Hijau sawah, hijau gunung, hijau hutan dan hijau bumi. Mari kita menanam pohon agar kita terhindar dari bencana. Teman-teman ayo kita membuang sampah pada tempatnya.
Sepenggal lirik tersebut adalah bagian dari lagu yang dinyanyikan oleh kelompok paduan suara yang tergabung dalam Forum Keluarga dan Anak Cinta Lingkungan (FOKAL), di Hall Room, Radio Republik Indonesia (RRI), Gejayan, Yogyakarta, pada hari Minggu (18/10/2014).
Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB. Anak-anak fokus menggambar dan mewarnai diatas tas kanvas. Dalam jarak sekitar lima meter, orang tua mereka melihat dan memantau dari jarak tidak berkejauhan. Sebagian anak lainnya sudah rapih dengan kostum pentas. Mereka adalah para finalis lomba bernyanyi untuk negeri yang diselenggarakan oleh Sahabat Lingkungan Yogyakarta bersama WALHI Yogyakarta, FOKAL, RRI Yogyakarta dan Reispirasi.
Ning Raswani selaku koordinator Fokal kepada Mongabay Indonesia mengatakan, acara tersebut diselenggarakan bermula dari keprihatinan terhadap kondisi lingkungan di Yogyakarta dan Indonesia secara umumnya. Perhatian terhadap alam tidak hanya dilakukan dengan aksi langsung, tetapi juga dengan edukasi tentang lingkungan sejak dini kepada anak-anak, karena mereka generasi penerus negeri ini.
“Kami melihat masih banyak sekolah yang belum memberikan pemahaman kepedulian lingkungan kepada siswanya. Selain itu di lingkungan keluarganya juga harus diajarkan,” katanya.
Dia mengatakan pendekatan dan pengenalan lingkungan lewat anak-anak dan keluarga sangat efektif. Oleh karena itu, sejak Fokal berdiri pada tahun 2010, mulai mengenalkan lingkungan kepada anak-anak lewat lomba menyanyi, berwisata alam di desa. Fokal juga mengajak mereka melihat pengelolaan sampah dan menanam padi di sawah.
Dengan cara itu, anak dan keluarganya bisa paham, peduli dan tersentuh terhadap lingkungan hidup. Bahkan, anak -anak yang tergabung di Fokal menegur sesama temannya yang buang sampah sembarangan. Orang tua anggota Fokal juga sudah menjadi contoh untuk peduli dan memikirkan solusi kelestarian lingkungan di kampungnya.
“Bernyanyi hanya sebagai sarana seni. Ini cara pendekatan yang efektif untuk anak. Paling tidak lagu-lagu yang bertema lingkungan ini sudah di dengar oleh mereka, lalu diterapkan lewat perilaku keseharian,” kata Ning.
Anak-anak juga diajak menggambar dan mewarnai pakai tas berbahan kanvas. Bila menggunakan kerta, maka bakal dibuang menjadi sampah. Dengan menggunakan tas, maka pesan lingkungan akan tetap ada dan terus dilihat karena tas tersebut dipakai oleh anak-anak sendiri.
“Harapan kami membangun generasi peduli lingkungan lewat anak-anak. Masa depan lingkungan kita ada di mereka. Semoga mereka terbentuk karakter dan jiwa cinta lingkungan. Ajarkan mereka untuk memberikan dan melakukan berbagai hal agar alam lestari,” tutup Ning.
Deni Widyanto yang juga menjadi juri lomba menggambar dari lembaga pecinta Penyu Reispirasi kepada Mongabay mengatakan, kegiatan tersebut sangat menyenangkan dan efektif, melibatkan anak-anak untuk paham, peduli akan lingkungan lewat nyanyi, mewarnai dan menggambar bertema lingkungan. Reispirasi juga sudah beberapa kali melakukan aksi edukasi dan pelepasan tukik (anak penyu) dengan melibatkan anak-anak.
“Dengan anak-anak menggambar dengan isu lingkungan, beberapa anak lain yang melihat jadi ingin tahu dan ikutan. Apalagi tasnya dikembalikan ke penggambarnya sendiri, ini akan membuat bangga dan menularkannya kepada kawannya di sekolah,” kata Deni
Direktur eksekutif Walhi Yogyakarta, Halik Sandera kepada Mongabay mengatakan, tujuan utama kegiatan ini adalah pendidikan lingkungan untuk anak dan keluarga, sehingga kepedulian lingkungan bisa tertanam sejak kecil dan dikeluarga. Dari semua peserta mulai dari bernyanyi, menggambar dan mewarnai. Mereka bisa disebut sebagai duta lingkungan untuk berbagi pengalaman lingkungan.
“Pengalaman mereka peduli terhadap lingkungan akan disebarkan ke teman-temannya. Ya paling tidak mereka tahu bagaimana menjaga kelestarian lingkungan,” kata Halik.
Ia menambahkan, ke depan selain untuk anak-anak ini ikutan lomba, pasca lomba ini mereka akan ada pertemuan-pertemuan. Untuk anak-anak diberikan edukasi tentang lingkungan, sedangkan orang tuanya juga diahak untul memikirkan kondisi lingkungan dan mencari solusinya, paling tidak dimulai dari lingkungan kampung mereka.
Saat ini, kurikulum di sekolah masih jauh dari konteks lingkungan. Beberapa mata pelajaran di sekolah seharusnya bisa dipraktikan dengan turun di lapangan. Sekolah hanya mengejar penghargaan Adiwiyata. Setelah mendapatkan gelar Adiwiyata, lalu tidak ada keberlanjutannya. Padahal pendidikan itu berkelanjutan.
“Menyelamatkan lingkungan tidak hanya dilakukan di kalangan aktivis lingkungan. Seluruh masyarakat berpotensi untuk untuk terlibat melakukan konservasi dan lingkungan yang lestari. Hal ini dilakukan sejak usia anak, di dorong lingkungan keluarga dan sekolah,” tambah Halik.
Sumber : Klik di sini