Samboja, saya malah nyasar ke Samboja Kuala, maklum selama ini sering diantar saja, ” ujarnya tersenyum. Akibat tragedi tersasar ini, pembinaan yang seharusnya dimulai jam 09.00 WITA tertunda sampai setengah jam. Diadakan di ruang rapat, pembinaan pada selasa pagi ini bertujuan untuk mengingatkan kembali para peneliti untuk lebih baik dalam membuat karya tulis ilmiah dan proposal penelitian. Berbekal pengalaman menulis dan menjadi leader tim penelitian, Dr. Hendra Gunawan berbagi teknik menulis yang baik dan mendorong teman-teman peneliti di Balitek KSDA untuk lebih aktif dalam menulis ilmiah.

“Peneliti harus memiliki state of the art dalam menghasilkan tulisan,” pungkas Hendra Gunawan memulai pemaparannya. Seringkali, penelitian yang dituangkan dalam tulisan ilmiah tidak dapat dengan kuat memberikan alasan mengapa harus dilaksanakan dan apa manfaatnya. “Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya pemakaian referensi yang mendukung,” terang Hendra. Sebagai implikasi dari kekurangan ini, dewan redaksi di Puskonser telah mensyaratkan jumlah minimal referensi dalam setiap tulisan adalah 15 buah, dengan pembagian 10 referensi utama dan 5 referansi pendukung.

Setiap proses dalam penulisan harus difikirkan secara detail dan dituangkan secara matang mulai dari pendahuluan, perumusan masalah, hipotesis, tujuan, tinjauan pustaka, metode, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dan saran. “Beberapa peneliti masih sulit untuk membuat kesimpulan yang menjawab permasalahan penelitian,” ujar Henda Gunawan. Bahkan, terkadang Hendra Gunawan masih menemukan kesimpulan yang dibuat tanpa ada kaitannnya dengan tujuan penelitian. “Padahal, kesimpulan dibuat untuk menjawab masalah dan memenuhi tujuan dari penelitian yang dilakukan,” terang Hendra.

Selain itu peneliti diharapkan juga memiliki bekal kemampuan bahasa dan tata bahasa yang sesuai dengan standar penulisan ilmiah agar tulisan ilmiah yang dihasilkan dapat dimengerti oleh pembaca. “Seringkali ditemukan paragraf yang tidak selesai, atau tidak ada kaitan antar paragraf,” ujar Hendra Gunawan. Untuk itu, Hendra Gunawan menyarankan agar dalam 1 paragraf minimal ada 3 kalimat dan ada aliran yang mengaitkan antar paragraf. “Selain itu, ada baiknya juga untuk meminta kepada teman atau orang lain yang berpengalaman untuk membaca tulisan kita,” sarannya.

Pada sesi diskusi, Mukhlisi, peneliti dari Kelti Konservasi Kawasan menanyakan perihal pembuatan kesimpulan dalam tulisan Ilmiah. “Apakah lebih baik dalam bentuk point per point atau dalam satu paragraph single statement?” tanya Mukhlisi. Menurut Hendra Gunawan, kesimpulan lebih baik dalam bentuk point per point. “Agar lebih spesifik dan jelas dalam menjawab permasalahan penelitian,” terangnya sembari menikmati pisang goreng yang tersaji.

Usai pemaparan dan diskusi tentang penulisan ilmiah, pembinaan dilanjutkan dengan pembuatan proposal penelitian. “Penapisan kegiatan layak bisa dilihat dari 5W 1 H yaitu Why, Who, What, When, Where dan How,” ujar Hendra Gunawan. 5W dan 1 H tersebut adalah mengapa riset ini penting (Why), siapa yang akan menerima manfaat (Who), apa kontribusi penelitian (What), kapan hasil riset bisa selesai dan diaplikasikan (When), dimana hasil riset akan diaplikasikan (lokal, regional, nasional, internasional) (Where) dan bagaimana transfer hasil riset kepada pengguna (How).  “Dari beberapa elemen yang ada ini, dapat dibuat parameter kelayakan dan prioritas dari sebuah kegiatan penelitian,” terang Hendra Gunawan.

Pada kesempatan ini Beliau juga mengingatkan agar dalam pembuatan rencana penelitian, sebagai peneliti kehutanan sebaiknya menyesuaikan dengan kebutuhan ataupun prioritas yang ditentukan oleh Kementerian Kehutanan. “Bukan berarti yang lainnya tidak boleh, namun kita upayakan agar yang kita lakukan dapat bermanfaat secara langsung dengan mitra kita di kementerian. Untuk topik selain yang ditentukan, dapat kita lakukan dengan upaya pendanaan dari luar kementerian,” terang Hendra Gunawan sembari mempersilahkan para peneliti di Balitek KSDA untuk tidak ragu-ragu menghubunginya baik melalui email atau sms jika ada pertanyaan lebih lanjut.

Drinus Arruan, S.Hut., Kepala Seksi Perencanaan, Evaluasi dan Kerjasama, mengharapkan dengan adanya pembinaan ini, peneliti dapat lebih giat dalam menghasilkan tulisan ilmiah sesuai dengan kegiatan penelitian yang telah dilakukan. “Kegiatan ini juga sebagai persiapan kita dalam menghadapi RPI periode 2015 -2019, agar rencana kegiatan dan output yang akan dibuat dapat selaras dan berjalan dengan baik,” ujar Drinus sekaligus mengakhiri kegiatan tepat pukul 12.00 WITA. *ADS***

3 1

Share Button

Mengenalkan Lingkungan lewat Menggambar, Mewarnai dan Bernyanyi

Hijau sawah, hijau gunung, hijau hutan dan hijau bumi. Mari kita menanam pohon agar kita terhindar dari bencana. Teman-teman ayo kita membuang sampah pada tempatnya.

Sepenggal lirik tersebut adalah bagian dari lagu yang dinyanyikan oleh kelompok paduan suara yang tergabung dalam Forum Keluarga dan Anak Cinta Lingkungan (FOKAL), di Hall Room, Radio Republik Indonesia (RRI), Gejayan, Yogyakarta, pada hari Minggu (18/10/2014).

Paduan suara yang tergabung di Fokal Yogyakarta menyanyikan lagu-lagu bertema lingkungan di Hall Room, RRI Yogyakarta. Foto : Tommy Apriando.

Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB. Anak-anak fokus  menggambar dan mewarnai diatas tas kanvas. Dalam jarak sekitar lima meter, orang tua mereka melihat dan memantau dari jarak tidak berkejauhan. Sebagian anak lainnya sudah rapih dengan kostum pentas. Mereka adalah para finalis lomba bernyanyi untuk negeri yang diselenggarakan oleh Sahabat Lingkungan Yogyakarta bersama WALHI Yogyakarta, FOKAL, RRI Yogyakarta dan Reispirasi.

Ning Raswani selaku koordinator Fokal kepada Mongabay Indonesia mengatakan, acara tersebut diselenggarakan bermula dari keprihatinan terhadap kondisi lingkungan di Yogyakarta dan Indonesia secara umumnya. Perhatian terhadap alam tidak hanya dilakukan dengan aksi langsung, tetapi juga dengan edukasi tentang lingkungan sejak dini kepada anak-anak, karena mereka generasi penerus negeri ini.

“Kami melihat masih banyak sekolah yang belum memberikan pemahaman kepedulian lingkungan kepada siswanya. Selain itu di lingkungan keluarganya juga harus diajarkan,” katanya.

Dia mengatakan pendekatan dan pengenalan lingkungan lewat anak-anak dan keluarga sangat efektif. Oleh karena itu, sejak Fokal berdiri pada tahun 2010, mulai mengenalkan lingkungan kepada anak-anak lewat lomba menyanyi, berwisata alam di desa. Fokal juga mengajak mereka melihat pengelolaan sampah dan menanam padi di sawah.

Dengan cara itu, anak dan keluarganya bisa paham, peduli dan tersentuh terhadap lingkungan hidup. Bahkan, anak -anak yang tergabung di Fokal menegur sesama temannya yang buang sampah sembarangan. Orang tua anggota Fokal juga sudah menjadi contoh untuk peduli dan memikirkan solusi kelestarian lingkungan di kampungnya.

Salah satu peserta lomba bernyanyi untuk negeri sedang menunjukkan kepiawaiannya bernyanyi lagu tentang lingkungan di Hall Room RRI Jogja. Foto : Tommy Apriando

“Bernyanyi hanya sebagai sarana seni. Ini cara pendekatan yang efektif untuk anak. Paling tidak lagu-lagu yang bertema lingkungan ini sudah di dengar oleh mereka, lalu diterapkan lewat perilaku keseharian,” kata Ning.

Anak-anak juga diajak menggambar dan mewarnai pakai tas berbahan kanvas.  Bila menggunakan kerta, maka bakal dibuang menjadi sampah. Dengan menggunakan tas, maka pesan lingkungan akan tetap ada dan terus dilihat karena tas tersebut dipakai oleh anak-anak sendiri.

“Harapan kami membangun generasi peduli lingkungan lewat anak-anak. Masa depan lingkungan kita ada di mereka. Semoga mereka terbentuk karakter dan jiwa cinta lingkungan. Ajarkan mereka untuk memberikan dan melakukan berbagai hal agar alam lestari,” tutup Ning.

Tas kanvas bergambar tema lingkungan karya anak-anak di Hall Room, RRI Jogja. Foto :  Tommy Apriando

Deni Widyanto yang juga menjadi juri lomba menggambar dari lembaga pecinta Penyu Reispirasi kepada Mongabay mengatakan, kegiatan tersebut sangat menyenangkan dan efektif, melibatkan anak-anak untuk paham, peduli akan lingkungan lewat nyanyi, mewarnai dan menggambar bertema lingkungan. Reispirasi juga sudah beberapa kali melakukan aksi edukasi dan pelepasan tukik (anak penyu) dengan melibatkan anak-anak.

“Dengan anak-anak menggambar dengan isu lingkungan, beberapa anak lain yang melihat jadi ingin tahu dan ikutan. Apalagi tasnya dikembalikan ke penggambarnya sendiri, ini akan membuat bangga dan menularkannya kepada kawannya di sekolah,” kata Deni

Direktur eksekutif Walhi Yogyakarta, Halik Sandera kepada Mongabay mengatakan, tujuan utama kegiatan ini adalah pendidikan lingkungan untuk anak dan keluarga, sehingga kepedulian lingkungan bisa tertanam sejak kecil dan dikeluarga. Dari semua peserta mulai dari bernyanyi, menggambar dan mewarnai. Mereka bisa disebut sebagai duta lingkungan untuk berbagi pengalaman lingkungan.

“Pengalaman mereka peduli terhadap lingkungan akan disebarkan ke teman-temannya. Ya paling tidak mereka tahu bagaimana menjaga kelestarian lingkungan,” kata Halik.

Ia menambahkan, ke depan selain untuk anak-anak ini ikutan lomba, pasca lomba ini mereka akan ada pertemuan-pertemuan. Untuk anak-anak diberikan edukasi tentang lingkungan, sedangkan orang tuanya juga diahak untul memikirkan kondisi lingkungan dan mencari solusinya, paling tidak dimulai dari lingkungan kampung mereka.

Saat ini, kurikulum di sekolah masih jauh dari konteks lingkungan. Beberapa mata pelajaran di sekolah seharusnya bisa dipraktikan dengan turun di lapangan. Sekolah hanya mengejar penghargaan Adiwiyata.  Setelah mendapatkan gelar Adiwiyata, lalu tidak ada keberlanjutannya. Padahal pendidikan itu berkelanjutan.

“Menyelamatkan lingkungan tidak hanya dilakukan di kalangan aktivis lingkungan. Seluruh masyarakat berpotensi untuk untuk terlibat melakukan konservasi dan lingkungan yang lestari. Hal ini dilakukan sejak usia anak, di dorong lingkungan keluarga dan sekolah,” tambah Halik.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Proceeding The 2nd INAFOR 2013: Forestry Research for Sustainable Forest Management and Community Welfare

FORDA (Bogor, 14/10/2014)_Indonesia masih menghadapi beberapa masalah dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan. Tantangan tersebut datang baik dari faktor internal maupun eksternal. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Sebagaimana diatur dalam undang-undang, tujuan nasional Pemerintah Indonesia yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan juga harus fokus pada pengelolaan hutan lestari serta turut serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam waktu yang sama.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah bekerja selama sepuluh dekade untuk mendukung visi dan misi Kementerian Kehutanan. Tugas khusus Badan Litbang Kehutanan yaitu meningkatkan peran penelitian dan pengembangan dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Salah satu strateginya yaitu dengan mengumpulkan informasi dan berbagi pengetahuan di bidang kehutanan melalui diseminasi dan konferensi.

Badan Litbang Kehutanan bukanlah satu-satunya organisasi yang bekerja dalam penelitian dan pengembangan di bidang kehutanan. Beberapa universitas, organisasi non-pemerintah dan organisasi internasional juga melakukan penelitian dan pengembangan pada beberapa daerah yang sama di Indonesia. Oleh karena itu, kebutuhan untuk mengumpulkan informasi dan berbagi ide menjadi penting untuk dilakukan dalam rangka menciptakan pemahaman bersama untuk mewujudkan tujuan nasional kehutanan Indonesia.

The International Conference of Indonesia Forestry Researcher (INAFOR) adalah upaya Badan Litbang Kehutanan  untuk secara aktif meningkatkan kualitas penelitian kehutanan Indonesia dan publikasi serta membangun forum ilmiah yang kuat bagi para profesional kehutanan Indonesia dari badan penelitian dan pengembangan termasuk instansi pemerintah, sektor swasta dan universitas. Pada 2011, INAFOR  pertama dilaksanakan di Bogor. Menyadari banyaknya manfaat dari konferensi ini, maka penyelenggaraannya  dilaksanakan secara periodik setiap dua tahun sekali.

Bertepatan dengan ulang tahun penelitian 100 tahun di Indonesia, The 2nd INAFOR dilaksanakan pada 27-28 Agustus 2013 di Jakarta dengan tema “Celebrating a 100-year Forestry Research in Indonesia: Forestry Research for Sustainable Forest Management and Community Welfare “.

Konferensi ini bertujuan untuk memberikan pengalaman internasional bagi para peneliti dan ilmuwan serta mengembangkan kegiatan penelitian dan pengembangan kehutanan di Indonesia.

Prosiding ini merupakan dokumentasi publikasi makalah dan poster yang dipresentasikan dalam konferensi tersebut.Terdiri dari 54 makalah dari 77 makalah yang disajikan dalam presentasi oral dan 34 makalah dari 49 presentasi poster. Publikasi ini diharapkan  dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat menuju penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan untuk pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat.**(TS).

Silahkan download materi prosiding pada link berikut :

PROCEEDINGS OF THE 2nd INAFOR 2013

Sumber berita : http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/1862

Share Button